Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pelakor atau Pebinor, Mana yang Beban Mentalnya Lebih Berat?

Istilah pelakor dan pebinor kini semakin populer. Secara psikis, mana yang lebih berat memikul beban?

21 Februari 2018 | 21.44 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi selingkuh. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Seolah menjadi tren, istri sah merekam pelabrakan pelakor, kemudian diunggah ke media sosial. Istilah pelakor sendiri kini menjadi momok bagi kebanyakan wanita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka yang sudah bersuami khawatir suaminya diambil pelakor. Mereka yang kebetulan menjadi pelakor, takut diciduk istri sah, namun, berbanding terbalik dengan fenomena pria hadapi pebinor atau perebut bini orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berita-berita suami yang mendapati istrinya memiliki pria idaman lain atau bahkan melabrak istrinya yang berselingkuh cenderung cepat hilang begitu saja atau tidak ramai dibicarakan.

Mungkin, masyarakat akan bersimpati. Namun kebanyakan beranggapan, kalau toh akhirnya hubungan berujung perceraian, suami yang istrinya pindah ke lain hati dianggap akan mudah mencari pengganti. Maka simpati yang didapatkan pria sebagai korban pebinor tidak sebanyak simpati yang diberikan pada istri korban pelakor. Padahal baik pria maupun wanita yang menjadi korban, hal itu sama menyakitkan.

Jika kegagalan rumah tangga disebabkan oleh perilaku suami yang tidak bisa ditolerir istri, misalnya kurang memberi nafkah, atau kurang perhatian sehingga istri mengultimatum untuk minta cerai, hal seperti itu mungkin sudah biasa.

Perilaku atau kekurangan suami mungkin masih bisa diperbaiki dan istri bisa memaafkan sehingga rumah tangga mereka terselamatkan. Tapi bagaimana kalau istri diam-diam memberikan hatinya pada lelaki lain dan berselingkuh? Maka inilah kenyataan-kenyataan pahit yang harus pria rasakan ketika bersaing dengan pebinor.

Stigma bahwa pria adalah penjaga wanita
Kalau dalam kasus pelakor, masyarakat cenderung menyalahkan tiga belah pihak, yakni:
1. Suami yang kegenitan mentang-mentang sudah sukses
2. Perempuan (pelakor) yang maunya instan dapat lelaki yang sudah mapan
3. Istri yang dianggap tidak bisa memuaskan suami, maka lain halnya jika seorang perempuan meninggalkan suaminya karena hatinya telah berpindah. Orang cenderung hanya menyalahkan pihak suami yang diselingkuhi.

Alasannya bisa macam-macam, punya istri cantik tapi tidak dimodali, kurang memuaskan istri di ranjang, kurang perhatian, kurang memberi nafkah, dan lain-lain. Pada kasus ini orang jarang menyalahkan istri yang diam-diam berselingkuh dan selingkuhannya dan hal ini akan menjadi track record pria pada saat mencoba menjalin hubungan pasca perceraian.

Kegagalan itu akan tercatat dan mungkin membuatnya takut bahwa calon pasangannya di masa mendatang menjadikan hal itu sebagai bahan pertimbangan jika ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Ayah tidak bisa merangkap jadi ibu
Mungkin egois, tapi kebanyakan pria menikah juga dengan motif bahwa akan ada yang menjaga mereka di hari tua. Namun pepatah berkata, seorang ibu bisa merangkap tugas menjadi seorang ayah, namun ayah tidak akan bisa merangkap tugas sebagai ibu.

Maka, ketika suami terpaksa menerima kenyataan istrinya dicuri pebinor, ketakutan ditinggal sendirian, karena anak-anak kemungkinan akan tetap ikut ibunya, akan menghantui sehingga jelas ditinggalkan istri jauh lebih berat dibanding meninggalkan istri.

Ketakutan ditinggal sendiri menjadikan pria rentan depresi, apalagi membayangkan harus memulai lagi dari awal. Belum lagi ketakutan menghadapi sidang perceraian, finansial, dan lain-lain.

Julukan hina sebagai pria yang gagal mempertahankan wanita
Jika seorang wanita suaminya direbut oleh perempuan lain, mungkin dia dicap sebagai perempuan yang gagal mempertahankan rumah tangga. Tapi biasanya mereka tidak akan dicap gagal sebagai seorang ibu.

Tapi bagi pria, sebutan sebagai pria gagal mempertahankan wanita sungguh menyakitkan. Bukan hanya malu di mata keluarga dan teman-teman, tapi juga di dalam pergaulan. Sulit keluar dari stempel tersebut yang mungkin akibatnya berimbas ke pekerjaan atau karier, bisnis, dan hubungan sosial.

Pria yang cenderung susah curhat atau mengungkapkan kesedihannya dan "gagal move on", rentan pula terjerumus kepada ketergantungan alkohol dan penyalahgunaan narkoba yang justru membuat kehidupannya semakin rusak.

Lalu harus tetap tenang hadapi semua itu
Jika wanita dianggap wajar berteriak, marah, menangis, saat menghadapi masalah rumah tangga yang berat, maka pria tidak bisa. Saat menghadapi kenyataan istrinya memberikan hatinya kepada pria lain, maka seorang pria harus tetap kuat, tidak boleh cengeng, apalagi ekspresif marah-marah ketika tahu istrinya selingkuh.

Lingkungan menuntut pria untuk selalu tenang dan kalem. Jika tidak, malah balik di-bully dan dibilang cengeng sebagai pria atau disebut penjahat jika sampai melakukan kekerasan kepada istrinya yang jelas-jelas selingkuh. Sungguh berat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus