TIGA hari lamanya kami menjelajahi Teluk Siam, tak ada hal aneh
terjadi. Menjelang hari keempat, pukul 4 sore, kapten kapal
memutuskan untuk meninggalkan teluk," tulis Norm Aisbett di
South China Morning Post. Aisbett menuturkan pengalamannya yang
luar biasa. Ia dan fotgrafer Dave Tanner mengikuti operasi
kapal Cap Anamur. Kapal yang d ibiayai sebuah badan sosial
Jerman Barat ini, bertuJUan menolong para pengungsi Vietnam Yan
masih banyak tercecer di sekitar Teluk Siam, Delta Mekong dan
Laut Cina Selatan. Operasinya merupakan bagian kegiatan
UNHCR--Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi yang baru-baru ini
mendapat ladiah Nobel. Maka inilah satu gambaran kegiatan
komisi ini.
Kapal penyelamat yang diperlengkapi helikopter itu berbobot mati
5300 ton, dan sudah beroperasi beberapa tahun, berulang kali
menjadi saksi malapetaka anak manusia. Kini Norm Aisbett sendiri
ikut menyaksikannya. Dan meski sudah beberapa kali mendengar
derita berkepanjangan "orang-orang perahu" Vietnam itu, toh ia
terkejut--dan membuat catatan yang getir Cap Anamur membelok ke
utara Memasuki Laut Cina Selatan, menuju Vung Tau di Delta
Mekong. Jam menunjukkan pukul 4 sore lebih 10 menit.
Tiba-tiba, seorang pelaut berkebangsaan Filipina menunjuk ke
arah sekumpulan perahu nelayan Muangthai. Bukan perahu-perahu
nelayan itu yang menarik perhatiannya. Tapi sebuah perahu kecil
yang terguncang di tengah kumpulan perahu bermotor itu. Pelaut
Filipina itu sudah 17 bulan bertugas di Cap Anamur. Mata dan
intuisinya sudah terasah cukup tajam untuk menentukan: perahu
kecil yang terguncang itu bermuatan para pengungsi.
"Bajingan. Bajak laut Thai," desis Rolf Wangnick, kapten kapal
yang berumur 45 tahun. "Belokkan arah, naikkan kecepatan,
bunyikan sirene! Kita ke sana!"
Cap Anamur membalik ke timur. Lalu dengan kecepatan 16 knot
melaju menuju sasaran. Awak kapal dengan tegang berkumpul di
anjungan.
Pada jarak 400 meter, sasaran pun jelas: empat kapal bermotor
Thai memang sedang mengepung sebuah perahu pengungsi.
Samar-samar nampak wanita dan anak-anak sedang dijejalkan ke
perahu pengungsi yang kecil. Karenanya terguncang. Tapi
pandangan itu tak jelas benar: perahu-perahu Thai yang mengepung
membentuk formasi demikian rupa, melindungi perahu kecil di
tengahnya dari pandangan. Perahu terbesar, tempat para wanita
dan anak-anak tadi diturunkan, mendempetnya. Dan dua perahu lain
membentuk perlindungan di kiri dan kanan.
Dari jarak 200 meter, nampak ada gerakan di perahu pengungsi
yang lagi digencet. Para penumpang rupanya berusaha melepaskan
diri dari kepungan. Tapi pada saat yang sama, perahuperahu Thai
yang mengepung bergerah memencar. Dua perahu ke timur, sebuah
lagi ke arah sebaliknya. Dan yang terbesar melaju ke barat laut,
membentuk garis lurus dengan perahu pengungsi dan Cap
Anamur--seperti menjaga, dari jarak hanya 20 meter.
Pada jarak 150 meter, Kapten Wangnick memerintahkan mengurangi
kecepatan kapal--kemudian mematikan mesin. Cap Anamur meluncur
menuju perahu pengungsi yang hampir karam, memasuki formasi
kepungan yang renggang. Hari mulai gelap.
Awak kapal Cap Anamur sudah biasa menghadapi keadaan macam ini.
Tak canggung, Mualim 1, Wolfgang Beyer, memimpin awak membentuk
penjagaan di semua sisi kapal dengan senjata seadanya. Semua
lampu sorot dinyalakan--ke arah empat perahu yang berpencaran.
"Perhatikan semua yang berada di perahu-perahu itu! Hajar begitu
mereka berusaha memanjat!" teriak Wolfgang. Pertempuran d isiap
kan.
TAPI urung. Cuma saling tatap--pada jarak rata-rata 50 meter. Di
bawah cahaya lampu sorot, nampak 20 kepala di keempat perahu
mendongak ke geladak Cap Anamur. Mereka rupanya kenal betul
kapal penyelamat ini--pertemuan ini bukan untuk pertama kalinya.
Adu tatap berlangsung 5 menit, kemudian terdengar mesin
dinyalakan--dan empat perahu Thai pengepung bergerak menjauh.
Eh. Mereka masih berhenti pada jarak beberapa ratus meter.
Nonton.
Cap Anamur meluncur ke perahu pengungsi. Seperti kuburan, tak
ada suara Mesin rupanya mengalami kerusakan. Dan seperti dalam
film, perahu itu terguncang diterpa pecahan ombak, oleng namun
tak beranjak, menunggu Cap Anamur mendekat. Wangnick mencatat
tempat kejadian pada peta: 100 kilometer sebelah timur Tanjung
Ca Mau.
Tapi beberapa menit kemudian, ketika lampu sorot diarahkan ke
sasaran, suara riuh rendah seperti meledak tiba-tiba. Norm
Aisbett terkejut: dalam perahu yang panjangnya cuma 8 meter itu
bertumpukan puluhan orang--simpang-siur seperti bangkai-bangkai
sehabis perang. Jumlah persisnya: 95 orang.
Cap Anamur berputar, melintang memotong arah angin--untuk
melindungi mereka yang nanti akan memanjat ke kapal dari terpaan
angin. Setelah kedua bahtera bergesekan, Wolfgang dan dua anak
buahnya berkebangsaan Filipina menurunkan jala dan tangga-tangga
tali. Juga sebuah keranjang raksasa--untuk mengerek wanita,
anak-anak dan mereka yang sakit.
"Sebuah pemandangan yang dramatis," tulis Norm Aisbett. Seperti
anak-anak ayam menyerbu ketiak induknya, tumpukan manusia itu
sekarang berebut naik--saling injak. Ada sebuah kelompok di
antara itu berkumpul saling berdekapan, melindungi diri dari
injakan yang gegap-gempita. Mereka ini sebuah keluarga. Dan sang
ayah, yang mereka lindungi di bawah tubuh mereka, sedang sakit.
Nguyen Huu Huan, bekas pengungsi yang ditolong Cap Anamur akhir
tahun lalu--dan kini jadi awak kapal penyelamat--bertindak
sebagai instruktur. Tak henti-hentinya ia berteriak dari
mikrofon, minta agar gerombolan yang berebut sedikit bersabar.
Juga mengarahkan kelompok yang sudah sampai di geladak agar
menyingkir, memberi jalan bagi mereka yang terpaksa harus
digendong atau dipapah.
Pemindahan berlangsung cepat: hanya setengah jam. Mesin
dinyalakan, dan Cap Anamur bergerak ke timur. Malam sudah
pekat--tapi beberapa ratus meter dari situ 20 pasang mata masih
juga menatap semua kejadian sampai bagian terakhir.
Sementara itu di geladak kapal, celoteh orang-orang yang baru
diselamatkan mulai bangkit--dan menjadi riuh.
Kelompok pengungsi ini berasal dari dua rombongan yang berbeda.
Yang pertama terdiri dari 40 orang. Mereka berhasil menyuap
penjaga pantai Rach Gia yang bersedia membiarkan mereka
meninggalkan Vietnam, malah juga menyediakan sebuah perahu
bermotor. Namun ketika rombongan akan berangkat, ternyata perahu
yang sama juga sudah dijanjikan kepada rombongan lain yang
berjumlah 45 orang. Keberangkatan tak bisa ditunda--95 orang
terpaksa meluncur ke laut lepas dalam perahu kecil 8 meter itu.
Dan ternyata, orang-orang papa ini bukan cuma diperas para
penjaga pantai. Mereka juga ditipu: motor yang ditempelkan di
perahu ternyata sebentar saja rusak. Maka di mulut Teluk Siam
itu mereka terlunta-lunta, dua hari dua malam digerogoti rasa
putus asa.
Di hari ketiga, pagi-pagi buta pukul 3 dinihari, harapan semu
menyongsong: empat perahu nelayan Muangthai menemukan mereka.
"Mereka mula-mula baik, ramah, malah memberi kami makan dan
minum. Untung satu di antara kami ada yang bisa berbahasa Thai.
Kami tak curiga," kata para pengungsi itu berebutan.
Memang, "bajak laut" yang terdengar banyak beroperasi di sekitar
Laut Cina Selatan, Teluk Siam sampai ke Selat Malaka, umumnya
para nelayan Thai yang mencari "penghasilan tambahan" dengan
merampoki para pengungsi Vietnam itu. Terutama karena
orang-orang yang kabur itu diisukan sering membawa emas atau
perhiasan lain. Maka "bajak laut" ini kian lama kian
profesional--kian menjadi bajak betulan. Tak jarang mereka
mempersenjatai diri dengan senapan mesin.
Sore itu para nelayan alias bajak itu memerintahkan wanita dan
anak-anak pindah ke perahu mereka. Juga lakilaki yang bisa
berbahasa Thai--sebagai penerjemah. Lalu, di bawah todongan
senjata, wanita-wanita yang terpilih dipaksa naik ke kabin.
Itu memang cara mereka. Wangnick, yang kenal betul ulah mereka,
menuturkan kepada Norm Aisbett kebiasaan para begundal ini. "Tak
jarang," kata si kapten, "puluhan perahu berkumpul seperti
sedang menyelenggarakan pesta air. Lalu setiap perempuan
dipindah-pindahkan dari satu perahu ke perahu lain."
Juga kini. Wanita-wanita yang gemetaran di kabin itu dibujuk
dengan berbagai cara--mula-mula. "Kami diberi kue-kue, sedang
mereka minum-minum wiski," kata seorang perempuan. "Mereka
bersenang-senang seperti sedang berpesta." Namun acara mesum
belum dimulai. Menanti gelap. Mereka hanya "main" setelah hari
gelap. Itu kebiasaan.
Sementara itu semua barang berharga disikat--sampai-sampai
perhiasan kecil dari kuping atau leher anak-anak. "Mereka
menasihati kami: sebaiknya kami menyerahkan semuanya secara
sukarela. Sebab toh akan dirampok juga kalau tidak diberikan."
Hari itu perampokan sudah terjadi kira-kira 3 jam sebelum Cap
Anamur tiba. Kapal pehyelamat Jerman itu memang sedikit
terlambat--walaupun syukur bisa membatalkan acara "pesta
perempuan " "Mereka panik ketika melihat Cap Anamur, karena
memperhitungkan kekuatan mereka tak cukup," kata laki-laki yang
bisa berbahasa Thai. "Mula-mula ingin menyembunyikan kami. Tapi
setelah melihat Cap Anamur meluncur tegas ke arah mereka, mereka
mulai melepaskan wanita dan anak-anak dan mendorong mereka
kembali ke perahu."
Kali ini para pengungsi itu agak beruntung. Juga Cap Anamur
sendiri--tidak mendapat perlawanan. 17 Mei lalu, kapal ini
menyelamatkan 42 orang pengungsi dengan susah payah. Perahu
mereka sungguh-sungguh sial: dibajak sampai empat kali, para
wanitanya habis diperkosa.
Dan korban sebanyak 42 orang itu baru dibebaskan setelah
terjadi perang kecil. Setelah Wolfgang dan anak buahnya
menyerang pembajak--yang bersenapan M-16--dengan bom-bom molotov
dan rentetan tembakan harpun.
Toh setelah 42 orang diselamatkan, ketahuan: pembajak masih
menahan dua perempuan. Wangnick kemudian memutuskan mengejar
perahu perompak yang tadi menghilang ke dalam kelompok perahu
nelayan.
Dengan megafon, Wolfgang minta pada satu perahu nelayan di
jajaran paling luar untuk menolong mereka mengembalikan si dua
wanita dari perahu yang menculik. Tapi ditolak. Wangnick naik
pitam. Dan memutuskan: tabrak perahu itu! Dan perahu kayu itu
pun ditabrak. Tenggelam, tentu saja. Melihat cara main keras
yang kalap itu, perahu yang menculik rupanya merinding juga. Ia
menampakkan diri, mendekat, dan mengembalikan si dua korban.
Dan seorang di antara dua wanita itu baru berumur 1 tahun. "Tak
seorang perawat berani serta-merta memeriksa keadaan gadis itu,"
kata perawat Winfred Rueger. "Gadis itu telah diperkosa
berulang-ulang, dan dipindah-pindahkan seperti barang
berulang-ulang." Padahal para perawat di Cap Anamur termasuk
kawakan dan biasa menangani korban kecelakaan.
"Aneh, polisi laut Muangthai cuma bertindak satu kali saja,"
tulis Norm Aisbett. "Itu pun bersama pasukan khusus PBB yang
sedang meninjau." Padahal UNHCR pernah menyumbangkan sebuah
kapal patroli khusus--dimaksudkan untuk mengontrol 15.000 perahu
nelayan di Teluk Siam. "Cap Anamur sendiri tak pernah berpapasan
satu kali pun dengan kapal patroli itu."
Karena itu kapal penyelamat ini tak pernah meminta bantuan
polisi Muangthai. Sebab beberapa laporan kejahatan, lengkap
dengan tanda-tanda, nama dan nomor perahu pembajak, tak pernah
membuahkan tindakan.
Padahal perburuan manusia di Teluk Siam itu tak terkatakan
kejinya. Pulau Koh Kra, hanya 6 kilometer dari pantai Siam,
adalah semacam monumen bagi kelaknatan itu. Di situ banyak
pengungsi mengakhiri pelariannya yang tak berujung.
Seperti saksi bisu, sebuah karang berdiri tegap. Di sekujur
tubuhnya ada sejumlah coretan dan tanda-tanda, seperti mau
mencatat sejarah. Dua guratan yang berdampingan terbaca:
"Memperingati ayah dan ibu"--dan "Di sini dua adik perempuanku
mengalami siksaan 21 hari."
Di sisi lain bahkan ada coretan lebih panjang, rupanya ingin
memperingatkan mereka yang terdampar: "Jangan sampai para
perompak melihat wanitawanita. Segera sembunyikan di guagua.
Mula-mula mereka berlaku baik, memberi makan. Kemudian merampok
semua harta kalian, juga pakaian yang kalian pakai. Memperkosa
berulang-ulang, lalu membunuh kalian."
Orang menghantam mereka dengan perang. Lalu komunis mengurung
mereka dalam sebuah "neraka percobaan" yang tak pernah
benar-benar tuntas disingkapkan kengeriannya. Belum pernah
terjadi dalam sejarah jumlah pengungsi yang sebesar ini--yang
nekat mengarungi samudra tanpa tuiuan yang jelas. Dengan
persediaan makanan terbatas, dengan harta terakhir yang
separuhnya habis dilahap para penjaga pantai.
Padahal mereka akan ditolak, langsung maupun halus, oleh
bangsa-bangsa tetangga sendiri. Tak jarang perahu yang sudah
mendekat ke pantai kembali ke tengah laut: dari pesisir
dimuntahkan tembakan ke atas--untuk menghalau manusia-manusia
ini: anak-anak, bayi-bayi, orang-orang yang rombeng-rombeng.
Tak ada rupanya negeri tetangga, yang sendirinya juga miskin
atau mengidap masalah-masalah sosial, yang mau dengan sengaja
dan senang hati menerima para makhluk yang terkatung-katung dan
yang juga tidak selalu jelas identitasnya ini.
Bumi Tuhan milik bersama sudah dibagi-bagi--begitu ketat dan
rapi. Urusan modern konon sudah menjadi begitu kompleks.
Pertolongan akhirnya memang datang juga, ala kadarnya, Tapi
bahkan tak ada sebuah lembaga agama, di Asia, yang menyerukan
uluran tangan bagi para umat Tuhan ini. Agama apa pun, di negeri
apa pun. Sampai kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini