Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merdeka Barat dan Pasal Kudeta itu

Militer berkeras menetapkan "pasal kudeta" pada Rancangan Undang-Undang TNI. Departemen Pertahanan beda sikap dengan Markas Besar di Cilangkap.

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari di kantor Departemen Pertahanan, di kawasan Monas, Jakarta, akhir Desember tahun lalu. Sejumlah perwira TNI berkumpul bersama beberapa pengamat politik. Di sana ada pakar politik Kusnanto Anggoro dan Rizal Sukma—keduanya dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS)—Ikrar Nusa Bhakti (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), pakar pertahanan Riefki Muna, dan beberapa pengamat lain.

Sejatinya, ini rapat yang serius. Mereka membahas draf Rancangan Undang-Undang TNI—peraturan yang disiapkan untuk menata peran tentara Indonesia. Riefki, dengan tutur kata yang teratur, menjelaskan perlunya militer mereformasi diri. Intinya: hanya dengan tunduk pada kekuasaan sipil, mereka bisa berperan maksimal di republik ini. Riefki sedang menggugat upaya TNI mengegolkan sebuah pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang mengizinkan pimpinan tentara menjalankan operasi militer tanpa izin presiden.

Belum lagi Riefki selesai bicara, seorang perwira militer menyergah. "Sudah, jangan berdebat kusir," katanya. Suasana mendadak tegang. Pria muda yang kini menimba ilmu di Inggris itu berusaha membantah. "Bukankah undang-undang lebih baik jika diperdebatkan?" katanya. Tapi suasana kadung tegang. Rapat selanjutnya dilanjutkan dengan suasana tak enak.

Pertemuan hari itu menggambarkan betapa tak serasinya hubungan "sipil-militer" dalam penyusunan RUU TNI. Unsur sipil dalam Kelompok Kerja Penyusunan Undang-Undang itu menghendaki TNI tak memiliki wewenang politik apa pun. Tapi tentara menghendaki sebaliknya. Satu yang terpenting adalah dalam Pasal 19—pasal yang kemudian menjadi sumber polemik panjang mulai dua pekan lalu.

Dalam pasal itu, Panglima TNI diberi wewenang hebat. Ia boleh mengambil tindakan militeristik terhadap kegiatan yang dianggap mengancam kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, tanpa persetujuan presiden. Pengerahan kekuatan itu baru wajib dilaporkan kepada presiden 24 jam kemudian. Markas Besar di Cilangkap berargumen, pasal ini diperlukan untuk mengantisipasi keadaan darurat ketika presiden tak bisa dihubungi. "Misalnya ada kerusuhan massal, lalu presiden diculik. Masa, dalam keadaan genting, kita harus menunggu pelantikan presiden baru," kata Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.

Kalangan sipil berteriak. Dengan tafsir yang longgar tentang makna "keadaan darurat" ini, TNI bisa mengambil alih kekuasaan secara legal. "Ini bukti bahwa TNI tidak percaya pada pemerintah sipil," kata Kusnanto Anggoro. Apalagi Pasal 19 itu dianggap bertentangan dengan Pasal 14 Undang-Undang Pertahanan Negara Tahun 2002. Di sana disebutkan: kewenangan pengerahan kekuatan TNI ada pada presiden. Bahkan dalam waktu 2 x 24 jam presiden harus meminta persetujuan kepada DPR. Pasal kudeta juga bertentangan dengan Tap MPR No. 6 dan No. 7 Tahun 2001 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Tapi, mengapa TNI begitu ngotot mengegolkan pasal rawan ini? Ceritanya bisa dirunut dari awal tahun lalu. Saat itu Departemen Pertahanan, yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat, membentuk Kelompok Kerja untuk menggodok draf Undang-Undang TNI. Undang-undang ini sejatinya dibutuhkan untuk memastikan tugas dan tanggung jawab tentara. Selain itu, peraturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Pertahanan Negara yang sebelumnya sudah disetujui parlemen.

Kelompok Kerja itu beranggotakan 48 orang. Mereka terdiri dari unsur TNI (Angkatan Darat, Laut, dan Udara) dan Departemen Pertahanan. Dari Angkatan Darat terlibat di antaranya Brigadir Jenderal Arif Budi Sampurno, Wakil Komandan Pusat Persenjataan Infanteri. "Kelompok Kerja itu diketuai oleh seorang perwira dari bagian perencanaan umum Mabes TNI," kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Ratyono. Belakangan disertakan pula elemen rakyat sipil yang diwakili oleh Riefki dan kawan-kawan tersebut.

Mereka dikontrak dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Kusnanto, misalnya, diminta bekerja selama tiga bulan, sementara Riefki mengaku dilibatkan selama sebulan. Sebelumnya para pengamat ini, melalui Global for Facilitation Network for Security Sector Reform—sebuah lembaga yang memperjuangkan reformasi sektor keamanan—pernah pula menggagas Undang-Undang Pertahanan Negara.

Semula, bekas Ketua Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir, sempat dicalonkan. Tapi namanya batal masuk tanpa alasan jelas. "Akhirnya saya cuma mem-back-up teman-teman saja," kata Munir.

Dari awal, para pengamat sudah disodori menu khusus: draf RUU versi TNI. Jika disimak isinya, Cilangkap tampaknya ingin agar ruang politik mereka meluas. Tapi para pengamat justru bersikap sebaliknya. Mabes TNI juga tegas menolak memasukkan pasal pengawasan terhadap TNI melalui DPR dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). "Mereka beralasan pengawasan internal sudah dilakukan, jadi kenapa harus melalui undang-undang," kata Riefki Muna.

Waktu bergulir. Ketika bom meledak di Bali 12 Oktober tahun lalu, TNI merasa mendapat pembenaran. Ketika itulah tentara dengan gempita mulai menyodorkan Pasal 19 yang kontroversial itu. Munir curiga, pasal itu dititipkan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu. Apalagi, kata Kusnanto, pasal itu muncul dalam draf bulan Oktober 2002, bukan sebelumnya. "Saya kira Ryamizard adalah orang pertama yang mengatakan bahwa bom Bali adalah salah satu konsekuensi lemahnya sel-sel teritorial TNI," kata Kusnanto.

Selanjutnya adalah politik tongkat komando ala tentara. Rapat-rapat kelompok kerja diisi pemaparan sepihak. Untuk mengurangi debat, Mabes TNI beberapa kali mengganti dan memotong jumlah anggota kelompok. Dari semula 48 orang menjadi tinggal separuh, lalu kemudian hanya lima orang.

Sampailah waktu ketuk palu. Pada awal Februari lalu, wakil TNI tegas mengatakan: Pasal 19 tak bisa diubah lagi karena sudah disetujui oleh Panglima TNI. Seorang wakil pengamat meradang. "Jika demikian, nasib undang-undang ini akan sama dengan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya. Saya sendiri akan berdemo jika pasal itu dipaksakan," ujarnya. Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya adalah peraturan yang membenarkan tindakan keras aparat terhadap aksi-aksi massa. Peraturan ini ditentang dengan demo hebat pada 2000 lalu.

Kelompok Kerja akhirnya berhenti bekerja. RUU versi tentara ini dianggap final oleh korps baju hijau. Departemen Pertahanan bingung. Sejak awal, mereka menginginkan agar rancangan ini menegaskan posisi tentara yang berada di bawah kekuasaan sipil. "Saya kira pasal itu bisa mengundang perdebatan keras," kata Direktur Jenderal Strategi Pertahanan, Mayor Jenderal Sudradjat, kepada Koran Tempo. Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil, yang dilapori kenyataan tersebut, tak bisa berbuat banyak. Ia cuma bilang akan dicek apakah bertentangan dengan Undang-Undang Pertahanan Negara.

Mengerasnya sikap militer agaknya punya dasar. Menurut sumber TEMPO di Departemen Pertahanan, TNI berkeras dengan Pasal 19 karena kecewa terhadap pemerintahan sipil pascareformasi. Lepasnya Timor Timur, pemberontakan di Irian dan Aceh dianggap terjadi karena posisi tentara yang lemah. "Dalam perspektif TNI, solusi yang ditempuh pemerintah selama ini tidak cukup dan terlalu lamban," kata Kusnanto. Boleh saja dalam rapat pimpinan TNI, 20 April 2000, mereka menyatakan mendukung supremasi sipil. "Tapi sebenarnya mereka ragu apakah posisi itu sudah pas," tutur Kusnanto lagi.

Apalagi peran politik tentara belakangan kian pudar. Kursi mereka di parlemen sempat dikurangi. Polisi—sebagai penjaga keamanan internal negara—dilepas dan dimandirikan dari ketiak mereka. Tentara, juga polisi, tak lagi bisa duduk di kursi MPR sejak 2004 kelak. Dan akhirnya, empat tahun berikutnya, mereka tak punya lagi jatah di parlemen. Sejumlah purnawirawan jenderal menuding: amendemen konstitusi yang diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR tahun silam sudah kebablasan.

Di tengah kegalauan itulah sekitar 250 purnawirawan berkumpul di Markas Angkatan Darat akhir Februari lalu. Di sana, sebagai tuan rumah, Ryamizard mengulangi lagi visi TNI sebagai organ penjaga keutuhan negara. Para purnawirawan setuju. Hadir di sana antara lain bekas wakil presiden sekaligus mertua Ryamizard, Try Sutrisno, dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pertemuan itu, para purnawirawan sempat mengajukan pertanyaan tajam kepada Yudhoyono. Menteri Yudhoyono dipersalahkan karena ikut memfasilitasi perundingan pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Di tengah kisruh tersebut, di mana posisi Panglima TNI Endriartono Sutarto? Menurut seorang sumber, Panglima TNI sebenarnya tak sreg benar dengan formulasi Pasal 19. Dalam banyak kesempatan, termasuk beberapa kali di DPR, Jenderal Endriartono menegaskan posisinya yang menghargai dominasi sipil.

Orang dekat Endriartono bercerita. Pernah suatu ketika, dalam sebuah rapat internal, seorang jenderal Angkatan Darat menyatakan akan menyikat GAM ketika eskalasi kekerasan sedang memuncak di Aceh. Panglima TNI, yang tahu bahwa pemerintah sedang bernegosiasi politik dengan GAM, berujar dengan nada marah. "Kalau itu disampaikan oleh sersan, saya masih bisa terima, karena tugasnya memang berperang. Tapi kalau itu diucapkan oleh jenderal, saya tak habis pikir," katanya. Sang perwira lalu terdiam.

Ada yang menduga bahwa Endriartono tak sepenuhnya tahu proses penyusunan RUU itu. "Beliau mungkin menerima laporan sepotong saja," kata Riefki. Apalagi kabarnya belakangan hubungan Merdeka Barat (Markas Departemen Pertahanan) dan Mabes TNI Cilangkap tak serasi. Tapi cerita ini dibantah militer. "Tidak benar itu. Saya kira itu upaya adu domba saja," kata Kepala Dinas Penerangan Umum Mabes TNI, Kolonel D.J. Nachrowi.

Salah satu hal yang mengganjal keduanya, ya, soal persepsi tentang peran politik tentara tersebut. Tapi, karena yang muncul ke publik adalah nama institusi TNI, Jenderal Sutarto lalu memilih pasang badan. "Pasal 19 sudah final," katanya, tak lama setelah kasus ini diramaikan media massa. Menurut Mayjen Sudradjat, kini departemennya tengah menyiapkan formula baru yang diharapkan bisa menjembatani kepentingan yang ada (lihat, Pasal 19 Itu Memang Rawan).

Setelah kasus ini ramai dipolemikkan, baik Endriartono maupun Ryamizard tampaknya memilih mengendurkan ketegangan. Panglima TNI mengatakan tak berkeberatan jika redaksi Pasal 19 diganti, asalkan spiritnya tak berubah. Sedangkan Jenderal Ryamizard menyangkal dirinya dan TNI-AD menjadi tokoh di balik mengerasnya sikap tentara ini. "Yang saya pikirkan sekarang hanya bangsa ini. Yang lainnya saya enggak ngerti. Saya enggak tahu," katanya.

Semua perdebatan itu akhirnya terpulang pada tentara: apakah mereka sungguh-sungguh mau mengoreksi diri?

Arif Zulkifli, Wenseslaus Manggut, Adi Prasetya, D.A. Candraningrum, Suseno (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus