Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Program Lingkungan Prabowo: Lain di Panggung Lain di Lapangan

Banyak program lingkungan tersendat target dalam 100 hari kabinet Prabowo. Klaimnya ramah iklim.

2 Februari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Prabowo Subianto memberikan pidato sambutan pada sesi pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang mengangkat tema “Fight against Hunger and Poverty di Brasil, 18 November 2024. BPMI Setpres/Laily Rachev

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Dalam berbagai acara, termasuk forum global, Prabowo Subianto mendengungkan komitmen energi bersih.

  • Kerja pemerintahan selama 100 hari pertama malah sibuk mengutak-atik rencana baru agar sesuai dengan target Prabowo.

  • Klaim-klaim Prabowo bertolak belakang dengan kondisi di dalam negeri yang sarat potensi kerusakan lingkungan.

SAMBIL menunduk-nunduk, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo merinci 37 proyek strategis ketenagalistrikan di 18 provinsi. Di hadapannya, Presiden Prabowo Subianto manggut-manggut. Sedangkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia ikut menyimak sembari sesekali menimpali ucapan Darmawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kita ada di Jatigede, tapi yang diresmikan oleh Bapak Presiden itu adalah 26 pembangkit. Totalnya 3,2 gigawatt (GW),” kata Darmawan di luar tenda acara peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, Senin, 20 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Yang spesial dengan ini adalah 89 persen dari 3,2 GW adalah energi bersih, terdiri atas gas dan energi baru-terbarukan,” ujar Darmawan melanjutkan presentasinya

Siang itu, Prabowo meresmikan PLTA Jatigede dan 25 pembangkit lain, yang sebenarnya sebagian telah beroperasi sejak awal tahun lalu. Toh, bagi Prabowo hajatan ini istimewa karena bertepatan dengan tiga bulan masa jabatannya. Apalagi kapasitas proyeknya amat besar untuk ukuran satu acara peresmian.

“Coba dicek, mungkin ini terbesar di dunia saya kira, ya,” ucap Prabowo dalam pidatonya. “Ada atau enggak negara lain yang bisa meresmikan 37 proyek di 18 provinsi dalam satu hari, Saudara-saudara sekalian? Totalnya 3,2 gigawatt.”

Presiden Prabowo Subianto (tengah) bersama Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo (kiri), Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dan Dirut PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo saat meresmikan 37 proyek ketenagalistrikan di 18 provinsi di PLTA Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, 20 Januari 2025. Antara/Raisan Al Farisi

Prabowo lantas mengulang kata-kata yang kerap ia ucapkan sejak masa kampanye hingga menjabat Presiden RI. Indonesia, dia menjelaskan, sedang melangsungkan transformasi menjadi negara industri, modern, dan maju sehingga persoalan energi sangat vital. Dia mengklaim Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang paling maju di bidang transformasi energi.

“Menjadi energi terbarukan, energi bersih, green energy yang mengurangi emisi karbon,” tutur Prabowo. “Jadi banyak negara teriak-teriak. Tidak usah teriak-teriak, tapi kita mewujudkan.”

Seperti biasa, pidato Prabowo terdengar meyakinkan. Namun, bagi banyak peneliti, klaim-klaim Presiden dan para pembantunya selama 100 hari kerja Kabinet Merah Putih justru memantik pertanyaan karena tidak sesuai dengan kenyataan. Target-target ambisius dalam tata kelola sumber daya alam, yang berulang kali disandingkan dengan misi mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, dinilai memunggungi kelemahan dalam program-program pemerintahan baru.

“Semua narasi yang diucapkan Prabowo justru banyak menimbulkan tanda tanya,” ujar Manajer Program Transisi Energi Institute for Essential Services Reform Deon Arinaldo di kantor Tempo, Selasa, 21 Januari 2025.

•••

SELAMA 100 hari pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto memang gencar melontarkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan transisi energi dan mengatasi perubahan iklim. Tidak hanya di dalam negeri, klaim-klaim yang lebih prestisius disampaikan di beberapa forum internasional.

Pidatonya dalam Forum CEO Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik atau APEC CEO Summit di Lima, Peru, pada 14 November 2024 berisi klaim bahwa Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang bisa mencapai 100 persen energi terbarukan. Sumber daya panas bumi ditonjolkan sebagai calon utama pengganti bahan bakar fosil.

Berselang sepekan, lewat sambutan kunci di Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Brasil pada 20 November 2024, Prabowo juga menyampaikan bahwa target emisi bersih atau net zero emission Indonesia akan dikejar sebelum 2050—sedekade lebih cepat dari yang dipatok pemerintahan Joko Widodo. Dia mengungkit rencana "suntik mati" pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam 15 tahun. Ambisi swasembada energi tercapai dalam empat tahun serta swasembada pangan dalam tiga tahun dibunyikan juga dalam forum tersebut.

Klaim-klaim senada di depan masyarakat global sebenarnya lebih dulu disampaikan Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo yang ditunjuk menjadi Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, pada 11 November 2024. Saat itu Hashim memimpin delegasi RI dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-29 atau The 29th Conference of the Parties (COP29) di Baku, Azerbaijan. Pidato Hashim ketika meresmikan Paviliun Indonesia menjadi sinyal pertama arah pemerintahan baru terhadap isu krisis iklim.

Hashim menegaskan sikap Prabowo untuk melanjutkan komitmen yang dibuat presiden-presiden sebelumnya dalam forum iklim global. Pemerintahan Prabowo, dia memaparkan, juga menawarkan program baru. Satu di antaranya berupa pembangkit listrik anyar berkapasitas total 100 GW, yang mayoritas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT), dari tenaga angin, surya, air, panas bumi, dan nuklir. “Semuanya akan selesai dalam 15 tahun ke depan,” kata Hashim.

Ketua Delegasi Indonesia, Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto untuk COP29, Hashim Djojohadikusumo, di Paviliun Indonesia dalam perhelatan COP 29 di Azerbaijan, 12 November 2024. Istimewa.

Dia juga menawarkan proyek gudang penyimpanan emisi karbon (carbon capture storage) dan membuka peluang pasar karbon sukarela. “Kementerian Lingkungan hidup telah memfinalkan penilaian ulang terhadap 600 juta ton stok karbon,” ucap Hashim.

Semua anggota tim ahli yang menyampaikan penilaiannya kepada Tempo dalam menyiapkan edisi ini merasa ragu akan semua target dalam pidato-pidato tersebut. Manajer Program Transisi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo menilai wajah optimistis pemerintahan Prabowo di panggung-panggung internasional kontradiktif dengan wajah miris di dalam negeri. Angka yang disampaikan juga terindikasi tanpa kalkulasi dan perencanaan yang matang.

Deon membandingkan omongan Prabowo dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) terbaru. Ditetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 29 November 2024, dokumen induk rencana pengembangan ketenagalistrikan itu disusun dengan target net zero emission pada 2060 dengan proyek puncak emisi pada 2035.

“Artinya, target nol emisi 2050 yang disampaikan Prabowo tanpa penyelarasan perencanaan,” tutur Deon. “Proyeksi puncak emisi Indonesia juga harus dicocokkan lagi dengan ambisi net zero 2050.”

Rencana pembangunan pembangkit EBT besar-besaran dan mempensiunkan PLTU batu bara dalam 15 tahun juga tidak linier dengan RUKN yang masih memuat rencana pembangunan pembangkit berbasis batu bara sampai 2035. Dalam RUKN, menurut Deon, PLTU diproyeksikan beroperasi sesuai dengan umur natural. “Umur akhir operasinya pada 2056. Berarti berlawanan lagi dengan kebijakan pensiun dini tadi,” ujarnya.

Mengingat RUKN menjadi acuan penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), Deon memperkirakan operator PLTU batu bara akan melanjutkan pengoperasian pembangkitnya hingga batas umur maksimum. Legalisasi carbon capture storage atau CCS, teknologi penangkap dan penyimpan emisi CO2 yang bisa menambah umur ekonomis PLTU, diprediksi mengganggu strategi "suntik mati" pembangkit batu bara.

Ambisi menggenjot EBT juga bertabrakan dengan kebijakan pemerintah untuk memoles PLTU batu bara menjadi pembangkit yang “lebih ramah lingkungan”. Pemerintah, misalnya, telah memulai pemanfaatan pembangkit hibrida lewat penggunaan bahan bakar amonia dan hidrogen hijau, seperti pada proyek PLTU Jawa 9 dan 10 di kawasan Suralaya, Cilegon, Banten. Berkapasitas total sekitar 2.000 megawatt, dua pembangkit ekspansi itu dijadwalkan beroperasi komersial pada tahun ini dan 2026.

Katherine Hasan, analis Centre for Research on Energy and Clean Air, merasa ragu akan kalkulasi pada rencana pembangunan pembangkit EBT 75 gigawatt dalam 15 tahun yang diucapkan Prabowo dan Hashim. Pasalnya, proyek-proyek itu pun hanya akan menghasilkan 35 persen listrik bebas fosil dari kebutuhan setrum nasional pada tahun akhir yang ditargetkan. “Jika ingin visi Presiden Prabowo menjadi kenyataan, targetnya seharusnya ditingkatkan lebih dari dua kali lipat,” kata Katherine.

Sementara itu, pewujudan rencana tersebut tak semudah mengucapkannya dalam pidato. Sebab, sejauh ini sekitar 62 persen pasokan listrik Indonesia yang tersambung dengan jaringan PLN (on-grid) ataupun berdiri sendiri (off-grid) berasal dari PLTU batu bara.

Tidak sinkronnya target-target baru Prabowo dan kondisi yang ada itu merembet ke mana-mana. Selama 100 hari kerja, pemerintahan sibuk mengutak-atik perencanaan yang berujung pada ketidakpastian. Revisi RUPTL, yang sejak tahun lalu diklaim pemerintahan Jokowi bakal “lebih hijau”, belum jelas nasibnya.

Pemerintah bahkan batal menyerahkan pembaruan dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional atau Second Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen berisi peta jalan dan komitmen pengurangan emisi sesuai dengan Perjanjian Paris itu telah disiapkan pemerintahan sebelumnya dan akan disodorkan dalam pelaksanaan COP29. Rencananya Second NDC baru bisa dilayangkan pada Februari mendatang karena sebagian isinya harus dicocokkan ulang dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen pemerintahan Prabowo.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eniya Listiani Dewi mengatakan Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) sudah dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat dan disetujui. Namun draf yang akan menentukan desain RUKN dan RUPTL itu belakangan harus dibahas ulang oleh pemerintah karena pergantian presiden.

“Pak Prabowo minta peninjauan kembali. Jadi (RPP KEN) akan disesuaikan dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen,” tutur Eniya melalui pesan suara kepada Tempo, Rabu, 29 Januari 2025. Karena RPP KEN ditinjau ulang, menurut Eniya, target EBT ke depan masih bisa berubah.

Tempo juga menanyakan perkembangan pembahasan RUPTL 2025-2034, terutama ihwal rencana baru pengembangan EBT, kepada Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo melalui pesan WhatsApp. Executive Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto memberikan jawaban bahwa berbagai usulan baru sudah diajukan dalam rancangan RUPTL 2025-2034.

Menurut Gregorius, perseroan akan berupaya meningkatkan porsi EBT sekitar 70 persen dari tambahan kapasitas 71 GW. Ada juga pembangunan battery energy storage system atau BESS serta teknologi penyeimbang pasokan listrik atau pump storage untuk mendukung penetrasi EBT yang intermiten seperti angin. “PLN juga akan mempercepat pembangunan jaringan interkoneksi antarpulau untuk memfasilitasi integrasi energi terbarukan,” ucapnya melalui jawaban tertulis pada Kamis, 30 Januari 2025.

Untuk penyelesaian sisa target dalam RUPTL sebelumnya, Gregorius mengimbuhkan, PLN membentuk unit khusus yang memantau kemajuan proyek, menyelesaikan kendala teknis, dan merekomendasikan perbaikan secara berkala. Skema kemitraan berbentuk blended financing akan diperkuat untuk menarik minat investasi produsen listrik independen. Adapun kendala sosial di area proyek EBT akan diatasi dengan dialog terbuka, edukasi soal manfaat proyek, dan penawaran program pemberdayaan masyarakat.

“PLN juga mengedepankan pendekatan secara holistik untuk mengatasi kendala sosial dalam proyek energi terbarukan, seperti pembangunan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Wae Sano di Nusa Tenggara Timur,” tutur Gregorius.

Kajian Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025, yang dirilis IESR pada akhir Desember 2024, menggambarkan pengembangan EBT yang nyaris jalan di tempat. Target bauran EBT 23 persen untuk 2025, yang masuk Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017, masih jauh panggang dari api. Pada 2024, porsinya hanya 14,1 persen dari bauran energi nasional, naik tipis dari 13,9 persen pada tahun sebelumnya.

Realisasi pemanfaatan energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan juga ketinggalan jauh dari proyeksi yang dipatok dalam KEN, aturan induk RUEN. Menjelang penutupan 2024, Eniya mengumumkan hanya ada 18,9 persen pembangkit listrik di Tanah Air, sampai 2023, yang berasal dari energi terbarukan. Minusnya hampir 13 persen dari proyeksi RUEN yang dipatok 31,8 persen pada 2025.

Eksplorasi panas bumi yang dibanggakan Prabowo di forum APEC Peru pada kenyataannya masih terseok-seok. Menurut Deon Arinaldo, dengan berbasis IETO 2025, kapasitas proyek energi terbarukan yang sudah beroperasi atau COD hingga Mei 2024 hanya sekitar 1,5 GW. “Ada hampir 15 GW yang mandek saat pengadaan dan konstruksi, terutama dari sektor hidro dan panas bumi,” ucapnya.

Pada Selasa, 28 Januari 2025, Tempo menengok area proyek eksplorasi panas bumi di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, yang disinggung oleh Gregorius. Empat tapak yang disiapkan untuk sumur pengeboran atau well pad eksplorasi nihil aktivitas. Dirancang pada 2017, pekerjaan yang menjadi bagian dari proyek bertajuk “Flores Geothermal Island” itu menjadi contoh rencana pembangunan pembangkit EBT yang tersendat oleh konflik agraria dan pembiayaan.

Wae Sano merupakan lokasi pertama yang dieksplorasi pemerintah dari 17 lokasi serupa di sekitar Flores, yang diproyeksikan bisa menyumbang listrik 910 megawatt. Namun letak rencana sumur eksplorasi panas bumi Wae Sano hanya sepelemparan batu dari permukiman. Satu dari empat titik pengeboran, Wellpad B, hanya 20 meter jauhnya dari mata air Dusun Nunang yang menyokong hidup penduduk.

Masyarakat juga ingin melindungi beberapa lokasi ritual adat yang berisiko tergusur. “Dari awal dan sampai kapan pun tetap akan kami tolak,” ujar Yosef Erwin Rahmat, warga Desa Wae Sano, kepada Tempo.

Semula Bank Dunia dan New Zealand Foreign Affairs and Trade Aid Programme akan mendanai proyek yang masuk portofolio Geothermal Energy Upstream Development Project ini. Setelah disurati langsung oleh warga Wae Sano pada Maret 2022, tim Bank Dunia dua kali datang untuk berdialog, sebelum akhirnya menarik diri dari rencana pendanaan pada Oktober 2023.

Cypri Jehan Paju Dale, peneliti dari Institute of Social Anthropology Bern University di Swiss, menilai proyek EBT yang sedang gencar dipromosikan pemerintah masih berisiko menggerus ruang hidup masyarakat. Proyek tetangga geotermal Wae Sano di Nusa Tenggara Timur, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu di Poco Leok, juga melibas 10 kampung adat. Eksplorasi panas bumi di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, bahkan dihantui risiko gas beracun.

“Jika mengabaikan keselamatan, lingkungan, dan keadilan, energi terbarukan tak ada bedanya dengan (pembangkit) yang lama,” tuturnya kepada Tempo, Selasa, 31 Desember 2024.

•••

POTENSI konflik agraria juga yang membuat Nora Hidayati, Manajer Advokasi Kebijakan HuMA Indonesia, menggebu-gebu ingin bertemu dengan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni di tengah kontroversi penyiapan lahan 20 juta hektare untuk proyek swasembada pangan, air, dan energi. Antoni, yang mengisi kursi Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang di era Presiden Joko Widodo, pertama kali mengungkapkan rencana pemanfaatan hutan cadangan seluas hampir dua kali Pulau Jawa itu seusai rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, pada Senin, 30 Desember 2024.

Nora, yang menemui Antoni bersama perwakilan beberapa organisasi masyarakat sipil lain pada Jumat, 3 Januari 2025, meminta pemerintah membuka secara rinci peta 20 juta hektare “hutan cadangan” tersebut. Dia khawatir rencana itu akan memperburuk masalah pemenuhan hak atas lahan masyarakat yang sampai saat ini belum ada muaranya. “Pasti akan ada tumpang-tindih. Kami minta selesaikan dulu persoalan hak ini,” ucapnya kepada Tempo.

HuMA mencatat masih ada 346 konflik sosial menyangkut sumber daya alam dan agraria di 166 kabupaten. Luas lahan konflik agraria ini 2,32 juta hektare, mayoritas dipicu proyek perkebunan dan kehutanan.

Ketika mengumbar janji manis di podium internasional, pemerintah memang terus melontarkan rencana-rencana kontroversial di dalam negeri. Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2025-2029 di gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, yang juga digelar pada 30 Desember 2024, Prabowo Subianto menyebutkan pentingnya memperluas kebun sawit sebagai komoditas strategis. Dia juga menyamakan kemampuan sawit dengan pohon lain dalam menyerap CO2.

Pekerja membawa tandan buah kelapa sawit di kawasan PT Perkebunan Nusantara II, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, 19 November 2024. Antara/Yudi Manar

“Saya kira ke depan kita harus tambah tanam kelapa sawit. Enggak usah takut apa itu, katanya membahayakan, deforestation,” begitu bunyi kalimat Prabowo di depan para menterinya.

Yang paling anyar, sehari setelah meresmikan PLTA Jatigede, Prabowo meneken Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Melalui aturan ini, dia membentuk satuan tugas penertiban yang akan melibatkan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung.

Masalahnya, menurut Nora, Prabowo sejak awal tak pernah menyinggung upaya pelindungan hutan dan hak masyarakat lokal. Ambisi swasembada pangan dan energi hanya membingkai tanah sebagai ladang untuk dieksploitasi. “Fokus pemerintah hanya ekonominya, bukan lingkungan,” tutur Nora.

Menurut hasil riset terbaru Yayasan Auriga Nusantara, luas deforestasi di Indonesia sepanjang 2024 mencapai 261.575 hektare, meningkat 4.191 hektare dibanding pada tahun sebelumnya. Lonjakan deforestasi terbesar terjadi di Sumatera, yang terindikasi disebabkan oleh perluasan kebun sawit.

Hal yang juga menarik perhatian adalah luas deforestasi di lahan food estate Merauke yang melonjak tiga kali lipat menjadi 2.203 hektare. Angka ini separuh dari luas rimba yang lenyap di Provinsi Papua Selatan. Adapun proyek food estate ini baru dimulai oleh Prabowo pada Agustus 2024 ketika masih menjadi Menteri Pertahanan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Lagi-lagi, menurut para peneliti, kondisi ini juga berseberangan dengan klaim-klaim ambisius pemerintah. Jargon mitigasi krisis pangan dan krisis iklim justru menjadi rumah bagi proyek-proyek yang rakus lahan dan mengancam lingkungan hidup.

Senada dengan Nora, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law Difa Shafira risau terhadap pemerintahan yang menunjukkan gejala terus mengabaikan kepentingan orang banyak. Peraturan presiden tentang penertiban kawasan hutan justru sarat dengan kepentingan bisnis dan mengabaikan aspek pengembalian fungsi hutan.

“Mekanisme penguasaan malah bisa memperpanjang rentetan konflik dan kekerasan di lapangan,” kata Difa di kantor Tempo.

Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara kepada Antoni dan stafnya ihwal berbagai masalah dalam agenda 100 hari pemerintahan Prabowo di sektor kehutanan. Namun dia tak membalas hingga laporan ini diturunkan.

Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi kehutanan pada Kamis, 23 Januari 2025, Antoni mengklaim ada 20,6 juta hektare lahan yang bisa dipulihkan dengan agroforestri atau tumpang sari—skema penyatuan tanaman kayu dengan tanaman pangan yang umurnya semusim. Proyeksinya, 1 juta hektare lahan bisa menyumbang 3,5 juta ton padi dan 1,5 juta ton jagung per tahun.

Antoni mengklaim praktik tumpang sari bisa menyempurnakan program lumbung pangan atau food estate pemerintah. “Kami tegaskan, program ini tidak dilakukan dengan cara membuka hutan baru atau deforestasi,” ucap Antoni.

Adapun Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq irit bicara ketika ditanyai ihwal rencana pemerintah, termasuk penyusunan Second Nationally Determined Contribution berikut target-target terbaru pengurangan emisi. “Sebisanya kami bekerja. Bismillah, semoga bisa dimengerti oleh masyarakat,” tutur Hanif melalui pesan pendek pada Rabu, 29 Januari 2025.

Avit Hidayat, M. Faiz Zaki, dan Ambrosius Adir dari Flores berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit dengan judul "Lain di Panggung Lain di Lapangan".

Yohanes Paskalis

Yohanes Paskalis

Mulai ditempa di Tempo sebagai calon reporter sejak Agustus 2015. Berpengalaman menulis isu ekonomi, nasional, dan metropolitan di Tempo.co, sebelum bertugas di desk Ekonomi dan Bisnis Koran Tempo sejak Desember 2017. Selain artikel reguler, turut mengisi rubrik cerita bisnis rintisan atau startup yang terbit pada edisi akhir pekan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus