Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pembongkaran Tahap II Kawasan Puncak Diwarnai Amarah Warga, Pemkab Bogor Dinilai Diskriminatif

Warga menilai penertiban bangunan liar di kawasan Puncak tebang pilih karena Pemkab Bogor tak membongkar restoran yang juga melanggar aturan.

26 Agustus 2024 | 14.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas menggunakan alat berat melakukan pembongkaran bangunan lapak Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan wisata Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin 26 Agustus 2024. Pemerintah Kabupaten Bogor mengerahkan 1.200 personel gabungan untuk melakukan penertiban 196 bangunan liar di kawasan Puncak, dan pembongkaran lapak PKL tersebut dilaksanakan sebagai penataan kawasan wisata Puncak tahap dua. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Penertiban kawasan Puncak oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor hari ini diwarnai amarah warga. Mereka menilai Pemkab Bogor diskriminatif karena tak menggusur sebuah restoran dan hanya menindak para pedagang kaki lima (PKL).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penertiban tahap kedua itu dilakukan dari pintu masuk wisata gantole, hingga puncak Pass. Berdasarkan pantauan Tempo, sejumlah warga sempat menghalangi dan mengarahkan alat berat yang dibawa Pemkab Bogor ke Resto Asep Stroberi. Mereka menilai restoran itu juga melanggar karena tidak memiliki izin, namun lolos dari pembongkaran. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ya tentu saja kami kecewa dan marah, mereka tebang pilih dalam penertiban ini. Kami hanya pedagang kecil dibongkar tanpa ampun. Sedangkan resto besar tidak disentuh. Kami akan mencari keadilan dan kami akan laporkan Pemkab Bogor ke Ombudsman," kata Saepudin, warga Cisarua sekaligus pedagang yang lapaknya ikut terkena penggusuran, Senin, 26 Agustus 2024.

Tidak hanya memaki dan memaksa petugas membelokan alat beratnya untuk merobohkan resto asep stoberi, warga yang mayoritas PKL itu juga melempari bagian luar Resto Asep Stroberi dengan telur busuk. Namun petugas gabungan, terus mengawal alat berat agar terus melaju dan meninggalkan resto yang sebelumnya hanya dikenakan sanksi denda Rp 50 juta rupiah oleh Pemkab Bogor.

"Mereka (petugas) hanya berani kepada kami rakyat kecil, sedangkan pemodal besar sebesar dosanya malah dibiarkan. Bahkan, area wisata milik PT. Jaswita yang sudah berdiri dan tidak memiliki izin juga tidak mereka bongkar," teriak warga lainnya, Eman. 

Di tengah penolakan dan amarah warga, Pemkab Bogor terus meratakan bangunan liar dengan jumlah total 196. Bahkan, penjabat Bupati Bogor Asmawa Tosepu mengklaim sebagian bangunan liar sudah dibongkar mandiri oleh pemilik nya. Asmawa menyebut, hal itu sebagai bentuk kesadaran warga dari standar operasional prosedur atau SOP yang dilakukan oleh Pemkab Bogor. 

"Sesuai SOP, kami beri peringatan. Kemudian teguran pertama hingga ketiga. Ada sekitar 90 bangli  (bangunan liar) yang dibongkar sendiri. Adapun yang belum membongkar mandiri, mungkin ada hambatan dari sisi peralatan keterbatasan, kami bantu. Nanti mereka (yang sudah bongkar) kami relokasi ke rest area (area peristirahatan) yang saat ini sudah terisi sekitar 50 persen," kata Asmawa. 

Penertiban tahap pertama jalur Puncak ini dilakukan pada Juli lalu. Pemkab Bogor saat itu merubuhkan lebih dari 300 bangunan liar. Para PKL kemudian diberikan tempat berdagang di rest area Gunung Mas.  

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus