Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tapak Langkah The Grand Old Man

Dia adalah diplomat yang cerdik dan pendebat ulung, santri yang kritis dan ulama yang moderat. Tapi dia juga pernah kehilangan iman dan susah payah merebutnya kembali hingga menemukan Islam untuk Indonesia: Islam yang tidak terikat adat kebiasaan, tapi dapat menggerakkan bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Berbagai peristiwa yang dialaminya dari masa penjajahan Belanda hingga Indonesia merdeka itu menempanya menjadi Haji Agus Salim.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAMBARAN ringkas tapi jitu tentang Haji Agus Salim bisa diwakili oleh sebuah foto tua yang berbicara seribu kata.

Sebagian dari kata-kata itu, tentu saja, berupa deskripsi tentang "adegan" di dalamnya: Pak Tua yang lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884, itu, dengan jenggot putihnya, mengenakan busana tanpa kerah bercorak garis-garis yang lebih mirip piama; berkopiah dan berkacamata, tangan kanannya mengangkat sehelai kartu remi; di meja di hadapannya berserakan tumpukan kartu dalam posisi terbuka….

Sebagian yang lain berkaitan dengan hal-hal tersirat—tapi sesungguhnya merupakan kenyataan. Di dalam foto itu, Salim tidak sedang berada di rumah megah. Setting ini melengkapi apa yang dikatakan Profesor Willem "Wim" Schermerhorn, ketua delegasi Belanda dalam Perundingan Linggarjati, tentang Salim: sebagai pemimpin, salah seorang pendiri negara, dia "selama hidupnya selalu melarat dan miskin".

Tapi, untuk keperluan edisi khusus merayakan kemerdekaan Indonesia ini, diperlukan penjelasan lebih, yang menguatkan ketokohan Salim. Hal yang sama berlaku untuk edisi-edisi serupa sebelumnya. Diskusi-diskusi dengan narasumber sejak pertengahan Juli lalu, di antaranya sejarawan Taufik Abdullah dan Rushdy Hoesein, mengarahkan perhatian ke satu titik awal yang pas: masa awal kemerdekaan.

Di masa itu, jabatan tertinggi Salim hanya Menteri Luar Negeri. Ini pun tugas yang dipercayakan kepadanya setelah dua kali di masa kabinet Sjahrir dia mentok di jabatan Menteri Muda Luar Negeri; sebelumnya dia menjadi penasihat Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo. Walau demikian, sebagai penasihat dan menteri muda, perannya sama sekali tak remeh. Pada 1947, ia ikut delegasi Indonesia ke Lake Success, New York, untuk membela pendirian dan kedudukan Indonesia terhadap Belanda di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun yang sama, dia juga mengunjungi negara-negara Arab menggalang pengakuan de jure atas kemerdekaan Indonesia.

Salim masih terlibat aktif dalam forum-forum perundingan lain, sebenarnya. Tapi pengakuan negara-negara Arab itu—datang kala Perjanjian Linggarjati masih menempatkan Indonesia dalam kedaulatan Belanda—adalah pencapaian yang tak terkira nilainya.

Belanda gusar. Dalam pengantar buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional (1965), Mohammad Hatta mengisahkan bagaimana Salim merespons amarah Belanda atas pengakuan itu:

"...Kalau Tuan-tuan menganggap usaha kami mendapatkan pengakuan de jure negara-negara Arab atas Republik Indonesia bertentangan dengan Perjanjian Linggarjati, apakah aksi militer yang Tuan lancarkan terhadap kami sesuai dengan Perjanjian Linggarjati? Pengakuan de jure yang kami peroleh adalah akibat daripada aksi militer Tuan. Kalau Tuan-tuan melancarkan sekali lagi aksi militer terhadap kami, kami akan mencapai pengakuan de jure dari seluruh dunia."

Salim tak cuma-cuma memperoleh kedudukannya di masa kemerdekaan. Dia ikut berjuang membebaskan Hindia Belanda, bahkan bekerja keras untuk itu, sejak memilih bergabung dengan Sarekat Islam pada 1915—dan melepaskan keterikatannya dengan penguasa Belanda. Di perkumpulan ini, dia lekas memperoleh kepercayaan, berkenalan langsung dengan pemimpinnya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan kemudian ikut menjadi ahli strategi organisasi.

Sarekat Islam menjadi ajang bagi Salim untuk menempa diri. Di sana, untuk pertama kalinya, dia menyadari betapa sebuah organisasi dengan ribuan anggota bisa didirikan dan digerakkan di masa kolonial Belanda. "Suatu hal yang belum pernah saya impikan," katanya. Di sana pula dia menyaksikan infiltrasi dari golongan yang kemudian menjelma sebagai komunis. Dan hampir sepanjang masa pergerakan, dia mesti menjaga Sarekat Islam (kemudian berubah menjadi Partai Sarekat Islam), berhadapan secara intelektual dengan kubu komunis di dalamnya, dan akhirnya harus memilih jalan sendiri karena berseberangan pendirian dengan sebagian pemimpinnya.

Sarekat Islam merupakan satu di antara beberapa organisasi pelopor pergerakan nasional, yang berdiri di awal abad ke-20. Dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain, Sarekat Islam berusia lebih panjang; malah, melalui keputusan pada 1923, bertransformasi menjadi partai politik. Kontribusi Salim menjadi kian penting di sini. Berkat pikiran-pikirannya yang mereformasi pandangan dan kebiasaan usang, Sarekat Islam menjadi organisasi politik berasaskan Islam yang modern dan moderat. Di kemudian hari, platform ini diteruskan Partai Masyumi, yang sebagian besar penggeraknya "murid" Salim.

Cara Salim "mengajarkan" pandangan-pandangannya tentang Islam mengilhami, antara lain, anak muda berpendidikan Belanda seperti Mohamad Roem, Mohammad Natsir, dan Kasman Singodimedjo. Dalam artikel di buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), Roem menuliskan kesannya mengikuti pelajaran itu sewaktu menjadi anggota Jong Islamieten Bond: "...JIB Cabang Jakarta, yang baru saja didirikan, berbahagia pada tahun pertama itu dapat menikmati beberapa pelajaran dari Haji A. Salim. Pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda yang baik dan jelas oleh orang yang mampu tidak saja mengambil intisari agama, tetapi juga memberi inspirasi kepada golongan muda akan tugasnya di hari kemudian."

Memberi ilham dan memberi contoh, ini hanya sebagian dari gambaran lengkap mengenai Salim, yang wafat pada 4 November 1954. Edisi khusus ini, melalui riset, reportase ke sejumlah tempat, serta wawancara dengan sejarawan dan keluarga Salim, adalah upaya kami memaparkan lebih lengkap kehidupan Salim yang multifaset. Seperti yang sudah-sudah, ini adalah cara menuliskan sejarah dengan pendekatan jurnalistik.

Dari upaya menyelami aneka detail yang bisa diperoleh, satu hal terus-menerus mengemuka: memang benar perkataan Kasman Singodimedjo berkaitan dengan mentornya itu bahwa memimpin adalah menderita, leiden is lijden. Salim merupakan pelakunya yang tiada duanya. Dia tahu "risiko" jauh dari hidup yang gemerlap itu dan menjalaninya dengan lapang hati.


Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi Kepala Proyek: Kurniawan, Dody Hidayat, Dwi Wiyana, Philipus Parera, Sapto Yunus Penulis: Purwanto Setiadi, Dody Hidayat, Dwi Wiyana, Kurniawan,Philipus Parera, Sapto Yunus, Nurdin Kalim, Muhammad Nafi, Sandy Indra Pratama, Yuliawati, Dian Yuliastuti, Agoeng Wijaya, Nunuy Nurhayati,Agung Sedayu, Amandra Mustika Megarani, Akbar Tri Kurniawan, Anton William, Harun Mahbub, Istiqomatul Hayati, Sita Planasari Aquadini, M.Reza Maulana, Dwi Riyanto Agustiar, Heru Triyono, Muhammad Iqbal Muhtarom, Mahardika Satria Hadi, Isma Savitri Penyumbang Bahan: Yuliawati, Agung Sedayu, Isma Savitri, Heru Triyono (Jakarta), Febrianti (Koto Gadang), Soetana Monang Hasibuan (Tanah Karo), Servio Maranda (Muntok), Jeffrey W. Petersen dan Jin Hee Yoo (New York) Penyunting: Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Purwanto Setiadi, Bina Bektiati, Budi Setyarso, Idrus F. Shahab, Seno Joko Suyono, Nugroho Dewanto, Yosrizal Suriaji, Qaris Tajudin, Tulus Wijanarko, Yosep Suprayogi, Kurniawan, Dody Hidayat, Dwi Wiyana, Philipus Parera, Sapto Yunus Periset Foto: Ratih Purnama Ningsih Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian Digital Imaging: Agustyawan Pradito Desain: Agus Darmawan Setiadi, Aji Yuliarto, Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Kendra Paramita, Rizal Zulfadly, Tri Watno Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus