Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI balik setiap keriuhan selalu ada cerita. Tersebutlah Mohammad Ramdlan Siraj, Bupati Sumenep, Madura, juga tokoh Nahdlatul Ulama di daerah itu. Dalam pemilu daerah 20 Juni 2005 nanti, Ramdlan akan mencalonkan diri lagi menjadi bupati. Dulu, pada 2001, ia diusung Partai Kebangkitan Bangsa. Kini ia didorong Partai Persatuan Pembangunan.
Yang membuat Ramdlan tak enak tidur, dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dua minggu lagi ia mesti bertarung dengan sanak familinya sendiri. Calon dari PKB adalah pasangan Abuya Busryo Karim dan Tsabit Khazein. Abuya terhitung masih besannya, sedangkan Tsabit sepupunya. Lebih dari sekadar keluarga, Tsabit adalah gurunya berorganisasi: Tsabitlah yang mengajar Ramdlan berkegiatan di Nahdlatul Ulama.
Kandidat lain yang juga membuat Ramdlan kikuk adalah M. Afif Hasandisokong koalisi beberapa partai berkursi sedikityang tak lain adalah sepupu Ramdlan. Beberapa pengurus PKB juga masih terhitung kerabat. Ketua Dewan Syuro PKB Sumenep, Basyir Abdullah Sajad, adalah paman Ramdlan. Ketua PPP setempat, Warits Ilyas, juga masih terhitung om.
Di Minahasa Utara hal serupa terjadi. Di sana pertarungan bahkan antar-saudara sedarah. Partai Golkar mengusung Lona Lengkong, dan PDI Perjuangan menjagokan kakak Lona, Hengky Lengkong. Keduanya bekas birokrat dan dianggap punya pengaruh. Lona bekas Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Sulawesi Utara, dan Hengky bekas Asisten III Sekwilda provinsi itu.
Di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pertarungan terjadi antara paman dan kemenakan. Sejauh ini tidak terlihat pilkada di Sumenep, Minahasa Utara, dan Bulukumba bakal berakhir dengan bentrok keluarga. Tapi, "Terus terang pemilihan kepala daerah ini membuat hati saya kurang enak," kata Ramdlan.
Hantu amuk dan rusuh massa memang membayangi pilkada, yang edisi perdananya sudah dimulai di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada Rabu pekan lalu. Bulan Juni ini saja 166 kabupaten dan provinsi menggelar pemilu lokal. Sisanya menyusul tahun depan. Indonesia berubah menjadi pasar malam raksasa: hiruk-pikuk, meriah, lampu-lampu dinyalakan.
Kekhawatiran bermula saat pemerintah terlambat mengeluarkan peraturan No. 6/2005 yang mengatur pelaksanaan pemilihan daerah. Akibatnya, kerja Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tersendat. Pendanaan juga seret karena parlemen lokal telat menyusun anggaran. Dana yang sudah disetujui pun tidak segera cair.
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pelaksanaan pilkada juga dianggap tidak cukup menampung aspirasi orang banyak. Sejumlah partai tak memiliki kursi di parlemen yang sebelumnya tak bisa mencalonkan diri lalu mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan mereka dikabulkan, jadilah partai-partai kecil bisa mengusung kandidat asal bergabung hingga memperoleh minimal 15 persen suara di pemilu legislatif.
Perangkat hukum selesaimeski tidak sempurnasoal lain muncul: jual-beli kursi kandidat. Ini memang persoalan yang mudah diterka sejak awal. Partai-partai yang punya hak mencalonkan kandidat pasang harga. Macam-macam alasannya: dari biaya pendaftaran, setoran partai, hingga dana sosialisasi. Besarnya, auzubillah, Rp 2-3 miliar untuk kursi bupati dan belasan miliar rupiah untuk kursi gubernur.
Kursi calon dijajakan, baik kepada tokoh di luar partai maupun kader partai sendiri. Maklum saja, meski satu kandang, para kader juga saling sikut untuk maju ke pilkada. Hukum dagang pun berlaku: permintaan yang lebih besar dari penawaran akan menaikkan harga.
Dengan politik dagang sapi ini, wajar kalau orang pesimistis terhadap efektivitas pilkada melahirkan pemimpin daerah yang jujur dan berkualitas. Katakanlah si calon kaya raya, sehingga bisa membayar semua biaya. Tapi tidakkah ia, nanti ketika berkuasa, berusaha agar balik modal? Bagaimana pula kalau duit modal itu dipinjamnya dari para cukong? Sampai di sini, korupsi jadi sama dekatnya dengan urat leher sendiri.
Dulu sempat ada ide agar calon kepala daerah bisa datang dari luar partai politik. Maksudnya mulia: agar partai tidak besar kepala. Tapi usul ini tidak berkembang. Kata Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshidiqie, tanpa partai politik, yang berkuasa adalah massa dan kitab suci. Maksudnya, potensi kacau justru karena sang kandidat membawa-bawa sentimen agama atau kedaerahan.
Pasar malam pilkada 2005 memang-hiruk dan centang-perenang. Tapi itu toh tetap lebih baik ketimbang zaman dulumasa ketika pemimpin daerah didrop dari Jakarta dan sama sekali tak mencerminkan aspirasi daerah. Saat itu cuma ada dua kategori bupati atau gubernur: kalau bukan pensiunan tentara tentulah ia pengurus Golkar.
Sistem perwakilan yang diterapkan pada masa multipartai memang bisa mengeliminasi praktek drop-dropan ala Orde Baru. Tapi, tanpa peran langsung pemilih di bilik suara, ekses demokrasi seperti politik uang jauh lebih sulit dikontrol.
Pasar malam itu sudah dimulai, dan kita semua kini berada di dalamnya. Sesuatu yang sulitmungkintapi seperti kata Tulis Sutan Sati, inilah pilihan yang sengsara membawa nikmat.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo