TUJUH buah kata ternyata menjadi seluruh kandungan sebuah tesis
untuk mendapat gelar MA. Kemudian dialihbahasakan, setelah
diperbaiki dan dikembangkan di sanasini. Dan diterbitkan dalam
cara dan bentuk yang biasa-biasa saja (lihat Buku). Padahal
ketujuh kata itu membentuk sebuah anak kalimat yang pernah
mengguncangkan kehidupan bernegara kita semua. Yang
dipertikaikan duapuluh tahun lamanya, kalau dihitung keputusan
pemerintah sekarang ini untuk menghilangkannya dari 'peredaran'.
Ketujuh kata-itu adalah apa yang kemudian dikenal sebagai Piagam
Jakarta. Berbunyi: 'dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya'--sebagai anak kalimat yang menjelaskan
dasar negara 'Ketuhanan'. Ketujuh kata itu hilang dari naskah
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan dasar negara 'Ketuhanan'
dalam Piagam Jakarta tersebut digantikan dengan dasar negara
'Ketuhanan Yang Maha Esa'.
Tujuh kata yang mula-mula diterima sebagai titik temu dua
kelompok besar perjuangan kemerdekaan bangsa itu tertuang dalam
piagam yang disebutkan di atas. Kemudian hilang dari Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Tetap tidak muncul dalam Undang-Undang
Sementara tahun 1950, bahkan diperdebatkan berkepanangan daIam
sidang-sidang Konstituante.
Perdebatan itu membawa kepada 'kebuntuan konstitusional'
--ketika usul Presiden Soekarno untuk kembali ke Undang-Undang
Dasar 1945 diterima secara berbeda oleh golongan Islam dan
golongan non-Islam. Yang terakhir ini meminta diterima apa yang
ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja. Golongan
pertama meminta Piagam Jakarta diberlakukan. Kemacetan itu
berupa tidak tercapainya mayoritas duapertiga suara untuk
memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Dan kebuntuan suasana itu mengakibatkan lumpuhnya Konstituante,
dan ada vacuum landasan pemerintahan secara konstitusional.
'Terpaksalah' Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959
yang menyatakan pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945--dengan
rumusan 'kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan
suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut' sebagai
salah satu konsiderans.
'Murni & Konsekuen'
Perkembangan keadaan di bidang itu, kini, telah sampai pada
babak pelakanaan UUD 45 secara murni dan konsekuen'. Itu oleh
sementara pihak ditafsirkan sebagai pembekuan konsiderans Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang dikutip di atas. Dengan kata lain:
pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945 tanpa kaitan apa pun
dengan Piagam Jakarta.
'Babak final' itu adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan
bernegara suatu bangsa--ketika kekuasaan pemerintahan mengambil
sebuah kesimpulan atas landasan-landasan keberadaan dirinya
sendiri. Bagaimanapun, pemerintahan adalah sebuah susunan
kekuatan sosial-politik yang memiliki preferensinya sendiri,
sehingga tidak dapat orang meriyalahkan kecenderungan pemerintah
yang sekarang ini untuk menjalankan pola 'murni dan konsekuen'
di atas.
Masalahnya adalah penerimaan masyarakat bangsa sebagai
keseluruhan. Sudahkah ia tercapai sebagai sebuah proses yang
dibenarkan oleh bangsa? Kalau sudah, tidak ada masalah.
Undang-Undang Dasar saja dapat dibentuk dan diubah berkali-kali,
apalagi hanya pembukaannya. Bahkan Piagam Jakarta pun belum
pernah menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berlaku dalam
sejarah nasional kita setelah Kemerdekaan. Mau dipakai atau
tidak, bukan persoalannya.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana 'keputusan' untuk mencapai
prinsip 'murni dan konsekuen' itu dicapai. Dalam keadaan ketika
SARA (suku, agama, ras dan antarkekuatan sosial) dijadikan
kriteria mana pendapat dan berita yang boleh disiarkan dan mana
yang tidak, sudah tentu tidak mungkin orang berbicara terbuka
tentang'keputusan' tersebut. Juga tentang Piagam Jakarta.
Semuanya seolah sudah dalam keadaan "beres". Pokoknya Piagam
Jakarta sudah tidak menjadi isu. Suasana sudah terkendali dengan
baik, dengan asumsi tidak ada lagi persoalan konstitusional
berkisar pada masalah landasan konstitusional kehidupan bangsa
dan negara. Masalahnya tingal yang teknis-teknis saja:
bagaimana melaksanakan pembangunan simultan di segala bidang,
bagaimana memelihara stabilitas nasional, mengembangkan
integrasi nasional secara lebih penuh, dan seterusnya. Mungkin
sampai kepada kecenderungan membuat manusia se . . . bionic
mungkin.
Jalur Komunikasi
Sulitnya, keadaan permukaan seperti itu tidak selamanya
mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Sering hanya
menyembunyikan saja arus bawah yang berkembang - tidak mampu
menghentikan atau menyalurkannya secara sehat. Dengan kata lain,
ada kemungkinan hal-hal yang telah diberlakukan tidak didukung
oleh konsensus cukup luas dari kehidupan bangsa. Sebuah keadaan
yang tidak seluruhnya buruk, tapi juga tidak seluruhnya baik.
Dalam suasana seperti itu, sebenarnya penting sekali tetap
dipelihara sebuah jalur komunikasi antara pihak yang berbeda
pendapat dan berlainan pikiran. Itu pun tidak sembarangan
diletakkan--melainkan dalam taraf yang memungkinkan dialog
rasional tanpa terlalu banyak dipengaruhi emosi. Sebuah proses
pencapaian penyelesaian hakiki yang nantinya akan diterima
secara tulus oleh semua pihak, sebagai konsensus-nyata yang
tidak lagi memerlukan dukungan alat-alat kekuasaan.
(Tetapi muncul pertanyaan: mungkinkah dialog seperti itu
berlangsung, kalau kebebasan mimbar di perguruan tinggi pun
telah menjadi begitu terbatas?).
Kalau tidak, suatu waktu akan muncul gugatan: mengapakah hanya
satu aspek kehidupan bangsa saja yang 'dimurnikan' dan dibuat
'konsekuen' dengan WD, sedang yang lain dibiarkan tidak murni
dan tidak konsekuen?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini