Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Penjahit Bom dari Bandung

Dua pelaku bom bunuh diri Kampung Melayu bekerja sebagai penjahit. Datang dari dua kota.

29 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM sebelum polisi mendatangi rumahnya, Yuniar Hidayat melihat fotofoto jasad dua pengebom di Kampung Melayu, Jakarta Timur, yang berseliweran di linimasa akun Instagram miliknya. Ia tak mengira salah satu foto pelaku bom bunuh diri itu adalah Ichwan Nurul Salam, kemenakannya.

Setelah polisi menyorongkan foto Ichwan, barulah Yuniar sadar bahwa jenazah itu adalah anak kakaknya, yang tinggal tak jauh dari rumahnya di Jalan Cibangkong, Batununggal, Bandung. Polisi mendatanginya pada Kamis pekan lalu, sehari setelah ledakan. "Belakangan saya zoom fotofoto di Instagram. Ternyata memang mirip dengan Ichwan," kata pria 40 tahun itu.

Dari istri Ichwan, Yuniar mendengar bahwa kemenakannya itu ada di rumah Cibangkong empat hari sebelum bom meledak. Kepada istrinya, Ichwan pamit hendak pergi ke Tasikmalaya untuk membantu sahabatnya yang membuka usaha konfeksi. "Enggak bawa apaapa. Sepeda motor juga enggak dibawa, padahal biasanya ke manamana bawa sepeda motor," kata Yuniar.

Sebelum berangkat ke Tasikmalaya, Ichwan sebenarnya sudah lama tak kelihatan tetangganya. Berharihari pria kelahiran Bandung, 29 Desember 1985, itu meringkuk di rumah karena terserang tifus. "Hari Jumat saya mau nengok, eh, kata istrinya sudah sembuh. Sabtu dia sudah pergi," ujar Yuniar.

Di Cibangkong, Ichwan tinggal di sebuah rumah kontrakan berukuran 3x7 meter bersama seorang istri dan dua anak mereka yang berumur 6 dan 3 tahun. Meski alamat rumah itu Jalan Cibangkong, "jalan" tersebut sebenarnya gang selebar 1,5 meter.

Rumah Ichwan ada di tengah gang. Sudah dua tahun keluarga itu menghuni rumah bercat merah muda tersebut. Sebelumnya, mereka tinggal di Tangerang.

Dari rumah di Cibangkong tersebut, pada Kamis pekan lalu polisi menyita sejumlah barang, di antaranya sangkur dan paspor. Dokumen untuk bepergian ke luar negeri itu dibuat di Bandung pada 22 Desember 2016 dan berlaku hingga 22 Desember 2021.

Di rumah itu pula seharihari Ichwan berdagang obatobatan herbal. Lain waktu, ia berjualan susu murni di kawasan Jalan Gatot Subroto, Bandung. Sebagai pedagang, Ichwan justru tidak supel. Ia jarang mengobrol dengan tetangga dan pembelinya. "Kalau ketemu, dia cuma senyum," kata Priatini, ketua rukun tetangga di permukiman itu.

Walau begitu, di mata Priatini, tak ada yang mencurigakan pada polah Ichwan. "Orangnya memang pendiam," katanya. Demikian juga istrinya. Suamiistri itu tidak berbaur dengan penduduk sekitar. Menurut sejumlah tetangganya, Ichwan sering meninggalkan anakistrinya ke luar kota.

Namun, menurut Yuniar, Ichwan menjadi tertutup sejak dua tahun lalu setelah bergabung dengan sebuah kelompok pengajian. Tapi Yuniar tak mengetahui tempat pengajian tersebut dan jemaatnya. "Kalau dia terbuka masalah agama, pasti keluarga mendebat. Mungkin dia takut, jadi tidak terbuka," katanya.

Kepribadian Ichwan yang sekarang itu, kata Yuniar, berbeda dengan saat ia remaja. "Dia dulu biasa saja seperti anakanak lainnya," kata Yuniar. Ichwan memang dikenal alim tapi tetap bergaul dengan temantemannya di sekolah. Ichwan menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah kejuruan di Bandung.

Pengebom yang lain, Ahmad Sukri, juga berasal dari kawasan Bandung Raya, tepatnya Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, sekitar 50 kilometer dari rumah Ichwan di Jalan Cibangkong. Tapi Sukri tak lagi tinggal di sana. Ketua rukun tetangga setempat, Zainal Mutaqien, mengatakan lima bulan lalu pria kelahiran Bandung, 10 November 1985, itu meminta surat pindah ke Garut.

Menurut ibu Sukri, Eti Nurhasanah, anaknya baru menetap tiga bulan di Garut. Seperti penuturannya kepada polisi, Eti mengatakan anaknya pindah ke Garut memboyong istri dan dua anaknya. "Ibunya terakhir bertemu pada April lalu," kata juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Barat, Komisaris Besar Yusri Yunus.

Sukri pindah ke Garut agar bisa dekat dengan adik perempuannya yang bekerja sebagai penjahit. Kepada ibunya, ia mengatakan ingin menekuni pekerjaan itu sebagai mata pencarian. Di Bandung ia memang bekerja sebagai penjahit di sebuah konfeksi.

Anton Septian, Iqbal Tawakal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus