Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kisah sebuah anak kalimat

Kalimat dengan kewajiban menjalankan syari'at islam bagi pemeluk-pemeluknya, dihilangkan dari naskah pembukaan uud 45. dasar negara ketuhanan dalam piagam jakarta diganti dengan ketuhanan yang maha esa.

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH buah kata ternyata menjadi seluruh kandungan sebuah tesis untuk mendapat gelar MA. Kemudian dialihbahasakan, setelah diperbaiki dan dikembangkan di sanasini. Dan diterbitkan dalam cara dan bentuk yang biasa-biasa saja (lihat Buku). Padahal ketujuh kata itu membentuk sebuah anak kalimat yang pernah mengguncangkan kehidupan bernegara kita semua. Yang dipertikaikan duapuluh tahun lamanya, kalau dihitung keputusan pemerintah sekarang ini untuk menghilangkannya dari 'peredaran'. Ketujuh kata-itu adalah apa yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Berbunyi: 'dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya'--sebagai anak kalimat yang menjelaskan dasar negara 'Ketuhanan'. Ketujuh kata itu hilang dari naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan dasar negara 'Ketuhanan' dalam Piagam Jakarta tersebut digantikan dengan dasar negara 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Tujuh kata yang mula-mula diterima sebagai titik temu dua kelompok besar perjuangan kemerdekaan bangsa itu tertuang dalam piagam yang disebutkan di atas. Kemudian hilang dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tetap tidak muncul dalam Undang-Undang Sementara tahun 1950, bahkan diperdebatkan berkepanangan daIam sidang-sidang Konstituante. Perdebatan itu membawa kepada 'kebuntuan konstitusional' --ketika usul Presiden Soekarno untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 diterima secara berbeda oleh golongan Islam dan golongan non-Islam. Yang terakhir ini meminta diterima apa yang ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja. Golongan pertama meminta Piagam Jakarta diberlakukan. Kemacetan itu berupa tidak tercapainya mayoritas duapertiga suara untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dan kebuntuan suasana itu mengakibatkan lumpuhnya Konstituante, dan ada vacuum landasan pemerintahan secara konstitusional. 'Terpaksalah' Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945--dengan rumusan 'kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut' sebagai salah satu konsiderans. 'Murni & Konsekuen' Perkembangan keadaan di bidang itu, kini, telah sampai pada babak pelakanaan UUD 45 secara murni dan konsekuen'. Itu oleh sementara pihak ditafsirkan sebagai pembekuan konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikutip di atas. Dengan kata lain: pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945 tanpa kaitan apa pun dengan Piagam Jakarta. 'Babak final' itu adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan bernegara suatu bangsa--ketika kekuasaan pemerintahan mengambil sebuah kesimpulan atas landasan-landasan keberadaan dirinya sendiri. Bagaimanapun, pemerintahan adalah sebuah susunan kekuatan sosial-politik yang memiliki preferensinya sendiri, sehingga tidak dapat orang meriyalahkan kecenderungan pemerintah yang sekarang ini untuk menjalankan pola 'murni dan konsekuen' di atas. Masalahnya adalah penerimaan masyarakat bangsa sebagai keseluruhan. Sudahkah ia tercapai sebagai sebuah proses yang dibenarkan oleh bangsa? Kalau sudah, tidak ada masalah. Undang-Undang Dasar saja dapat dibentuk dan diubah berkali-kali, apalagi hanya pembukaannya. Bahkan Piagam Jakarta pun belum pernah menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berlaku dalam sejarah nasional kita setelah Kemerdekaan. Mau dipakai atau tidak, bukan persoalannya. Yang menjadi masalah adalah bagaimana 'keputusan' untuk mencapai prinsip 'murni dan konsekuen' itu dicapai. Dalam keadaan ketika SARA (suku, agama, ras dan antarkekuatan sosial) dijadikan kriteria mana pendapat dan berita yang boleh disiarkan dan mana yang tidak, sudah tentu tidak mungkin orang berbicara terbuka tentang'keputusan' tersebut. Juga tentang Piagam Jakarta. Semuanya seolah sudah dalam keadaan "beres". Pokoknya Piagam Jakarta sudah tidak menjadi isu. Suasana sudah terkendali dengan baik, dengan asumsi tidak ada lagi persoalan konstitusional berkisar pada masalah landasan konstitusional kehidupan bangsa dan negara. Masalahnya tingal yang teknis-teknis saja: bagaimana melaksanakan pembangunan simultan di segala bidang, bagaimana memelihara stabilitas nasional, mengembangkan integrasi nasional secara lebih penuh, dan seterusnya. Mungkin sampai kepada kecenderungan membuat manusia se . . . bionic mungkin. Jalur Komunikasi Sulitnya, keadaan permukaan seperti itu tidak selamanya mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Sering hanya menyembunyikan saja arus bawah yang berkembang - tidak mampu menghentikan atau menyalurkannya secara sehat. Dengan kata lain, ada kemungkinan hal-hal yang telah diberlakukan tidak didukung oleh konsensus cukup luas dari kehidupan bangsa. Sebuah keadaan yang tidak seluruhnya buruk, tapi juga tidak seluruhnya baik. Dalam suasana seperti itu, sebenarnya penting sekali tetap dipelihara sebuah jalur komunikasi antara pihak yang berbeda pendapat dan berlainan pikiran. Itu pun tidak sembarangan diletakkan--melainkan dalam taraf yang memungkinkan dialog rasional tanpa terlalu banyak dipengaruhi emosi. Sebuah proses pencapaian penyelesaian hakiki yang nantinya akan diterima secara tulus oleh semua pihak, sebagai konsensus-nyata yang tidak lagi memerlukan dukungan alat-alat kekuasaan. (Tetapi muncul pertanyaan: mungkinkah dialog seperti itu berlangsung, kalau kebebasan mimbar di perguruan tinggi pun telah menjadi begitu terbatas?). Kalau tidak, suatu waktu akan muncul gugatan: mengapakah hanya satu aspek kehidupan bangsa saja yang 'dimurnikan' dan dibuat 'konsekuen' dengan WD, sedang yang lain dibiarkan tidak murni dan tidak konsekuen?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus