Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kamis malam, 12 Oktober 2023, Israel mengeluarkan perintah militer kepada penduduk Gaza bagian utara dan tengah untuk mengungsi dari rumah mereka. Daerah itu telah diklasifikasikan Israel sebagai “Zona Perang”. Penduduk Gaza dan bahkan personel PBB yang ditempatkan di sana hanya memiliki waktu 24 jam untuk mengosongkan wilayah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Militer Israel membagikan pamflet dari langit dan membuat rekaman panggilan telepon untuk memberi tahu penduduk tentang niat mereka untuk menargetkan “situs teror” yang terkait dengan Hamas dan kelompok bersenjata lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Anda akan dapat kembali ke Kota Gaza hanya jika ada pengumuman lain yang mengizinkannya,” kata militer. “Jangan mendekati area pagar keamanan Negara Israel”.
Bagi warga Palestina, gagasan untuk meninggalkan atau diusir dari wilayah yang mereka inginkan untuk membentuk sebuah negara memiliki kesamaan dengan “Nakba”, atau “malapetaka”, ketika banyak warga Palestina melarikan diri atau terpaksa meninggalkan rumah mereka selama perang 1948 yang menyertai penciptaan Israel. Dan, sejak itu negeri mereka tak lagi sama.
Sekitar 700.000 warga Palestina, setengah dari populasi Arab di wilayah Palestina yang dikuasai Inggris, dirampas haknya dan terusir dari tempat tinggal mereka, banyak dari mereka yang pindah ke negara-negara Arab tetangga di mana mereka atau banyak keturunan mereka tetap tinggal. Banyak yang masih tinggal di kamp pengungsi.
Fawziya Shaheen, 90, mengenang sebuah babak kelam yang membekas dalam kesadaran warga Palestina.
"Saya ingat saat pertama kali kami mengungsi dan apa yang terjadi pada kami sekarang. Itu semua adalah kesalahan Amerika dan negara-negara yang melakukan normalisasi terhadap orang-orang Yahudi (Israel)," kata Shaheen, yang tinggal di sebuah gang di dalam kamp pengungsi Khan Younis.
"Apa pun yang terjadi, kami tidak akan menjadi pengungsi. Mereka menyerang kami, namun kami tidak akan meninggalkan rumah kami dan kami tidak akan menjadi pengungsi," kata Shaheen, yang duduk di rumah bersama cucu-cucunya menghadapi pengeboman Israel yang tiada henti dan kekurangan roti dan air minum. dan pemadaman listrik.
“Bahkan jika Amerika, Israel atau negara lain melakukan intervensi, kami akan tetap tinggal dan tidak akan meninggalkan rumah kami.”
Shaheen awalnya mengungsi dari Al-Majdal dan berakhir di Gaza yang miskin, yang sekarang menjadi salah satu tempat terpadat penduduknya di dunia. Dia menyaksikan perang tahun 1948, 1956, 1967, 1973 dan konflik Hamas vs Israel.
Gaza kini sudah luluh lantak. Seiring dengan pengeboman habis-habisan, Israel telah mempertahankan blokade penuhnya terhadap Gaza sejak serangan Hamas, mendorong kondisi kemanusiaan ke dalam kemunduran lebih lanjut dan mencegah masuknya peralatan medis yang mendesak dan pasokan kehidupan sehari-hari ke wilayah tersebut.
“Mereka memutus akses terhadap air, makanan, dan listrik, dan kini mereka mendorong kami meninggalkan rumah. Mengapa mereka melakukan ini pada kita? Apakah hanya karena kami adalah warga Palestina yang tinggal di Gaza?” kata seorang warga Kota Gaza kepada Al Jazeera, mengungkapkan perasaan frustrasi dan rasa ketidakadilan yang meluas di kalangan masyarakat.
“Ini adalah Nakba kedua. Namun pendudukan harus memahami bahwa kami akan terus tetap berakar di tanah kami dan membela hak-hak kami yang adil atas kebebasan, perdamaian dan keamanan.”
Pertahankan Tanahmu
Mesir, satu-satunya negara Arab yang berbagi perbatasan dengan Gaza, dan Yordania, yang terletak di sebelah Tepi Barat yang diduduki Israel, keduanya telah memperingatkan warga Palestina agar tidak dipaksa meninggalkan tanah mereka.
Hal ini mencerminkan ketakutan mendalam Arab bahwa perang terbaru Israel dengan Hamas di Gaza dapat memicu gelombang baru pengungsian permanen dari tanah tempat warga Palestina ingin membangun negara di masa depan.
“Ini adalah penyebab dari semua penyebab, penyebab seluruh bangsa Arab,” kata Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi pada Kamis. “Penting bagi rakyat (Palestina) untuk tetap teguh dan hadir di tanah mereka.”
Raja Yordania Abdullah memperingatkan “tentang segala upaya untuk memaksa warga Palestina keluar dari seluruh wilayah Palestina atau menyebabkan pengungsian internal mereka, dan menyerukan untuk mencegah meluasnya krisis ini ke negara-negara tetangga dan memperburuk masalah pengungsi.”
Ketua Liga Arab yang beranggotakan 22 orang, Ahmed Aboul Gheit, segera meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk mengutuk "upaya gila Israel untuk memindahkan penduduknya".
Lindsey German, seorang aktivis Stop The War Coalition, di laman Counterfirem, menyatakan Pemerintah Israel sedang memulai tindakan yang merupakan hukuman kolektif terhadap seluruh penduduk. Setelah seminggu pengeboman yang intensif, penduduk di bagian utara Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka, didorong ke selatan karena ancaman pengeboman dan invasi.
Ia menyatakan alasan Israel adalah untuk membalas serangan Hamas pekan lalu. Namun, menurutnya, pada kenyataannya konflik tidak dimulai dari situ – konflik muncul karena ketidakadilan mendasar pada Nakba pertama dan pendudukan setelah perang tahun 1967.
“Hal ini akan terus terjadi sampai ketidakadilan tersebut teratasi. Hilangnya nyawa dalam serangan Hamas memang tragis, namun jumlah kematian di Gaza, termasuk lebih dari 400 anak-anak, sudah melebihi jumlah korban tewas dalam serangan tersebut,” katanya.
Jumlah itu akan meningkat jauh lebih tinggi dalam beberapa hari mendatang. Rumah sakit menjadi sasaran, warga Palestina di Gaza tidak mendapatkan air dan listrik, dan ratusan ribu orang telah meninggalkan semua milik mereka dalam pelarian ke selatan yang putus asa.
Nasib para pengungsi Palestina adalah salah satu masalah paling pelik dalam proses perdamaian Israel-Palestina yang hampir mati.
Shehada Abu Draz, 80, curiga terhadap konspirasi Amerika-Israel untuk mengusir warga Palestina ke Mesir, meskipun negara tersebut belum mengindikasikan akan membuka pintunya bagi warga Gaza yang melarikan diri.
“Kami memberitahu Amerika, Israel dan mereka yang mendukungnya bahwa kami tidak akan pernah meninggalkan Jalur Gaza. Kami akan mati di sini,” katanya.
REUTERS | AL JAZEERA