SEORANG kawan menceritakan sebuah film karya sutradara wanita
Italia tenar, Lina Wertmuller. Judulnya Pasqualino
Settebellezze.
Inilah kisah seorang yang bernama Pasqualino dari Napoli.
Waktunya: menjelang dan sesudah Perang Dunia ke-II. Pasqualino
dikenal sebagai "Monster dari Napoli". Ia membunuh seorang
germo, mencincang tubuh mayat itu dan kemudian mengirimkan
potongan-potongan badan itu ke tiga setasiun kereta api yang
berlainan.
Ia dimasukkan ke rumah sakit, dengan dugaan sakit jiwa. Di sana
ia melakukan sesuatu yang lain: ia memperkosa seorang pasien
wanita yang ia ikat ke ranjang. Ia bisa keluar dari rumah sakit
itu dengan menyatakan sukarela masuk ke tentara Italia. Di
Jerman, ia melarikan diri dari pasukan. Karena tindakan
desersinya ini, ia dilemparkan ke dalam sebuah kamp konsentrasi.
Dalam kamp yang mengerikan ini ia toh berhasil selamat terus. Ia
berhasil memikat hati komandan kamp itu - seorang wanita
gembrot yang butuh lelaki. Hasilnya adalah adegan-adegan yang
lucu dan sekaligus menjijikkan penonton -- dan melalui itu
Pasqualino naik pangkat. Ia menjadi capo dan mengalgojoi
teman-temannya satu tahanan.
Ketika di tahanan pula ia mendapat "pengetahuan" baru dari
seorang tahanan anarkis, yang dimainkan oleh Fernando Rey.
Yakni: tentang bahaya kelebihan penduduk di masa depan.
Pasqualino diam-diam memasukkan petuah itu ke lubuk hatinya.
Dalam adegan terakhir, ia mencoba mengatasi bahaya ledakan
penduduk itu dengan satu cara yang khas baginya: ia menyatakan
kepada calon isterinya agar mereka secepat-cepatnya punya
keturunan, untuk memungkinkan mereka berdua bertahan dari
orang-orang lain di masa depan.
Pasqualino Settebellezze kata teman tadi, mungkin satu kisah
manusia dalam dasarnya yang terburuk. Seorang yang menuruti
suatu ethic of survival dengan segala cara.
Film itu bercerita tentang hal yang begitu gila dan karenanya
kadang-kadang lucu, kata teman itu pula.
Lucu? Ya, lucu, jawab si teman. Karena pada dasarnya tak ada
masyarakat manusia di mana pun juga yang bisa hidup dengan azas
survival of the fittest, bahwa yang paling kuat saja yang akan
hidup terus dan lainnya mati.
Bagaimana dengan liberalisme? Oh, itu, jawab teman itu lagi
(yang kini manggut-manggut mirip orang bijaksana dari Tiongkok).
Jika liberarisme menjurus ke arah kemenangan mutlak dari yang
paling kuat, maka liberalisme sendiri itu akan mati. Itulah
sebabnya masyarakat liberaligtis justru mengekang terjadinya
monopoli, misalnya. Tapi saya bukannya mempropagandakan
liberalisme, kata teman tadi cepat-cepat. Saya Pancasila,
katanya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini