Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN perempuan bule turun dari bus yang merapat di Museum Bank Indonesia. Akhir September lalu, saat para suami sibuk dengan pertemuan bisnis, para istri petinggi Global Unilever ini melancong di Kota Tua Jakarta. Pengisi waktu luang tersebut merupakan pesanan istri Chief ExecuÂtive Officer Global Unilever Kim Polman saat suaminya, Paul Polman, mengikuti World Economic Forum di Jakarta, Juni lalu. "Pasti menyenangkan bisa berwisata di Kota Tua," kata Kim seperti ditirukan Manajer Hubungan Masyarakat Unilever Indonesia Maria Dwiyanti.
Tur bangunan kolonial itu dipandu Komunitas Historia Indonesia. Komunitas bentukan alumni Jurusan Sejarah Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia itu jadi pilihan karena para nyonya dari Eropa itu berpesan agar tur tak sekadar jalan-jalan. "Harus ada penjelasan sejarah bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial itu," kata Maria.
Historia memang mengadakan wisata sejarah sejak dua tahun lalu. "Kami memang banyak menerima permintaan wisata dari perusahaan multinasional dan sekolah internasional," kata Ketua Komunitas Historia Indonesia Asep Kambali.
Berawal dari keinginan agar sejarah tak diajarkan secara membosankan, Asep dan kawan-kawan menggagas wisata sejarah dengan konsep menghidupkan kembali sejarah. Saat berwisata ke Kota Tua, misalnya, peserta diajak mengenakan busana zaman kolonial agar bisa merasakan suasana pada era itu. Bagi Asep, sejarah akan menarik jika yang ditawarkan adalah pengalaman langsung. "Jadi wisata sejarah itu harus ada yang dilihat, diraba, dilakukan, dan dimakan," kata pria yang pernah mengelola Museum Samanhudi di Solo ini.
Asep berpendapat wisata sejarah lokal bakal terus berkembang karena kelas menengah ke atas di kota-kota besar kian tertarik pada sejarah. Peserta juga akan terus berdatangan. Ia mencontohkan banyak sekolah swasta di Jakarta yang menjadikan wisata sejarah sebagai program tahunan bagi siswanya.
Tantangan agar sejarah tak membosankan adalah cara mengemas. Destinasi tak terbatas pada museum dan bangunan bersejarah, yang sudah dikenal orang. Untuk itu, mereka berminggu-minggu keluar-masuk kampung-kampung di pelosok Ibu Kota dan menggali sejarah lokal.
Kampung Arab di Pekojan, Jakarta Barat, adalah salah satu tempat yang mereka olah. Historia mengajak para pelancong melihat langsung kehidupan di kampung yang ada sejak zaman kolonial itu, mengobrol langsung dengan warganya, plus mencicipi resep nasi kebuli turun-temurun.
Heritage-preneurship alias menggarap peluang bisnis dari peninggalan sejarah memang tengah jadi tren. Komunitas pencinta sejarah "mengemas" penelusuran masa lalu menjadi kegiatan yang menyenangkan dan, syukur-syukur, menguntungkan bagi pengelola. Namun luapan gairah komunitas ini mengenalkan sejarah lokal lebih kuat daripada sekadar mencari keuntungan finansial.
Minggu tiga pekan lalu, Historia mengajak sekitar 80 orang menembus padatnya jalan dan pasar di Jatinegara, Jakarta Timur. Wisata ini menelusuri medan pertempuran pasukan Belanda-Prancis yang diserbu armada Inggris pada 1811. Jatinegara atau dulu disebut Meester Cornelis adalah benteng pertahanan Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens, bawahan Napoleon. "Biasanya tak banyak yang mau berwisata ke Jatinegara," kata Asep. "Tapi, karena ini ada tema khusus, pesertanya di luar dugaan saya. Jadi sangat banyak," ujarnya.
Hari itu Sugianto, 53 tahun, membawa putrinya, Jasmine, 15 tahun, berwisata bersama Historia. Menurut karyawan perusahaan peranti lunak ini, ia tertarik karena turnya bertema khusus. "Ada banyak pilihan rekreasi. Saya pilih yang benar-benar bermanfaat buat saya meluangkan waktu."
Ketertarikan Sugianto dan Jasmine pada wisata sejarah dimulai saat mereka mengikuti tur Chineesche Troebelen 1740 yang diadakan penerbit Komunitas Bambu. Perjalanan itu menelusuri lokasi kehidupan orang Cina pada masa kolonial hingga terjadi pembantaian etnis Cina di Batavia pada 1740.
Dipandu pendiri Komunitas PeranakÂan Indonesia, Yohannes Somawiharja, rombongan sekitar 20 orang dibawa ke Kalibesar di kawasan Kota Tua Jakarta. Pembantaian orang Cina terjadi di sana. Setelah itu, mereka bergerak ke pusat niaga di daerah Pancoran. Perjalanan berakhir di sekolah Pha Hwa di Jalan Patekoan. Tonil tentang rentetan peristiwa pembantaian itu dipentaskan di sekolah komunitas Tionghoa yang didirikan pada 1920 itu.
Menurut Direktur Komunitas Bambu J.J. Rizal, wisata tersebut disusun berdasarkan buku Tionghoa di Batavia dan Huru-hara 1740 karya Johannes Theodorus Vermeulen dan Ni Hoe Kong: Kapitein Tiong Hoa di Betawie dalem Tahon 1740 yang ditulis B. HoeÂtink. Dengan ongkos Rp 100 ribu, peserta mendapat dua buku tersebut plus akomodasi. "Ini semacam bedah buku on the road," ujarnya. Bagi Rizal, melihat langsung lokasi akan membuat pembaca lebih memahami isi buku.
Alumnus Jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini tak memungkiri wisata juga bermotif bisnis. Buku yang lesu penjualannya, kata dia, bisa kembali laku setelah wisata yang rata-rata diliput wartawan itu. Wisata sejarah jadi pilihan Rizal karena ia melihat ada gairah orang menelusuri situs-situs bersejarah. "Peserta wisata sejarah kami semuanya orang yang suka sejarah," ujarnya.
Karena itu pula Rizal berani merancang wisata di kota-kota lain. Proyek besarnya yang akan dijalankan Februari mendatang adalah wisata dari buku Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX karangan Sitor Situmorang. Perjalanan menelusuri jejak perang Sisingamangaraja XII itu rencananya dimulai dari Medan dan berakhir di kampung halaman Sitor di Harianboho, Pulau Samosir, Sumatera Utara.
Penggagas wisata ini tak cuma sarjana sejarah. Paulina Mayasari, yang menggagas wisata Jejak Petjinan, berprofesi sebagai desainer grafis. Menurut Maya, begitu ia biasa disapa, alasan ia mendirikan komunitas Jejak PetjiÂnan adalah ingin menunjukkan bahwa masyarakat Cina di Indonesia bukanlah warga kemarin sore. "Kami ingin masyarakat tahu orang Tionghoa sudah berbaur sejak lama," ujarnya. Namun mengadakan diskusi atau seminar dianggap Maya tak menarik. "Kami mencari cara yang tak menggurui orang."
Akhirnya komunitas yang berada di Surabaya ini memilih mengadakan wisata ke pecinan. Setelah meriset lokasi-lokasi yang layak didatangi, pada Desember 2009 mereka mengadakan tur pertama. "Ternyata peminatnya banyak, malah sebagian besarnya bukan orang Cina," kata Maya.
Maya mengatakan wisata sengaja dibuat interaktif agar pesertanya bisa berbicara langsung dan berinteraksi dengan masyarakat yang dikunjungi serta melihat langsung denyut kehidupan mereka. Jejak Petjinan pernah menyajikan cara membuat ronde. Mereka juga diajak menguleni adonan tepung ketan berisi kacang tanah yang dihaluskan itu dan sama-sama menikmati hasil jadinya.
April lalu, Jejak Petjinan menggelar tur mengenal prosesi perkabungan suku Hakka di Surabaya. Mereka yang ikut tur diajak melihat pembuatan peti mati dan rumah abu serta berdiskusi dengan pembuat bongpai, nisan khas Cina.
Jalan-jalan ini bersama Jejak Petjinan kadang hanya berbiaya sekitar Rp 60 ribu. Namun ada juga yang sampai Rp 400 ribu, yakni saat menelusuri jejak Cina di Madura pada Juli lalu. Perjalanan dua hari ini menelusuri komunitas Cina di pesisir utara pulau itu seperti di Pasongsongan, yang beragama Islam, serta mencicipi kuliner peranakÂan Madura.
Pendapatan lebih dari wisata itu dipakai Maya buat membiayai kegiatan riset Jejak Petjinan. Lewat penelitian itu, mereka menggali warisan kebudayaan pecinan yang rencananya akan dibukukan. Sebagian, kata Maya, juga disumbangkan ke komunitas nonkomersial yang mereka kunjungi.
Oktamandjaya Wiguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo