Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah melarang semua kegiatan yang merupakan bagian dari kepercayaan orang Mentawai, seperti ritual yang melibatkan sikerei, memanjangkan rambut, meruncingkan gigi, dan menato tubuh. Tradisi tato Mentawai pun terkena imbasnya. Akibatnya, banyak yang membuat tato secara diam-diam. Tempo menemui sejumlah orang tua di Mentawai yang masih memiliki tato di sekujur tubuhnya.
UMA—rumah tradisional Mentawai—milik Aman Gebak Kunen Sabagalet di Desa Madobak, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, itu tampak besar di antara rumah-rumah lainnya. Rumah dari kayu berukuran 8 x 15 meter itu beratap daun sagu, bersebelahan dengan rumah-rumah kecil bantuan pemerintah. Puluhan tengkorak kepala babi dari punen (pesta adat) yang pernah diselenggarakan di uma itu berjejer tergantung di pintu masuk. Di pintu ruangan dalam, tampak puluhan tengkorak monyet, tengkorak burung rangkong, dan beberapa tengkorak rusa bertanduk besar. ”Itu semua hasil buruan saya saat masih kuat berburu ke hutan,” kata Aman Gebak, 70 tahun, lalu tertawa.
Boleh dibilang uma milik Aman Gebak itu merupakan satu-satunya benda peninggalan dari tradisi dan budaya masa lalu Mentawai di Desa Madobak. Tempo bertandang ke rumah Aman Gebak pada pertengahan September lalu bersama tim Rimba Terakhir—kolaborasi seniman dan lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Uma (rumah tradisional Mentawai) Aman Gebak Kunen -TEMPO/Febrianti
Masuk ke uma Aman Gebak, rumah itu tampak begitu besar dan lengkap. Di bagian tengahnya terdapat tungku perapian dari batu yang disebut abut kerei. Fungsinya untuk penerangan di malam hari dan tempat memanaskan gajeuma (gendang) pada saat sikerei (dukun atau ahli pengobatan) akan menari. Juga sebagai tempat acara ritual menginjak bara api dalam upacara pengangkatan sikerei baru.
Di bagian belakangnya terdapat ruangan berukuran sekitar 4 x 6 meter yang bisa berfungsi sebagai kamar tidur, lantaran dipasangi kelambu. Di salah satu dinding ada tempat khusus untuk menyimpan buluat, yang terdiri atas tabung bambu yang diisi berbagai tumbuhan, dan biji manik. Di dekatnya ada gong yang digantung dan gajeuma. Di sudut ruangan belakang ada dapur dengan tungku batu untuk memasak sehari-hari dan di belakangnya ada beranda.
Aman Gebak Kunen adalah seorang sikerei di Madobak. Tubuhnya bertato lengkap atau titi dalam bahasa Mentawai. Tato itu terdapat di kaki, tangan, dan lehernya. Begitu juga istri Aman Gebak, Bai Gebak Kunen Samapoupou, 65 tahun, mempunyai tato di tangan, kaki, punggung, dada, leher, hingga dagu. Bai Gebak menuturkan, ia mulai ditato ketika berusia 10 tahun. Ia ditato oleh seorang sipatiti (pembuat tato) di kampungnya. ”Saat itu masih banyak yang ditato, anak laki-laki dan perempuan, menandakan orang Mentawai. Sebab, dulu kalau sudah mulai besar tidak ditato rasanya seperti telanjang,” ujar Bai Gebak.
Adapun Aman Gebak mulai ditato saat remaja. Tatonya dilengkapi dengan tato pada bagian dada, yang menandakan seorang sikerei. Untuk pembuatan tato sebagai sikerei, ia memakai acara ritual dan memberikan imbalan yang cukup besar buat sipatiti, seperti ayam dan babi. Menurut Aman Gebak, tidak banyak perbedaan tato antara satu kampung dan kampung lain di Mentawai. ”Kadang kala perbedaan terjadi karena kreasi sipatiti atau keinginan yang ditato agar tampil sedikit beda,” ucapnya.
Aman Gebak Kunen Sabagalet di rumahnya di Desa Madobak, Siberut Selatan. -TEMPO/Febrianti
Namun, tutur Aman Gebak, tatonya saat itu dibuat dengan diam-diam karena sedang ada pelarangan oleh pemerintah terhadap kepercayaan Arat Sabulungan, agama tradisional orang Mentawai. Pemerintah melarang Arat Sabulungan dengan melibatkan polisi untuk menghentikan semua aktivitasnya. Di antara yang dihentikan adalah memanjangkan rambut bagi laki-laki, melakukan semua ritual yang melibatkan sikerei, meruncingkan gigi, dan menato tubuh.
Masih terekam dalam ingatan Aman Gebak ketika ia remaja dulu, pada 1960-1970-an, terjadi penghancuran terhadap benda-benda ritual Arat Sabulungan di Mentawai. Polisi melakukan razia keliling kampung. Setiap uma digeledah. Peralatan sikerei, seperti jejeneng (lonceng), kalung, tempat persembahan, rambut panjang, dan tengkorak hasil buruan, dibakar polisi. ”Dari jauh mereka sudah menembakkan pistolnya, duar-duar-duar, sehingga kami lari ke gunung dan bersembunyi selama seminggu di hutan,” ujar Aman Gebak. ”Peralatan sikerei yang sebagian bisa kami selamatkan dibawa ke hutan.”
Saat itu sikerei dan sipatiti banyak yang ditangkap. Mereka dibawa ke Muara Siberut dan dihukum kurungan tiga hari. ”Rambut panjangnya dipotong dan dihukum membersihkan jalan,” kata Aman Gebak mengenang.
Akibat pelarangan itu, Arat Sabulungan—yang menjadi jantung kebudayaan Mentawai—pun meredup. Di empat pulau besar di Kepulauan Mentawai yang dihuni (Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan), hanya di Pulau Siberut Arat Sabulungan masih tersisa. Di tiga pulau lain sudah lenyap. Arat Sabulungan bisa bertahan di sebagian Pulau Siberut, selain karena pusat kebudayaan Mentawai, lantaran pedalaman daerah itu secara topografi susah dijangkau.
BOLEH dibilang pelarangan Arat Sabulungan juga berpengaruh terhadap perkembangan tradisi tato di Mentawai. Sudah lama orang-orang Mentawai di Kepulauan Mentawai terkenal dengan tradisi tatonya. Dalam penelitiannya, Ady Rosa dari Universitas Negeri Padang menyebutkan seni tato mulai dikenal di Mentawai sejak orang Mentawai datang antara tahun 1500 dan 500 sebelum Masehi.
Dalam laporan hasil penelitiannya berjudul ”Fungsi dan Makna Tato Mentawai” (2000), Ady menyimpulkan ada tiga fungsi tato bagi orang Mentawai. Pertama, sebagai tanda kenal wilayah dan kesukuan, yang tergambar lewat tato utama. Ini semacam kartu tanda penduduk. Kedua, sebagai status sosial dan profesi. Motif yang digambarkan tato menjelaskan profesi si pemakai, misalnya sikerei (tabib dan dukun), pemburu binatang, atau orang awam. Ketiga, sebagai hiasan tubuh atau keindahan. Ini tergambar lewat mutu dan kekuatan ekspresi sipatiti melalui gambar-gambar yang indah.
Namun tato tradisional itu kini menuju kepunahan. Dari empat pulau besar yang dihuni di Mentawai, tradisi tato hanya ada di sebagian Pulau Siberut. Sedangkan di tiga pulau lain, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, tradisi merajah kulit ini sudah lama hilang. Di Desa Madobak sendiri, orang yang bertato memang masih cukup banyak, tapi mereka semua dari generasi yang sebaya dengan Aman Gebak. ”Setelah itu tidak ada yang ditato lagi karena anak-anak sekolah dilarang menggunakan tato oleh gurunya,” ucap Aman Gebak.
Aman Gebak dan istrinya serta sejumlah warga di Madobak yang sebaya dengannya adalah orang-orang terakhir yang memiliki tato tradisional. Selain di Madobak, di daerah pesisir Tiop, Siberut Selatan, masih bisa dijumpai orang tua yang bertato tradisional. Misalnya Rosana, perempuan berusia 70 tahun, yang memiliki tato yang sama dengan Bai Gebak Kunen di Madobak. Dia punya tato di dagu, tangan, dada, punggung, dan kaki.
Detail tato di tangan Bai Gebak Kunen. -TEMPO/Febrianti
Rosana mengatakan ia ditato saat masih muda oleh seorang sipatiti yang sekarang sudah meninggal. ”Saat dulu polisi datang, kami lari ke gunung, saya juga ikut lari. Mereka yang tertangkap disuruh membersihkan jalan, menebas pohon dan semak, agar polisi mudah masuk ke kampung kami, tapi itu tidak kami lakukan,” katanya. Setelah dirinya, tutur Rosana, anak-anak dan cucu--cucunya tidak ada lagi yang mau ditato.
Di Siberut Utara, yang tradisi budaya Mentawainya juga mulai pudar, masih bisa dijumpai orang-orang yang bertato. Salah satunya Taleku Sikaraja, 70 tahun, dari Sikabaluan. Kedua punggung tangannya bertato dengan motif tato Mentawai berwarna biru tua yang sudah memudar. Dia kini satu-satunya orang bertato terakhir di Sikabaluan. Taleku mulai ditato saat remaja. Selain mempunyai tato di tangan, ia memiliki tato di leher, paha, kaki, dan punggung. Di tangannya ada tato dengan tulisan ”Sikabaluan” dan di tangan kiri bertulisan ”Si Taleku Sikaraja”. ”Benseni Sikaraja yang menato saya, sekarang sudah meninggal. Dia sudah bisa membaca saat itu, jadi saya ditato dengan tulisan. Tapi, belum selesai dia menato, ada orang pemerintah datang dan melarang,” ucap Taleku, menceritakan kisah tatonya. Menurut dia, proses tatonya tidak diteruskan dan sejak itu tidak ada lagi orang yang ditato di Sikabaluan. ”Dulu tato adalah pakaian dan hiasan bagi orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan,” ujarnya. ”Tato membuat penampilan kami lebih indah.”
PADA 1980-an, perlawanan terhadap penghancuran budaya Mentawai mulai muncul dari masyarakat. Salah satu yang menentang keras adalah Aman Boroiogok, 60 tahun, sikerei asal Sakaliau, Siberut Selatan. Ia juga salah satu tokoh adat yang terkenal dari Siberut. Aman memperjuangkan agar budaya Mentawai tidak lagi dihancurkan di tanahnya sendiri.
Menurut Aman, ketika banyak turis datang ke pedalaman Siberut pada 1980-an, pelarangan ritual adat masih dilakukan oleh orang kecamatan. ”Sikerei dilarang, budaya dilarang. Kalau ada orang bertato ditangkap, tudukat (peralatan sikerei) dirampas. Kami mau tanya yang di pusat, mau apa sebenarnya,” kata Aman.
Ia bersama beberapa sikerei lain lalu dibawa seorang pemandu asal Bukittinggi bertemu dengan Gubernur Sumatera Barat. Aman sudah lupa tahunnya. Yang jelas saat itu ia berpakaian sikerei, mengenakan kabit (cawat) dan kalung manik, dengan tato di sekujur tubuh, serta berambut panjang yang diikat kain merah khas sikerei.
”Kami katakan ke Gubernur mengapa budaya kami dilarang, mereka tertawa dan mengatakan tidak pernah melarang budaya kami. Orang yang di sini (Siberut) saja yang melarang,” ujar Aman. Berdasarkan pengaduannya, akhirnya Gubernur mengeluarkan surat berisi tidak boleh lagi melarang adat Mentawai karena merupakan kepercayaan bagi mereka.
Aman Boroiogok di umanya di Muntei, Siberut Selatan. -TEMPO/Febrianti
Aman pulang ke Siberut dengan lega. Para kerabatnya di Sakaliau yang menyambut kedatangannya terheran-heran. ”Saat kami kembali ke Sakaliau, terkejut semua orang yang mengira kami sudah ditahan pemerintah,” katanya. Setelah itu, Aman menemui orang kecamatan. ”Kalian ini hanya ranting dari sebuah pohon. Sudah saya temui pangkal pohon yang besarnya di Padang dan mereka tidak melarang kami. Setelah itu, tidak ada lagi larangan,” ujar Aman.
Aman pun kemudian banyak mengisi kegiatan kebudayaan di Mentawai. Ia bersama sikerei lain juga pernah diundang ke Jakarta untuk menampilkan tarian Mentawai dalam sebuah acara. ”Tapi saat ini anak-anak tidak mau lagi menjadi sikerei, tidak mau ditato. Mereka bersekolah. Saya juga tidak bisa memaksa mereka menjadi sikerei karena syaratnya juga berat. Banyak pantangannya,” ucap Aman.
Pelarangan terhadap kepercayaan Arat Sabulungan mulai menurun sejak tumbangnya Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi di Indonesia, bahkan berakhir ketika Kepulauan Mentawai menjadi kabupaten sendiri pada 4 Oktober 1999. Seiring dengan makin banyaknya turis asing berkunjung ke pedalaman Siberut dan keunikan budaya Mentawai menjadi daya tarik bagi mereka, pelestarian kehidupan tradisional Mentawai pun mendapat tempat dalam program Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Dinas Pariwisata Mentawai juga setiap tahun mengadakan Festival Pesona Mentawai untuk mempromosikan budaya Mentawai, termasuk atraksi pembuatan tato Mentawai. Festival tahun ini diadakan di Muntei, Siberut Selatan, pada 1-4 November lalu. Sikerei dan orang-orang tua pemilik tato terakhir di Mentawai mendapat tempat untuk memamerkan tato Mentawai, pakaian abadi mereka yang indah.
FEBRIANTI (MENTAWAI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo