Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti pencemaran laut Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Reza Cordova punya penjelasan tentang asal sampah yang menumpuk dan menutupi wilayah Hutan Mangrove Muara Angke.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan hasil penelitian BRIN, kata Reza, sampah yang terperangkap di Hutan Mangrove Muara Angke bersumber dari wilayah yang tidak jauh dari kawasan mangrove tersebut. Jaraknya sekitar 10 sampai 30 kilometer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi kalau dalam hal ini (tempat sampah bermuara), ada di Kaliadem, kemudian sekitarnya ada Kali Pluit, kemudian sampai Kali Marunda," kata Reza seperti dilansir dari Antara, Rabu, 12 Juli 2023.
Menurut dia, bila kondisi itu didiamkan begitu saja, sampah dibiarkan menumpuk, tidak hanya berbahaya bagi ekosistem mangrove atau bagi hutan mangrove saja, tapi berbahaya juga bagi habitat yang ada di sekitarnya.
Karena itu, ia mengajak para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk bergerak bersama melokalisir sampah-sampah dari sungai maupun laut, sebelum bermuara di Hutan Mangrove Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara.
"Kenapa seperti itu? Memang dari hasil penelitian kami menyatakan wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara sampah plastik kurang lebih satu ton per harinya yang masuk ke Teluk Jakarta," katanya.
Dia mengatakan sampah-sampah itu mesti dicegat sebelum bermuara ke laut, karena jika sudah sampai ke laut, sampah itu akan terakumulasi ke pinggir daratan Jakarta yang memiliki banyak mangrove.
Pinggir daratan Jakarta di kawasan Muara Angke, Penjaringan adalah kawasan terakhir bagi mangrove di Jakarta Utara karena perairan tersebut baik dalam mengikat akar tanaman tersebut selama pertumbuhannya.
"Muara Angke ini wilayah mangrove yang memang bisa kita bilang kawasan terakhir mangrove yang ada di Jakarta Utara," kata Reza.
Pada sisi lain, penyebab sampah terjebak di Hutan Mangrove Muara Angke karena di tempat itu memiliki karakteristik yang unik. Yakni memiliki flushing rate yang tinggi. Tapi di depan Muara Angke ada pulau buatan. Pulau buatan ini membuat terganggunya flushing rate tersebut.
Sehingga ketika sampah sudah masuk ke wilayah tersebut mengakibatkan sampah akan terjerat di sana dan kemungkinan untuk keluarnya lebih kecil dibandingkan jika di depannya tidak ada pulau.
"Jadi pada kawasan ini memang menyebabkan pada saat pasang atau pada saat air besar dia terperangkap, pada saat ini kan memang musim ini agak sedikit unik ya," kata Reza.
Reza menjelaskan keunikan iklim wilayah Indonesia saat ini juga mendukung sampah untuk 'menyerang' kembali ke daratan Jakarta.
Keunikannya karena walau masuk musim kemarau, tapi sekarang ini cenderung di wilayah Jabodetabek, hujan itu hampir muncul setiap minggu.
Ketika hujan, material-material, termasuk material sampah akan ikut terbawa oleh aliran sungai. Ini mengakibatkan pada waktu tersebut akan terakumulasinya sampah pada kawasan Muara Angke.
"Sebenarnya tidak hanya pada Muara Angke tapi di wilayah pesisir Jakarta pada umumnya," ujar Reza pula.