NAMANYA John. Sebuah panggilan yang pasaran. Bahkan dalam bahasa prokem, john juga berarti kamar kecil. Tapi dengan tambahan Lennon di belakangnya -- John Lennon -- lelaki berkaca mata bulat itu bukan cuma WC. Dia adalah sebuah sosok yang dalam ingatan jutaan manusia lebih dari sekadar penghibur. John Lennon bersama The Beatles adalah fenomena penting dalam kehidupan musik rock dan remaja di tahun 60-70-an. Ia adalah salah satu juru bicara generasi muda pada zamannya. "John Lennon adalah tiga perempat The Beatles. Bukan seperempat," tutur Philip Norman, wartawan The Sunday Times Magazine, pada acara pagi di layar televisi Amerika. Pernyataan itu ada tuahnya. Beberapa menit setelah siaran usai, wartawan yang menulis buku Shout, The True Story of The Beatles, itu kemudian menerima undangan istimewa. "Hi ! Di sini Yoko. Apa yang kamu bilang tentang John, bagus. Mungkin kamu berkenan datang ke sini, melihat rumah kami," ujar Yoko Ono dinikahi John Lennon -- di Gibraltar 1969 -- di telinga Norman. Itulah sebabnya September lalu, Norman memasuki apartemen Dakota di bilangan Central Park, New York. Norman, dan juga siapa pun yang memasuki apartemen mewah itu, akan melihat sebuah gapura yang tak jauh dari bangunan tua itu. Di sanalah sewindu yang lalu, Mark David Chapman, penderita gangguan jiwa itu, menunggu idolanya dengan sebuah piringan hitam dan sepucuk pistol. Lima butir peluru Chapman kemudian dilepaskan, mengakhiri riwayat seorang pemusik yang memimpikan perdamaian abadi. Imagine all the people, living, life in peace / You may say i'm a dreamer, but i'm not the only one. Sebuah peristiwa yang sempat membuat semua orang berduka. Konon, hanya tertandingi dukacita kematian Presiden Amerika John F. Kennedy. Di akhir abad lalu, ketika sebuah gedung bergaya aneh dalam arsitek zaman Gothic muncul di Central Park, orang New York melecehkannya. Nggak pantas bangunan itu muncul di daerah pedesaan pinggir Central Park Dakota, Manhattan. Lebih cocok kalau adanya nun jauh dari Dakota Selatan atau Utara. Soalnya, mirip rumah hantu. Tapi John -- lahir 9 Oktober 1940 -- justru kepincut betul pada rumah itu. "Mungkin karena mirip rumah masa kecilnya di Liverpool," pikir Norman. Kesan angker juga merebak di kamar kerja Yoko Ono. Kantornya lebih mirip museum. Penuh barang antik dan tak boleh disentuh sembarangan. Banyak peraturan dalam apartemen itu. Norman, misalnya, kendati tamu terhormat, tak urung harus mencopot sepatunya waktu masuk. Sebuah lampu Art Deco, seni tahun 20-30-an, menerangi kamar Yoko yang luas. Penerangan bermotif geometris dengan warna menyala. Kontras dengan corak lembut setengah lusin patung pohon palem. Lalu di seberang jajaran pepohonan itu, ada sebuah meja kayu mahoni bertakhtakan gading, simbol zaman Mesir kuno. Sebuah kursi abad ke-14, replika dari singgasana raja Mesir dinasti ke-18, Tutankhamen. Interior lain yang paling menarik mungkin: Yoko Ono yang tersenyum. Ia mengenakan blus putih dengan rompi dari renda warna perak. Celananya hitam dengan rambut diikat ke belakang. Selama dua jam, ia semakin kerap senyum. Tak jarang tersipu dan merendah. Tapi asap rokoknya seperti kereta api -- konon ini peninggalan John. Waktu bertemu John pertama kali, nama Yoko -- lahir tahun 1933 -- masih pakai Winston. Statusnya janda beranak satu: Kyoko. Ketika itu ia sedang menyelenggarakan pameran lukisan. Tampangnya eksentrik: bersembunyi di balik belahan rambut. John, yang kebetulan hadir dalam pameran seni itu, tertarik pada karya Yoko. Berikutnya menyusul kencan. Sejak itu sudah jelas Yoko ini keras kepala. Setelah Yoko kawin dengan John, si John mengganti embel-embel Winston pada Yoko menjadi Ono. Ia mulai menjadi bahan pergunjingan karena selalu membayangi John. Ke mana John pergi, Yoko menempel. Termasuk ke dalam studio rekaman bahkan sampai ke toilet pria. "Kamu tahu apa yang sebenarnya?" tanya Yoko pada Norman. "Dia yang membuat saya ikut. Bayangkan," katanya lebih lanjut, "kalau aku menunggu di luar studio, John deg-degan. Takut ada orang yang akan merebutnya. Dia pencemburu. Ketika menulis lirik Jealous Guy, sebenarnya John sedang menceritakan keburukan diri sendiri." Bahkan John sempat melarang Yoko membaca buku-buku dan koran berbahasa Jepang. "Sebab, itu akan menjadi bagian dalam diri saya yang terpisah darinya," ujarnya. Toh John dan Yoko sempat berpisah setahun (1974). Dalam "cuti panjang" itu, John "berlibur" dengan amoi bernama May Pang, yang ketika John telah almarhum, menulis buku tentang pribadi eks kekasihnya, Loving John. Sewaktu John dan Yoko berbaik kembali Yoko menghadiahkan John seorang bayi lelaki Sean, yang kini berusia 13 tahun dan berwajah John Lennon -- kecuali matanya. Menurut Yoko, kegembiraan mereka berdua adalah saat-saat mengasuh dan mengikuti pertumbuhan Sean dari hari ke hari. Dwitunggal ini juga menyukai New York lantaran di tempat itu mereka bisa bertigaan. Tak banyak diusik. John memang tak pernah kembali ke Inggris. Tapi kerinduannya disalurkan setiap Minggu malam. "Kami menonton acara Masterpiece Theatre, serial klasik seperti Rebecca," kata Yoko. Di lantai tujuh apartemen, Lennon menghabiskan tahun-tahun terakhirnya. Pertapaan John terletak di sebelah pojok ruangan. Cuma sebuah kamar sempit. Di situlah John menghindari keedanan rock and roll dengan duduk berjam-jam di tempat tidur. Sembari matanya menatap warna-warni tetumbuhan yang tertancap di Central Park. Bagian lainnya, sebuah dapur berbentuk memanjang dengan gaya Victoria -- ratu Inggris abad ke-19. Ini tempat John belajar membuat makanan, sembari mengasuh Sean yang masih bocah lima tahun itu. John baru mau berhenti setelah berhasil menelurkan "karya besarnya": roti. John bangga walaupun tanpa hadiah piringan emas. Di tempat lain wilayah pribadi Lennon, ada sebuah kamar berbentuk segitiga. Bisa disebut lemari pendingin raksasa. Inilah butik ala Lennon. Di sini John memuseumkan koleksi pakaiannya selama dua dekade. Terutama, setelan jas, scarf, topi lebar dan, itu lho, sepatu runcingnya. Ada juga sebuah mumi Mesir dari emas dan topi dengan logo sekolahnya zaman baheula, Quarry Bank Grammar School -- tempat John membentuk grup band pertama kali: The Quarrymen. Semua keromantisan dan peri laku kebapakan itu tak tertulis dalam buku berhalaman 719, yang ditulis Albert Goldman, The Lives of John Lennon. Profesor dari Universitas Columbia itu mencatat sebaliknya. Umpamanya, lantai tujuh ini disebut sebagai arena orgy. Tempat maksiat dan teler-teleran. Goldman juga tak percaya Lennon bisa bikin roti. Boro-boro mengasuh anak. John dinyatakan suka menampar cewek dan pembohong besar. Semuanya dikerjakan oleh pembantu. "Saya, rasanya, seperti ditonjok 500 kali," ujar Yoko tentang buku Goldman. "Kebanyakan cuma dugaan. Saya tak mungkin membantah semuanya hanya dalam satu wawancara. Kalau saya menjawab fitnah yang satu, pasti ada pertanyaan lagi, 'bagaimana tentang yang 499'?" kata Yoko. Pada Norman, Yoko mengaku dia memang dulunya rendah diri. "Saya dulu pemalu. Bukan karena karya-karya saya," kata bekas seniwati perfilman itu. "Tapi karena penampilan saya. Rahang saya besar, itu sebabnya saya tutupi tonjolan itu dengan rambut," ujarnya. Belum lagi soal tubuh. Kata Yoko, badannya bagaikan tulang jalan. "Tangan dan kaki saya kurus. Pokoknya, kate dan tulang melulu," ujarnya, tanpa canggung. Tapi semua justru indah untuk mata John. "John bilang 'lihat, kamu punya tangan yang cantik. Kaki kamu juga bagus. Tarik rambutmu ke belakang dan tunjukkan rupamu'," ujar sang Arjuna, waktu itu. Semenjak itu, alkisah, Yoko lupa pada perasaan mindernya. "Jadilah diri sendiri. Semua akan beres," katanya setelah banyak dikuliahi John. Itulah jasa John yang menarik Yoko masuk ke dalam diri lelaki yang waktu itu masih berstatus suami dengan satu anak, Julian. "Seluruh dunia tidak mengerti saya kecuali dia," kata Yoko, yang mengaku, kini, sudah punya gacoan baru. Bunga Surawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini