Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUSAN Lilianti Sunarti memejamkan mata seraya memeluk harpa yang bersandar di bahunya. Jari-jarinya bergerak perlahan memetik senar. Berawal dari dua jari, empat jari, sampai delapan jari. Susan seolah-olah berdansa di atas alat musik petik itu. Nada-nada murni mengalun ke udara-lembut, meneduhkan hati saat dia memainkan beberapa lagu untuk Tempo pada awal Desember lalu. Dia memainkan German Dance yang lincah hingga Wonderful Tonight yang lembut mesra. "Ini terapi untuk tangan saya yang gemetar hebat," kata Susan, 53 tahun.
Gigil tangan itu melanda Susan sejak 15 tahun lalu lantaran salah satu saraf di otaknya menyempit. Dia menderita sinusitis sejak kecil. Tapi Susan tak mempedulikannya hingga usianya masuk kepala empat. Sinusitis itu menyusutkan asupan oksigen yang memicu penyusutan salah satu saraf otak. Pada suatu hari, kedua telapak tangannya tiba-tiba bergetar kencang tanpa henti. "Saya tak bisa mengancingkan baju, makan sup berantakan ke mana-mana," tuturnya kepada Tempo.
Susan terguncang. Segera dia berikhtiar mencari aneka pengobatan-dari sederet dokter sampai sinse. Ia banting setir dari pekerjaannya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan menjadi pengusaha kayu kecil-kecilan di Papua untuk menghidupi keempat anaknya. "Dengan tangan seperti ini, saya tak bisa kerja kantoran," Susan memberi alasan.
Bertahun-tahun mengkonsumsi obat, gemetar pada tangan kanannya pelan-pelan berkurang. Tapi kemajuan itu tak terjadi pada tangan kirinya. Dalam posisi telapak tangan telungkup, kelima jari tangan kirinya masih tetap bergoyang keras. Penyembuhan signifikan pada tangan kirinya terjadi saat dia mulai belajar terapi musik pada harpis senior Maya Hasan.
Buta not balok, Susan belajar benar-benar dari nol. Dia mulai dengan lagu sederhana dengan dua jari, seperti lagu anak-anak Old McDonald Had a Farm. Progres Susan sangat signifikan. Setahun sejak mulai latihan, ia sudah bisa bermain harpa dengan semua jarinya. Misalnya, lagu German Dance yang memerlukan delapan jari kiri dan kanan. "Bunyi musik ini menenangkan, membuat saya bahagia," tuturnya.
SUSAN hanya satu contoh di antara banyak pasien yang mulai mencari penyembuhan lewat musik. Rini Wardani, 51 tahun, yang beberapa bulan belakangan ini stres oleh proyek pekerjaan yang datang bertubi-tubi, juga menjajal terapi harpa. Mulai mengenal harpa beberapa waktu lalu, perempuan yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat di bidang kesehatan ini menikmati melodi yang dibawakan sambil memejamkan mata. "Pikiran saya jadi tenang," ujarnya seusai terapi.
Andreas Harry, neurolog senior-dengan pengalaman tiga dekade lebih sebagai dokter ahli saraf-menegaskan besarnya pengaruh musik pada pemulihan kesehatan. Musik, menurut Andreas, berperan membangun kesadaran. Dia mencontohkan hasil penelitian sejumlah saintis Austria yang dipublikasikan di jurnal Frontiers in Neuroscience pada 2015 tentang pasien yang mendapat terapi musik selama lima pekan. Hasilnya? Ada peningkatan aktivitas otak di tiga regio sampai 50 persen, yakni di bagian otak depan, hippocampus-bagian otak besar yang bertugas membentuk, memilih, dan menyimpan memori-serta di cerebellum atau otak kecil, yang bertugas mengontrol gerak dan keseimbangan, serta mengingat kemampuan motorik. "Perilaku (pasien yang diterapi) berubah secara signifikan," katanya.
Menurut Andreas, proses penyembuhannya kurang-lebih demikian: suara akan masuk ke telinga menuju batang otak. Sinyal yang dibawa ke otak akan diproses di bagian otak yang berhubungan dengan pusat-pusat emosi, yakni amigdala, hippocampus, dan sistem limbik. Emosi akan "menerjemahkan" musik bukan hanya sebagai alunan nada, tapi juga memiliki arti buat seseorang.
KEMAJUAN kesehatan Susan dan Rini tak bisa dilepaskan dari peran Maya Hasan, harpis senior yang aktif memberikan terapi musik (sound-healing) dalam dua tahun terakhir. Maya mengobati pasien-pasiennya dengan teknik menyelaraskan alunan melodi dengan frekuensi tubuh pasien. "Setiap makhluk hidup pasti memiliki frekuensi, termasuk organ tubuh," kata Maya.
Harpa, menurut Maya, memiliki gelombang murni tanpa hambatan. Gelombang yang lahir dari nada-nada harpa mampu menembus sel-sel tubuh. Dalam istilah Maya, satu sel gembira karena ditembus gelombang nada harpa akan menularkan sukacita itu pada sel-sel lain. Sel yang bahagia otomatis akan meremajakan diri dan perlahan-lahan menyembuhkan sakit. "Kalau kita bisa membuat satu sel menjadi bagus, multiplikasinya akan bagus sehingga apa pun penyakitnya akan sampai sasaran jika dilakukan terus-menerus," tuturnya.
Teknik Maya kurang-lebih sama walau berbeda pendekatan dengan Anthony Holland, asisten profesor sekaligus Direktur Musik Skidmore College New York. Selama bertahun-tahun dia meneliti kekuatan frekuensi resonansi untuk menghajar sel-sel kanker. Hasilnya dilaporkan antara lain di situs Breast Cancer Conqueror. Holland memberi analogi sebuah gelas bisa retak dan pecah oleh suara yang punya vibrasi serupa dengan vibrasi gelas tersebut. Dengan prinsip ini, Holland meneliti musik yang punya vibrasi setara dengan sel-sel kanker-dengan tujuan mematikan sel-sel berbahaya ini dengan musik.
Maya sendiri mengambil studi khusus selama beberapa tahun sebelum mulai melakukan pelayanan kesehatan melalui musik harpa. Dia berguru ke banyak tempat, termasuk belajar quantum touch kepada Richard Gordon di Amerika Serikat. Ia mempelajari anatomi tubuh, obat-obatan, dan saraf, sampai akhirnya belajar menganalisis kebutuhan frekuensi seseorang. Seperti dokter, Maya melihat kebutuhan dari banyak hal. "Misalnya, kecepatan detak jantung seseorang menjadi bahan pertimbangan musik seperti apa yang akan saya mainkan," katanya.
Satu pakem yang dia pegang: tak boleh menggunakan melodi yang dikenal pasien-pasien non-demensia karena bisa jadi melodi yang diperdengarkan justru membangkitkan kenangan buruk. Sebaliknya, penderita demensia justru diperdengarkan lagu yang dikenal agar dapat menghidupkan memori. Saat Sri Mulyati, ibunya yang berusia 86 tahun, mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan daya ingat, Maya memainkan lagu Halo-halo Bandung, Indonesia Raya, dan Garuda Pancasila. "Ibu saya sangat nasionalis," katanya. Lagu-lagu nasional itu berhasil menolong Sri Mulyati. "It works," ujar Maya dengan gembira.
Diddi Agephe, musikus sekaligus terapis, mengatakan daya kerja musik jauh melebihi sel. Menurut dia, gelombang musik mampu "menembus" hingga ke DNA yang menyimpan segala informasi biologis manusia.
Selain sakit fisik, Diddi menuturkan, terapi musiknya mampu menolong pemulihan masalah batin. Pasiennya datang dengan berbagai macam keluhan, dari kanker, nyeri haid, ingin menguruskan badan, depresi, sampai yang kesulitan mengendalikan emosi. Ia meramu musik sesuai dengan frekuensi kebutuhan mereka. "Frekuensinya diselaraskan dengan organ yang dituju," tuturnya.
Maya dan rata-rata terapis musik menyatakan pendekatan mereka tidak berlawanan dengan pengobatan medis. Ini menjadi pelengkap yang membantu percepatan pemulihan pasien. Hal itulah yang membuat Susan Lilianti tak akan pernah lagi meninggalkan harpanya. "Kualitas hidup saya meningkat oleh terapi musik."
Nur Alfiyah, Hermien Y. Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo