Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh anak Nias itu mendarat di Jakarta yang penuh tanda tanya. Siapakah mereka? Apakah mereka diculik, atau korban bencana?
Datang dengan Kapal Motor Lawit yang berlabuh di Tanjung Priok, Rabu pekan lalu, bocah-bocah Nias itu cuma didampingi Hendra Ngantung, 36 tahun, dan Pitua Lumantoruan, 26 tahun. Sesampai di Tanjung Priok, mereka dijemput Yohana Sahuli dan Yabali Halawa.
Wajah-wajah polos 10 bocah itu terlihat bersih dan segar. Berbeda sekali dengan saat mereka datang dua hari sebelumnya. Ketika itu mereka tampak kusam, kotor dan sedikit kudisan. ”Ada beberapa yang sedang sakit panas dan diare, tapi tadi sudah diobati di Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat—Red),” kata Asrifa, pekerja sosial di Rumah Perlindungan Sosial Anak di kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur.
Saat pertama kali tiba, anak-anak itu juga masih dihinggapi trauma. Mereka menangis dan takut bertemu orang asing. ”Tadinya mereka menangis sampai sesenggukan kayak orang sakit hati. Tapi setelah dibujuk-bujuk, disayang dan dielus, mereka pun diam dan menurut,” kata Ike.
Berkat kelembutan dan kasih sayang yang dicurahkan Asrifa dan pekerja sosial yang lain, mereka memang mulai berubah. Apalagi ada Ike, seorang psikolog, yang membantu menenangkan mereka.
Sekarang mereka sudah ceria. Berlarian ke sana kemari dan bermain dengan lincahnya.
Untunglah, sebelum datang, Asrifa, Ike, dan pekerja sosial yang lain sudah mempelajari beberapa patah kata bahasa Nias, terutama untuk hal-hal penting seperti makan, minum, mandi, atau tidur. Untuk anak yang sudah bisa berbahasa Indonesia, komunikasi bisa berjalan lebih mudah. Bocah yang lebih kecil biasanya menirukan yang lebih besar.
Kalau komunikasi masih tersendat, para pekerja sosial menggunakan bahasa gambar. Ketika ingin mengetahui keluarga mereka, misalnya, Ike atau Asrifa menggambar rumah dan orang dewasa. Bila anak-anak itu masih mempunyai saudara, mereka biasanya akan minta ditambahkan gambar orang yang lebih kecil di samping gambar orang tua mereka itu.
Saat ditanya tentang orang yang membawa mereka, anak-anak itu hanya menyebut ”om” dan ”mamak” saja. ”Mereka tidak menyebut nama orang yang membawa mereka,” ujar Asrifa. Di panti sosial tersebut, bocah-bocah asal Nias itu ditempatkan di beberapa kamar yang juga dihuni anak-anak lain. Satu kamar dipakai 3-4 orang. Beberapa dari bocah itu sempat mengenyam bangku sekolah dasar di Nias. ”Mereka tahunya ke Jakarta ini pun untuk sekolah,” Asrifa menjelaskan.
Saat baru mendarat, permasalahan muncul ketika petugas melakukan pemeriksaan, ternyata anak-anak itu tak dilengkapi dokumen yang jelas. Hanya dua anak: Dirman Hulu dan Oni Alexander Hulu, yang memiliki dokumen fotokopi surat penyerahan tanggung jawab dari orang tua mereka kepada Yayasan Wahana Anak Muda. Yayasan itu beralamat di Jalan Tulang Kuning No. 41, Parung, Bogor.
Adapun Yohana yang menjemput mereka hanya bisa menunjukkan surat izin pendirian panti sosial/non-panti sosial atas nama Pondok Taruna. Alamat pondok itu Jalan Tugu, Cipayung, Jakarta Timur.
Ketika petugas mendesak, Hendra dan Pitua mengatakan, mereka cuma dititipi anak-anak itu oleh seseorang bernama Edo. ”Kami akan mencari tahu siapa dia,” kata Kepala Satuan Remaja, Anak, dan Wanita Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Edi Tambunan. Polisi juga menelusuri identitas Beni Gulo, pendeta yang disebut-sebut mengumpulkan orang tua anak-anak Nias dan menjanjikan beasiswa. Hendra sendiri anggota Yayasan Wahana Anak Muda yang berada di Nias sebagai pekerja sosial untuk perbaikan instalasi air.
Untuk mengusut kasus ini, polisi bekerja sama dengan Lembaga Pemberdayaan Potensi Nias. ”Untuk mencari tahu orang tua anak-anak ini, benarkah mereka menitipkan anak-anaknya,” kata Edi. Sejauh ini, polisi belum menemukan indikasi adanya penculikan.
Terkait penyidikan kasus ini, polisi juga telah menggerebek sebuah rumah di kawasan Parung, Bogor. Rumah itu ternyata menjadi tempat penampungan anak-anak. Di sana setidaknya ada 12 anak yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kepala Polisi Sektor Parung Ajun Komisaris Rudi Hartono mengaku masih memeriksa Yuniati, pengelola rumah tersebut.
Adapun Hendra, Pitua, Yohana, dan Yabali justru bisa menghirup udara bebas. ”Mereka tak ditahan karena yayasannya legal,” kata Edi. Walau begitu, mereka harus bersedia dimintai keterangan lebih lanjut oleh polisi kapan saja dan mereka tengah mengumpulkan surat-surat keterangan yang diperlukan. Soalnya, jika memang anak-anak itu dibawa ke Jakarta untuk mendapat beasiswa pendidikan, pemerintah harus mengetahui jejak asalnya, agar kedatangan mereka ke Jakarta bukan atas dasar paksaan. Dan jejak pertama yang harus dicari, tentu saja, identitas orang tua atau keluarganya yang terdekat.
Nugroho Dewanto dan Tim TNR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo