Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suatu Sore, 100 Km Dari Tanjung ...

Kapal pengungsi dari Vietnam selalu jadi mangsa para pembajak kapal bermotor Thai. Usaha penyelamatan UNHCR: menugaskan kapal "cap anamur" beroperasi di kawasan teluk Siam (laporan Norm Aisbett).

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA hari lamanya kami menjelajahi Teluk Siam, tak ada hal aneh terjadi. Menjelang hari keempat, pukul 4 sore, kapten kapal memutuskan untuk meninggalkan teluk," tulis Norm Aisbett di South China Morning Post. Aisbett menuturkan pengalamannya yang luar biasa. Ia dan fotgrafer Dave Tanner mengikuti operasi kapal Cap Anamur. Kapal yang d ibiayai sebuah badan sosial Jerman Barat ini, bertuJUan menolong para pengungsi Vietnam Yan masih banyak tercecer di sekitar Teluk Siam, Delta Mekong dan Laut Cina Selatan. Operasinya merupakan bagian kegiatan UNHCR--Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi yang baru-baru ini mendapat ladiah Nobel. Maka inilah satu gambaran kegiatan komisi ini. Kapal penyelamat yang diperlengkapi helikopter itu berbobot mati 5300 ton, dan sudah beroperasi beberapa tahun, berulang kali menjadi saksi malapetaka anak manusia. Kini Norm Aisbett sendiri ikut menyaksikannya. Dan meski sudah beberapa kali mendengar derita berkepanjangan "orang-orang perahu" Vietnam itu, toh ia terkejut--dan membuat catatan yang getir Cap Anamur membelok ke utara Memasuki Laut Cina Selatan, menuju Vung Tau di Delta Mekong. Jam menunjukkan pukul 4 sore lebih 10 menit. Tiba-tiba, seorang pelaut berkebangsaan Filipina menunjuk ke arah sekumpulan perahu nelayan Muangthai. Bukan perahu-perahu nelayan itu yang menarik perhatiannya. Tapi sebuah perahu kecil yang terguncang di tengah kumpulan perahu bermotor itu. Pelaut Filipina itu sudah 17 bulan bertugas di Cap Anamur. Mata dan intuisinya sudah terasah cukup tajam untuk menentukan: perahu kecil yang terguncang itu bermuatan para pengungsi. "Bajingan. Bajak laut Thai," desis Rolf Wangnick, kapten kapal yang berumur 45 tahun. "Belokkan arah, naikkan kecepatan, bunyikan sirene! Kita ke sana!" Cap Anamur membalik ke timur. Lalu dengan kecepatan 16 knot melaju menuju sasaran. Awak kapal dengan tegang berkumpul di anjungan. Pada jarak 400 meter, sasaran pun jelas: empat kapal bermotor Thai memang sedang mengepung sebuah perahu pengungsi. Samar-samar nampak wanita dan anak-anak sedang dijejalkan ke perahu pengungsi yang kecil. Karenanya terguncang. Tapi pandangan itu tak jelas benar: perahu-perahu Thai yang mengepung membentuk formasi demikian rupa, melindungi perahu kecil di tengahnya dari pandangan. Perahu terbesar, tempat para wanita dan anak-anak tadi diturunkan, mendempetnya. Dan dua perahu lain membentuk perlindungan di kiri dan kanan. Dari jarak 200 meter, nampak ada gerakan di perahu pengungsi yang lagi digencet. Para penumpang rupanya berusaha melepaskan diri dari kepungan. Tapi pada saat yang sama, perahuperahu Thai yang mengepung bergerah memencar. Dua perahu ke timur, sebuah lagi ke arah sebaliknya. Dan yang terbesar melaju ke barat laut, membentuk garis lurus dengan perahu pengungsi dan Cap Anamur--seperti menjaga, dari jarak hanya 20 meter. Pada jarak 150 meter, Kapten Wangnick memerintahkan mengurangi kecepatan kapal--kemudian mematikan mesin. Cap Anamur meluncur menuju perahu pengungsi yang hampir karam, memasuki formasi kepungan yang renggang. Hari mulai gelap. Awak kapal Cap Anamur sudah biasa menghadapi keadaan macam ini. Tak canggung, Mualim 1, Wolfgang Beyer, memimpin awak membentuk penjagaan di semua sisi kapal dengan senjata seadanya. Semua lampu sorot dinyalakan--ke arah empat perahu yang berpencaran. "Perhatikan semua yang berada di perahu-perahu itu! Hajar begitu mereka berusaha memanjat!" teriak Wolfgang. Pertempuran d isiap kan. TAPI urung. Cuma saling tatap--pada jarak rata-rata 50 meter. Di bawah cahaya lampu sorot, nampak 20 kepala di keempat perahu mendongak ke geladak Cap Anamur. Mereka rupanya kenal betul kapal penyelamat ini--pertemuan ini bukan untuk pertama kalinya. Adu tatap berlangsung 5 menit, kemudian terdengar mesin dinyalakan--dan empat perahu Thai pengepung bergerak menjauh. Eh. Mereka masih berhenti pada jarak beberapa ratus meter. Nonton. Cap Anamur meluncur ke perahu pengungsi. Seperti kuburan, tak ada suara Mesin rupanya mengalami kerusakan. Dan seperti dalam film, perahu itu terguncang diterpa pecahan ombak, oleng namun tak beranjak, menunggu Cap Anamur mendekat. Wangnick mencatat tempat kejadian pada peta: 100 kilometer sebelah timur Tanjung Ca Mau. Tapi beberapa menit kemudian, ketika lampu sorot diarahkan ke sasaran, suara riuh rendah seperti meledak tiba-tiba. Norm Aisbett terkejut: dalam perahu yang panjangnya cuma 8 meter itu bertumpukan puluhan orang--simpang-siur seperti bangkai-bangkai sehabis perang. Jumlah persisnya: 95 orang. Cap Anamur berputar, melintang memotong arah angin--untuk melindungi mereka yang nanti akan memanjat ke kapal dari terpaan angin. Setelah kedua bahtera bergesekan, Wolfgang dan dua anak buahnya berkebangsaan Filipina menurunkan jala dan tangga-tangga tali. Juga sebuah keranjang raksasa--untuk mengerek wanita, anak-anak dan mereka yang sakit. "Sebuah pemandangan yang dramatis," tulis Norm Aisbett. Seperti anak-anak ayam menyerbu ketiak induknya, tumpukan manusia itu sekarang berebut naik--saling injak. Ada sebuah kelompok di antara itu berkumpul saling berdekapan, melindungi diri dari injakan yang gegap-gempita. Mereka ini sebuah keluarga. Dan sang ayah, yang mereka lindungi di bawah tubuh mereka, sedang sakit. Nguyen Huu Huan, bekas pengungsi yang ditolong Cap Anamur akhir tahun lalu--dan kini jadi awak kapal penyelamat--bertindak sebagai instruktur. Tak henti-hentinya ia berteriak dari mikrofon, minta agar gerombolan yang berebut sedikit bersabar. Juga mengarahkan kelompok yang sudah sampai di geladak agar menyingkir, memberi jalan bagi mereka yang terpaksa harus digendong atau dipapah. Pemindahan berlangsung cepat: hanya setengah jam. Mesin dinyalakan, dan Cap Anamur bergerak ke timur. Malam sudah pekat--tapi beberapa ratus meter dari situ 20 pasang mata masih juga menatap semua kejadian sampai bagian terakhir. Sementara itu di geladak kapal, celoteh orang-orang yang baru diselamatkan mulai bangkit--dan menjadi riuh. Kelompok pengungsi ini berasal dari dua rombongan yang berbeda. Yang pertama terdiri dari 40 orang. Mereka berhasil menyuap penjaga pantai Rach Gia yang bersedia membiarkan mereka meninggalkan Vietnam, malah juga menyediakan sebuah perahu bermotor. Namun ketika rombongan akan berangkat, ternyata perahu yang sama juga sudah dijanjikan kepada rombongan lain yang berjumlah 45 orang. Keberangkatan tak bisa ditunda--95 orang terpaksa meluncur ke laut lepas dalam perahu kecil 8 meter itu. Dan ternyata, orang-orang papa ini bukan cuma diperas para penjaga pantai. Mereka juga ditipu: motor yang ditempelkan di perahu ternyata sebentar saja rusak. Maka di mulut Teluk Siam itu mereka terlunta-lunta, dua hari dua malam digerogoti rasa putus asa. Di hari ketiga, pagi-pagi buta pukul 3 dinihari, harapan semu menyongsong: empat perahu nelayan Muangthai menemukan mereka. "Mereka mula-mula baik, ramah, malah memberi kami makan dan minum. Untung satu di antara kami ada yang bisa berbahasa Thai. Kami tak curiga," kata para pengungsi itu berebutan. Memang, "bajak laut" yang terdengar banyak beroperasi di sekitar Laut Cina Selatan, Teluk Siam sampai ke Selat Malaka, umumnya para nelayan Thai yang mencari "penghasilan tambahan" dengan merampoki para pengungsi Vietnam itu. Terutama karena orang-orang yang kabur itu diisukan sering membawa emas atau perhiasan lain. Maka "bajak laut" ini kian lama kian profesional--kian menjadi bajak betulan. Tak jarang mereka mempersenjatai diri dengan senapan mesin. Sore itu para nelayan alias bajak itu memerintahkan wanita dan anak-anak pindah ke perahu mereka. Juga lakilaki yang bisa berbahasa Thai--sebagai penerjemah. Lalu, di bawah todongan senjata, wanita-wanita yang terpilih dipaksa naik ke kabin. Itu memang cara mereka. Wangnick, yang kenal betul ulah mereka, menuturkan kepada Norm Aisbett kebiasaan para begundal ini. "Tak jarang," kata si kapten, "puluhan perahu berkumpul seperti sedang menyelenggarakan pesta air. Lalu setiap perempuan dipindah-pindahkan dari satu perahu ke perahu lain." Juga kini. Wanita-wanita yang gemetaran di kabin itu dibujuk dengan berbagai cara--mula-mula. "Kami diberi kue-kue, sedang mereka minum-minum wiski," kata seorang perempuan. "Mereka bersenang-senang seperti sedang berpesta." Namun acara mesum belum dimulai. Menanti gelap. Mereka hanya "main" setelah hari gelap. Itu kebiasaan. Sementara itu semua barang berharga disikat--sampai-sampai perhiasan kecil dari kuping atau leher anak-anak. "Mereka menasihati kami: sebaiknya kami menyerahkan semuanya secara sukarela. Sebab toh akan dirampok juga kalau tidak diberikan." Hari itu perampokan sudah terjadi kira-kira 3 jam sebelum Cap Anamur tiba. Kapal pehyelamat Jerman itu memang sedikit terlambat--walaupun syukur bisa membatalkan acara "pesta perempuan " "Mereka panik ketika melihat Cap Anamur, karena memperhitungkan kekuatan mereka tak cukup," kata laki-laki yang bisa berbahasa Thai. "Mula-mula ingin menyembunyikan kami. Tapi setelah melihat Cap Anamur meluncur tegas ke arah mereka, mereka mulai melepaskan wanita dan anak-anak dan mendorong mereka kembali ke perahu." Kali ini para pengungsi itu agak beruntung. Juga Cap Anamur sendiri--tidak mendapat perlawanan. 17 Mei lalu, kapal ini menyelamatkan 42 orang pengungsi dengan susah payah. Perahu mereka sungguh-sungguh sial: dibajak sampai empat kali, para wanitanya habis diperkosa. Dan korban sebanyak 42 orang itu baru dibebaskan setelah terjadi perang kecil. Setelah Wolfgang dan anak buahnya menyerang pembajak--yang bersenapan M-16--dengan bom-bom molotov dan rentetan tembakan harpun. Toh setelah 42 orang diselamatkan, ketahuan: pembajak masih menahan dua perempuan. Wangnick kemudian memutuskan mengejar perahu perompak yang tadi menghilang ke dalam kelompok perahu nelayan. Dengan megafon, Wolfgang minta pada satu perahu nelayan di jajaran paling luar untuk menolong mereka mengembalikan si dua wanita dari perahu yang menculik. Tapi ditolak. Wangnick naik pitam. Dan memutuskan: tabrak perahu itu! Dan perahu kayu itu pun ditabrak. Tenggelam, tentu saja. Melihat cara main keras yang kalap itu, perahu yang menculik rupanya merinding juga. Ia menampakkan diri, mendekat, dan mengembalikan si dua korban. Dan seorang di antara dua wanita itu baru berumur 1 tahun. "Tak seorang perawat berani serta-merta memeriksa keadaan gadis itu," kata perawat Winfred Rueger. "Gadis itu telah diperkosa berulang-ulang, dan dipindah-pindahkan seperti barang berulang-ulang." Padahal para perawat di Cap Anamur termasuk kawakan dan biasa menangani korban kecelakaan. "Aneh, polisi laut Muangthai cuma bertindak satu kali saja," tulis Norm Aisbett. "Itu pun bersama pasukan khusus PBB yang sedang meninjau." Padahal UNHCR pernah menyumbangkan sebuah kapal patroli khusus--dimaksudkan untuk mengontrol 15.000 perahu nelayan di Teluk Siam. "Cap Anamur sendiri tak pernah berpapasan satu kali pun dengan kapal patroli itu." Karena itu kapal penyelamat ini tak pernah meminta bantuan polisi Muangthai. Sebab beberapa laporan kejahatan, lengkap dengan tanda-tanda, nama dan nomor perahu pembajak, tak pernah membuahkan tindakan. Padahal perburuan manusia di Teluk Siam itu tak terkatakan kejinya. Pulau Koh Kra, hanya 6 kilometer dari pantai Siam, adalah semacam monumen bagi kelaknatan itu. Di situ banyak pengungsi mengakhiri pelariannya yang tak berujung. Seperti saksi bisu, sebuah karang berdiri tegap. Di sekujur tubuhnya ada sejumlah coretan dan tanda-tanda, seperti mau mencatat sejarah. Dua guratan yang berdampingan terbaca: "Memperingati ayah dan ibu"--dan "Di sini dua adik perempuanku mengalami siksaan 21 hari." Di sisi lain bahkan ada coretan lebih panjang, rupanya ingin memperingatkan mereka yang terdampar: "Jangan sampai para perompak melihat wanitawanita. Segera sembunyikan di guagua. Mula-mula mereka berlaku baik, memberi makan. Kemudian merampok semua harta kalian, juga pakaian yang kalian pakai. Memperkosa berulang-ulang, lalu membunuh kalian." Orang menghantam mereka dengan perang. Lalu komunis mengurung mereka dalam sebuah "neraka percobaan" yang tak pernah benar-benar tuntas disingkapkan kengeriannya. Belum pernah terjadi dalam sejarah jumlah pengungsi yang sebesar ini--yang nekat mengarungi samudra tanpa tuiuan yang jelas. Dengan persediaan makanan terbatas, dengan harta terakhir yang separuhnya habis dilahap para penjaga pantai. Padahal mereka akan ditolak, langsung maupun halus, oleh bangsa-bangsa tetangga sendiri. Tak jarang perahu yang sudah mendekat ke pantai kembali ke tengah laut: dari pesisir dimuntahkan tembakan ke atas--untuk menghalau manusia-manusia ini: anak-anak, bayi-bayi, orang-orang yang rombeng-rombeng. Tak ada rupanya negeri tetangga, yang sendirinya juga miskin atau mengidap masalah-masalah sosial, yang mau dengan sengaja dan senang hati menerima para makhluk yang terkatung-katung dan yang juga tidak selalu jelas identitasnya ini. Bumi Tuhan milik bersama sudah dibagi-bagi--begitu ketat dan rapi. Urusan modern konon sudah menjadi begitu kompleks. Pertolongan akhirnya memang datang juga, ala kadarnya, Tapi bahkan tak ada sebuah lembaga agama, di Asia, yang menyerukan uluran tangan bagi para umat Tuhan ini. Agama apa pun, di negeri apa pun. Sampai kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus