Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasqualino settebellezze

Pasqualina settebellezze, sebuah film karya sutradara wanita italia, line wertmuller. kisah seorang bernama pasqualino, dikenal sebagai monster dari napoli. kisah manusia dalam dasarnya yang terburuk.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG kawan menceritakan sebuah film karya sutradara wanita Italia tenar, Lina Wertmuller. Judulnya Pasqualino Settebellezze. Inilah kisah seorang yang bernama Pasqualino dari Napoli. Waktunya: menjelang dan sesudah Perang Dunia ke-II. Pasqualino dikenal sebagai "Monster dari Napoli". Ia membunuh seorang germo, mencincang tubuh mayat itu dan kemudian mengirimkan potongan-potongan badan itu ke tiga setasiun kereta api yang berlainan. Ia dimasukkan ke rumah sakit, dengan dugaan sakit jiwa. Di sana ia melakukan sesuatu yang lain: ia memperkosa seorang pasien wanita yang ia ikat ke ranjang. Ia bisa keluar dari rumah sakit itu dengan menyatakan sukarela masuk ke tentara Italia. Di Jerman, ia melarikan diri dari pasukan. Karena tindakan desersinya ini, ia dilemparkan ke dalam sebuah kamp konsentrasi. Dalam kamp yang mengerikan ini ia toh berhasil selamat terus. Ia berhasil memikat hati komandan kamp itu - seorang wanita gembrot yang butuh lelaki. Hasilnya adalah adegan-adegan yang lucu dan sekaligus menjijikkan penonton -- dan melalui itu Pasqualino naik pangkat. Ia menjadi capo dan mengalgojoi teman-temannya satu tahanan. Ketika di tahanan pula ia mendapat "pengetahuan" baru dari seorang tahanan anarkis, yang dimainkan oleh Fernando Rey. Yakni: tentang bahaya kelebihan penduduk di masa depan. Pasqualino diam-diam memasukkan petuah itu ke lubuk hatinya. Dalam adegan terakhir, ia mencoba mengatasi bahaya ledakan penduduk itu dengan satu cara yang khas baginya: ia menyatakan kepada calon isterinya agar mereka secepat-cepatnya punya keturunan, untuk memungkinkan mereka berdua bertahan dari orang-orang lain di masa depan. Pasqualino Settebellezze kata teman tadi, mungkin satu kisah manusia dalam dasarnya yang terburuk. Seorang yang menuruti suatu ethic of survival dengan segala cara. Film itu bercerita tentang hal yang begitu gila dan karenanya kadang-kadang lucu, kata teman itu pula. Lucu? Ya, lucu, jawab si teman. Karena pada dasarnya tak ada masyarakat manusia di mana pun juga yang bisa hidup dengan azas survival of the fittest, bahwa yang paling kuat saja yang akan hidup terus dan lainnya mati. Bagaimana dengan liberalisme? Oh, itu, jawab teman itu lagi (yang kini manggut-manggut mirip orang bijaksana dari Tiongkok). Jika liberarisme menjurus ke arah kemenangan mutlak dari yang paling kuat, maka liberalisme sendiri itu akan mati. Itulah sebabnya masyarakat liberaligtis justru mengekang terjadinya monopoli, misalnya. Tapi saya bukannya mempropagandakan liberalisme, kata teman tadi cepat-cepat. Saya Pancasila, katanya lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus