Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Indonesia Pasca-imf: Akan Lebih Baik?

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dr. Rizal Ramli Ekonom, mantan Menteri Koordinator Perekonomian RI

Sudah sejak tahun lalu kami dengan sejumlah teman-teman Indonesia Bangkit mengambil inisiatif menyusun strategi alternatif pasca-kontrak IMF (November 2002) sebagai sumbangan pikiran setelah adanya ketetapan MPR Agustus 2002 tentang pengakhiran kontrak dengan IMF. Semula kami berharap bahwa pemerintah juga akan melakukan discourse yang sama sehingga dapat dicari strategi dan kebijakan yang optimal pasca-IMF. Sebetulnya, waktu yang tersedia cukup banyak, hampir empat bulan, sampai akhir Desember 2002, untuk merumuskan exit strategy dari IMF. Jika langkah itu dilakukan, kita sudah memasuki tahap implementasi dari strategi yang dirumuskan tersebut pada awal tahun 2003, sehingga ada satu tahun penerapan strategi sebelum kontrak IMF berakhir.

Sayang, waktu yang ada malah disia-siakan. Pemerintah baru membentuk tim exit strategy pada bulan April 2003 karena masih sibuk mencari berbagai alasan untuk bisa memperpanjang kontrak IMF. Baru kemudian, setelah adanya tekanan opini publik yang semakin luas, pemerintah merumuskan apa yang disebut sebagai exit strategy. Melihat target-target makro yang ingin dicapai dan daftar rencana tindak terlihat bahwa apa yang disebut exit strategy tersebut sangat mengecewakan.

Isinya sangat sumir, tidak ada kejelasan strategi maupun rumusan kebijakan yang jelas dan terukur. Secara umum, exit strategy tersebut lebih merupakan respons administratif dan prosedural ketimbang respons substantif. Juga tidak ada stimulus fiskal yang signifikan untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Yang ada hanya daftar modifikasi dari sejumlah peraturan dan undang-undang yang diklaim sebagai stimulus regulatif.

Sasaran makro-ekonomi yang dirancang juga sangat minimal, dengan target pertumbuhan ekonomi 5 persen tahun 2004, 5 persen tahun 2005, dan 5,5 persen pada tahun 2006. Dengan target pertumbuhan yang minimal tersebut, sulit mengharapkan ada peningkatan lapangan kerja yang berarti.

Selain itu, target mobilisasi pendapatan di dalam negeri juga sangat rendah, seperti terlihat pada target tax ratio (persen GDP) hanya 13,1 persen untuk tahun 2003, 13,5 persen (2004), 14,1 persen (2005), dan 14,5 persen untuk tahun 2006. Rendahnya target tax ratio tersebut merupakan dampak dari tidak adanya rencana terobosan dalam kebijakan perpajakan, terutama ekstensifikasi.

Rendahnya target tax ratio tersebut juga berarti bahwa pembiayaan tambahan akan dicari, terutama dari penerbitan surat utang dalam maupun luar negeri, suatu kebiasaan yang sebaiknya dihindari. Adapun beban utang dalam negeri Rp 650 triliun akan diwariskan kepada generasi yang akan datang dengan terus mengganti-ganti istilah rescheduling (penjadwalan kembali) utang dengan istilah debt re-profiling, kemudian diganti dengan istilah debt switching, dan berbagai istilah lainnya yang bertujuan "menyamarkan" pewarisan utang tanpa adanya upaya sistematis untuk mengurangi stok utang.

Target pertumbuhan ekspor juga sangat minimalis, sekadar "numpang lewat" hanya naik 4-7 persen pada tahun 2003 sampai tahun 2006. Tidak aneh jika surplus transaksi berjalan diperkirakan akan berkurang dari US$ 5,1 miliar pada tahun 2003 menjadi US$ 3,6 miliar pada tahun 2006. Dengan target ekspor sangat minimal tersebut, cadangan devisa bruto diramalkan akan merosot dari US$ 35 miliar tahun 2003 menjadi US$ 33,5 miliar tahun 2004 dan merosot menjadi US$ 30,9 miliar pada tahun 2006.

Bandingkan dengan Cina, yang berhasil meningkatkan cadangan devisanya sebesar US$ 146 miliar dan India US$ 46 miliar pada tahun 1997 hingga Juni 2002, akibat visi dan strategi yang jelas serta kerja keras. Pada periode yang sama peningkatan cadangan devisa neto Indonesia hanya US$ 6 miliar. Dengan target-target makro Indonesia yang sangat minimal tersebut, mudah diduga bahwa ekonomi Indonesia akan semakin vulnerable (rentan) pasca-IMF, sehingga dapat diperkirakan bahwa akan ada alasan lagi untuk kelompok pro-IMF kembali meminta bantuan lembaga keuangan internasional itu di kemudian hari.

Inti persoalannya adalah apakah pemerintah sungguh-sungguh memiliki niat untuk memperkukuh dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Jika ada niat sungguh-sungguh dan semangat kerja keras, target-target tidak bisa sekadar "numpang lewat" atau minimalis. Dengan target minimalis, jangan bermimpi bahwa pengangguran akan dapat dikurangi dan kesejahteraan mayoritas bangsa kita akan dapat ditingkatkan. Untuk bisa keluar dari kerangka berpikir minimalis tersebut, harus ada target-target makro dan sektoral yang lebih optimal dan rangkaian kebijakan untuk mencapainya. Jika tidak, ramalan akan adanya financing gap, reserve gap, dan sebagainya akan menjadi kenyataan (self-fulfilling prophecy). Bagaikan lulusan murid SMA, jika target nilainya hanya angka 5 dan 6, jangan bermimpi diterima di universitas terbaik.

Padahal, dengan target-target makro dan sektoral yang lebih optimal seperti simulasi tim Indonesia Bangkit, dan semangat kerja keras, justru akan ada tambahan penerimaan, peningkatan cadangan devisa, sehingga ada sumber daya tambahan yang dapat dipergunakan sebagai stimulus untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Harus diakui bahwa saat ini Indonesia telah mencapai suatu stabilitas finansial dalam bentuk penguatan nilai tukar rupiah, penurunan inflasi dan tingkat bunga. Namun stabilitas finansial tersebut dicapai terutama sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal (externally-driven stability). Melemahnya dolar AS terhadap semua mata uang lainnya di dunia sejak satu setengah tahun lalu sangat membantu memperkuat nilai tukar rupiah.

Di samping itu, tingkat bunga global mencapai titik terendah sejak tahun 1950-an dan inflasi global juga sangat rendah, sehingga memungkinkan untuk menurunkan tingkat inflasi dan tingkat bunga di dalam negeri. Faktor domestik yang paling penting untuk mencapai stabilitas finansial tersebut adalah adanya kesepakatan partai politik untuk membiarkan Megawati sampai tahun 2004. Kontribusi kesepakatan politik tersebut terhadap penurunan risiko sosial politik di Indonesia cukup tinggi.

Kondisi itu sebetulnya memungkinkan investasi masuk. Tapi ada perbedaan yang sangat signifikan antara aliran modal ke Indonesia dibandingkan dengan ke Cina dan Thailand. Aliran modal yang masuk ke Indonesia selama satu tahun terakhir terutama adalah modal akuisisi untuk pembelian aset BPPN oleh pemilik lama dan aliran portofolio yang bersifat spekulatif. Aliran spekulatif tersebut masuk karena pengurangan risiko sosial politik, yang kemungkinan akan balik arah setelah kasus pengeboman Marriott. Sedangkan aliran modal ke Cina dan Thailand terutama berbentuk penanaman modal berjangka panjang yang tertarik oleh potensi ekonomi Cina dan Thailand yang sangat prospektif. Adanya perbedaan karakter dari aliran modal tersebut terjadi karena investor hanya melihat Indonesia dari perubahan kurva risiko, tetapi belum melihat Indonesia dari prospek potensi pemulihan ekonomi.

Respons investor akan sangat berbeda jika stabilitas yang tercipta merupakan akibat dari faktor-faktor internal (internally-driven stability). Misalnya, jika terjadi peningkatan penggunaan kapasitas terpasang industri mendekati 90 persen (saat ini hanya mencapai sekitar 60 persen), produk Indonesia lebih kompetitif, adanya perbaikan iklim usaha, dan law enforcement. Jika hal tersebut yang terjadi, stabilitas yang dicapai akan lebih kukuh dan prospek ekonomi Indonesia akan lebih menarik bagi investor berjangka panjang. Upaya untuk menciptakan stabilitas yang digerakkan oleh faktor-faktor internal akan jauh lebih sulit, karena sangat ditentukan oleh adanya terobosan strategi dan kebijakan, serta kepemimpinan politik dan ekonomi yang lebih kuat. Kepemimpinan dengan visi yang jelas dan kapasitas implementasi yang lebih kuat, bukan sekadar menikmati kekuasaan dan ritual seremonial.

Semula kami sangat berharap bahwa exit strategy yang dirumuskan pemerintah merupakan suatu pergeseran paradigma dari stabilitas yang digerakkan oleh faktor-faktor eksternal menjadi faktor-faktor internal. Hanya dengan pergeseran paradigma tersebut, ketahanan dan kemandirian ekonomi Indonesia akan lebih kukuh. Pergeseran paradigma tersebut akan menjadi kado yang sangat indah untuk ulang tahun Republik Indonesia yang ke-58. Sayang sekali bahwa harapan tersebut hanya fatamorgana, karena target yang sangat minimalis, sekadar "numpang lewat" tanpa ada pergeseran paradigma yang berarti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus