Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menyatakan nuklir sebagai energi terbersih saat berpidato dalam Kongres Partai Demokrat di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta Selatan, pada Selasa, 25 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau rakyat masih lapar, belum berpikir nuklir,” kata Prabowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu, nuklir bukan hanya senjata, melainkan bisa dimanfaatkan untuk kesehatan, pertanian, dan sumber energi. “Ternyata nuklir merupakan energi terbarukan dan paling bersih.”
Pemeriksaan Klaim
Pembangkit listrik tenaga nuklir telah digunakan sejak 1960-an. Namun penggunaannya menimbulkan kekhawatiran seiring beberapa kecelakaan fatal pada reaktor pembangkit di sejumlah negara.
Kecelakaan pembangkit listrik tenaga nuklir yang paling terkenal adalah ledakan reaktor Chernobyl di Pripyat, Uni Soviet, pada April 1986. Komite Ilmiah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mendata dampak radiasi mencatat 5.000 orang menderita kanker akibat peristiwa itu. Selain itu, Asosiasi Nuklir Dunia mencatat 350 ribu warga harus mengungsi.
Pada 2011, pembangkit listrik Fukushima, Jepang, mengalami kebocoran setelah lindu menggunjang Tohoku di pesisir tenggara Jepang. Insiden itu mendorong sedikitnya 160 ribu warga Fukushima yang tinggal di sekitar pembangkit untuk mengungsi dari tempat tinggalnya.
Namun demikian, pembangkit listrik tenaga nuklir diminati sejumlah negara setelah Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-28 yang digelar di Dubai, Persatuan Emirat Arab, pada Desember 2023. Sebanyak 20 negara menyatakan berminat untuk menambah jumlah pembangkit listrik tenaga nuklir yang dinilai lebih ramah lingkungan.
Menurut World Nuclear Association, energi nuklir telah menyediakan 9 persen sumber listrik global pada 2025. Persentase itu bersumber dari 440 reaktor nuklir yang sudah berdiri.
Indonesia telah mencantumkan rencana transisi energi dari bahan bakar fosil ke sejumlah alternatif sumber energi. Salah satunya nuklir. Rencana itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2034.
Dewan Energi Nasional menargetkan pembangkit listrik tenaga nuklir berkapasitas 250 megawatt dapat beroperasi pada 2032.
Pembangkit Nuklir Bukan Energi Terbarukan
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim mengenai Renewable Energy and Climate Change (2011) mendefinisikan energi terbarukan sebagai segala bentuk energi yang dapat diperbarui melalui proses alami dengan kecepatan yang sama atau melebihi tingkat penggunaannya.
Energi ini mencakup biomassa, surya, panas bumi, tenaga air, gelombang laut, dan tenaga angin. Sementara bahan bakar fosil membutuhkan ratusan juta tahun untuk pembentukannya.
Nuklir tidak digolongkan sebagai energi terbarukan, sebagaimana klaim Presiden Prabowo. Bahan bakar pembangkit tenaga nuklir bergantung pada uranium, mineral terbatas yang tidak dapat diperbarui yang harus ditambang dan diproses lebih lanjut–menurut riset Benjarmin Sovacool dan Christopher Cooper berjudul Nuclear Nonsense pada 2008.
Peneliti di Departemen Teknik Nuklir, Plasma, dan Radiologi, The University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat, Harun Ardiansyah, mengatakan energi nuklir memang tidak masuk dalam kategori energi terbarukan karena sumber penghasil energinya adalah uranium dan thorium. “Keduanya tak bisa dimanfaatkan secara terus-menerus,” kata Harun lewat surat elektronik pada 9 Maret 2025.
Nuklir Tak Benar-benar Bersih
Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pembangkit nuklir berbeda-beda di sejumlah literatur. Sebuah laporan yang dirilis pada tahun 2014 oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC), misalnya, memperkirakan emisi karbon dioksida (CO2) pembangkit nuklir antara 3,7 hingga 110 gram/kilo watt jam.
Mengutip Mark Diesendorf (2014), emisi pembangkit nuklir harus mempertimbangkan seluruh siklus hidup bahan bakar nuklir. Mulai dari penambangan, penggilingan, fabrikasi bahan bakar, pengayaan, konstruksi reaktor, penghentian operasional, dan pengelolaan limbah.
Total emisi karbon dioksida pembangkit nuklir juga bergantung pada mutu bijih uranium yang ditambang dan digiling. Semakin rendah mutunya, semakin banyak bahan bakar fosil yang digunakan, sehingga semakin tinggi emisi yang dihasilkan.
Mark mengutip laporan Jan Willem Storm van Leeuwen dan Philip Smith yang menunjukkan peningkatan emisi dari 117 gram/kWh untuk bijih uranium bermutu tinggi menjadi 437 g/kWh untuk bijih bermutu rendah. Jumlah emisi ini hampir sama dengan pembangkit listrik tenaga gas bumi yakni sebesar 500-600 gram/kWh. Sedangkan emisi dari tenaga angin hanya 10–20 gram/kWh tergantung pada lokasi.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, emisi karbon dioksida dari pembangkir nuklir sebesar 13 gram/kWh. Sementara itu, tenaga surya 43 gram/kWh, tenaga angin 13 gram/kWh, panas bumi 37 gram/kWh, biomassa 52 gram/kWh, dan tenaga air 21 gram/kWh. Ia mengutip riset yang dilakukan The National Renewable Energy Laboratory (NREL) milik Departemen Energi Amerika Serikat pada 2021.
Meski begitu, Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah Sartika Nur Shalati mengatakan pemakaian energi nuklir berpotensi menghasilkan limbah radioaktif yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Laporan The Financial Costs of the Chernobyl Nuclear Power Plant Disaster: A Review of the Literature pada 2016 menyebutkan bahwa insiden Chernobyl menyebabkan 10 juta orang terpapar radiasi. Kerugian akibat kejadian itu menembus Rp 10,5 kuadriliun dalam 30 tahun setelah kejadian.
Di Indonesia, operasi dan pengelolaan limbah radioaktif nuklir berada di bawah kendali pemerintah pusat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, tanggung jawab pengelolaan limbah nuklir dipegang negara melalui badan pelaksana dan badan pengawas.
Penelitian Caitlin Cranmer pada 2024 memperkirakan ongkos penyimpanan limbah nuklir berkisar Rp 2,2 miliar-15 miliar per metrik ton logam berat (MTHM), tergantung pada jenis batuan induk yang digunakan.
Jika dirinci, biaya pemantauan tahunan selama reaktor beroperasi diperkirakan mencapai US$ 1 juta, serta bisa mencapai US$ 5,6 juta-12,7 juta setelah pembangkit berhenti beroperasi. Jika ditotal, estimasi biaya penyimpanan limbah bisa mencapai Rp 1,3 triliun per lokasi.
Keunggulan dan Kelemahan Pembangkit Nuklir
Peneliti di Departemen Teknik Nuklir, Plasma, dan Radiologi, The University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat, Harun Ardiansyah, menyebut reaktor nuklir dapat beroperasi hingga 40 tahun dan dapat diperpanjang hingga 80 tahun, tergantung kondisi peralatan pendukung reaktor.
Dengan potensi tersebut, kata Harun, energi terbarukan dan energi nuklir dapat saling melengkapi satu sama lain. “Pembangkit nuklir dapat beroperasi hampir secara terus menerus,” kata dia.
Kajian Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 2021 menunjukkan pembangkit nuklir generasi IV dengan tipe Small Medium Reactor (SMR) dan menggunakan bahan bakar cair campuran garam, uranium, dan thorium berpotensi menjadi energi transisi di Indonesia. Selain lebih aman, uranium dan thorium terdapat di Indonesia sehingga pengadaan sumber energi akan lebih mandiri.
Namun tantangan lain adalah ketersediaan uranium sebagai mineral yang tidak dapat diperbarui. Permintaan global terhadap uranium terus meningkat di masa depan karena rencana pembangunan 63 reaktor baru dan 60 reaktor yang sudah beroperasi akan diperpanjang. Harga uranium juga diperkirakan akan terus meningkat di pasar global.
Indonesia memiliki sumber daya uranium sebanyak sekitar 90 ribu ton dan thorium 140 ribu ton. Menurut Badan Tenaga Nuklir Indonesia, satu pembangkit nuklir berkapasitas 1.000 megawatt membutuhkan 21 ton uranium agar dapat memproduksi listrik untuk 1,5 tahun.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyarankan Indonesia fokus pada pengembangan energi terbarukan dengan potensi minimal 3700 gigawatt. Menurut dia, pembangkit tenaga surya akan lebih mudah dibangun dan biayanya lebih murah.
Sumber: Ricardo Rüther dan Andrew Blakers (2024) dipublikasi di PV Magazine edisi 13 Januari 2025.
Rüther dan Blakers (2025) dalam artikelnya bertajuk The Fastest Energy Change in History Continues menunjukkan pembangunan pembangkit tenaga surya dan angin yang lebih murah telah mendorong pertumbuhan dua jenis energi itu lebih cepat ketimbang pembangkit nuklir.
Pembangkit tenaga surya dan angin telah digunakan sebesar 700 gigawatt hingga 2024. Sementara pembangkit tenaga nuklir hanya tumbuh 5,5 gigawatt pada tahun yang sama.
Tanggapan Istana atas Klaim Prabowo
Pembangkit listrik tenaga nuklir punya sejumlah keunggulan dibandingkan sumber energi lainnya. Namun jenis pembangkit itu punya risiko yang berdampak pada lingkungan, sosial, dan kesehatan.
Hingga Kamis, 13 Maret 2025, Kepala Kantor Komunikasi Presiden Hasan Nasbi tak merespons wawancara konfirmasi soal klaim Prabowo mengenai pembangkit nuklir.
Namun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia pernah mengklaim pembangkit nuklir di Indonesia akan beroperasi pada 2032 dengan kapasitas maksimal 500 megawatt.
Adapun Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Darmawan Prasodjo menyebut pembangunan pembangkit nuklir masih tahap perencanaan.