Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyakit laila-majnun, apa obatnya

Buku ketabiban di masa lalu memuat bab tentang penyakit "cinta" yang ditempatkan dalam golongan penyakit otak/gila/majnun. ibu sina yakin adanya hubungan antara jiwa dan raga.

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG muda tengah membaca Quran dengan nyaring. Begitu sampai pada sebuah ayat yang berujung dengan kata " . . . hamida", tiba-tiba ia menarik napas. Bukan lantaran makna ayat-tapi lantaran ujung ayat itu mengingatkan dia akan nama gadis yang dengan diam-diam ia cintai -- Hamidah, alias Ida. Itu dituturkan dalam salah satu cerpen Hamka dari kumpulan Di Dalam Lembah Kehidupan -- ditulis sekitar tahun-tahun 30-an. Dan sekarang, tahun 80-an, benarkah keadaan sudah berubah? Tidak, agaknya. Cinta akan sama saja pentingnya di segala masa--walaupun "sikap yang membungkusnya" mungkin berbeda. Di semua negeri terkenal kisah-kisah cinta yang sedih-nestapa. Di negeri Arab terkenal Lila Majnun (majnun = gila alias gendeng). Dan, lebihnya, di negeri Timur Tengah dahulu cinta memang pernah dianggap sebagai semacam penyakit kejiwaan. Setidaknya, kebanyakan buku ketabiban yang baku di masa itu memuat bab tentang cinta-bahkan menempatkannya dalam golongan penyakit otak. Apa yang diuraikan buku-buku itu mengenai penyakit ini hampir sama saja. Beberapa di antaranya, yang ditulis di abad-abad kesepuluh hingga keduabelas -- dan dikutipkan dalam The Middle East, dapat memberikan sedikit gambaran. Cinta, sebagai ketidakberesan mental, tidak hanya menggejala dalam tingkah laku si penderita: terkadang begitu murung dan terkadang luar biasa gembira. Tapi juga memperlihatkan perubahan fisik yang nyata: muka menjadi pucat, pipi cekung, mata berpijar seperti dalam demam, dan lantaran nafsu makanhilang berat badan pun turun. Sumber ketidakberesan itu, tentu saja, karena pikiran hanya tertuju pada seseorang sehingga kehilangan perhatian untuk hal-hal di luar itu. Si "penderita" pun amat peka pada apa saja yang berasosiasi dengan si dia. Pernah Ibn Sina(Avicenna), tabib termasyhur itu, melakukan diagnosa yang jitu terhadap seorang pasien berdasar perhatiannya pada masalah 'kepekaan' itu. Tabib dan filosof yang namanya besar dalam sejarah itu menangani seorang anak muda yang dikabarkan menderita penyakit aneh. Badannya lemah, serba ogah alias kehilangan kemauan. Nafsu makan pun hilang. Akhirnya ia mesti dibaringkan saja di ranjang. Banyak tabib telah didatangkan, tentu saja--dan nihil. Akhirnya sang abah mengirim utusan untuk minta pertolongan Ibn Sina. Seorang khadam, pelayan, oleh sang tabib lantas diperintahkan masuk. Sementara Ibn Sina memegang nadi si sakit, disuruhnya khadam itu menyebutkan nama-nama jalan di sekitar tempat itu. Ketika disebut Jalan Anu, denyut nadi si sakit bertambah cepat. Ibn Sina lantas menyuruh khadam menyebutkan nama-nama semua keluarga yang tinggal di jalan itu. Waktu disebut keluarga Anu, denyut nadi tambah cepat lagi. Kemudian sang tabib bertanya: apakah keluarga itu punya anak gadis? Dijawab ya. Dan Ibn Sina segera saja mengatakan pada sang abah: "Penyakitnya sudah jelas. Putra anda lagi jatuh cinta. Saya nasihatkan agar bisa segera diatur pertunangan--itu obatnya." Maklum, hubungan cewek-cowok waktu itu memang sulit tentu saja. Tapi yang penting: diagnosa si tabib sebenarnya tak aneh. Menurut ahli ilmu-ilmu keislaman yang diwawancarai majalah Hemisphere, Melbourne, Ibn Sina (lahir di Bukhara, Uni Soviet, hidup 980-1037 M) memang yakin adanya pertalian dan saling pengaruh antara jiwa (psyche) dan raga. Dan dialah orang pertama yang menulis secara menyeluruh ilmu pengobatan psikosomatik. Memang beralasan bila dikatakan penyakit cinta berkarib dengan ketidakwarasan. Ibn Jubayr, seorang Spanyol Muslim yang melakukan perlawatan terkenal di abad keduabelas ke Timur Tengah, membuat Qtatan segala pengalamannya. Termasuk kunjungannya ke Rumah Sakit Nuri di Damsyiq (Damaskus), tempat ia melihat ruangan-ruangan yang khusus bagi para penderita sakit ingatan. Di antara mereka itu terdapat seorang laki-laki bekas guru mengaji. Konon, mulanya sang guru jatuh cinta pada seorang anak--dan yang menjadikannya aib ialah: anak itu laki-laki--di antara murid-muridnya. Begitu tergila-gilanya dia sehingga benar-benar menjadi gila --dan di RS Nuri itulah ia menghabiskan sisa hidupnya. Begitu terkejut Ibn J ubayr menyaksikan kasus ini--dan ia pun menutup cerita bagian itu dengan ucapan: Na'udzu bi'llohi min dzalik. (Semoga Tuhan menjauhkan kita dari hal demikian itu). Rupanya perhatian para tabib Islam (yang di zaman itu memang paling maju) terhadap "perlyakit" cinta memang besar. Buktinya: ada banyak kitab yang menyusun serangkaian luas cara-cara penyembuhannya. Antara lain yang berjudul Zad al-Musafir (Bekal Musafir)--ditulis oleh seorang tabib Tunisia di abad kesepuluh, Ibn al-Jazzar. Di situ ia menyarankan agar penderita dibujuk untuk "melihat-lihat tamasya padang-padang hijau, bunga-bunga indah dan tamasya-tamasya lain yang menyenangkan." Baik pula bila penderita banyak-banyak minum anggur, katanya, karena anggur dapat membuat dia merasa riang--mengingat bahwa ia biasa murung-murung, mengalami depresi mental. Di segi lain Ibn al-Jazzar membuat pula secara terperinci resep obat-obat pencahar dan tonikum. Tetapi bentuk penyembuhan yang paling menarik, seperti juga disarankan Ibn al-Jazzar, ialah--jangan kaget--melakukan hubungan seks. Tentu saja bukan dengan orang yang dicintai, sebab kalau begitu tak ada problem lagi. Sebab bukanlah penyakit cinta justru karena tak kesampaian? Hubungan seks itu "semakin sering semakin baik," katanya. Ini menurut beliau akan dapat menghalau pikiran si penderita dari si pujaan hati. Ibn al-Jazzar bahkan menyebut hubungan seks sebagai "berkhasiat untuk penyembuhan berbagai penyakit mental". Ia mengatakan itu dengan serius, tentunya-bukan untuk disalahgunakan. Hanya, apakah bentuk terapi begitu memang dipraktekkan sungguh-sungguh, bagaimana caranya, dan bagaimana pulahasilnya, tidak ada beritanya. Kesimpulan yang bisa ditarik hanyalah, bahwa penyodoran terapi semacam itu menunjuk pada adanya kejujuran ilmiah--dan iklim yang bebas, terutama bila diingat bahwa dunia ilmu dan dunia agama sama-sama berkembang di saat Eropa masih dalam kegelapan itu. Ibnu Sina sendiri, misalnya, di samping seorang tabib terkemuka juga seorang filosof Aristotelian dan theolog Islam. Tapi menarik untuk dicatat kesejajaran "terapi seks" di zaman kuno itu dengan di zaman modern. Beberapa tahun lalu, pers Inggris memberitakan bahwa seorang dokter Austria melakukan pengobatan terhadap para pasiennya yang menderita epilepsi dengan jalan . . . bercumbu-cumbuan dengan mereka. Dokter itu dituntut di muka pengadilan dengan tuduhan berbuat mesum. Tapi dalam pembelaannya sang dokter mengatakan, bentuk terapi macam itulah yang telah banyak berhasil menyembuhkan pasien. Tak dapat dipastikan, apakah sang dokter pernah membaca buku al-Jazzar. Mungkin tidak. Mana dia tahu kitab-kitab Arab kuno yang ruwet itu. Anggapan yang dulu mengatakan bahwa cinta--penyakit Laila-Majnun itu--memang sejenis penyakit, dewasa ini di negeri-negeri Arab sendiri tampaknya hanya tinggal sebagai semacam olok-olok. --Ente lihat cewek itu! Pucet bener ye? --Maklum dong, orang lagi jatuh cinte ! --Duilleeeee!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus