Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perdana Menteri Inggris Tony Blair telah menjanjikan bahwa pertemuan G-8 pada 6-8 Juli ini di Glen-eagles, Skotlandia, yang diketuainya, akan berfokus pada dua dari isu lama paling penting di duniakemiskinan di Dunia Ketiga dan pemanasan bumi.
Sudah lama kedua masalah ini tampaknya bertentangan. Negara berkembang pantas tidak mau mengorbankan pertumbuhannya demi kebaikan global semata, terutama di saat Amerika Serikat, negara paling kaya di dunia, tampaknya enggan mengorbankan bahkan sedikit saja dari gaya hidupnya yang bergelimang kemewahan itu.
Sekelompok negara berkembang yang dipimpin Papua Nugini dan Kosta Rikasuatu koalisi baru negara hutan tropistelah mengajukan suatu usul yang inovatif, yang bukan saja akan membatasi efek gas rumah kaca, tapi juga menunjukkan cara pencapaiannya sembari mendukung pembangunan negara berkembang itu sendiri.
Negara berkembang sudah lama memberikan kebaikan global yang amat penting: menjaga kelestarian aset lingkungan global. Hutan tropis mereka merupakan sumber keragaman hayati yang mahapenting. Hutan merupakan penyerap utama karbon yang mengurangi tingkat CO2 di atmosfer.
Dengan mempertahankan kelestarian hutan tropisnya, negara berkembang memberikan jasa yang tak ternilai harganya bagi kebaikan global, jasa yang sampai saat ini belum diberi imbalan yang sepantasnya. Tapi, terutama setelah ditandatanganinya Protokol Kyoto, kita bisa setidak-tidaknya menghargai sebagian jasa negara berkembang dalam upaya pelestarian lingkungan dan penyerapan karbon (artinya, jika mereka tidak menjaga kelestarian hutannya, tingkat konsentrasi karbon di atmosfer akan meningkat tajam).
Protokol Kyoto telah melahirkan pasar-pasar baru bagi pertukaran emisi karbon, seperti European Emissions Trading Scheme (ETS). Menurut harga karbon yang berlaku saat ini, nilai penyerapan karbon oleh hutan tropis mungkin sama besarnya atau bahkan melampaui tingkat bantuan internasional yang saat ini diterima negara berkembang. Sebenarnya, negara-negara miskin inilah yang justru membantu negara-negara kaya.
Suatu kesalahan besar telah dibuat (karena berbagai alasan) di Kyoto. Sementara negara-negara bisa menerima kompensasi karena menanami kembali hutannya, mereka tidak diberi kompensasi karena mencegah penggundulan hutannya. Karena itu jauh lebih baik bagi negara seperti Papua Nugini jika mereka menebang hutan tuanya dan kemudian menanaminya kembali. Tapi secara ekonomi dan sosial ini tidak masuk akal. Negara-negara ini harus diberi insentif untuk mempertahankan hutan yang mereka miliki. (Selalu ada masalah teknis yang harus dipecahkan, mengenai pemantauan dan pengukuran luasnya hutan yang dipertahankan, tapi semua ini mudah ditanggulangi dengan teknologi modern). Setidak-tidaknya, pasar pertukaran seperti ETS itu harus memberikan nilai kepada pengurangan emisi yang terjadi dengan dibatasinya penebangan hutan.
Sayangnya, tanpa program semacam ini, negara berkembang tak punya daya atau insentif untuk menanggung ongkos pelestarian hutannya. Ada sekitar 2,7 miliar manusia hidup di lebih dari 60 negara berkembang yang memiliki hutan tropis. Menebangi hutan kayu kerasbahkan bila kayu yang ditebang itu saat ini dihargai hanya 5 persen dari harga akhir di New York, misalnyamerupakan satu-satunya jalan bagi rakyat di negara berkembang itu untuk bertahan hidup.
Ada yang menyarankan agar kita menunggu sampai 2012, saat mulai berlakunya protokol yang sudah direvisi. Tapi apakah kita bisa menunggu? Dengan laju penggundulan hutan saat ini, konsentrasi gas rumah kaca yang disumbangkan bersama oleh Brasil dan Indonesia saja akan sama besarnya dengan hampir 80 persen dari seluruh emisi yang dikurangi dengan berlakunya Protokol Kyoto.
Yang begitu mengesankan dari inisiatif pelestarian hutan tropis ini adalah bahwa ia datang dari negara berkembang sendiri, yang menunjukkan kreativitas dan komitmen sosialnya. Untuk pertama kalinya, negara berkembang tampaknya bersedia memberikan komitmen seperti yang diberikan Eropa, Jepang, dan negara maju lainnya (kecuali AS) guna menghindari terjadinya bencana global.
Kosta Rika, misalnya, sudah membuktikan bahwa suatu sistem imbalan bagi pelestarian lingkungan (seperti melestarikan hutan alami) bisa berjalan dengan cara yang bukan saja melestarikan lingkungan itu sendiri tapi juga mendorong pembangunan ekonomi negara bersangkutan.
Memberikan kompensasi kepada negara berkembang karena membantu pelestarian lingkungan ini merupakan satu cara guna meningkatkan bantuan dalam jumlah yang substansialdan juga memberikan insentif pasar yang tepat kepada negara bersangkutan. Dari sudut pandang global, pemanfaatan paling baik bagi sumber daya adalah dengan mempertahankan kelestarian hutan, yang bahkan mungkin bisa dilakukan dengan penebangan yang terkendali.
Inilah inisiatif yang bisa dan harus mempersatukan semua negara di dunia. Dalam suatu dunia yang terpecah belahantara negara kaya dan negara miskin, antara mereka yang fokus pada pelestarian lingkungan dan mereka yang terpusat perhatiannya pada pertumbuhaninisiatif ini bisa menyatukan kita semua. Para pemimpin negara-negara G-8 harus mendengarkan seruan ini.
Copyright: Project Syndicate, 2005.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo