Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pantang Ambruk Walau Digebuk Pagebluk

Para pegiat literasi terus bergerak di tengah pandemi. Mereka menyediakan bahan bacaan, mendongeng, membaca cerita, membuat workshop, hingga membantu anak-anak belajar. 

14 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Edi Dimyati Pendiri Kampung Buku Cibubur di kawasan, Cibubur, Jakarta, Rabu 10 Maret 2021. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pegiat literasi dan taman bacaan masyarakat terus begerak di tengah situasi pandemi Covid-19.

  • Mereka tak hanya menyediakan buku, tapi juga mendongeng, mengajar, dan menyediakan fasilitas belajar.

  • Ada pula yang turun ke lokasi bencana.

Di depan sebuah kamera dan layar tembak proyektor, Rian Hamzah menyapa sejumlah murid taman kanak-kanak yang mengikuti sekolah daring. Pria yang dikenal sebagai seniman teater dan pendongeng keliling itu membuka sesi dengan memperkenalkan sosok boneka berbentuk bocah berbaju koko dan berpeci. Boneka itu seolah-olah bisa berbicara. Rian memakai teknik ventriloquist atau berbicara tanpa menggerakkan bibir dan mengubah suaranya menjadi seperti suara anak kecil. Dengan gaya jenaka, ia dan bonekanya berinteraksi dengan anak-anak di seberang layar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itulah salah satu rutinitas baru Rian pada masa pandemi ini. Pria yang sudah belasan tahun menjadi pendongeng keliling itu dalam setahun terakhir kerap ditanggap sekolah-sekolah di berbagai daerah untuk mengisi sesi kelas daring bagi para siswa. “Biasanya untuk anak-anak TK dan SD,” ujar pria berusia 46 tahun itu kepada Tempo, Rabu lalu. Sesi dongeng yang dibawakan Rian menjadi variasi di antara sesi-sesi pelajaran yang disampaikan para guru melalui aplikasi telekonferensi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendongeng Rian Hamzah berpose di Sanggar Alam Kita, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis, 11 Maret 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Selain mendongeng untuk murid sekolah, Rian sesekali mendongeng lewat siaran langsung di media sosial Instagram atau Facebook. Aktivitas mendongeng daring ini ia mulai pada Ramadan tahun lalu. “Waktu itu, saya berinisiatif membuat acara dongeng online menjelang buka puasa setiap hari.” Rupanya banyak yang menggemari cerita-cerita itu. “Makanya setelah itu saya jadi sering diundang oleh sekolah-sekolah untuk mengisi kelas online.”

Sebetulnya Rian kurang puas atas cara mendongeng seperti itu. Ia lebih suka mendongeng langsung di depan anak-anak karena bisa berinteraksi dan melihat respons penonton. Jadi, ia bisa dengan mudah berimprovisasi dan membangun suasana. Tapi, karena pandemi, sesi dongeng yang biasa ia lakukan sambil berkeliling dengan sepeda motor pustakanya di wilayah Bekasi menjadi terhenti. “Tapi, walau sering terhambat masalah teknis seperti gangguan sinyal, saya tetap senang bisa menyapa anak-anak. Karena daring, penontonnya juga jadi lebih banyak dan dari mana-mana.”

Rian hanyalah satu contoh dari sekian banyak pendongeng dan pegiat literasi yang konsisten terhadap aktivitasnya pada masa pandemi ini. Dalam segala keterbatasan, Rian juga tetap membuka taman bacaan di rumahnya, di Perumahan Grand Mutiara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. “Gara-gara pandemi jadi sepi, sih, karena anak-anak di sekitar lebih banyak diam di rumah,” tuturnya. Padahal, sebelum masa pandemi, taman bacaan bernama Sanggar Alam Kita itu merupakan pusat keramaian dan tempat berkumpul anak-anak di lingkungannya.

Pendongeng Rian Hamzah bersama sejumlah anak menunjukkan hasil dari belajar menggambar di Sanggar Alam Kita, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis, 11 Maret 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Dulu, jika sedang tidak sedang berkeliling mendongeng atau membawa buku dengan sepeda motor pustakanya, Rian rutin menggelar kegiatan di sanggar itu. Bentuknya macam-macam, selain membacakan cerita, belajar menggambar, atau mengajak anak-anak membuat musik menggunakan barang bekas. “Sekarang hanya segelintir anak yang datang untuk membaca. Lebih banyak yang tidak berani ke luar rumah,” ia melanjutkan.

Setelah pembatasan sosial mulai dilonggarkan, Rian pun mulai mencoba mengadakan acara di Sanggar Alam Kita. Namun jumlah anak yang datang pun hanya sedikit. “Paling 20 anak.” Ia juga mulai rutin menerima undangan mendongeng dari komunitas literasi di sekitar Jabodetabek. Untuk menyesuaikan tema dengan situasi, Rian biasa menyisipkan pesan-pesan edukasi terkait dengan kesehatan dan kebersihan lingkungan dalam dongeng-dongengnya. “Sekalian mengedukasi anak-anak.”

***

Pandemi Covid-19 memang membuat aktivitas para pegiat literasi menjadi ikut terbatas. Inisiator Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka, mengatakan hambatan terbesar para pegiat literasi di seluruh Nusantara saat ini adalah menghindari kerumunan saat mengadakan kegiatan. Tapi, sebetulnya, keberadaan taman bacaan atau perpustakaan swadaya masyarakat di berbagai daerah ini merupakan salah satu solusi atas masalah banyak orang tua dan siswa yang mengikuti sekolah daring.

“Beberapa teman yang punya anggaran lebih memasang Internet dan Wi-Fi gratis di tempat mereka untuk membantu anak-anak yang sekolah daring,” ujar Nirwan, Kamis lalu. Tak hanya itu, para pegiat literasi juga mendampingi anak-anak belajar jarak jauh. “Inisiatif semacam ini sangat bermanfaat, terutama di daerah-daerah pedalaman yang susah sinyal. Anak-anak menjadi punya tempat yang aman untuk belajar dan bermain.”

Para pegiat literasi pun banyak yang membuat inisiatif untuk membantu warga yang terkena dampak pandemi. Melalui jaringan mereka, kata Nirwan, para pegiat literasi membuat inisiatif seperti penyaluran bantuan bahan pangan dan kebutuhan pokok kepada warga lain. “Banyak kawan pegiat literasi di desa-desa di Jawa Tengah dan Sulawesi yang menyalurkan hasil kebun mereka kepada warga di kota-kota yang terkena dampak pandemi.” Di daerah lain, Papua misalnya, para pegiat literasi dan pengelola taman bacaan membuat pelatihan hidroponik dan pertanian bagi warga sekitar.

***

Keterbatasan ruang gerak akibat pandemi disiasati oleh Edi Dimyati, pemilik taman bacaan Kampung Buku dan perpustakaan keliling Sepeda Kargo Baca, dengan menyediakan layanan antar-jemput buku gratis. Sejak masa pandemi, taman bacaan Kampung Buku yang berlokasi di Cibubur, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, itu juga sempat sepi kunjungan. Biasanya, taman bacaan ini selalu ramai menjadi tempat bermain dan belajar anak-anak sekitar.

Walau taman bacaannya sepi, pria berusia 43 tahun ini melihat masih banyak anak yang ingin meminjam buku bacaan atau komik dari Kampung Buku. Jadi, pada masa pandemi, Edi pun membuka layanan antar-jemput buku bagi warga yang tinggal di Kecamatan Ciracas. “Saya batasi dulu wilayahnya karena masih pandemi.” Cara ini lumayan berhasil membuat para “pelanggan” Kampung Buku tetap dapat menikmati buku-buku di perpustakaan yang koleksinya sudah ribuan itu.

Edi Dimyati Pendiri Kampung Buku Cibubur di kediaman, Cibubur, Jakarta, 10 Maret 2021. TEMPO/Subekti.

Sebelum masa pandemi pun Edi punya rutinitas berkeliling ke taman-taman kota dan ruang publik lain di Jakarta pada setiap akhir pekan. Menggunakan sepeda jenis kargo yang dilengkapi rak dan bisa menampung puluhan buku, ia biasa mangkal menyediakan aneka bacaan gratis bagi masyarakat. Pada hari Jumat, ia menggelar lapak baca gratis di masjid-masjid. Tapi, akibat pagebluk, aktivitas itu sempat terhenti cukup lama. “Dengan sepeda kargo baca, saya paling keliling ke komunitas-komunitas yang mengundang karena ruang publik juga banyak yang tutup.”

Nah, setelah pemerintah mulai melonggarkan pembatasan sosial, Edi kembali mengayuh sepedanya berkeliling membawa buku gratis. Tapi, sementara sebelumnya ia sering nongkrong di taman-taman yang ramai, kini ia mencari tempat-tempat sepi di pelosok kota. Beberapa tempat yang rutin ia datangi adalah Waduk Kampung Rambutan dan Setu Pedongkelan di Jakarta Timur. Ia juga kerap nangkring dengan sepedanya di area Bumi Perkemahan Cibubur. “Walau sepi, biasanya ada beberapa anak dari kampung sekitar yang bermain,” tuturnya.

Di tempat-tempat itu, Edi tak sekadar membuka rak sepedanya dan menggelar lapak baca. Untuk menarik minat anak-anak, ia menggelar berbagai atraksi: sulap, mendongeng, atau mengadakan permainan seperti menggambar atau membuat prakarya sederhana. “Kebetulan, kalau saya lagi jalan, pasti ada teman-teman relawan lain yang ikut.” Edi dan teman-temannya berbagi tugas, ada yang mendongeng, ada yang mengajari menggambar atau mewarnai, atau bermain sulap. “Kami tak langsung mengajak anak membaca buku, tapi membangun kedekatan dulu,” ujarnya.

Edi Dimyati Pendiri Kampung Buku Cibubur di Kawasan Cibubur, Jakarta, Rabu 10 Maret 2021. TEMPO/Subekti.

Jika anak-anak sudah merasa nyaman dan akrab, barulah Edi menawarkan untuk membaca buku gratis. “Biasanya anak-anak senang baca komik, buku cerita rakyat, atau kisah-kisah nabi.” Tak jarang para orang tua yang kebetulan ada di lokasi juga ikut nimbrung. Untuk mereka, Edi menyiapkan bahan bacaan seperti buku kesehatan atau buku pengetahuan umum.

Sembari menggelar lapak, Edi juga biasa mengadakan permainan dengan hadiah masker atau lampu baca. Hal ini menjadi salah satu cara untuk mengedukasi anak-anak dan warga mengenai pandemi Covid-19 dan membangkitkan minat baca. Meski terkesan sederhana, hadiah kecil semacam itu berhasil memikat warga di lokasi yang sedang dikunjungi Edi. “Jadinya mereka ingat, kalau saya datang lagi ke sana, mereka akan senang.”

***

Dari pelosok daerah, tepatnya di Sulawesi Barat, semangat mengobarkan minat baca dan belajar kepada masyarakat juga dijalankan para pegiat literasi di wilayah Polewali Mandar. Di sini mereka berkumpul dalam Bola Literasi Nusantara (Blantara) yang berfokus menjangkau warga-warga di dusun-dusun terpencil yang tersebar di wilayah itu.

Walau bertema literasi, kegiatan Komunitas Blantara tak hanya menyediakan dan membuka taman bacaan di desa-desa. “Itu hanyalah salah satu kegiatan kami. Kami juga mengajar anak-anak setempat dan mengadvokasi agar warga mendapatkan pelayanan dasar seperti kesehatan dari pemerintah,” kata Karmila Bakri, penggagas Blantara, Kamis lalu. Sehari-hari, Karmila berprofesi sebagai guru dan membuka taman bacaan di kediamannya di Polewali.

Penggagas Bola Literasi Nusantara (Blantara), Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Karmila Bakri (kanan). (Dok. Pribadi)

Sejak dua tahun terakhir, Blantara memiliki program Simpul Literasi Camp. Dalam kegiatan ini para relawan tinggal di satu desa yang sulit dijangkau selama satu pekan. Beberapa kali, Karmila dan kawan-kawannya mendapatkan kenyataan yang menyedihkan. “Ada satu desa yang semua warganya buta huruf dan tidak bisa mengenali warna,” ujar perempuan berusia 35 tahun ini. Ketika sedang melakukan pengabdian semacam itu, tugas mereka pun bertambah ketika ada warga yang sakit keras. “Kami membantu mereka datang ke bidan, mantri, atau puskesmas yang lokasinya berjam-jam jalan kaki.”

Niat baik mereka tak selalu berjalan mulus. Beberapa kali, sebagian warga bersikap skeptis terhadap kedatangan para relawan Blantara. “Kami disangka gerakan politik atau berkaitan dengan kepentingan pihak tertentu.” Setelah memberikan penjelasan bahwa inisiatif Blantara benar-benar ingin membantu warga, barulah warga mau terbuka. “Bahkan ada satu desa yang meminta kami membawa anak mereka ke kota agar anak-anak bisa disekolahkan dengan layak.”

Pada masa pandemi, wilayah Sulawesi Barat beberapa kali diterjang bencana. Pada Januari lalu, gempa berkekuatan 6,2 magnitudo mengguncang wilayah Majene. Tahun lalu, wilayah Mamuju juga diterjang banjir. Para relawan Blantara pun aktif membuka posko di pengungsian korban bencana. “Kami memilih lokasi yang belum mendapatkan bantuan dan terisolasi.” Kemarin, Karmila baru saja kembali setelah tinggal selama dua bulan di Kecamatan Ulumanda, Majene, yang warganya menjadi korban gempa plus tanah longsor. “Kami mendampingi anak-anak di pengungsian agar tetap dapat belajar dan punya hiburan dengan membagikan buku dan membuat permainan.”

Pembagian buku untuk anak-anak di desa terpencil di Sulawesi Barat oleh komunitas Bola Literasi Nusantara. (Dok. Pribadi)

Karmila dan kawan-kawannya tak hanya bekerja ketika ada momentum seperti bencana. Sepulang dari lokasi, mereka tetap rutin memantau perkembangan taman bacaan yang mereka dirikan di pelosok. “Supaya tetap bisa berjalan,” kata dia. Jika ada kiriman buku dari donatur, Karmila akan mendistribusikan kembali ke sejumlah taman bacaan yang ia dampingi. “Pelaksananya anak-anak muda setempat. Saya hanya mengarahkan supaya gerakan mereka tak sesaat saja.”

Saat ini, para relawan literasi di Sulawesi Barat mengaku mulai kekurangan pasokan buku, alat tulis, dan alat permainan untuk anak-anak. “Kami masih sangat membutuhkan buku-buku untuk disalurkan ke daerah-daerah bencana yang warganya masih mengungsi,” tuturnya. Tapi, walau terbuka menerima donasi buku dari mana saja, Karmila tetap menyeleksi buku-buku yang masuk. “Kami selalu sortir ulang kalau ada kiriman buku untuk menghindari adanya bacaan berisi ajaran radikal.” Buku dan bahan bacaan yang ia salurkan diutamakan yang mengandung nilai-nilai pluralisme.*

PRAGA UTAMA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Praga Utama

Praga Utama

Bergabung dengan Tempo sejak 2011 sebagai periset foto dan beralih menjadi reporter pada 2012. Berpengalaman meliput isu ekonomi, otomotif, dan gaya hidup. Peraih penghargaan penulis terbaik Kementerian Pariwisata 2016 dan pemenang lomba karya tulis disabilitas Lembaga Pers Dr Soetomo 2021. Sejak 2021 menjadi editor rubrik Ekonomi Bisnis Koran Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus