Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah bakal meningkatkan intensitas operasi gabungan TNI-Polri di Papua.
Operasi diyakini tidak mengabaikan hak asasi.
Pegiat HAM meminta pemerintah mengutamakan dialog dalam menyelesaikan konflik di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA -- Pemerintah mengklaim peningkatan intensitas operasi gabungan oleh TNI dan Polri di Papua bertujuan memulihkan keamanan di Bumi Cenderawasih. Meski intensitas meningkat, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan operasi dilakukan secara terukur dan tidak berbenturan dengan hak asasi manusia (HAM). “Presiden sudah wanti-wanti soal penanganan KKB ini. Harus tegas, tapi tidak boleh mengabaikan HAM,” ujar Moeldoko, kemarin.
Pemerintah memastikan bahwa target operasi adalah menangkap kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang dianggap meresahkan warga. Menurut Moeldoko, upaya meningkatkan intensitas operasi didasari masukan kementerian dan lembaga, tokoh agama dan budaya, serta masyarakat Papua sendiri.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk terus mengejar dan menangkap anggota KKB di Papua. Presiden menyatakan hal ini setelah tewasnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua, Brigadir Jenderal TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, dalam kontak tembak dengan KKB Papua di Kampung Daungbet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak. “Tidak ada tempat untuk kelompok-kelompok kriminal bersenjata, baik di tanah Papua maupun di seluruh pelosok Tanah Air," ujar Presiden dalam konferensi pers daring, Senin lalu.
Kepala Staf Presiden Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta. TEMPO/Subekti.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodawardhani, mengatakan peningkatan intensitas operasi dilakukan dengan cara mendorong efektivitas personel yang ada di lapangan. Selain itu, kata dia, koordinasi dengan intelijen dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan operasi.
Ihwal penambahan pasukan TNI ataupun Polri, Jaleswari menjelaskan pemerintah akan mempertimbangkannya jika dibutuhkan. ”Penambahan pasukan menjadi pertimbangan Panglima TNI dan Kapolri, yang akan dilakukan jika diperlukan dan berdasarkan kebutuhan di lapangan," ujar dia.
Jaleswari mengklaim operasi ini hanya terbatas untuk mengamankan distrik tertentu di wilayah pegunungan di Papua. Menurut dia, semua aktivitas publik, termasuk kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia, tidak dibatasi dan berjalan seperti biasa. Pemerintah, kata dia, saat ini berfokus pada perlindungan warga sipil. Sebab, ada ancaman bahwa KKB akan menjadikan masyarakat sebagai tameng. Jika ditemukan pelanggaran, langkah yang akan diambil pemerintah adalah penegakan hukum. "Pemerintah menjamin akuntabilitas hukum," ucap Jaleswari.
Asisten Operasi Kapolri, Inspektur Jenderal Imam Sugianto, menduga meningkatnya aktivitas KKB belakangan ini berawal dari sejumlah kalangan yang menolak otonomi khusus Papua. Mereka kemudian membuat gerakan di wilayah yang tidak terpantau oleh aparat.
Tim gabungan TNI-Polri, kata Imam, secara terencana bergerak ke titik persembunyian kelompok bersenjata berdasarkan informasi intelijen. Dia mengklaim mengantongi sejumlah titik persembunyian, namun belum ditindaklanjuti dengan penyerangan. Alasannya, tim tidak ingin bergerak serampangan, untuk menghindari jatuhnya korban aparat maupun warga sipil.
Adapun juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM), Sebby Sambom, membantah jika dikatakan menggunakan warga sipil sebagai tameng. Tentara OPM, kata dia, menerapkan disiplin dalam aturan perang.
Sebby menyatakan, Tentara Pembebasan tidak akan mundur untuk beraksi di Papua. Dia mengklaim saat ini ada sekitar 2.500 anggota pasukan tetap dan tidak tetap di TPNPB yang berasal dari warga Papua. "Kami tinggal di tanah kami sendiri. Mereka mau kirim pasukan seribukah, sejutakah, kami tidak akan mundur," ujar dia.
Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie, mendesak pemerintah menggunakan soft approach atau pendekatan dalam bentuk negosiasi untuk menyelesaikan konflik Papua, seperti terhadap Gerakan Aceh Merdeka. Melalui strategi tersebut, kata dia, kelompok eks kombatan GAM yang dipimpin Win Minimi menyerahkan diri pada 2015. Penyerahan Din kemudian diikuti 120 anak buahnya dengan menyerahkan senjata.
Menurut dia, konflik pun dapat diatasi tanpa memakan korban jiwa, terutama dari kalangan sipil. "Meletakkan HAM menjadi urusan belakangan justru akan membuat penyelesaian konflik Papua menjadi tak kondusif," kata Ikhsan.
Setara mendesak pemerintah dan kelompok bersenjata di Papua memulai dialog dengan tujuan menyepakati penghentian permusuhan (cessation of hostilities). Usul kedua, menempuh penegakan hukum yang diikuti upaya mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana mencari solusi, penyelesaian, ataupun pemecah masalah keamanan.
AVIT HIDAYAT | ANDITA RAHMA | DEWI NURITA | BUDIARTI UTAMI PUTRI | ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo