Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESIBUKAN mendera Markas TNI Angkatan Laut di Cilangkap pekan-pekan ini. Mobil bercat putih milik polisi militer kerap mondar-mandir di sana, menjemput para saksi kasus pembunuhan bos PT Asaba, Boedyharto Angsono. Tak sekadar membuat gerah, perkara ini benar-benar menampar petinggi Angkatan Laut. Soalnya, empat anggota marinir diduga kuat terlibat dalam pembunuhan. "Ini sudah buka-bukaan. Sebagai warga korps Angkatan Laut, saya sebenarnya malu," ujar Laksamana Pertama Adiyaman Saputra, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut.
Keempat anggota marinir itu adalah Letnan Dua Sam Achmad Sanusi, Kopral Dua Suud Rusli, Kopral Dua Fidel Husni, dan Prajurit Satu Santoso Subianto. Mereka ditahan tak lama setelah dijemput dari markasnya akhir Juli lalu. Tuduhan yang ditempelkan ke mereka cukup gawat: terlibat aksi pembunuhan berencana terhadap Boedyharto.
Bos PT Asaba tersebut ditembak di sebuah gelanggang olahraga di Pluit, Jakarta Utara, 19 Juli lalu. Seorang anggota Kopassus yang mengawalnya ikut tewas dalam peristiwa ini. Satu setengah bulan sebelumnya, direktur keuangan perusahaan ini juga mengalami kejadian yang sama kendati tidak sampai tewas. Kedua peristiwa ini diduga didalangi oleh seterunya, Gunawan Santosa, yang juga bekas menantunya.
Apa kaitannya Gunawan dan anggota Baret Ungu itu? Menurut Adiyaman, keempat tersangka sudah berkenalan lama dengan Gunawan. Istilahnya, mereka sudah "dibina" oleh sang dalang. Karena berlangsung lama, hubungan percentengan alias perbekingan ini membuahkan ikatan emosional. "Selain dekat, juga karena ada uang," tutur Adiyaman kepada TEMPO pekan lalu.
Menurut pengakuan Fauzi Rawi, bekas kuasa hukum Boedyharto, tak semua tersangka itu menjadi pengawal Gunawan. Dia mengaku tidak kenal dengan Santoso Subianto. Pelaku yang satu ini terbilang apes karena menurut hasil pemeriksaan polisi militer, Santoso hanya membantu dan meminjamkan sepeda motornya untuk melakukan penembakan.
Aksi itu bermula dari pertemuan Gunawan dan Kopral Dua Suud Rusli di sebuah restoran seafood di daerah Lokasari, Jakarta Barat, dua pekan sebelum kejadian. Dari pemeriksaan polisi militer Angkatan Laut terungkap, Gunawan memberikan order men-dor bekas mertuanya dengan bayaran hanya Rp 4 juta. "Uang itu lantas dibagi-bagi. Masing-masing mendapat bagian Rp 1 juta," kata Brigjen Soenarko, Komandan Polisi Militer Angkatan Laut.
Ada dua sepeda motor yang dipakai dalam aksi mereka. Selain sepeda motor Honda GL milik Santoso, satu lagi sebuah sepeda motor Honda Tiger 2000 milik sepupu Gunawan. Dengan membawa dua sepeda motor itu, keempat anggota marinir menunggu di gelanggang olahraga Pluit sejak malam harinya. Gunawan sendiri yang mengawasi bekas mertuanya di rumahnya di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Setelah mobil Boedyharto meluncur dari sana pada pagi hari, Gunawan pun segera mengontak telepon genggam Rusli. "Sasaran sudah bergerak, 10 menit lagi sampai," ujar Gunawan seperti dituturkan oleh Soenarko. Jarak antara Mega Kuningan dan Pluit sebenarnya cukup jauh, dan tidak mungkin ditempuh dalam sepuluh menit. Itu sebabnya alumni Akademi Angkatan Laut 1973 itu menduga Gunawan ikut menguntit Boedyharto.
Dari selongsong peluru yang ditemukan, terungkap penembakan Boedyharto dilakukan dengan senjata organik TNI jenis FN kaliber 9 mm. "Tapi pada penembakan Paulus, senjata itu adalah pinjaman dari Gunawan," kata Soenarko. Pistol untuk menembak Paulus—diduga sejenis Makarov—memang sudah terbilang senjata uzur. Entah dari mana Gunawan mendapat senjata buatan Rusia yang pengadaannya terjadi zaman Sukarno itu. Yang pasti, menurut Soenarko, rencana penembakan Paulus juga dirancang di tempat yang sama di Lokasari.
Pekan lalu, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh menegaskan empat anggota marinir bakal dihukum berat. "Eksekutornya mungkin dihukum mati, sedangkan yang lain seumur hidup," katanya dengan nada geram. Dalangnya? Kini Gunawan dinyatakan sebagai orang yang paling dicari oleh Angkatan Laut. Menurut Kent, orang seperti Gunawanlah yang kerap merusak moral anak buahnya. Katanya, "Kalau dia tertangkap, tendang saja pantatnya, tembak, baru bawa ke polisi, saya yang bertanggung jawab."
Arif A. Kuswardono, Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo