RASA was-was dan saling curiga menghinggapi penduduk Desa Nangerang, Jawa Barat. Itu bermula ketika semua pamong, termasuk kuwu - kepala desa - di kaki Gunung Galunggung itu dinonaktifkan, Juni lalu. Kata Momo Surtama, pejabat di Pemda Tasikmalaya, pemecatan masal itu bukan tanpa alasan. Sang kuwu dan anak buahnya diduga keras telah mensponsori praktek ilmu hitam yang dilakukan seorang dukun. Dengan jampi-jampi tertentu, dukun itu bisa menyulap uang Rp 1.000 menjadi Rp 1 juta. Agaknya, karena senang berjampi-jampi, semua aparat desa melalaikan kewajiban mereka sebagai pamong, selama enam bulan. Kesalahan lain: mereka menunggak kredit Bimas. "Kalau keadaan itu dibiarkan belarut-larut, apa jadinya masyarakat desa itu?" tanya Momo. Atang, 47, sang kuwu, merasa kena tonjok. Ia menyangkal telah mensponsori praktek ilmu hitam. Kesaktian yang dipamerkan dukun, katanya, bukan ilmu hitam - karena jampinya dipetik dari Kitab Suci. Lagi pula, hasilnya untuk membangun kampung. Tak betul pula, katanya, kalau dikatakan bahwa ia dan semua anak buah melalaikan tugas gara-gara praktek perdukunan itu. "Saya cuma tak aktif dua bulan karena sakit. Sedangkan pamong lain tetap bekerja," katanya. Tentang kredit Bimas, Atang mengaku memang menunggak. Tapi, katanya, itu bukan dilakukan olehnya dan pamong lain sebagai aparat desa, melainkan sebagai pribadi. "Kalau petani lain sawahnya boleh gemuk, kenapa sawah kami tidak?" katanya. Yang menjadi soal, kata Momo, mereka itu telah berlaku tak adil dengan mendahulukan kepentingan pribadi dan menomorduakan kepentingan warga. Tak jelas mengapa tunggakan kredit tak bisa ditutup dengan uang hasil sulapan Pak Dukun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini