"Marilah kita jadikan pemilihan umum yang lima tahun sekali itu,
yang berjalan tertib dan jujur, yang bebas dan rahasia, tanpa
tekanan lahir dan batin, menjadi kebudayaan baru dalam kehidupan
plitik kita"
Presiden Soeharto, 16 Agustus 1976 di depan DPR.
MUDAH-MUDAHAN inilah hari-hari yang tanpa tekanan batin. Mulai
Kamis pekan ini hingga 24 April mendatang, cuaca politik negeri
ini akan ditandai dengan kegiatan kampanye pemilihan umum.
Sebanyak 1.630 calon DPR (terdiri 590 dari Partai Persatuan
Pembangunan, 580 dari Golongan Karya dan 460 dari Partai
Demokrasi Indonesia) telah dinyatakan "lolos" dari saringan.
Mereka disahkan dalam satu upacara singkat di aula Departemen
Dalam Negeri pekan lalu. Para calon tersebut akan memperebutkan
sejumlah 70,6 juta pemilih yang tersebar di 26 propinsi.
Dalam beberapa hal, pemilu 1977 ini tak berbeda dengan pemilu
pertama dijaman Orde Baru tahun 1971. Tapi tidak seluruhnya
sama. Pihak Colkar misalnya, kini dihadapkan pada tanda-tanya
adakah ia mampu kembali tampil sebagai pemenang besar dan meraih
paling sedikit 236 kursi seperti di tahun 1971. Soalnya kini
Golkar berada dalam posisi untuk mempertanggungjawabkan apa
saja yang telah dan tidak dilakukannya setelah jadi pemenang
pemilu 1971. Dulu dia bisa tampil sebagai alternatif yang segar.
Kini, lima tahun kemudian, yang dulu segar mungkin sudah jadi
yang "itu-itu juga".
Kini, partai politik sudah dikumpulkan jadi Partai Persatuan
Pembangunan didirikan 5 Januari 1973 sebagai hasil fusi
partai-partai NU, Parmusi, PSSI dan Perti. Lima hari kemudian
partai-partai PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan Murba juga
berfusi dan wadah baru itu bernama Partai Demokrasi Indonesia.
Sebagai hasil "fusi" yang prosesnya agak dipaksakan, partai
dalam keadaan kedodoran. Tapi mereka tak sepenuhnya tidak
menarik. Kini partai politik bukan pihak yang disoroti
prestasinya, atau yang bisa disalahkan jika ada ketidakberesan
pemerintahan. Sebab mereka tidak ikut serta "diatas". Mereka"di
bawah". Dan sebagai umumnya pihak yang dalam posisi demikian,
mereka jadi penyorot. Dan tak jarang mereka nampak sebagai pihak
yang perlu dibelas-kasihani. Menjelang pemilu 1977 ini, mereka
malah seperti ingin selalu berteriak minta tolong - dan mohon
keadilan.
Lihatlah situasi sebelum kampanye dimulai. Laporan ke alamat
pimpinan pusat partai boleh dibilang tiap hari berdatangan dari
daerah. H.M. Anwar Nurris hari Kamis pekan lalu - bertepatan
dengan upacara penanda-tanganan calon tetap partai dan Golkar
--mengeluarkan pernyataan pers tentang serentetan "tindakan
penekanan". Ia baru mengunjungi beberapa daerah di Jawa Timur
baru-baru ini. Anggota DPR dan calon PPP untuk daerah pemilihan
Jawa Timur itu menyatakan lebih lanjut bahwa di Situbondo dua
anggota PPP terpaksa harus dirawat di rumah sakit akibat pukulan
oleh pamong desa. Masih dalam daerah Situbondo, tiga orang warga
NU (PPP) -- Mauddin, P. Wini dan P. Ra'is -- mengalami
pemukulan 5 Pebruari lalu oleh seorang petugas yang bernama
Jamal. Pengakuan itu dibuat sendiri oleh ketiga orang tersebut
dalam bentuk tertulis, dilengkapi foto masing-masing.
Selain yang keras-keras begitu, ada pula yang lebih "enak".
Pembantu TEMPO di Yogyakarta melaporkan keadaan desa Patuk di
kawasan Kabupaten Gunung Kidul. Bulan Januari kemarin di sana
diadakan semacam pemilihan umum pendahuluan. Patuk berpenduduk
1.982 jiwa. Di situ disiapkan empat Tempat Pemungutan Suara
(TPS) buat 968 orang yang berhak memilih. Januari yang lalu itu
rumah-rumah penduduk didatangi oleh petugas yang membawa serta
sebuah kertas formulir angket. Rakyat diminta memilih golongan
yang tertera dalam kertas angket yang urutannya adalah Golkar,
PPP, dan PDI. Pilihan harus disertai tanda-tangan yang
bersangkutan. Atau kalau tidak bisa dengan cap jempol pun
jadilah. Hasilnya: dari 120 orang yang ditanya, 102 memilih
Golkar, 5 memilih PPP dan 13 lainnya tidak memberi pilihan.
Kepada TEMPO lurah Patuk Harjodiguno menyatakan, bahwa "angket
itu dilakukan karena "ada perintah, ditujukan kepada komisaris
Golkar". Lurah itu menambahkan bahwa kegiatan ini "hanya untuk
pengecekan saja, karena untuk kampanye kita belum berani".
Bagi pimpinan PPP Gunung Kidul, kegiatan itu jelas "menyalahi
aturan". "Kalau tidak diselesaikan di kabupaten, kami akan terus
menemui Presiden partai di Jakarta", kata salah seorang pimpinan
PPP. Apa kata yang lain? "Kami tidak akan menuntut, hanya
menyerahkan kepada Tuhan untuk mengadilinya", kesah orang PDI.
"Saya tahu ada edaran itu tapi saya tidak berhak pegang
daftarnya", jawab Danu Atmosugino, wakil kepala Dinas Kehewanan
Kabupaten Gunung Kidul merangkap komisaris Golkar setempat.
Pengadilan atau Tuhan yang akan menangani kasus desa Patuk ini,
yang pasti masalah seperti itu bukan prioritas utama. Menurut
pengakuan PPP maupun PDI, hal-hal seperti ini hampir merata di
seluruh Indonesia. Namun menarik juga untuk diketahui pengalaman
mahasiswa Institut Pertanian Bogor sebagai pihak yang
setidak-tidaknya dinilai bersikap "tidak memihak" -- kepada
salah satu peserta pemilu. Dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) bulan
Desember yang lalu di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat, para
mahasiswa itu melihat apa yang mereka sebut "keganjilan" dalam
tingkah laku pejabat pemerintah di desa. Para pejabat ini
dinilai terlalu memihak satu golongan peserta pemilu.
Menghadapi kenyataan serupa itu, akhirnya sebuah delegasi
dipimpin ketua Dewan Mahasiswa IPB sendiri, Farid Rasjid,
menemui pimpinan DPR menyampaikan sebuah pernyataan dialog.
"Hendaknya pemerintah dapat menjamin bahwa azas pemilu yang
umum, langsung, bebas dan rahasia dilaksanakan secara mutlak
oleh para peserta pemilu", demikian antara lain isi pernyataan
itu yang juga memuat soal-soal penghijauan nasional dan
kesejahteraan rakyat. Wakil Ketua DPR Sumiskum dari Fraksi Karya
yang menerima delegasi kabarnya meminta fakta-fakta apa yang
dialami para mahasiswa peserta KKN tersebut. Farid Rasjid yang
ditemui TEMPO di ruang DMIPB mengemukakan pengalamannya sebagai
berikut:
Di Cirebon, diadakan penempelan tanda gambar di rumah-rumah
penduduk oleh pejabat Tripida (Tri pimpinan daerah) setempat.
Gambar yang ditempel itu menyalahi ketentuan yang ada, yakni
"harus hitam putih dan ukurannya tidak boleh lebih dari 10 x 10
senti". Gambar yang ditempel (no.2) justru dalam ukuran besar
dan berwarna. Di daerah ini juga dibagikan kartu anggota
sementara berwarna kuning disertai formulir kesediaan menjadi
anggota salah satu golongan.
Di Banjarnegara, oleh pejabat Tripida juga, dibagikan semacam
kartu suara. Dari tiga kotak yang harusnya terisi tanda-gambar
masing-masing peserta, hanya yang tengah saja yang terisi.
Memang dalam pemilu 1971, golongan nomor dua tidak berhasil di
daerah ini. Sekarang semua daya dan dana dikerahkan. Sehingga
pembagian bantuan desa dari pemerintah, pembentukan pos obat,
atau rehabilitasi sekolah dasar, selalu dikaitkan bahwa itu
datangnya dari satu golongan. Kampanye terbuka secara
terang-terangan dilakukan di depan umum yang pada pokoknya
menjagoi golongan nomor dua.
Di Kecamatan Karang Kobar. Daerah ini dulunya basis PNI.
Melihat pejabat pemerintah setempat membagikan tanda ambar
salah satu golongan, seorang anggota partai berniat pula
melakukannya. Sekalipun sudah dilaksanakan dengan cara
sembunyi-sembunyi, akhirnya diambil kembali oleh petugas
Tripida.
Cerita Farid dan teman-temannya itu masih panjang kalau
dibeberkan semua. Tapi dia pun mengakui bahwa ada sementara
pamong desa yang sebenarnya tidak tega berbuat begitu. Bahkan
ada yang terang mengaku, mereka berbuat demikian karena
kedudukannya dan alasan periuk nasi. Ia tak punya pilihan lain
kecuali menurut perintah atasan. Kisah adanya "desa Golkar"
seperti tahun 1971 juga masih dijumpai dalam alam kampanye
sekarang. Sebuah desa yang dilalui para mahasiswa misalnya
terpancang sebuah papan dengan tulisan "anda memasuki daerah
orde baru". Orang bisa salah faham bahwa beberapa meter sebelum
itu adalah "daerah orde lama".
Betapapun berita-berita semacam itu terus berdatangan, namun
bagi PPP dan PDI -- yang merasa warganya paling banyak merasakan
"perlakuan yang tidak wajar" -- sikap untuk melaksanakan pemilu
nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Buat kami lebih baik
ada pemilu dengan segala bukti yang macam-macam itu, dari pada
tidak ada sama sekali. Sejarah harus mencatat kejadian-kejadian
itu dan catat pula bahwa ini bukan kesalahan PDI", demikian Usep
Ranuwijaya ketua PDI kepada TEMPO pekan lalu.
Karena itu Usep mengajak masyarakat untuk secara aktif
mensukseskan pemilu. Ekses yang kurang baik bagaimanapun juga
menurut ketua PDI tersebut bisa diperbaiki. "Pemilu adalah
pelaksanaan kekuasaan rakyat. Jadi kalau tidak ikut serta dan
tidak melaksanakan hak-haknya, berarti rakyat tidak menggunakan
kekuasaannya" katanya.
Tapi Usep pun ternyata harus mengakui bahwa tidak semua pihak
sependapat dengan ajakan PDI itu. Tapi apakah sekarang bakal ada
ramai-ramai dari mereka yang di tahun 1971 menamakan diri
"Golongan Putih"? Nampaknya tidak. Arief Budiman, cendekiawan
yang dulu merupakan tokoh "Golongan Putih" (Golput) kini berada
di AS, belajar di Universitas Harvard yang termashur itu. Asmara
Nababan, eksponen Golput yang lain, kini sibuk dengan majalah
anak-anak Kawanku. Pemilu, menurut Nababan, bukanlah
satu-satunya alat pendidikan politik. Yang lebih penting adalah
kehidupan politik sehari-hari, karena di situlah "letak ada
tidaknya pertumbuhan demokrasi". Sementara itu Imam Waluyo,
orang Golput yang kini lebih memilih kegiatan bisnis penerbitan,
berkomentar singkat. Ia "tak banyak lagi tahu kegiatan politik
kecuali dari yang saya baca di koran". Pilihannya? "Karena ini
sifatnya bebas dan rahasia, maka biarlah saya dan kotak pemilu
saja yang tahu", katanya.
Sikap yang tak jelas mau mendukung pihak mana seperti itu
nampaknya tidak merisaukan orang-orang partai. Sebab di samping
mereka yang mengambil posisi jadi penonton yang diam tapi
mencatat, ada juga yang kini menyatakan dukungan terhadap salah
satu peserta pemilu. Walaupun dulu orang-orang tersebut mungkin
termasuk yang "menggolputkan diri". Bekas tokoh Masyumi
Syafruddin Prawiranegara misalnya, menyatakan dengan gamblang di
depan forum diskusi ITB beberapa minggu yang lalu bahwa "kalau
perlu sambil tutup mata menusuk Ka'bah". Artinya: walaupun
partai ini masih ada kelemahannya di sana-sini, namun baginya
PPP merupakan wadah persatuan umat.
Demikian pula dengan bekas tokoh Masyumi dan kini anggota
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kasman Singodimedjo. Menghadiri
perayaan Hari Ulang Tahun PPP di Solo bulan lalu, Kasman
menyerukan agar "warga besar Ka'bah" ikut mensukseskan pemilu.
Sementara itu tidak sedikit kelompok-kelompok dalam masyarakat
telah menyatakan dukungannya kepada PDI seperti yang diungkapkan
Usep kepada TEMPO pekan lalu. Usep tidak menyebutkan kelompok
mana yang dimaksud. Namun Alexander Wenas, juga salah seorang
ketua PDI, menambahkan bahwa "beberapa purnawirawan ABRI" kini
telah siap-siap bergabung dengan mereka.
Perobahan pandangan sejumlah tokoh-tokoh tua tersebut bisa jadi
disebabkan bahwa kondisi sekarang jauh berbeda dengan pemilu
1971. Dalam pencalonan misalnya, sekarang ini aturan lebih
longgar dibanding 6 tahun lalu. Di antara calon PPP yang
berjumlah 590 orang itu, menurut Nuddin Lubis selaku ketua
Lembaga Pemilihan Ummat Islam (LPUI), "banyak di antaranya bekas
Masyumi dan PRRI yang sudah mendapat amnesti". Bahkan di daerah
pemilihan Aceh, PPP juga mencalonkan bekas DI/TII. Ini jelas
berbeda dengan pemilu 1971. Ketika itu Mendagri membuat daftar
2.500 orang bekas Masyumi dan PSI yang tidak bisa dipilih.
Golkar juga berusaha menampilkan sejumlah muka baru dalam pemilu
kali ini. Selain mencalonkan sejumlah menteri kabinet
pembangunan, rektor beberapa perguruan tinggi yang menonjol,
juga tokoh-tokoh penting bekas DI/TII di Sulawesi Selatan
termasuk di antara calon-calon pengumpul suara (vote getters)
dari Golongan Karya. Dalam rangka "pembaruan" pula agaknya, PPP
lebih kurang 20% anggotanya di parlemen sekarang tidak
dicalonkan lagi. Sementara 4 orang anggota PDI di parlemen (14%)
tidak masuk dalam daftar calon tetap yang diumumkan pekan lalu.
Tidak disangkal lagi bahwa daerah Jawa inilah merupakan ajang
perebutan pengaruh antara palpol dan Golkar. Kalau dalam pemilu
1971 sepuluh tanda gambar memperebutkan 58.558.776 pemilih di
seluruh Indonesia, maka dalam pemilu kali ini hanya tiga tanda
gambar bersaing mempengaruhi lebih kurang 70,6 juta pemilih.
Dari jumlah pemilih tersebut, 41 juta lebih berada di pulau
Jawa. Calon yang diajukan pun tidak sebanyak tahun 1971, yang
berjumlah 3.022 orang mewakili 9 partai dan 1 Golongan Karya.
Baik parpol maupun Golkar menolak menyebutkan daerah mana yang
diharapkan bisa meraih pemilih terbanyak. Mungkin ini demi
menghindari penga laman 1971 dulu, ketika Golkar dan Parpol
membagi-bagi daerah kemenangan yang kebanyakan meleset dari
perhitungan semula. "Pokoknya kami mau meraih semua", kata
Cosmas Batubara kepada TEMPO (lihat box). "Itu tergantung
kondisi. Kalau keadaan normal kami punya keyakinan bisa mendapat
40% dari seluruh kursi", kata Usep. "Kami optimis akan melebihi
sekarang", ujar Chalid Mawardi dari PPP.
Bisakah kondisi yang diharapkan itu tercipta sebagaimana yang
diharap? "Kami sudah menyiapkan segala sesuatu untuk itu, baik
organisasi maupun petugas", kata Usep. Tapi PPP agaknya
memusatkan perhatian pada pengawasan waktu perhitungan suara.
"Kalau hak-hak wakil parpol dijamin dan dapat dilaksanakan --
untuk menyaksikan menghitung dan menandatangani berita acara
pemungutan suara -- kami optimis", kata Chalid Mawardi.
Harapan itu tentunya dialamatkan lebih banyak kepada pemerintah.
Membudayakan pemilu, seperti diharapkan Presiden di depan DPR
Agustus yang lalu, memang menuntut sikap yang tidak menyebabkan
pemilu jadi sesuatu yang menakutkan. "Sikap penguasa harus
betul-betul jujur", kata V.B. da Costa dari PDI. Da Costa pun
berharap agar sanksi peradilan pemilu dijalankan, "supaya orang
tahu sopan-santun dalam pelaksanaan pemilu". Sebab bila tidak
"akhirnya orang akan menempuh menggunakan hak untuk tidak
memilih" tambahnya. Alias Golput.
Selain harapan agar aturan main ditaati, mungkin perlu juga
dilihat tema apa yang jadi kampanye, dalam upaya merebut simpati
pemilih dalam masa dua bulan ini. Golkar, seperti dikatakan
Cosmas dalam wawancaranya dengan TEMPO, keluar dengan tema
"peningkatan pembangunan dan perataan hasil-hasilnya". Sementara
itu PDI dan PPP lebih menekankan pada "terlaksananya demokrasi
Pancasila dan UUD 45 serta kelangsungannya". "Karena", kata
Nuddin Lubis dari PPP. "bukan soal menang dan kalah yang kita
perhitungkan dalam pemilu nanti", kata tokoh LPUI itu di Jawa
Tengah baru-baru ini.
Tapi di balik tema itu, beberapa permasalahan aktuil yang muncul
di permukaan saat ini memerlukan perhatian para peserta pemilu.
Meningkatnya pertambahan penduduk, sempitnya lapangan kerja,
makin banyaknya anak-anak putus sekolah, melebarnya jurang
antara si kaya dan si miskin, adalah sederetan masalah pokok
yang sedang dihadapi oleh pemerintah sekarang dan yang akan
datang. Para pemilih tentu ingin mendengar bagaimana konsep
masing-masing peserta pemilu mencari pemecahan soal-soal
tersebut.
Sejauh ini tak satu pun peserta yang secara terbuka telah
melontarkan konsepnya. Kalaupun ada, masih disangsikan apakah
ketiga kontestan pemilu mampu menyampaikan programnya kepada
lapisan terbesar pemilih yang jauh di desa-desa dalam waktu yang
sangat singkat. Tidak seperti tahun 1971, ketika parpol dan
Golkar masih leluasa bergerak ke desa-desa, kini dengan UU no.
3/75 kegiatan parpol dan Golkar dibatasi hanya sampai di tingkat
kabupaten saja.
Sementara itu, kegairahan untuk menggunakan hak suara dalam
pemilu 1977 mungkin juga akan ditentukan oleh penilaian
masyarakat terhadap kerja DPR yang anggotanya mereka pilih itu.
Cukup sering dilontarkan kritik ke alamat DPR, bahwa lembaga
tersebut ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Beberapa
hari sebelum kampanye, serombongan mahasiswa yang tergabung
dalam "Kelompok Cipayung" - HMI, PMII, GMNI, PMKRI dan GMIKI -
kembali menemui pimpinan DPR. Mereka melontarkan kritik yang
serupa. Memang dalam usianya yang 6 tahun ini, dewan ternyata
tidak menggunakan sejumlah hak-hak yang ada padanya, dalam
menangani masalah-masalah yang dirasakan kuat oleh masyarakat.
Hak interpelasi, hak angket, hak amandemen, hak mengajukan
pernyataan pendapat, dan hak mengajukan usul inisiatif yang
dimiliki, sebenarnya bisa banyak berarti bila digunakan.
Terutama dalam mengusut soal-soal seperti krisis Pertamina,
korupsi di Bulog, dan kasus "Palapa".
Seorang anggota DPR mengakui: timbulnya anggapan di luar bahwa
DPR tidak berfungsi, atau lamban kerjanya, adalah akibat
keputusan para anggota sendiri. Tatatertib yang sekarang, yang
dihasilkan oleh DPR, menurut anggota itu "telah mengikat DPR
sendiri". Agaknya yang dimaksud dengan kata "mengikat" adalah
prosedur yang sulit bagi masing-masing anggota untuk menyatakan
pikiran serta usul-usulnya. Penggunaan hak-hak DPR kini terpaksa
berlangsung secara kolektif: syaratnya harus paling sedikit
didukung oleh 30 orang yang bertandatangan, dan tidak hanya oleh
satu fraksi. Kabarnya ketentuan yang disebut terakhir itulah
yang paling mempersulit: persetujuan paling sedikit harus datang
dari dua fraksi untuk setiap usul interpelasi dan lain-lain.
Maka mungkin salah satu janji yang layak diumumkan kepada rakyat
menjelang pemilu 1977 adalah akan diperbaikinya cara kerja DPR.
Supaya lembaga itu bukan hanya semacam dekorasi belaka, hingga
bisa menghidupkan gerak sebuah negara hukum yang tak tertinggal
oleh perkembangan di masyarakat. Janji semacam itu - tentu saja
harus ditepati kelak -- bisa membayangkan pemilu 1977 sebagai
suatu proses yang baik dengan hasil yang baik pula. Pemilu --
jika diikuti ucapan-ucapan Presiden Suharto, para pejabat dan
para pemuka masyarakat - tentunya bukan cuma acara 5 tahun
sekali di mana yang "punya kerja" bukanlah rakyat.
Kalau tidak demikian, pemilu yang makan biaya Rp 60 milyar ini
cuma akan dianggap sia-sia. Dan jika pemilu dianggap tak
memenuhi fungsinya, perkembangan sejarah bisa menjuruskan orang
untuk memilih cara lain. Cara lain ini bisa mengerikan. Siapa
tahu anak-anak anda sendiri jadi korban dalam suatu kekalutan
yang dahsyat, gara-gara itu. Berabe, 'kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini