Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA ada Kapolda yang tak sanggup, dia saya copot.” Kalimat berani Kepala Polri Jenderal Sutanto itu, pada hari-hari pertama ia berkuasa di Markas Besar Polri, Juli tahun lalu, mulai terlihat hasilnya. Pusat hiburan Jakarta masih di wilayah barat, tapi keadaan sudah bagai hujan dan kemarau. Dulu di sana begitu gampang mencari tempat judi, prostitusi, bahkan narkoba. Kini malam seperti ”pincang”, susah mencari arena judi di kawasan ini.
Perang yang dikobarkan orang nomor satu kepolisian itu tidak main-main rupanya. Pemberantasan judi pun ge-gap-gempita. Kantong-kantong judi dihantam. Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, misalnya. Sejumlah pertokoan yang menyelenggarakan mickey mouse dibubarkan. Dua tempat judi beromzet miliaran rupiah per hari di Jalan Tunir langsung bersalin rupa menjadi tempat hiburan. Begitu pula dengan Harco, Mangga Dua, dan Taman Sari.
Tempat parkir di sebelah Hotel Horison, Ancol, yang biasanya ramai dengan ken-daraan pemain mahyong, telah lengang. Di Jakarta Pusat, beberapa tempat judi di Casablanca sudah gulung tikar. Aktivitas salah satu tempat judi di Jakarta Pusat yang dulu kabarnya dikelola seorang perwira tinggi Polri juga mandek.
Seorang pemilik lokasi perjudian di Jakarta mengakui, mereka kini tiarap. Bahkan seorang bos besar ”sembilan naga”, kelompok yang disebut penguasa judi Jakarta, memilih ”masuk bungker”. ”Siapa sih yang mau rugi?” katanya kepada sebuah sumber.
Soalnya, pada awal Sutanto naik jadi Kapolri, ada perwira yang merayu bos judi ini untuk buka perjudian. ”Dia bilang bisa diatur. Dan minta setoran mi-liaran rupiah di depan,” kata bos judi ini lagi.
Ia sempat membuka usaha ge-lapnya seminggu. Setelah itu polisi datang menggeruduk. ”Ketika kami telepon, si perwira itu bilang nggak enak sama atasan,” katanya. ”Dari pengalaman ini, kami baru mau buka judi jika sudah legal sajalah.”
Tauke judi di Jakarta yang berbeking jenderal saja jeri, tentulah tauke yang beroperasi di daerah begitu juga. Contohnya di Sumatera Utara. Menurut seorang polisi di Medan, ”tokoh” sekaliber Olo Panggabean pun kini tak banyak gerak.
Padahal lajang kelahiran Tarutung 24 Mei 1941 ini dulunya dikenal ”sakti”. Dia adalah bos Ikatan Pemuda Karya yang berdiri sejak 1964. IPK disebut-sebut memiliki pengikut 150 ribu orang.
Selain disebut sebagai bos judi, Olo dikenal dermawan. Dalam berbagai kegiatan sosial di Medan selalu saja ada nama Olo sebagai donatur. Karangan bunga darinya selalu terlihat mencolok di setiap acara resmi berbagai instansi.
Dia dekat dengan kalangan pejabat militer dan kepolisian. Kalau sekadar pejabat di pemerintah daerah tentulah tunduk padanya. Dia berani menampik panggilan Kepala Polda Sumatera Utara saat dijabat Brigadir Jenderal Sutanto—kini Kepala Polri—pada medio Mei 2000.
Waktu itu Sutanto memanggilnya untuk membicarakan pem-bubaran judi di Medan. Olo menjawab dengan mengirim utusannya saja. Si utusan inilah yang menyampaikan pesan, Olo mendukung pemberantasan judi.
Sutanto memang membubarkan judi. Tapi hanya senyap beberapa bulan. Setelah Sutanto menjadi Kepala Polda Jawa Timur, judi kembali berkibar di Medan. Bahkan seorang bintara polisi pun ikut menjadi agen toto gelap. Dia ke mana-mana naik mobil mewah.
Kepada Tempo, si polisi bekas agen toto gelap ini bilang, sewaktu Sutanto belum Kapolri memang enak menjadi tauke judi. ”Polisi memanfaatkan me-reka untuk mengeruk uang,” kata-nya. ”Lama-lama mereka yang mengatur polisi. Bahkan bisa mencopot pejabat kepolisian.” Itulah sebabnya, dia memi-lih jadi bandar toto gelap alias togel.
Kini, setelah Sutanto menjadi Kapolri, si agen togel kembali ke posisinya semula menjadi polisi. Sedangkan Olo banting setir menjadi pengusaha restoran dan perkebunan. Pria yang disapa ”Ke-tua Besar” ini sudah jarang berkeliaran. Olo tak bersedia diwawancarai Tempo. Orang dekatnya yang semula ramah kepada wartawan sekarang memilih menutup mulut.
Medan pun mulai sepi judi. Beberapa lokasi judi beromzet miliaran rupiah di Gedung Capital Building, Jalan Putri Hijau, tutup. Lokasi judi di sebelah pusat belanja Deli Plaza Medan berubah menjadi tempat hiburan. Si pemilik kini menetap di Singapura. Beberapa pintu toko di Jalan Surabaya, Medan, yang semula tempat mengadu untung, kini hanya menyediakan bahan bangunan.
Kesenyapan serupa juga ber-langsung di kantong judi di Batam. Setelah tak ada judi, di lantai dasar Hotel Planet, Batam, hanya ada kesunyian. Karena tak ada judi pula tempat hiburan Rio Rita Club tak bergairah. ” Wah, sekarang payah,” kata Budi, Manajer Rio Rita Club.
Menurut Budi, Rio Rita melayani penjudi dari Singapura. ”Mereka tak hanya mencari teman kencan di sini, tapi juga berjudi,” katanya. Setelah judi bubar, pelancong Singapura jarang datang. Keluhan yang sama juga diungkapkan Herman, pengelola Pujasera A1 dan Oki di Nagoya.
Banyak tauke judi di Batam alih profesi. Toa Tau, yang mengelola perjudian di Hotel Planet, kini menjadi kontraktor. Bahkan seorang tauke judi di sana ada yang menjadi politisi dan menjadi orang terhormat di Dewan Perwakilan Rakyat di Kota Tanjung Pinang.
Tauke judi tentulah berupaya melobi polisi. Namun, hingga akhir pekan lalu, mereka belum bisa menjebol benteng polisi. ”Pokoknya segala bentuk perjudian kami sikat,” kata Komisaris Besar Eko Hadi Sutedjo, Kepala Kepolisian Kota Besar Barelang.
Bahkan, dia melarang kapal pesiar Qomar lempar sauh di pelabuhan Batam, bulan lalu. Sebab, dia mendengar kapal ini hendak menjemput penjudi. Awak kapal sempat bersitegang dengan polisi. ”Alasan mereka, perjudian akan berlangsung di perairan internasio-nal,” kata Eko Hadi. ”Saya jawab, jangan -lempar sauh di sini.”
Upaya penggusuran judi ini mengundang beragam tanggapan. Ibu rumah tangga seperti Nurhayati menyambutnya dengan suka ria. Sebab, suaminya, Hambali, yang jarang pulang akibat do-yan berjudi, kini sepanjang malam me-nemaninya. ”Aku lega,” kata warga perumahan Batu Aji, Batam ini. Hambali tersenyum mendengar komentar istrinya.
Hermanto, tukang ojek di Batam, kini bisa membawa pulang penghasilannya secara utuh ke rumah. Zul Bahri, pe-dagang buah di kawasan Nagoya, juga mengaku gembira. Soalnya, setiap ada preman yang kalah judi, selalu saja dia merugi. ”Dagangan saya diambil tanpa bayar,” katanya. Kini dagangannya laku.
Tetapi, lain lagi dengan penggilan judi berkantong tebal di Jakarta. Mereka kini membuat klub judi. Bermain di apartemen mewah atau menyewa hotel. Pemainnya terbatas. Terkadang mereka terbang ke Malaysia, berjudi di Genting Island atau ke Makao. Berjudi di Internet juga telah berkembang.
Di Jakarta sempat lahir ide melegalkan judi, namun Sutanto tak menanggapinya. ”Saya hanya menjalankan undang-undang,” katanya. Jadi, selama belum ada aturan yang menghalalkan judi, Sutanto tetap akan berperang. Soal anggaran polisi yang rendah, dia ber-usaha berjuang untuk menaikkannya.
Pada awal masa jabatannya, wartawan Tempo pernah bertanya kepadanya: bukankah polisi menerima setoran judi karena gaji yang kecil? Sutanto menjawab bahwa ia tak mentolerirnya. ”Kalaulah sudah tahu bergaji kecil, kenapa juga memilih menjadi polisi?”
Jadi, sikat terus, Jenderal....
Nurlis E. Meuko, Rumbadi Dalle (Batam), dan Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo