Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pembongkar Perkara Besar

Novel Baswedan kerap membongkar kasus besar yang melibatkan penyelenggara negara, termasuk legislator, pejabat pemerintah, dan perwira polisi. Rentetan teror tak membuat nyalinya ciut.

31 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERCAKAPAN dengan salah seorang pejabat di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI pada pertengahan Juli 2012 itu tak akan pernah lekang dari ingatan Novel Baswedan. Ketika itu, penyidik polisi yang sudah enam tahun bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi ini menyempatkan diri mampir ke kantor Korlantas Polri di kawasan Cawang, Jakarta, sebelum pulang menuju rumahnya di Kelapa Gading.

Secara tak sengaja, ia bertemu dengan seniornya ketika masih mengikuti pendidikan di Akademi Kepolisian. Dari perwira itu, Novel mendapat informasi penting mengenai kasus pengadaan alat simulator kemudi di Korlantas yang tengah dia tangani. Karena beranggapan Novel masih bertugas di Badan Reserse Kriminal Polri, pejabat itu blakblakan mengungkapkan lokasi penyimpanan data di kantornya. "Semua data tersimpan di ruangan di belakang masjid," ujar Novel menirukan ucapan seniornya itu, awal November 2017.

Perwira polisi itu lantas berpesan kepada Novel agar informasi tersebut tidak bocor ke siapa pun. "Kalau KPK sampai tahu dan digeledah, bisa bahaya," ujar pria yang memiliki posisi strategis di Korlantas itu kepada Novel. Mendengar hal ini, Novel hanya bisa mesem. Tak lama kemudian, Novel berpamitan dengan polisi senior itu untuk pulang ke rumah.

Informasi itu menjadi bekal Novel menggeledah ruangan tersebut sepekan berselang. Timnya mengantongi izin penggeledahan setelah sehari sebelumnya pimpinan KPK meneken surat perintah penyidikan kasus korupsi pengadaan simulator kemudi kendaraan roda dua dan roda empat tahun 2003-2010 dan 2010-2012. Dalam kasus yang merugikan negara Rp 121,8 miliar ini, KPK menetapkan bekas Kepala Korlantas, Inspektur Jenderal Djoko Susilo, sebagai tersangka.

Saat penggeledahan, Novel dan timnya langsung menyisir ruangan di belakang masjid yang menjadi pusat data Korlantas. Di ruangan tersebut, penyidik KPK mengambil semua dokumen yang terkait dengan kasus korupsi simulator. Penggeledahan ini sempat memantik keributan karena sejumlah anggota Korlantas menghalang-halangi Novel dan timnya masuk ke kantor mereka. Para polisi itu bahkan sempat memasang gembok besar di pintu kompleks kantor Korlantas agar Novel dan timnya tak bisa masuk. Sebagian dari mereka meneriaki Novel sebagai pengkhianat. Belakangan, polisi mengizinkan tim KPK melakukan penggeledahan.

Aksi penggeledahan ini rupanya berbuntut panjang. Tak lama setelah itu, polisi menetapkan Novel sebagai tersangka kasus penembakan tersangka pencuri sarang burung walet saat ia bertugas menjadi Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bengkulu pada 2004. Tak berselang lama, sejumlah petugas Kepolisian Daerah Bengkulu dibantu para perwira Kepolisian Daerah Metro Jaya mengepung gedung KPK untuk menangkap Novel. Upaya ini gagal karena gedung KPK dibentengi massa yang mendukung Novel. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian meminta polisi tak melanjutkan kasus Novel. Sejak menangani kasus simulator kemudi inilah nama Novel mencuat ke publik.

Belakangan, Mahkamah Agung menghukum Djoko 18 tahun penjara. Ia juga disebut terbukti menilap duit proyek simulator sebesar Rp 32 miliar.

Setelah membawa kasus simulator ke pengadilan, Novel memimpin pengusutan kasus megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri pada 2011-2012. Wakil Ketua KPK saat itu, Bambang Widjojanto, mengatakan penunjukan Novel sebagai pemimpin tim kasus itu merupakan keputusan tepat. "Dia spesialis mengusut pengadaan dan penanganan perkaranya tuntas," ujar Bambang.

Dalam korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu, KPK sudah menjerat enam tersangka. Salah satunya Setya Novanto, yang saat pengadaan e-KTP merupakan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR 2009-2014. Sebagian dari mereka sudah divonis bersalah. Sisanya masih menjalani persidangan dan berstatus tersangka. Setya saat ini menjadi pesakitan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Ketika tengah menangani kasus e-KTP ini, Novel mendapat teror penyiraman air keras ke wajahnya seusai salat subuh di masjid tak jauh dari rumahnya, 11 April 2017. Satu hari sebelumnya, ia meneken pencegahan ke luar negeri untuk Setya. Sejak saat itu, Novel menjalani perawatan di Singapore General Hospital untuk pengobatan matanya akibat penyiraman tersebut.

Di sela-sela penanganan kasus e-KTP, Novel dan tim KPK menggelar operasi tangkap tangan terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Karena jumlah penyuap Akil sangat banyak, Novel menangani jatah besel dari Gubernur Banten 2011-2015, Atut Chosiyah, terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah. Novel ngotot meminta pimpinan segera menahan Atut setelah mantan gubernur itu ditetapkan sebagai tersangka. Ketua KPK saat itu, Abraham Samad, membenarkan soal ini. "Karena khawatir, kalau dibiarkan di luar, bisa menghilangkan barang bukti," ujarnya.

Novel juga beberapa kali berseberangan dengan atasannya saat menangani perkara sensitif. Ini misalnya terjadi ketika ia memimpin tim menangani kasus suap penanganan perkara Lippo Group yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Dari hasil pemeriksaan tersangka, Novel mengendus jejak keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Ia lantas mengusulkan penggeledahan rumah Nurhadi kepada bosnya di bagian penindakan.

Seorang penegak hukum bercerita, pada April 2017, ada petinggi bidang penindakan yang justru meminta penyidik tak menggeledah ruang kerja Nurhadi. Novel tak menggubris permintaan itu. Ia bersama timnya tetap meluncur ke rumah Nurhadi. Dari penggeledahan itu, mereka menyaksikan sendiri upaya tuan rumah mencoba menghilangkan barang bukti dengan mengguyur duit ke toilet dan membasahkan dokumen daftar perkara yang "dipegang" Nurhadi selama di Mahkamah Agung. Nurhadi berkali-kali membantah tuduhan ini. "Tidak benar," katanya.

Sampai sekarang, Nurhadi masih berstatus saksi. KPK belum bisa menjeratnya karena sopir dan ajudan dia yang menjadi saksi kunci seperti hilang ditelan bumi. KPK baru sebatas mencegah Nurhadi bepergian ke luar negeri. Tidak lama setelah pencekalan, Nurhadi mundur dari jabatan Sekretaris Mahkamah Agung.

Saat menangani kasus ini, Novel mengalami teror diseruduk mobil Toyota Avanza ketika mengendarai sepeda motor di kawasan Kelapa Gading sewaktu berangkat ke kantor. Novel terpental dari tunggangannya hingga berguling-guling di jalan. Kaki kanannya terluka akibat tertimpa sepeda motor.

Kasus Nurhadi inilah yang kembali memanaskan hubungan Novel dan sejumlah penyidik polisi. Di KPK, sudah menjadi rahasia umum bahwa penyidik terbagi dua: geng nonpolisi dan penyidik polisi. Hubungan mereka makin runcing karena Novel memprotes keras rencana Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Aris Budiman mendatangkan kembali polisi yang pernah bertugas di KPK. Menurut Novel, langkah ini keliru karena integritas mereka diragukan. Dalam surat elektroniknya, Novel juga menyebut Aris sebagai direktur penyidikan yang tak berintegritas.

Surat elektronik Novel bocor kepada sejumlah penyidik polisi. Tersinggung disebut tak berintegritas, mereka melaporkan Novel ke pengawas internal. Akibatnya, Novel dijatuhi surat peringatan kedua. Setelah diprotes sejumlah pegawai KPK, komisioner mencabut sanksi tersebut. Belakangan, Aris melaporkan Novel ke Kepolisian Daerah Metro Jaya karena tak terima dengan surat elektronik Novel tersebut. "Saya sangat dilecehkan," ujar Aris setelah diperiksa polisi pada Agustus 2017. Kasus ini sudah naik ke penyidikan.

Novel mengatakan siap menghadapi laporan polisi tersebut. "Saya terbiasa diancam," katanya.

Linda Trianita, Syailendra Persada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus