Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Biang Keladi Pelemahan KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi lembaga hukum tak bertaji. Ancaman koalisi partai melalui revisi UU KPK.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH loyalitas mencuat dalam rapat dengar pendapat Komisi bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat bersama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin, 1 Juli 2024. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengeluhkan perilaku pegawai komisi antirasuah yang kerap menghambat penanganan perkara. Permintaan pimpinan KPK sering ditolak pegawai. “Saya tak tahu penyelidik dan penyidik KPK sekarang loyal kepada siapa,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semua penyidik dan penyelidik KPK bernaung di bawah Kedeputian Penindakan. Peran mereka cukup strategis karena ikut menentukan status hukum seseorang. Kedeputian Penindakan selama ini dipimpin oleh polisi berpangkat inspektur jenderal. Personelnya berasal dari Kepolisian RI dan lembaga hukum lain, seperti Kejaksaan Agung, juga Badan Pemeriksa Keuangan dan Kementerian Keuangan. Ada juga penyidik dan penyelidik independen, tapi mereka kerap mengemban tugas fungsional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beragam latar belakang ini yang dimaksud Alex perihal loyalitas tersebut. Penyidik dan penyelidik kebanyakan berasal dari Korps Bhayangkara yang ditugasi lewat persetujuan Kepala Polri. Masa dinas pegawai utusan berbagai lembaga itu juga terbatas. Jika masa tugas berakhir, para pegawai itu akan kembali ke instansi masing-masing. Masalahnya, sekarang mereka kerap tak patuh pada pimpinan KPK. “Jika mereka lebih loyal kepada pimpinan instansi asalnya, itu sangat manusiawi,” ucap Alex.

Kewenangan pimpinan KPK luruh saat revisi Undang-Undang KPK disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 September 2019. Sebelumnya, Pasal 21 Undang-Undang KPK menyebutkan pimpinan KPK menjabat penanggung jawab tertinggi sekaligus penyidik dan penuntut umum. Peran tersebut dicoret setelah revisi Undang-Undang KPK diberlakukan. Pimpinan KPK hanya disebut sebagai pejabat negara. Undang-Undang KPK hasil perubahan juga menyebutkan komisi antirasuah menjadi rumpun eksekutif yang semua pegawainya berstatus pegawai negeri. Padahal, sebelum disahkan, revisi Undang-Undang KPK disebut Presiden Joko Widodo bertujuan menguatkan KPK.

Melemahnya daya cengkeram pimpinan KPK justru membuat proses penyelidikan dan penyidikan karut-marut. Contohnya saat KPK menangani kasus korupsi yang disebutkan menyeret Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Ahmad Muhdlor Ali pada pertengahan Februari 2024. Mulanya sejumlah petinggi Kedeputian Penindakan ngotot kasus ini akan diserahkan kepada Polri karena nilai barang bukti yang disita dianggap terlalu kecil. Baru tiga bulan kemudian Muhdlor Ali ditetapkan sebagai tersangka.

Sejumlah penyidik yang ditemui Tempo pernah menceritakan kesulitan pimpinan KPK memperkarakan kembali mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej. Eddy lolos dari status tersangka setelah gugatan praperadilannya dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Januari 2024. Hingga kini, penyidik tak menggubris permintaan pimpinan KPK untuk menyiapkan kembali surat perintah penyidikan buat Eddy Hiariej.

Tarik-menarik kepentingan antara personel Kedeputian Penindakan dan pimpinan KPK juga terlihat pada penanganan kasus korupsi proyek kereta api Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan. Gara-garanya, salah seorang pelaku disebut memiliki hubungan baik dengan petinggi Polri dan Kedeputian Penindakan. Kondisi yang sama terlihat saat KPK menangani kasus korupsi Formula E yang menyeret mantan Gubernur Jakarta, Anies Rasyid Baswedan. Kasus itu disebut bernuansa politis karena mencuat menjelang pemilihan presiden 2024.

Deputi Penindakan KPK Rudi Setiawan membantah tudingan adanya loyalitas ganda anak buahnya. Ia juga menolak anggapan adanya campur tangan pihak luar dalam perkara Ahmad Muhdlor Ali, Eddy Hiariej, serta korupsi DJKA. Ia mengakui ada perbedaan pandangan dengan pimpinan dalam sejumlah rapat gelar perkara. Tapi itu terjadi karena urusan teknis penyidikan. “Dalam ilmu hukum ada adagium: 10 ahli hukum bisa memberikan 11 pendapat, jadi sangat mungkin ada perbedaan,” ujarnya.

Mantan Direktur Penuntutan KPK yang berasal dari Kejaksaan Agung, Fitroh Cahyanto, mengatakan jaksa KPK tak mudah diintervensi saat menyusun berkas penuntutan tersangka dan membahas kasus. Selain jaksa, penyelidik dan penyidik serta pimpinan KPK menghadiri rapat gelar perkara. Semua masukan didengarkan dan diakomodasi, lalu keputusan akan dibuat secara kolektif kolegial. “Perbedaan sudut pandang adalah dinamika yang lazim dalam forum ekspose perkara,” ucapnya. Fitroh cabut dari KPK setelah muncul kontroversi kasus Formula E.

Sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah kantor pengacara Fredrich Yunadi yang menghalangi penyidikan terhadap Setya Novanto di kawasan Gandaria, Jakarta, 11 Januari 2018./TEMPO/STR/Fakhri Hermansyah

Gesekan antara pimpinan KPK dan bawahannya juga terjadi selepas revisi Undang-Undang KPK. Mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, sempat membuat kegaduhan dengan mengeluarkan surat pemulangan Deputi Penindakan Inspektur Jenderal Karyoto dan Direktur Penyelidikan Brigadir Jenderal Endar Priantoro ke Markas Besar Polri. Layang itu dibalas Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan mengeluarkan surat perpanjangan penugasan Karyoto dan Endar di KPK. Pada Maret 2023, Karyoto akhirnya menjadi Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Delapan bulan kemudian, Polda Metro Jaya menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka pemerasan.

Di sisi lain, independensi Firli sudah diragukan saat masih menjabat Deputi Penindakan. Ia menemui Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di salah satu hotel bintang lima di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, pada November 2018. Pertemuan itu juga menjadi bahasan ketika Firli menjalani proses uji kelayakan di Komisi bidang Hukum DPR saat menjalani seleksi pimpinan KPK pada September 2019. Di depan anggota DPR, Firli mengakui adanya pertemuan itu.

Ketua KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo, mengatakan telah menyetor catatan etik Firli kepada panitia seleksi. Firli juga pernah dianggap melanggar etik dalam kasus lain saat menjabat Deputi Penindakan. Ia berkomunikasi dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat kala itu, Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang, yang sedang disorot KPK dalam satu kasus korupsi. Tapi dua kasus etik itu tak mengganjal Firli untuk menjadi Ketua KPK. “Saya memang ragu pada komitmen Jokowi memberantas kasus korupsi,” kata Agus.

Agus pernah mengalami peristiwa tak mengenakkan saat bertemu dengan Jokowi di Istana Negara pada Agustus 2017. Jokowi meminta Agus menghentikan penyidikan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik yang menjerat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat kala itu, Setya Novanto. Setya juga menjabat Ketua Umum Partai Golkar yang masuk koalisi pemerintahan Jokowi. “Intervensi itu merusak muruah KPK sebagai lembaga independen,” ucap Agus.

Mantan Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap, menilai pelemahan KPK sudah mulai terasa saat isu kelompok Taliban menyeruak. Puncaknya adalah pemecatan 52 pegawai KPK lewat tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dimotori Firli Bahuri. TWK dituding sebagai cara sejumlah pihak menendang pegawai KPK yang kritis. “Bagaimanapun, Jokowi ikut mendukung revisi Undang-Undang KPK dan menyetujui proses TWK,” tuturnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan publik sempat menaruh harapan akan peningkatan pemberantasan korupsi pada masa awal Jokowi menjadi presiden. Ketika itu Jokowi pernah melibatkan KPK untuk menelusuri rekam jejak calon menteri. Namun situasi itu berubah 180 derajat di periode kedua kepemimpinan Jokowi. “Dia diduga berubah sejak banyak pemimpin partai koalisi pemerintah menjadi incaran KPK,” katanya.

Agus meyakini revisi undang-undang menjadi biang keladi pelemahan KPK. Unsur politis pengesahan draf revisi undang-undang itu terlihat dari prosesnya yang hanya memakan waktu dua pekan. Agus Rahardjo dan pimpinan KPK lain kala itu tak pernah diajak mengkaji rumusan draf versi pemerintah. Mereka baru mengetahui perubahan pasal yang mempereteli banyak kewenangan KPK setelah disetujui DPR. “Undang-undang itu cacat prosedur karena kami tak dilibatkan,” tutur Agus.

Belakangan, Mohammad Mahfud Md. mengakui adanya patgulipat di balik revisi Undang-Undang KPK. Sebelum menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dia pernah diundang Jokowi bersama 50 tokoh bangsa lain untuk merespons kegaduhan revisi Undang-Undang KPK yang baru saja disetujui DPR. Mahfud dan sejumlah pakar menyarankan Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagai jalan tengah. Jokowi mulanya setuju. Belakangan, saran itu diabaikan dan revisi Undang-Undang KPK tetap disahkan. “Sejumlah partai pendukung sempat mengancam akan melakukan impeachment,” ujar Mahfud pada Selasa, 23 Juli 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus