SEORANG muda tengah membaca Quran dengan nyaring. Begitu sampai
pada sebuah ayat yang berujung dengan kata " . . . hamida",
tiba-tiba ia menarik napas. Bukan lantaran makna ayat-tapi
lantaran ujung ayat itu mengingatkan dia akan nama gadis yang
dengan diam-diam ia cintai -- Hamidah, alias Ida.
Itu dituturkan dalam salah satu cerpen Hamka dari kumpulan Di
Dalam Lembah Kehidupan -- ditulis sekitar tahun-tahun 30-an. Dan
sekarang, tahun 80-an, benarkah keadaan sudah berubah? Tidak,
agaknya. Cinta akan sama saja pentingnya di segala
masa--walaupun "sikap yang membungkusnya" mungkin berbeda.
Di semua negeri terkenal kisah-kisah cinta yang sedih-nestapa.
Di negeri Arab terkenal Lila Majnun (majnun = gila alias
gendeng). Dan, lebihnya, di negeri Timur Tengah dahulu cinta
memang pernah dianggap sebagai semacam penyakit kejiwaan.
Setidaknya, kebanyakan buku ketabiban yang baku di masa itu
memuat bab tentang cinta-bahkan menempatkannya dalam golongan
penyakit otak. Apa yang diuraikan buku-buku itu mengenai
penyakit ini hampir sama saja. Beberapa di antaranya, yang
ditulis di abad-abad kesepuluh hingga keduabelas -- dan
dikutipkan dalam The Middle East, dapat memberikan sedikit
gambaran.
Cinta, sebagai ketidakberesan mental, tidak hanya menggejala
dalam tingkah laku si penderita: terkadang begitu murung dan
terkadang luar biasa gembira. Tapi juga memperlihatkan perubahan
fisik yang nyata: muka menjadi pucat, pipi cekung, mata berpijar
seperti dalam demam, dan lantaran nafsu makanhilang berat badan
pun turun.
Sumber ketidakberesan itu, tentu saja, karena pikiran hanya
tertuju pada seseorang sehingga kehilangan perhatian untuk
hal-hal di luar itu. Si "penderita" pun amat peka pada apa saja
yang berasosiasi dengan si dia.
Pernah Ibn Sina(Avicenna), tabib termasyhur itu, melakukan
diagnosa yang jitu terhadap seorang pasien berdasar perhatiannya
pada masalah 'kepekaan' itu. Tabib dan filosof yang namanya
besar dalam sejarah itu menangani seorang anak muda yang
dikabarkan menderita penyakit aneh.
Badannya lemah, serba ogah alias kehilangan kemauan. Nafsu makan
pun hilang. Akhirnya ia mesti dibaringkan saja di ranjang.
Banyak tabib telah didatangkan, tentu saja--dan nihil. Akhirnya
sang abah mengirim utusan untuk minta pertolongan Ibn Sina.
Seorang khadam, pelayan, oleh sang tabib lantas diperintahkan
masuk. Sementara Ibn Sina memegang nadi si sakit, disuruhnya
khadam itu menyebutkan nama-nama jalan di sekitar tempat itu.
Ketika disebut Jalan Anu, denyut nadi si sakit bertambah cepat.
Ibn Sina lantas menyuruh khadam menyebutkan nama-nama semua
keluarga yang tinggal di jalan itu. Waktu disebut keluarga Anu,
denyut nadi tambah cepat lagi. Kemudian sang tabib bertanya:
apakah keluarga itu punya anak gadis? Dijawab ya. Dan Ibn Sina
segera saja mengatakan pada sang abah: "Penyakitnya sudah jelas.
Putra anda lagi jatuh cinta. Saya nasihatkan agar bisa segera
diatur pertunangan--itu obatnya."
Maklum, hubungan cewek-cowok waktu itu memang sulit tentu saja.
Tapi yang penting: diagnosa si tabib sebenarnya tak aneh.
Menurut ahli ilmu-ilmu keislaman yang diwawancarai majalah
Hemisphere, Melbourne, Ibn Sina (lahir di Bukhara, Uni Soviet,
hidup 980-1037 M) memang yakin adanya pertalian dan saling
pengaruh antara jiwa (psyche) dan raga. Dan dialah orang pertama
yang menulis secara menyeluruh ilmu pengobatan psikosomatik.
Memang beralasan bila dikatakan penyakit cinta berkarib dengan
ketidakwarasan. Ibn Jubayr, seorang Spanyol Muslim yang
melakukan perlawatan terkenal di abad keduabelas ke Timur
Tengah, membuat Qtatan segala pengalamannya. Termasuk
kunjungannya ke Rumah Sakit Nuri di Damsyiq (Damaskus), tempat
ia melihat ruangan-ruangan yang khusus bagi para penderita sakit
ingatan. Di antara mereka itu terdapat seorang laki-laki bekas
guru mengaji. Konon, mulanya sang guru jatuh cinta pada seorang
anak--dan yang menjadikannya aib ialah: anak itu laki-laki--di
antara murid-muridnya. Begitu tergila-gilanya dia sehingga
benar-benar menjadi gila --dan di RS Nuri itulah ia menghabiskan
sisa hidupnya. Begitu terkejut Ibn J ubayr menyaksikan kasus
ini--dan ia pun menutup cerita bagian itu dengan ucapan: Na'udzu
bi'llohi min dzalik. (Semoga Tuhan menjauhkan kita dari hal
demikian itu).
Rupanya perhatian para tabib Islam (yang di zaman itu memang
paling maju) terhadap "perlyakit" cinta memang besar. Buktinya:
ada banyak kitab yang menyusun serangkaian luas cara-cara
penyembuhannya. Antara lain yang berjudul Zad al-Musafir (Bekal
Musafir)--ditulis oleh seorang tabib Tunisia di abad kesepuluh,
Ibn al-Jazzar. Di situ ia menyarankan agar penderita dibujuk
untuk "melihat-lihat tamasya padang-padang hijau, bunga-bunga
indah dan tamasya-tamasya lain yang menyenangkan." Baik pula
bila penderita banyak-banyak minum anggur, katanya, karena
anggur dapat membuat dia merasa riang--mengingat bahwa ia biasa
murung-murung, mengalami depresi mental. Di segi lain Ibn
al-Jazzar membuat pula secara terperinci resep obat-obat
pencahar dan tonikum.
Tetapi bentuk penyembuhan yang paling menarik, seperti juga
disarankan Ibn al-Jazzar, ialah--jangan kaget--melakukan
hubungan seks. Tentu saja bukan dengan orang yang dicintai,
sebab kalau begitu tak ada problem lagi. Sebab bukanlah penyakit
cinta justru karena tak kesampaian? Hubungan seks itu "semakin
sering semakin baik," katanya. Ini menurut beliau akan dapat
menghalau pikiran si penderita dari si pujaan hati. Ibn
al-Jazzar bahkan menyebut hubungan seks sebagai "berkhasiat
untuk penyembuhan berbagai penyakit mental". Ia mengatakan itu
dengan serius, tentunya-bukan untuk disalahgunakan. Hanya,
apakah bentuk terapi begitu memang dipraktekkan sungguh-sungguh,
bagaimana caranya, dan bagaimana pulahasilnya, tidak ada
beritanya.
Kesimpulan yang bisa ditarik hanyalah, bahwa penyodoran terapi
semacam itu menunjuk pada adanya kejujuran ilmiah--dan iklim
yang bebas, terutama bila diingat bahwa dunia ilmu dan dunia
agama sama-sama berkembang di saat Eropa masih dalam kegelapan
itu. Ibnu Sina sendiri, misalnya, di samping seorang tabib
terkemuka juga seorang filosof Aristotelian dan theolog Islam.
Tapi menarik untuk dicatat kesejajaran "terapi seks" di zaman
kuno itu dengan di zaman modern. Beberapa tahun lalu, pers
Inggris memberitakan bahwa seorang dokter Austria melakukan
pengobatan terhadap para pasiennya yang menderita epilepsi
dengan jalan . . . bercumbu-cumbuan dengan mereka. Dokter itu
dituntut di muka pengadilan dengan tuduhan berbuat mesum. Tapi
dalam pembelaannya sang dokter mengatakan, bentuk terapi macam
itulah yang telah banyak berhasil menyembuhkan pasien. Tak dapat
dipastikan, apakah sang dokter pernah membaca buku al-Jazzar.
Mungkin tidak. Mana dia tahu kitab-kitab Arab kuno yang ruwet
itu.
Anggapan yang dulu mengatakan bahwa cinta--penyakit Laila-Majnun
itu--memang sejenis penyakit, dewasa ini di negeri-negeri Arab
sendiri tampaknya hanya tinggal sebagai semacam olok-olok.
--Ente lihat cewek itu! Pucet bener ye?
--Maklum dong, orang lagi jatuh cinte !
--Duilleeeee!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini