Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pancasila, Hudaibiyah, dan Negara Syariah

29 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA yang berkukuh menghidupkan tujuh kata sila pertama Piagam Jakarta barangkali perlu menyimak kisah Nabi Muhammad SAW ketika menghapus tujuh kata dalam naskah Perjanjian Hudaibiyah. Mereka yang ngotot menerapkan Khilafah atau NKRI Bersyariah perlu belajar dari Shulh al-Hudaibiyah, khususnya sikap Nabi yang mau berkompromi dan tidak mutlak-mutlakan ketika berhadapan dengan kalangan nonmuslim.

Peristiwanya terjadi pada 623 Masehi, ketika sekitar 1.400 muslim berangkat ke Mekah untuk beribadah haji. Mengetahui rencana tersebut, orang-orang Quraisy menyiagakan pasukan untuk menghalangi muslim masuk Mekah. Tak ingin ada pertumpahan darah di Mekah, Nabi membuat kesepakatan damai dengan kaum Quraisy di Hudaibiyah, kota kecil dekat Mekah.

Seperti dituturkan dalam kitab Sahih Muslim anggitan Imam Muslim ibn Hajjaj, menjelang penandatanganan naskah perjanjian, muncul ketegangan antara kedua belah pihak. Pasalnya, Suhail bin Amr, wakil delegasi Quraisy, melontarkan protes keras atas redaksi pembuka draf perjanjian yang diusulkan Nabi. Suhail berkeberatan ketika Nabi mendikte ke sekretarisnya, Ali bin Abu Thalib, agar menulis bismillah al-Rahman al-Rahim. Kata Suhail, "Ar-Rahman? Kami tak mengenalnya. Tulis bismika Allahumma seperti lazimnya." Kaum muslim geram atas usul Suhail, tapi Nabi justru meluluskan permintaannya. Kata Nabi kepada Ali, "Tulis saja bismika Allahumma."

Nabi melanjutkan, "Tulis lagi, hadza ma qadla ‘alaihi Muhammad Rasulullah (Ini adalah apa yang ditetapkan Muhammad Rasulullah)." Suhail juga menampik rumusan itu dan berkata: "Andaikan kami mengakui Anda sebagai Rasulullah, tak akan kami menghalangimu pergi ke Ka’bah, dan tak akan kami memerangimu. Tulislah: Muhammad ibn Abd Allah." Lagi-lagi Nabi memerintahkan Ali menulis seperti usul Suhail dan menghapus kata Rasulullah. Ali yang marah dengan kelancangan Suhail menolak menghapus kata tersebut. Akhirnya Nabi menghapusnya dengan tangannya sendiri. Maka kesepakatan damai antara kedua belah pihak akhirnya tercapai.

Walhasil, Nabi mengambil keputusan menghapus tujuh kata dari draf awal perjanjian Hudaibiyah: Bi, Ism, Allah, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Rasul, dan Allah. Dan itu terjadi karena desakan kaum Quraisy. Nabi justru tak mengindahkan kekecewaan Para Sahabat terhadap isi perjanjian yang merugikan umat Islam itu. Misalnya, Para Sahabat kecewa karena gagal memasuki Mekah tahun itu, dan mesti menunggu tahun berikutnya. Ada juga klausul yang menyatakan, jika warga Mekah menyeberang ke Madinah tanpa seizin walinya, ia mesti dikembalikan ke Mekah, tapi tidak sebaliknya.

Yang menarik, Rasul tak bersikap mutlak-mutlakan dengan memaksakan agar kenyataan sosial politik yang dihadapinya harus seluruhnya seturut dengan kehendaknya. Buktinya, beliau mentoleransi kaum kafir yang tak mempercayai kenabiannya dan mau bekerja sama dengan mereka. Nabi berkompromi dengan pihak nonmuslim demi mencapai kemaslahatan yang lebih besar, yakni perdamaian.

Pelajaran lain yang bisa kita petik dari kisah di atas, Nabi ternyata lebih mengedepankan substansi ketimbang simbol formal, lebih memprioritaskan isi ketimbang kulit. Nabi mengikuti tuntutan Suhail agar tujuh kata yang bermuatan akidah Islam itu dihapus dari naskah perjanjian. Ini mengindikasikan tak selamanya simbol formal Islam harus dipaksakan penerapannya bila ternyata esensinya justru terabaikan. Terlalu berkutat pada bentuk luar Islam ketimbang nilai-nilai ajarannya justru bisa mengarah pada apa yang pernah diperingatkan Nabi: "Akan tiba suatu zaman dalam sejarah umatku, di mana Islam ada, tapi sekadar tinggal namanya. Dan Al-Quran ada, tapi hanya tinggal tulisannya."

Apa yang dilakukan Nabi dalam Perjanjian Hudaibiyah mirip dengan yang terjadi pada perumusan Pancasila. Seperti tercatat dalam sejarah, ketika Pancasila hendak ditetapkan sebagai dasar negara, sebagian masyarakat dari Indonesia Timur meminta tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dihapus dan diganti dengan "Yang Maha Esa". Setelah dilakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh Islam sepuh seperti K.H. Hasyim Asy’ari, akhirnya pencoretan tujuh kata itu pun disetujui.

Bagi sebagian kalangan Islam, penghapusan tujuh kata dari sila pertama Pancasila tersebut adalah sebuah kesalahan sejarah yang harus diluruskan. Caranya dengan mengembalikan spirit Piagam Jakarta melalui penerapan syariah. Inilah yang mendasari gerakan NKRI Bersyariah yang dipelopori Front Pembela Islam. Dengan mengibarkan panji "NKRI Bersyariah", FPI selintas tampak mengakui keabsahan NKRI, berbeda dengan HTI, yang memvonis NKRI sebagai thaghut dan kafir. Namun pengakuan tersebut hanyalah pintu masuk bagi FPI cs untuk mengegolkan agenda penerapan syariah sebagai hukum nasional.

Dengan demikian, perbedaan antara FPI dan HTI sejatinya hanya pada level taktik/metode. Tujuan mereka sebenarnya sama, yakni penegakan Negara Syariah, entah dengan nama Khilafah (yang melampaui sekat-sekat nation-state), atau negara dalam kerangka nation-state. NKRI Bersyariah bertolak dari asumsi bahwa NKRI yang berasas Pancasila niscaya tak sejalan, kalau bukan bertentangan, dengan syariah, dan karena itu perlu di-syariah-kan.

Postulat semacam ini gagal menangkap hakikat NKRI. Republik kita lahir sebagai hasil kesepakatan para pendirinya yang sadar betul akan watak Indonesia yang majemuk secara agama, etnis, dan sosial budaya. Pancasila dipilih sebagai dasar negara karena dengan cara itulah kebhinnekaan terjaga. Ikatan politik yang mendasarinya bukanlah sentimen primordial, melainkan kesatuan sebagai bangsa.

Para tokoh Islam yang ikut dalam kesepakatan tersebut setuju pada Negara Pancasila ketimbang mendesakkan berlakunya Piagam Jakarta. Dengan keputusan itu, mereka selintas tampak tidak menerapkan syariah dalam bernegara. Padahal sejatinya mereka menerapkan syariah secara lebih substantif, yakni merealisasikan kemaslahatan bersama yang merupakan tujuan syariah. Tuntutan menegakkan negara Islam atau khilafah dalam konteks Indonesia yang majemuk akan berujung pada perpecahan bangsa dan sektarianisme politik yang justru bertentangan dengan prinsip maslahat.

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah telah menegaskan bahwa Negara Pancasila untuk konteks Indonesia sesuai dengan prinsip syariah. Dalam Sidang Tanwir 2012, Muhammadiyah menegaskan bahwa Negara Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (Darul ‘Ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (Darus Syahadah), dan negara yang aman dan damai (Darus Salam). NU juga mengambil sikap secara tegas menerima Negara Pancasila dan menolak khilafah. Munas Alim Ulama NU pada 2014 menyimpulkan bahwa Islam tidak mewajibkan bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi umatnya. Mereka diberi kewenangan merancang sistem pemerintahan sendiri sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, bentuk negara yang sesuai dengan syariah di mata NU adalah Negara Pancasila.

Sebagaimana Nabi dalam perjanjian Hudaibiyah yang setuju menghapus formalitas sebutan "Rasulullah", para tokoh muslim yang menyepakati Pancasila juga tidak mau terjebak dalam simbol dan label Islam dan lebih berkomitmen pada substansinya. Bagi mereka, memperjuangkan nilai-nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah negeri yang majemuk seperti Indonesia jauh lebih penting daripada memperjuangkan bentuk formalnya, seperti NKRI bersyariah atau Khilafah.

Jika Pancasila dianggap syar’i, apa masalahnya dengan NKRI Bersyariah atau Khilafah? Perlu diingat, mereka yang tergabung dalam HTI adalah warga Negara RI. Setiap warga negara harus memiliki kesetiaan terhadap konstitusi, sebagai konsekuensi dari perjanjian sosial dan politik seluruh warga negara. Dalam pandangan Islam, menaati kesepakatan wajib sifatnya. Ketaatan terhadap konstitusi dengan demikian hukumnya wajib secara syar’i, karena itu sama artinya dengan memenuhi kesepakatan.

Ini berarti kalangan muslim Indonesia yang mengkampanyekan khilafah atau NKRI Bersyariah sejatinya telah melakukan pengingkaran sepihak terhadap kesepakatan bersama, sesuatu yang justru melanggar ajaran syariah. Jika mereka konsisten dengan syariah, hanya ada dua opsi yang tersedia: menjadi warga negara yang mematuhi NKRI sebagai Negara Kesepakatan, atau tetap memperjuangkan khilafah tapi dengan syarat melepaskan kewarganegaraan mereka. Mengkampanyekan khilafah sambil tetap mempertahankan kewarganegaraan RI sejatinya merupakan pelanggaran terhadap ajaran syariah yang mewajibkan muslim mematuhi kesepakatan.

Becermin pada Perjanjian Hudaibiyah, kita bisa mengatakan bahwa penerimaan para tokoh Islam terhadap Pancasila justru meneladani sikap Nabi yang mau berkompromi dengan nonmuslim dan mengedepankan esensi ke-Islam-an ketimbang simbol dan fomalitasnya demi mencapai tujuan yang lebih besar, yakni lestarinya NKRI dalam kemajemukan. Dengan kata lain, meski tanpa embel-embel label "Syariah" dan "Islam", NKRI tak perlu di-syariah-kan karena sudah syar’i, selain sudah sesuai dengan apa yang diteladankan Nabi dalam Perjanjian Hudaibiyah. l

Akhmad Sahal
Kandidat PhD University of Pennsylvania dan pengurus cabang istimewa NU Amerika Serikat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus