PROVINSI Riau yang dikenal sebagai salah satu sumber minyak,
ternyata belum dapat melicinkan hidup sebagian penduduknya. Pada
akhir Pelita II (1978/79), dari 68 kecamatan di daerah ini, 27
di antaranya terbilang sangat miskin.
Mayoritas penduduk Riau yang berjumlah 1,9 juta jiwa itu adalah
petani dan nelayan dengan pendapatan per kapita di bawah Rp
20.000. Padahal penghasilan daerahnya (GRDP--Gross Regional
Domestic Product) di- luar minyak bumi meliputi Rp 96.000 lebih
setahun. Dari hampir 900 desa di sana, separuhnya masih
terisolasi dan nyaris tak pernah dijamah pembangunan.
Ketika almarhum Subrantas menjadi gubernur Riau sejak 1978,
muncul sebuah proyek yang terkenal dengan Crash Program
Penanggulangan Kecamatan Miskin. Agar proyek ini tidak berjalan
setengah-setengah, Subrantas membentuk sebuah badan otorita
untuk menanganinya. Pada tahun pertama ia menyisihkan dana Rp
300 juta untuk 10 desa tahun kedua dana itu meningkat dua kali
lipat untuk 17 desa. Gubernur Riau sekarang, Imam Munandar,
tahun ini meneruskannya, sehingga kecamatan yang tidak miskin
pun menerima bantuan Rp 5 juta.
Hasilnya, pada tahun pertama memang banyak yang gagal, karena
dananya diselewengkan. Hal ini diakui sendiri oleh R. Rusli dari
Bappeda Riau: Tahun berikutnya hampir sama saja. Bukan karena
diselewengkan, tapi karena proyeknya kecil-kecil dan tidak
mengenai sasaran. Terutama yang berbentuk pernberian
bibittanaman,alat perikanan.
Hasil usaha Subrantas yang bisa dilihat ada di Desa Sungai
Buluh, Kecamatan Singkep, Kabupaten Kepulauan Riau. Puluhan
kepala keluarga di desa itu mendapat bantuan rumah ukuran 5 x 6
meter beratap seng. Sekarang tinggal 50 kk dan 500 kk penduduk
yang belum punya rumah. Tapi belakangan mereka juga minta rumah
gratis. Jalan-jalan desa, meskipun hanya jn tanah, juga sudah
dibangun. "Sekarang saya tak malu lagi pidato tentang
pembangunan di depan penduduk, karena memang sudah ada
hasilnya," kata Ahmad Jubil, kepala Desa Sungai Buluh.
Di Ja-Bar juga ada usaha khusus menanggulangi kemiskinan,
meskipun baru terlihat di satu desa yang sebelumnya tergolong
amat miskin. Yaitu di Kampung Cigaru, Desa Mekarsari, Kecamatan
Cipaku, Ciamis. Dari 974 kk penduduk desa tersebut, 65% di
antaranya buruh tani. "Desa ini miskin, pohon pisang saja sulit
tumbuh di sini," kata Sunarya, Kepala Desa Mekarsari. Memang
terlihat beberapa pohon kelapa di sana, tapi setiap bulan hanya
berbuah satu-dua biji.
Blut
Sejak 1978 Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB membimbing penduduk
Cigaru mengolah tanah. Bukit-bukit kering dibuat bertingkat
(terasering), lalu ditanami berbagai jenis palawija. Berbagai
tanaman produktif juga tampak memenuhi pekarangan rumah.
Penduduk diajari pula beternak belut. Hasilnya, sekarang
penduduk desa itu sudah jarang yang menuju ke kota mencari
pekerjaan sebagai buruh. Mereka lebih suka seharian bekerja di
kebun.
Belum lama ini satu-satunya keluhan penduduk ialah langkanya
pupuk kandang. Padahal tanah kering di desa itu sangat
membutuhkannya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Rachlan, Wakil
Pimpinan Satuan Tugas PSLH-ITB di Ciamis, tidak kehabisan akal.
Ia mengajak penduduk membuat pupuk kompos dari rumput. Dalam dua
tiga bulan rumput yang dicampur tahi ayam dan urea menjadi
busuk. "Kualitasnya sama saja dengan pupuk kandang," kata
Rachlan.
Usaha membangkitkan gairah para petani di sana sebenarnya sudah
sejak lama dilakukan oleh Dinas Pertanian Ciamis, misalnya
melalui para petugas penyuluhan lapangan. Tapi cara yang
ditempuh berupa berbagai ceramah itu ternyata sangat kurang
bermanfaat. "Ceramahnya terlalu banyak. Saya sendiri malah
mengantuk. Sampai di rumah lupa lagi," ujar Odon, pemuda lulusan
Sekolah Pertanian Menengah Pertama di Cipaku yang menjadi ketua
Kelompok Tani Mekarsari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini