Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT bernada keras itu dikirim 35 pengusaha gas yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Compressed Natural Gas Indonesia ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Maret lalu. Mereka meminta alokasi gas khusus transportasi yang harga di hulunya US$ 4,72 juta British thermal unit (mmbtu). "Ini sudah seperti cap darah dari kami," kata Danny Praditya, yang kala itu menjabat Ketua Asosiasi.
Kementerian Energi memang telah mengalokasikan gas sebesar 35,15 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) itu untuk Pertamina. Dengan harga jual di konsumen untuk compressed natural gas (CNG) sebesar Rp 3.100 per liter setara premium (lsp) dan liquefied gas for vehicle (LGV) sebesar Rp 5.100 per lsp, gas itu bisa menyuplai sekitar 40 ribu kendaraan bermotor sepanjang 2013.
CNG merupakan bahan bakar gas yang terbuat dari kompresi gas metana. Penyimpanan gas ini biasanya dalam bejana tekan berbentuk silinder. Penggunaannya telah umum di Indonesia, seperti di bus Transjakarta. Sedangkan LGV berbentuk seperti elpiji untuk kendaraan. Kualitas pembakarannya setara dengan RON 98 dan ramah lingkungan.
Danny dan koleganya yakin mampu memasok gas untuk kendaraan bermotor seperti yang dilakukan Pertamina. "Sudah kami advokasi soal pemakaian bahan bakar gas sejak dulu," ujar Danny, yang kini menjabat Presiden Direktur PT Gagas Energi Indonesia. "Stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) yang kami bangun di Surabaya dan Palembang, meskipun skalanya kecil, masih jalan sampai sekarang."
Namun niat baik para pengusaha yang terdiri atas trader, pemilik CNG dan SPBG, serta penyalur gas itu sampai sekarang tak mendapat jawaban dari pemerintah. Pertamina tetap mendapat prioritas untuk membangun SPBG lebih dulu. Duit Rp 474 miliar yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara telah dialokasikan untuk pembangunan itu.
Pertamina akan memakai dana itu untuk membangun SPBG, pipa gas, dan pengisian gas bergerak (mobile refueling unit). Di luar dana APBN, Pertamina juga bakal menambah SPBG dengan kas internal. Total SPBG milik Pertamina tahun ini bakal mencapai 20 buah. Jumlah yang beroperasi sekarang baru 10 buah. Pada akhir tahun nanti, delapan SPBG akan mulai aktif, sementara dua lainnya masih dalam perbaikan.
Dengan kondisi ini, tentu saja sulit bagi pihak swasta masuk. Yang paling utama adalah masalah lahan. Pertamina diuntungkan telah memiliki stasiun bahan bakar minyak yang tersebar di seluruh Indonesia, sehingga bisa langsung ditambah fasilitas pengisian gas. Belum lagi adanya alokasi dan harga gas yang telah diprioritaskan untuk perusahaan minyak pelat merah itu.
"Seharusnya dibuka peluang seluas-luasnya untuk semua pihak masuk," kata Danny. "Supaya program pengurangan pemakaian bahan bakar minyak bisa maksimal." Gagas Energi Indonesia—anak usaha PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk—termasuk beruntung karena mendapat dukungan dari pemerintah DKI Jakarta untuk program konversi bahan bakar minyak ke gas. Pada pertengahan tahun ini, mereka mendapat lokasi di Lapangan IRTI, Monumen Nasional, untuk menempatkan SPBG berjalan.
Rencananya bakal ada tambahan dua SPBG serupa tahun ini di Ragunan dan Lapangan Banteng. Namun tetap saja masih ada kendala kalau ingin membangun SPBG permanen. Keinginan untuk menjalin kerja sama dengan Pertamina bertepuk sebelah tangan. "Mau pasang logo PGN (Perusahaan Gas Negara) saja tidak bisa," ujarnya.
Keinginan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki SPBG sebanyak-banyaknya tidak main-main. Gubernur Joko Widodo menargetkan 3.000 bus berbahan bakar gas bakal masuk. Belum lagi tambahan sekitar 1.000 bus Transjakarta. Wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, telah menagih ke PGN untuk membangun SPBG lebih banyak lagi. "PGN sudah berkomitmen membangun delapan SPBG," ucapnya.
Kisruh pembangunan SPBG hanya bagian kecil dari "perang dingin" antara Pertamina dan PGN. Dua perusahaan pelat merah ini memang sering tak sejalan. Maklum, keduanya berusaha menggaet pangsa pasar terbanyak di bisnis gas. Negara saat ini memiliki 57 persen saham PGN, sisanya milik publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan saham Pertamina masih 100 persen punya negara.
Awal tahun ini keduanya bersitegang soal proyek terminal gas apung alias Âfloating storage regasification unit (FSRU). PGN sempat tak mendapat alokasi gas alam cair (LNG) untuk proyek FSRU di Lampung. Sebelumnya, pemerintah membatalkan proyek FSRU Belawan milik PGN. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menggantinya dengan proyek revitalisasi kilang Arun di Aceh, yang dikerjakan oleh Pertamina.
Pertamina tak selalu di atas angin dalam persaingan itu. PGN boleh dibilang diuntungkan dalam penundaan kebijakan pemakaian pipa gas bersama (open Âaccess), yang diputuskan Kementerian Energi pekan lalu. Tarik-ulur kebijakan ini sudah berlangsung sejak empat tahun lalu ketika Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2009 terbit. Aturan itu mewajibkan semua pihak, termasuk PGN, menjalankan kebijakan open access serta memisahkan peran pengangkutan dan niaga paling lambat dua tahun setelah peraturan terbit.
Tepat sebelum 1 November 2013, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo menilai masih banyak pipa yang harus didesain ulang agar bisa dipakai bersama. "Kami mengubah interpretasi peraturan menteri," katanya. "Awalnya open access dan unbundling harus di semua pipa, tapi kini tak harus semuanya."
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), selaku regulator, tidak bisa berbuat banyak. Direktur Gas BPH Migas Umi Asngadah mengatakan tugas institusinya hanya mengatur dan mengawasi berdasarkan keputusan pemerintah. "Kalau pemerintah mengacu pada dasar hukum, mulai 1 November seharusnya open access sudah terlaksana," ujarnya. "Tapi tentunya harus dengan pertimbangan ekonomi dan teknis."
Memang, Umi menambahkan, tak mudah bagi PGN untuk menjalankan kebijakan itu. Pipa yang dibangun perusahaan itu telah ada sebelum peraturan open access dibuat. PGN selama ini membangun pipa sesuai dengan keperluan konsumen tertentu saja. "Jadi kami harus melakukan identifikasi dan verifikasi pipa-pipa PGN yang dapat dipakai untuk open access," ucap Umi.
Seorang sumber di kalangan perminyakan menyebutkan penundaan open access karena ada lobi yang sangat kuat dari PGN ke Kementerian Energi. Menurut sumber itu, PGN tak mau monopoli bisnis pipa gasnya terganggu. Selama ini perusahaan juga menjadi trader sehingga bisa mengatur untuk mendapat margin yang tinggi ke konsumen.
"Nilai pengembalian modalnya paling tinggi selama enam tahun terakhir," ujar sumber itu. Pengembalian modal PGN, menurut sumber itu, rata-rata 32 persen. Sebagai perbandingan, Petronas (Malaysia) hanya 17 persen, Nippon Gas (Jepang) 7 persen, dan Korea Gas (Korea Selatan) 6 persen. Jadi, kalau harga gas di hulu sekarang sekitar US$ 5,8 per mmbtu, harga gas ke konsumen—setelah ditambah biaya transmisi dan distribusi—US$ 10 per mmbtu.
Pengamat perminyakan, Kurtubi, berpendapat serupa. Selama ini PGN menjual gas dengan harga tinggi ke konsumen. Hampir seratus persen dari panjang pipa distribusi gas dikuasai PGN. "Kebanyakan duit. Sampai mau beli lapangan minyak segala," katanya. "Seharusnya uang itu untuk bangun pipa gas dalam kota untuk rumah tangga."
Open access bisa menjadi cara mengurangi monopoli tersebut. Namun, menurut dosen pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu, pemerintah juga perlu memastikan konsumen bisa langsung membeli gas dari produsen. Tujuannya tentu saja membuat harga gas lebih efisien. "Kalau pakai pihak ketiga lagi sama saja seperti sekarang kondisinya," ujar Kurtubi.
Tapi sampai sekarang belum ada langkah pemerintah untuk mengubah kebijakan pembelian gas di sektor hilir tersebut. Akibatnya, banyak trader memanfaatkan celah ini dan membuat harga jadi bertambah tinggi di tingkat konsumen. "Open access bisa dimanfaatkan trader," katanya.
PGN memang terang-terangan keberatan terhadap kebijakan tersebut. Juru bicaranya, Ridha Ababil, mengatakan mekanisme open access belum jelas. Contohnya soal standardisasi pipa yang dipakai dan sistem jaringan distribusi yang tidak ada penjelasannya dalam aturan. "Kami siap dengan open access demi kepentingan pemerintah, tapi perlu ada aturan lebih jelas supaya tak ada yang dirugikan," ucapnya.
Ia menghitung PGN butuh biaya US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 12 triliun) untuk membenahi pipa agar dapat melakukan open access. Wakil Menteri Susilo Siswoutomo masih mengkaji siapa yang akan membayar biaya investasi pembenahan pipa ini.
Kekhawatiran lain adalah soal berkurangnya pelanggan karena pasar lebih kompetitif. "Bisa setengahnya hilang," ujar Ridha. PGN sekarang menyalurkan distribusi gas sebesar 827 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Pelanggan terbesarnya berasal dari sektor industri (1.247 perusahaan), yang mengkonsumsi 97 persen gas yang disalurkan. Ridha belum mau berbicara soal penurunan margin. "Tergantung keputusan berapa nilai toll fee-nya dari pemerintah," katanya.
Berbeda dengan Kementerian Energi, Menteri Dahlan Iskan tak membela PGN dalam hal open access. "Prinsipnya, open access baik untuk negara. Mungkin sedikit kurang baik untuk PGN," ujarnya. Ia berharap PGN dan Kementerian Energi dapat menemukan solusi yang menguntungkan semua pihak.
Pertamina, melalui anak usahanya, PT Pertamina Gas (Pertagas), mengklaim siap melaksanakan open access. Perusahaan telah melakukannya sejak 2009 dengan pipa yang mayoritas berada di Jawa Timur. Dengan mekanisme penggunaan pipa terbuka ini, harga gas memang jadi miring karena formula harga yang lebih sederhana. Cukup menambahkan harga gas di hulu dengan toll fee yang rata-rata kurang dari US$ 1 per mmbtu. "Kami seratus persen milik negara, jadi tidak boleh hanya cari untung," kata Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto. "Kalau ada BUMN yang tak seratus persen dikuasai negara, tentu tak heran melakukan monopoli."
Seorang sumber Tempo menyebutkan, di luar perseteruan soal kebijakan open access dan pembangunan SPBG, perang antara Pertamina dan PGN berlangsung lebih panas. "Kontrak gas untuk PGN sering tak diperpanjang oleh Pertamina," ujarnya. Penyebabnya, Pertamina kesal karena PGN sering bermain margin di distribusi dan trading gas.
Sejak pertengahan Oktober lalu, menurut sumber itu, Pertamina menghentikan pasokan gas ke PGN dari lapangan Offshore North West Java (ONWJ) sebesar 30 mmscfd. Akibatnya, PGN terpaksa membeli gas di pasar sekunder, yang lebih mahal. "Setahu saya, gas dari Pertamina Jawa Barat sebesar 30 mmscfd kontraknya tak diperpanjang dan diberikan kepada pihak lain," katanya. PGN sampai sekarang tak mendapat penjelasan soal penghentian itu. Hari membantah kabar tersebut. "Tidak benar, gas dari ONWJ masih kami kasih (ke PGN)," ujarnya.
Sorta Tobing, Linda Trianita, Ayu Prima Sandi, Ririn Agustia, Ananda Putri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo