PADA pertengahan tahun 1972, Katharine Graham mengeluh. "Saya merasa terpencil," kata pemilik The Washington Post ini, saat koran terkemuka itu menggeber skandal Watergate. Adalah Bob Woodward dan Carl Bernstein, wartawan The Post, yang sukses membongkar penyadapan di kantor Partai Demokrat di kompleks Watergate, di tepian sungai Potomac, Washington, yang didalangi Presiden Amerika Serikat ke-37, Richard Nixon.
Awalnya, tak banyak yang percaya laporan The Post. Tak sedikit yang malah memandang sinis. Apalagi Gedung Putih, reaksinya membara. Serangan pemerintah begitu gigih dan menakutkan. "Banyak teman meragukan liputan kami. Pembaca gencar menuduh kami punya motivasi terselubung, gaya jurnalisme buruk, dan tak punya secuil pun patriotisme," kata Kay, nama panggilan Katharine, dalam buku Personal History.
Bukan tak mungkin pengalaman Kay bakal terulang pada Uni Zulfiani Lubis, Pelaksana Harian Pemimpin Redaksi Majalah Panji Masyarakat. Akibat melansir transkrip kaset hasil sadapan yang berisi suara (ditulis Panji sebagai "mirip") Presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, Uni terancam jerat Pasal 15 Undang-Undang No. 46 / 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Inti pasal itu, orang yang menyebarkan berita yang belum pasti, tidak lengkap, atau berlebihan, sedangkan ia tahu bahwa kabar tersebut bisa menyulut keonaran, bisa dihukum penjara maksimal dua tahun.
Sayangnya, ada perbedaan penting yang boleh jadi membuat nasib Kay dan Uni berbeda. Di Amerika Serikat, wibawa pengadilan begitu mencorong. Yang diusut pertama kali begitu kasus ini mencuat bukanlah kerja Woodward dan Bernstein membongkar dokumen rahasia plus kaset rekaman sepanjang 201 jam, yang berisi pembicaraan Presiden Nixon dan para pembantunya, tetapi kebenaran isi rekaman itu.
Pusat bidikan pengadilan adalah "daging" persoalan: apa, bagaimana, dan mengapa Nixon menyadap percakapan di kantor Partai Demokrat. Memang, awalnya Nixon gencar unjuk kekuatan menekan proses peradilan. Ia juga memerintahkan FBI menyetop penyelidikan kasus ini. Tapi, belakangan, toh Nixon terbukti salah mengintip dapur Partai Demokrat guna melicinkan jalannya menuju kursi presiden. Ia akhirnya harus rela meletakkan jabatan pada 9 Agustus 1974.
Tampaknya kewibawaan hukum itulah yang jadi poin pembeda nasib Nixon dan Habibie. Sejak skandal penyadapan telepon Habibie-Ghalib, yang merebak justru debat pinggiran, bukan inti soal. Humas Kejaksaan Agung, Suhandoyo, dengan yakin menyatakan siap menjerat Panji dengan tuduhan menyebar berita bohong. Padahal, di sisi lain, Habibie memerintahkan Panglima ABRI Jendral TNI Wiranto agar mengusut pelaku penyadapan?yang secara tidak langsung membenarkan adanya percakapan Habibie-Ghalib.
Penyadapan itu, "Jelas suatu praktek politik yang kotor," kata juru bicara presiden, Dewi Fortuna Anwar, kepada Dewi R. Cahyani dari TEMPO. Ini terlepas dari akurat tidaknya materi kaset. Justru itulah, Todung Mulya Lubis, pengacara Panji, berpendapat, yang lebih mendesak adalah uji kebenaran rekaman yang "mirip-mirip" itu tadi. Kalau perlu, uji suara dilakukan di laboratorium canggih di luar negeri. Sebab, selama belum ada bukti, rekaman kaset yang beredar tetap dianggap asli oleh masyarakat. "Bukankah ini bisa jadi fitnah bagi para pemimpin kita," kata Mulya. Tanggung jawab penyiaran? Menurut Mulya, tidak bisa ditimpakan hanya pada sebuah media. Jauh sebelum Panji menyiarkan, kaset sadapan sudah beredar di masyarakat.
Beberapa sumber TEMPO membenarkan hal ini. Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Syamsu Djalaluddin mengaku mendengar selentingan kaset rahasia ini beberapa hari setelah Soeharto diperiksa di Kejaksaan Tinggi Jakarta, 9 Desember 1998. Beberapa kelompok mahasiswa mengaku mendapat kaset ini sejak Januari lalu. Lebih nyata lagi, tabloid Berita Keadilan, edisi 6 Januari 1999, sudah memuat percakapan rahasia Habibie-Ghalib sebagai laporan utama. Meskipun dimuat bukan dalam bentuk transkrip, isi Berita Keadilan tidak kalah rinci. Hanya saja, peredaran tabloid?bertiras 70.000 eksemplar?yang tidak terpusat di Jakarta membuat skandal percakapan rahasia ini tidak meledak jadi berita heboh.
Lalu, bagaimana bila masalah ini ditarik ke persoalan kode etik jurnalistik? Menurut Atmakusumah, Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta, tampaknya angin bertiup ke arah Panji dan Berita Keadilan. Sebab, kode etik jurnalistik?PWI dan AJI?menyebutkan wartawan harus menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi, dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan susila seseorang, kecuali bila menyangkut kepentingan umum. Nah, isi percakapan telepon itu ternyata menyangkut proses pemeriksaan mantan presiden Soeharto, yang bisa digolongkan dalam kepentingan umum ini.
Mardiyah Chamim, Edy Budiyarso, Hardy Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini