Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Silakan Kampanye, Jangan Keras-Keras

Pada pemilu 1977 hanya ada 3 kontestan PPP, Golkar & PDI. "tindakan penekanan" banyak terjadi di daerah. dm IPB berdialog dengan DPR tentang pelaksanaan pemilu. Kritik terhadap dpr yang kurang berfungsi.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Marilah kita jadikan pemilihan umum yang lima tahun sekali itu, yang berjalan tertib dan jujur, yang bebas dan rahasia, tanpa tekanan lahir dan batin, menjadi kebudayaan baru dalam kehidupan plitik kita" Presiden Soeharto, 16 Agustus 1976 di depan DPR. MUDAH-MUDAHAN inilah hari-hari yang tanpa tekanan batin. Mulai Kamis pekan ini hingga 24 April mendatang, cuaca politik negeri ini akan ditandai dengan kegiatan kampanye pemilihan umum. Sebanyak 1.630 calon DPR (terdiri 590 dari Partai Persatuan Pembangunan, 580 dari Golongan Karya dan 460 dari Partai Demokrasi Indonesia) telah dinyatakan "lolos" dari saringan. Mereka disahkan dalam satu upacara singkat di aula Departemen Dalam Negeri pekan lalu. Para calon tersebut akan memperebutkan sejumlah 70,6 juta pemilih yang tersebar di 26 propinsi. Dalam beberapa hal, pemilu 1977 ini tak berbeda dengan pemilu pertama dijaman Orde Baru tahun 1971. Tapi tidak seluruhnya sama. Pihak Colkar misalnya, kini dihadapkan pada tanda-tanya adakah ia mampu kembali tampil sebagai pemenang besar dan meraih paling sedikit 236 kursi seperti di tahun 1971. Soalnya kini Golkar berada dalam posisi untuk mempertanggungjawabkan apa saja yang telah dan tidak dilakukannya setelah jadi pemenang pemilu 1971. Dulu dia bisa tampil sebagai alternatif yang segar. Kini, lima tahun kemudian, yang dulu segar mungkin sudah jadi yang "itu-itu juga". Kini, partai politik sudah dikumpulkan jadi Partai Persatuan Pembangunan didirikan 5 Januari 1973 sebagai hasil fusi partai-partai NU, Parmusi, PSSI dan Perti. Lima hari kemudian partai-partai PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan Murba juga berfusi dan wadah baru itu bernama Partai Demokrasi Indonesia. Sebagai hasil "fusi" yang prosesnya agak dipaksakan, partai dalam keadaan kedodoran. Tapi mereka tak sepenuhnya tidak menarik. Kini partai politik bukan pihak yang disoroti prestasinya, atau yang bisa disalahkan jika ada ketidakberesan pemerintahan. Sebab mereka tidak ikut serta "diatas". Mereka"di bawah". Dan sebagai umumnya pihak yang dalam posisi demikian, mereka jadi penyorot. Dan tak jarang mereka nampak sebagai pihak yang perlu dibelas-kasihani. Menjelang pemilu 1977 ini, mereka malah seperti ingin selalu berteriak minta tolong - dan mohon keadilan. Lihatlah situasi sebelum kampanye dimulai. Laporan ke alamat pimpinan pusat partai boleh dibilang tiap hari berdatangan dari daerah. H.M. Anwar Nurris hari Kamis pekan lalu - bertepatan dengan upacara penanda-tanganan calon tetap partai dan Golkar --mengeluarkan pernyataan pers tentang serentetan "tindakan penekanan". Ia baru mengunjungi beberapa daerah di Jawa Timur baru-baru ini. Anggota DPR dan calon PPP untuk daerah pemilihan Jawa Timur itu menyatakan lebih lanjut bahwa di Situbondo dua anggota PPP terpaksa harus dirawat di rumah sakit akibat pukulan oleh pamong desa. Masih dalam daerah Situbondo, tiga orang warga NU (PPP) -- Mauddin, P. Wini dan P. Ra'is -- mengalami pemukulan 5 Pebruari lalu oleh seorang petugas yang bernama Jamal. Pengakuan itu dibuat sendiri oleh ketiga orang tersebut dalam bentuk tertulis, dilengkapi foto masing-masing. Selain yang keras-keras begitu, ada pula yang lebih "enak". Pembantu TEMPO di Yogyakarta melaporkan keadaan desa Patuk di kawasan Kabupaten Gunung Kidul. Bulan Januari kemarin di sana diadakan semacam pemilihan umum pendahuluan. Patuk berpenduduk 1.982 jiwa. Di situ disiapkan empat Tempat Pemungutan Suara (TPS) buat 968 orang yang berhak memilih. Januari yang lalu itu rumah-rumah penduduk didatangi oleh petugas yang membawa serta sebuah kertas formulir angket. Rakyat diminta memilih golongan yang tertera dalam kertas angket yang urutannya adalah Golkar, PPP, dan PDI. Pilihan harus disertai tanda-tangan yang bersangkutan. Atau kalau tidak bisa dengan cap jempol pun jadilah. Hasilnya: dari 120 orang yang ditanya, 102 memilih Golkar, 5 memilih PPP dan 13 lainnya tidak memberi pilihan. Kepada TEMPO lurah Patuk Harjodiguno menyatakan, bahwa "angket itu dilakukan karena "ada perintah, ditujukan kepada komisaris Golkar". Lurah itu menambahkan bahwa kegiatan ini "hanya untuk pengecekan saja, karena untuk kampanye kita belum berani". Bagi pimpinan PPP Gunung Kidul, kegiatan itu jelas "menyalahi aturan". "Kalau tidak diselesaikan di kabupaten, kami akan terus menemui Presiden partai di Jakarta", kata salah seorang pimpinan PPP. Apa kata yang lain? "Kami tidak akan menuntut, hanya menyerahkan kepada Tuhan untuk mengadilinya", kesah orang PDI. "Saya tahu ada edaran itu tapi saya tidak berhak pegang daftarnya", jawab Danu Atmosugino, wakil kepala Dinas Kehewanan Kabupaten Gunung Kidul merangkap komisaris Golkar setempat. Pengadilan atau Tuhan yang akan menangani kasus desa Patuk ini, yang pasti masalah seperti itu bukan prioritas utama. Menurut pengakuan PPP maupun PDI, hal-hal seperti ini hampir merata di seluruh Indonesia. Namun menarik juga untuk diketahui pengalaman mahasiswa Institut Pertanian Bogor sebagai pihak yang setidak-tidaknya dinilai bersikap "tidak memihak" -- kepada salah satu peserta pemilu. Dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) bulan Desember yang lalu di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat, para mahasiswa itu melihat apa yang mereka sebut "keganjilan" dalam tingkah laku pejabat pemerintah di desa. Para pejabat ini dinilai terlalu memihak satu golongan peserta pemilu. Menghadapi kenyataan serupa itu, akhirnya sebuah delegasi dipimpin ketua Dewan Mahasiswa IPB sendiri, Farid Rasjid, menemui pimpinan DPR menyampaikan sebuah pernyataan dialog. "Hendaknya pemerintah dapat menjamin bahwa azas pemilu yang umum, langsung, bebas dan rahasia dilaksanakan secara mutlak oleh para peserta pemilu", demikian antara lain isi pernyataan itu yang juga memuat soal-soal penghijauan nasional dan kesejahteraan rakyat. Wakil Ketua DPR Sumiskum dari Fraksi Karya yang menerima delegasi kabarnya meminta fakta-fakta apa yang dialami para mahasiswa peserta KKN tersebut. Farid Rasjid yang ditemui TEMPO di ruang DMIPB mengemukakan pengalamannya sebagai berikut:  Di Cirebon, diadakan penempelan tanda gambar di rumah-rumah penduduk oleh pejabat Tripida (Tri pimpinan daerah) setempat. Gambar yang ditempel itu menyalahi ketentuan yang ada, yakni "harus hitam putih dan ukurannya tidak boleh lebih dari 10 x 10 senti". Gambar yang ditempel (no.2) justru dalam ukuran besar dan berwarna. Di daerah ini juga dibagikan kartu anggota sementara berwarna kuning disertai formulir kesediaan menjadi anggota salah satu golongan.  Di Banjarnegara, oleh pejabat Tripida juga, dibagikan semacam kartu suara. Dari tiga kotak yang harusnya terisi tanda-gambar masing-masing peserta, hanya yang tengah saja yang terisi. Memang dalam pemilu 1971, golongan nomor dua tidak berhasil di daerah ini. Sekarang semua daya dan dana dikerahkan. Sehingga pembagian bantuan desa dari pemerintah, pembentukan pos obat, atau rehabilitasi sekolah dasar, selalu dikaitkan bahwa itu datangnya dari satu golongan. Kampanye terbuka secara terang-terangan dilakukan di depan umum yang pada pokoknya menjagoi golongan nomor dua.  Di Kecamatan Karang Kobar. Daerah ini dulunya basis PNI. Melihat pejabat pemerintah setempat membagikan tanda ambar salah satu golongan, seorang anggota partai berniat pula melakukannya. Sekalipun sudah dilaksanakan dengan cara sembunyi-sembunyi, akhirnya diambil kembali oleh petugas Tripida. Cerita Farid dan teman-temannya itu masih panjang kalau dibeberkan semua. Tapi dia pun mengakui bahwa ada sementara pamong desa yang sebenarnya tidak tega berbuat begitu. Bahkan ada yang terang mengaku, mereka berbuat demikian karena kedudukannya dan alasan periuk nasi. Ia tak punya pilihan lain kecuali menurut perintah atasan. Kisah adanya "desa Golkar" seperti tahun 1971 juga masih dijumpai dalam alam kampanye sekarang. Sebuah desa yang dilalui para mahasiswa misalnya terpancang sebuah papan dengan tulisan "anda memasuki daerah orde baru". Orang bisa salah faham bahwa beberapa meter sebelum itu adalah "daerah orde lama". Betapapun berita-berita semacam itu terus berdatangan, namun bagi PPP dan PDI -- yang merasa warganya paling banyak merasakan "perlakuan yang tidak wajar" -- sikap untuk melaksanakan pemilu nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Buat kami lebih baik ada pemilu dengan segala bukti yang macam-macam itu, dari pada tidak ada sama sekali. Sejarah harus mencatat kejadian-kejadian itu dan catat pula bahwa ini bukan kesalahan PDI", demikian Usep Ranuwijaya ketua PDI kepada TEMPO pekan lalu. Karena itu Usep mengajak masyarakat untuk secara aktif mensukseskan pemilu. Ekses yang kurang baik bagaimanapun juga menurut ketua PDI tersebut bisa diperbaiki. "Pemilu adalah pelaksanaan kekuasaan rakyat. Jadi kalau tidak ikut serta dan tidak melaksanakan hak-haknya, berarti rakyat tidak menggunakan kekuasaannya" katanya. Tapi Usep pun ternyata harus mengakui bahwa tidak semua pihak sependapat dengan ajakan PDI itu. Tapi apakah sekarang bakal ada ramai-ramai dari mereka yang di tahun 1971 menamakan diri "Golongan Putih"? Nampaknya tidak. Arief Budiman, cendekiawan yang dulu merupakan tokoh "Golongan Putih" (Golput) kini berada di AS, belajar di Universitas Harvard yang termashur itu. Asmara Nababan, eksponen Golput yang lain, kini sibuk dengan majalah anak-anak Kawanku. Pemilu, menurut Nababan, bukanlah satu-satunya alat pendidikan politik. Yang lebih penting adalah kehidupan politik sehari-hari, karena di situlah "letak ada tidaknya pertumbuhan demokrasi". Sementara itu Imam Waluyo, orang Golput yang kini lebih memilih kegiatan bisnis penerbitan, berkomentar singkat. Ia "tak banyak lagi tahu kegiatan politik kecuali dari yang saya baca di koran". Pilihannya? "Karena ini sifatnya bebas dan rahasia, maka biarlah saya dan kotak pemilu saja yang tahu", katanya. Sikap yang tak jelas mau mendukung pihak mana seperti itu nampaknya tidak merisaukan orang-orang partai. Sebab di samping mereka yang mengambil posisi jadi penonton yang diam tapi mencatat, ada juga yang kini menyatakan dukungan terhadap salah satu peserta pemilu. Walaupun dulu orang-orang tersebut mungkin termasuk yang "menggolputkan diri". Bekas tokoh Masyumi Syafruddin Prawiranegara misalnya, menyatakan dengan gamblang di depan forum diskusi ITB beberapa minggu yang lalu bahwa "kalau perlu sambil tutup mata menusuk Ka'bah". Artinya: walaupun partai ini masih ada kelemahannya di sana-sini, namun baginya PPP merupakan wadah persatuan umat. Demikian pula dengan bekas tokoh Masyumi dan kini anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kasman Singodimedjo. Menghadiri perayaan Hari Ulang Tahun PPP di Solo bulan lalu, Kasman menyerukan agar "warga besar Ka'bah" ikut mensukseskan pemilu. Sementara itu tidak sedikit kelompok-kelompok dalam masyarakat telah menyatakan dukungannya kepada PDI seperti yang diungkapkan Usep kepada TEMPO pekan lalu. Usep tidak menyebutkan kelompok mana yang dimaksud. Namun Alexander Wenas, juga salah seorang ketua PDI, menambahkan bahwa "beberapa purnawirawan ABRI" kini telah siap-siap bergabung dengan mereka. Perobahan pandangan sejumlah tokoh-tokoh tua tersebut bisa jadi disebabkan bahwa kondisi sekarang jauh berbeda dengan pemilu 1971. Dalam pencalonan misalnya, sekarang ini aturan lebih longgar dibanding 6 tahun lalu. Di antara calon PPP yang berjumlah 590 orang itu, menurut Nuddin Lubis selaku ketua Lembaga Pemilihan Ummat Islam (LPUI), "banyak di antaranya bekas Masyumi dan PRRI yang sudah mendapat amnesti". Bahkan di daerah pemilihan Aceh, PPP juga mencalonkan bekas DI/TII. Ini jelas berbeda dengan pemilu 1971. Ketika itu Mendagri membuat daftar 2.500 orang bekas Masyumi dan PSI yang tidak bisa dipilih. Golkar juga berusaha menampilkan sejumlah muka baru dalam pemilu kali ini. Selain mencalonkan sejumlah menteri kabinet pembangunan, rektor beberapa perguruan tinggi yang menonjol, juga tokoh-tokoh penting bekas DI/TII di Sulawesi Selatan termasuk di antara calon-calon pengumpul suara (vote getters) dari Golongan Karya. Dalam rangka "pembaruan" pula agaknya, PPP lebih kurang 20% anggotanya di parlemen sekarang tidak dicalonkan lagi. Sementara 4 orang anggota PDI di parlemen (14%) tidak masuk dalam daftar calon tetap yang diumumkan pekan lalu. Tidak disangkal lagi bahwa daerah Jawa inilah merupakan ajang perebutan pengaruh antara palpol dan Golkar. Kalau dalam pemilu 1971 sepuluh tanda gambar memperebutkan 58.558.776 pemilih di seluruh Indonesia, maka dalam pemilu kali ini hanya tiga tanda gambar bersaing mempengaruhi lebih kurang 70,6 juta pemilih. Dari jumlah pemilih tersebut, 41 juta lebih berada di pulau Jawa. Calon yang diajukan pun tidak sebanyak tahun 1971, yang berjumlah 3.022 orang mewakili 9 partai dan 1 Golongan Karya. Baik parpol maupun Golkar menolak menyebutkan daerah mana yang diharapkan bisa meraih pemilih terbanyak. Mungkin ini demi menghindari penga laman 1971 dulu, ketika Golkar dan Parpol membagi-bagi daerah kemenangan yang kebanyakan meleset dari perhitungan semula. "Pokoknya kami mau meraih semua", kata Cosmas Batubara kepada TEMPO (lihat box). "Itu tergantung kondisi. Kalau keadaan normal kami punya keyakinan bisa mendapat 40% dari seluruh kursi", kata Usep. "Kami optimis akan melebihi sekarang", ujar Chalid Mawardi dari PPP. Bisakah kondisi yang diharapkan itu tercipta sebagaimana yang diharap? "Kami sudah menyiapkan segala sesuatu untuk itu, baik organisasi maupun petugas", kata Usep. Tapi PPP agaknya memusatkan perhatian pada pengawasan waktu perhitungan suara. "Kalau hak-hak wakil parpol dijamin dan dapat dilaksanakan -- untuk menyaksikan menghitung dan menandatangani berita acara pemungutan suara -- kami optimis", kata Chalid Mawardi. Harapan itu tentunya dialamatkan lebih banyak kepada pemerintah. Membudayakan pemilu, seperti diharapkan Presiden di depan DPR Agustus yang lalu, memang menuntut sikap yang tidak menyebabkan pemilu jadi sesuatu yang menakutkan. "Sikap penguasa harus betul-betul jujur", kata V.B. da Costa dari PDI. Da Costa pun berharap agar sanksi peradilan pemilu dijalankan, "supaya orang tahu sopan-santun dalam pelaksanaan pemilu". Sebab bila tidak "akhirnya orang akan menempuh menggunakan hak untuk tidak memilih" tambahnya. Alias Golput. Selain harapan agar aturan main ditaati, mungkin perlu juga dilihat tema apa yang jadi kampanye, dalam upaya merebut simpati pemilih dalam masa dua bulan ini. Golkar, seperti dikatakan Cosmas dalam wawancaranya dengan TEMPO, keluar dengan tema "peningkatan pembangunan dan perataan hasil-hasilnya". Sementara itu PDI dan PPP lebih menekankan pada "terlaksananya demokrasi Pancasila dan UUD 45 serta kelangsungannya". "Karena", kata Nuddin Lubis dari PPP. "bukan soal menang dan kalah yang kita perhitungkan dalam pemilu nanti", kata tokoh LPUI itu di Jawa Tengah baru-baru ini. Tapi di balik tema itu, beberapa permasalahan aktuil yang muncul di permukaan saat ini memerlukan perhatian para peserta pemilu. Meningkatnya pertambahan penduduk, sempitnya lapangan kerja, makin banyaknya anak-anak putus sekolah, melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin, adalah sederetan masalah pokok yang sedang dihadapi oleh pemerintah sekarang dan yang akan datang. Para pemilih tentu ingin mendengar bagaimana konsep masing-masing peserta pemilu mencari pemecahan soal-soal tersebut. Sejauh ini tak satu pun peserta yang secara terbuka telah melontarkan konsepnya. Kalaupun ada, masih disangsikan apakah ketiga kontestan pemilu mampu menyampaikan programnya kepada lapisan terbesar pemilih yang jauh di desa-desa dalam waktu yang sangat singkat. Tidak seperti tahun 1971, ketika parpol dan Golkar masih leluasa bergerak ke desa-desa, kini dengan UU no. 3/75 kegiatan parpol dan Golkar dibatasi hanya sampai di tingkat kabupaten saja. Sementara itu, kegairahan untuk menggunakan hak suara dalam pemilu 1977 mungkin juga akan ditentukan oleh penilaian masyarakat terhadap kerja DPR yang anggotanya mereka pilih itu. Cukup sering dilontarkan kritik ke alamat DPR, bahwa lembaga tersebut ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Beberapa hari sebelum kampanye, serombongan mahasiswa yang tergabung dalam "Kelompok Cipayung" - HMI, PMII, GMNI, PMKRI dan GMIKI - kembali menemui pimpinan DPR. Mereka melontarkan kritik yang serupa. Memang dalam usianya yang 6 tahun ini, dewan ternyata tidak menggunakan sejumlah hak-hak yang ada padanya, dalam menangani masalah-masalah yang dirasakan kuat oleh masyarakat. Hak interpelasi, hak angket, hak amandemen, hak mengajukan pernyataan pendapat, dan hak mengajukan usul inisiatif yang dimiliki, sebenarnya bisa banyak berarti bila digunakan. Terutama dalam mengusut soal-soal seperti krisis Pertamina, korupsi di Bulog, dan kasus "Palapa". Seorang anggota DPR mengakui: timbulnya anggapan di luar bahwa DPR tidak berfungsi, atau lamban kerjanya, adalah akibat keputusan para anggota sendiri. Tatatertib yang sekarang, yang dihasilkan oleh DPR, menurut anggota itu "telah mengikat DPR sendiri". Agaknya yang dimaksud dengan kata "mengikat" adalah prosedur yang sulit bagi masing-masing anggota untuk menyatakan pikiran serta usul-usulnya. Penggunaan hak-hak DPR kini terpaksa berlangsung secara kolektif: syaratnya harus paling sedikit didukung oleh 30 orang yang bertandatangan, dan tidak hanya oleh satu fraksi. Kabarnya ketentuan yang disebut terakhir itulah yang paling mempersulit: persetujuan paling sedikit harus datang dari dua fraksi untuk setiap usul interpelasi dan lain-lain. Maka mungkin salah satu janji yang layak diumumkan kepada rakyat menjelang pemilu 1977 adalah akan diperbaikinya cara kerja DPR. Supaya lembaga itu bukan hanya semacam dekorasi belaka, hingga bisa menghidupkan gerak sebuah negara hukum yang tak tertinggal oleh perkembangan di masyarakat. Janji semacam itu - tentu saja harus ditepati kelak -- bisa membayangkan pemilu 1977 sebagai suatu proses yang baik dengan hasil yang baik pula. Pemilu -- jika diikuti ucapan-ucapan Presiden Suharto, para pejabat dan para pemuka masyarakat - tentunya bukan cuma acara 5 tahun sekali di mana yang "punya kerja" bukanlah rakyat. Kalau tidak demikian, pemilu yang makan biaya Rp 60 milyar ini cuma akan dianggap sia-sia. Dan jika pemilu dianggap tak memenuhi fungsinya, perkembangan sejarah bisa menjuruskan orang untuk memilih cara lain. Cara lain ini bisa mengerikan. Siapa tahu anak-anak anda sendiri jadi korban dalam suatu kekalutan yang dahsyat, gara-gara itu. Berabe, 'kan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus