Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pejuang Kemerdekaan yang Berontak

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK pernah saya lupakan kemarahannya ketika saya katakan ada baiknya kalau undangan Dr. Mansyur untuk menghadiri konferensi se-Sumatera diterima saja. Ia memukul saya dengan tongkatnya sambil berkata: di mana akan kamu dapatkan negara yang jelas-jelas mengatakan dirinya berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa?". Begitulah cerita seorang tokoh Partai Persatuan Pembangunan Daerah Istimewa Aceh tentang sebuah episode yang dialaminya dengan Teungku Daud Beureueh.

Kalau cerita diteruskan, usaha Negara Sumatera Timur (NST) menggalang kekuatan Sumatera menghadapi RI yang dipimpin Sukarno-Hatta, yang telah ditawan Belanda (1949), pun gagal. Cerita anekdotal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah tentang Teungku Daud Beureueh yang saya dapatkan di Aceh di awal tahun 1980-an.

Golkar kalah di Aceh pada pemilu tahun 1982. Entah kenapa saya disuruh meneliti soal ini. Konon—jika "laporan pandangan mata" pimpinan yang menyuruh saya itu bisa dipercaya—kekalahan itu menyebabkan Presiden mengajukan pertanyaan: "Apakah Aceh anti-Pancasila?" Singkat cerita, saya pun berangkat ke Aceh untuk mencari jawab atas pertanyaan yang agak aneh ini (Emangnyé Golkar ajé yang Pancasilais?). Tetapi sudahlah. Sebab-sebab kekalahan Golkar dengan mudah bisa diketahui. Saya pun lebih asyik meneliti visi Aceh tentang dirinya dan tentang tempatnya dalam sejarah dan masyarakat-bangsa. Selama dua minggu saya berkeliaran di sepanjang pantai timur, membelok dua hari ke Takengon, sampai akhirnya sampai di Medan. Jadi, praktis saya menjalani wilayah etnis Aceh dan Gayo saja.

Apakah yang tidak saya dapatkan dalam seri diskusi dan wawancara yang nyaris non-stop ini? Sejarah, folklore, mitos, kebanggaan sejarah, harapan, keluhan, ocehan, dan entah apa lagi. Kisah Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua, perang kolonial di Aceh yang terlama dan termahal, Hamzah Fansuri, Abdurrauf al-Singkili, dan sebagainya dengan lancar keluar dari mulut para tokoh—dari birokrat dan ulama sampai pedagang, dari yang telah mantan sampai yang masih sibuk menggapai karier. "Aceh daerah modal." Kapal terbang Seulawah dan sebagainya adalah kebanggaan yang tak terlupakan. Tetapi seketika berbagai kisah yang membanggakan itu berakhir, helaan napas panjang pun tak selamanya bisa terelakkan. "Aceh telah sangsai," kata seorang tokoh di Aceh Timur. Kalau telah begini, kebanggaan daerah kembali dikemukakan, tetapi dengan nada yang menuntut kewajaran dalam penghargaan.

Kalau telah begini pula berbagai cerita dari revolusi diulang-ulang dan pengalaman getir dari "Peristiwa Daerah" 1950-an diingat-ingat. Dalam ingatan kolektif yang disampaikan kepada saya itu, sering kali Tgk. Daud Beureueh tampil sebagai tokoh yang paling dominan. Kadang-kadang timbul juga keraguan dalam diri saya, "Apakah memang demikian halnya?"

Saya telah tahu bahwa persaingan ini terjadi, kata para pengecam Snouck Hurgronje, adalah akibat kemampuan ilmuwan kolonial ini melihat celah dalam sistem kepemimpinan Aceh. Ia berhasil menjadikan perbedaan peran sosial sebagai landasan bagi persaingan ideologis. Seandainya para pengecam ini benar, saya tentu bisa berkata bahwa, biarpun sebuah policy bertolak dari landasan pengetahuan yang salah, jika dijalankan dengan konsisten akhirnya akan menciptakan realitasnya sendiri.

Saya juga telah tahu bahwa sejarah masa revolusi nasional di Aceh tidak hanya menghamparkan kisah tentang pengorbanan bagi negara yang baru diproklamasikan, tetapi juga tentang konflik berdarah golongan uleebalang, dengan para pengikut ulama, yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Bahkan, jika saja bacaan saya tidak mengkhianati saya, "Peristiwa Daerah" di tahun 1950-an tidak pula terbebas dari persaingan kedua corak kepemimpinan Aceh itu. Hanya, dalam wawancara saya, kisah tentang konflik internal ini disebut sepintas lalu saja, sebelum kisah beralih kembali pada masalah penghadapan Aceh dengan kekuatan luar—entah Belanda, entah pemerintah pusat. Kalau telah begini, nama Tgk. Daud Beureueh pun diulang-ulang.

Dengan mudah saya mendapatkan verifikasi yang sahih tentang cerita bahwa keterlibatan Aceh dalam revolusi nasional semakin intensif setelah Daud Beureueh dan tiga kawannya sesama ulama mengeluarkan maklumat dukungan pada Republik Indonesia, di bulan Oktober 1945. Maklumat itu juga ditandatangani oleh T. Nyak Arief, Residen Aceh, dan Tuanku Mahmud, Ketua Komite Nasional. Sepintas lalu keikutsertaan Residen dan Ketua Komite Nasional Indonesia hal yang biasa saja. Tetapi, besar dugaan saya, di masa awal revolusi—sebelum arus bawah dari konflik internal tampil ke permukaan— keikutsertaan mereka secara simbolis ingin mengatakan keutuhan kepemimpinan Aceh. Ulama, uleebalang, dan aristokrat kerajaan bersatu dalam memberikan dukungan kepada RI. Hanya, "Peristiwa Cumbok" dan kemudian gerakan pemuda PUSA, yang mengadakan "revolusi sosial" terhadap apa yang mereka sebut "feodalisme", memorak-porandakan "bulan madu" yang singkat ini. Maka, seperti halnya "perang Aceh", para ulama pun semakin memantapkan diri sebagai "perumus realitas" Aceh. Dan kedudukan sentral Daud Beureueh semakin kukuh juga. Konon ketika inilah Bung Karno datang ke Aceh dan ketika ini pulalah ia berjanji kepada sang ulama—yang menurut kisahnya dipanggilnya "kakak"—bahwa ia akan ikut memperjuangkan agar hukum syariah bisa dijalankan di Aceh. Entah sejarah, entah folklore. Yang jelas, kisah ini selalu diulang dan ditulis. Karena dianggap sebagai kebenaran yang sahih, mestikah diherankan kalau kejujuran Bung Karno disangsikan?

Revolusi adalah kisah yang membangkitkan rasa bangga bagi Aceh. Bukan saja daerah mereka terbebas dari pendudukan Belanda dan sebagainya, tetapi juga ketika itulah Aceh merasakan nikmat dan tantangan sebagai provinsi yang otonom. Tgk. Daud Beureueh adalah gubernur militer, yang didukung oleh mata rantai kepemimpinan lokal yang kuat. Kedudukan ini semakin diperkuat ketika "Yogya telah kembali" dan Sjafruddin Prawiranegara menjadi wakil perdana menteri yang berkedudukan di Kutaraja/Banda Aceh. Tetapi, ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi berbagai corak situasi yang dilematis—sebagai akibat pilihan yang tak mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan keberlanjutan aspirasi revolusioner—tetapi bagi masyarakat Aceh pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan. Maka, lagi-lagi saya diingatkan pada berbagai insiden kerdil yang dilakukan aparat pemerintah terhadap Tgk. Daud Beureueh.

Ketika para tokoh pemerintah pusat masih bersedia menyibukkan diri untuk mendengar keinginan masyarakat Aceh dan menyabarkan kemarahan yang telah telanjur dicetuskan, situasi dialogis masih bisa dipertahankan. Tetapi, ketika kabinet telah berganti dan pemerintah pusat hanya melihat masalah Aceh sebagai pantulan dari persaingan internal antara para pemimpin Aceh, hal yang mestinya telah diduga itu pun terjadi. Tgk. Daud Beureueh "ke hutan" di hari Pekan Olahraga Nasional III di Medan, 21 September 1953, secara resmi dimulai. Ironis juga ia memisahkan diri ketika persatuan bangsa secara simbolis ingin diwujudkan dalam pekan olahraga. Tetap, bukankah ironis juga kalau sang pendekar kemerdekaan dengan begitu saja disingkirkan dengan dalih ketertiban pemerintahan?

Dalam masa "di hutan" itu ia, seperti juga halnya Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, bergabung dengan NII/Darul Islam, yang berpusat di Jawa Barat. Kemudian ia mendekatkan diri dengan Republik Persatuan Indonesia/PRRI. Dengan kata lain, sang ulama-politikus ini hanya menginginkan Aceh sebagai bagian dari alternatif NKRI—negara Islam atau/dan negara federal, tetapi bukan negara yang terpisah. Ia berontak, tetapi ia bukankah seorang separatis. Sembilan tahun kemudian ia turun ke bawah, kalah, tetapi diterima dengan segala kehormatan.

"Peristiwa Daerah" telah berakhir. Aceh pun menjadi daerah istimewa, yang dibolehkan menjalankan hukum syariah. Tetapi pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya: dalam hal apa Aceh diistimewakan? Atau pertanyaan ini: jika saja 10 persen dari hasil Aceh dikembalikan kepada kami, rakyat Aceh sudah puas dan berterima kasih? Seorang pedagang di Lhok Seumawe berkata, "Di manakah keadilan mau dicari kalau semeter tanah dihargai lebih murah dari semeter plastik?" Ia mungkin melebih-lebihkan masalah, tetapi tuntutan terhadap ketidakadilan semakin nyaring juga. Sementara itu, Tgk. Daud Beureueh telah diharuskan, dengan segala cara, hanya berperan sebagai "museum sejarah"—untuk dinikmati dan direnungkan. Orde Baru bukan saja telah menguasai politik dan ekonomi, tetapi juga penguasa kesadaran dan pemegang monopoli ingatan kolektif bangsa. Ketika monopoli ini goyah, mestikah diherankan kalau semuanya meletup keluar? Yang tampil bukan lagi alternatif terhadap tatanan negara, melainkan hasrat pemisahan dari bangsa dan negara yang pernah diperjuangkan Aceh dengan gigih.

Taufik Abdullah Sejarawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus