PIAGAM JAKARTA 22 JUNI 1945
Endang Saifuddin Andari
Pustaka, Perpustakaan Salman ITB, Bandung, 1981, XXVI
ñ 238 hal, indeks
DEKRIT 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD
1945,menegaskan: "Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut." Mengapa dalam
Dekrit Presiden atas nama rakyat Indonesia itu terkandung
pernyataan demikian?
Buku-buku sarjana Barat mengenai revolusi 1945 umumnya 'lupa'
mengupas Piagam Jakarta. Kita sia-sia mencarinya dalam buku
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, atau karya
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia.
Barangkali yang pertama kali membahasnya agak mendalam adalah
Bernard Johan Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia
(The Hague, 1971).
Itulah buku Endang Saifuddin Anshari, yang merupakan tesis
MA-nya di Universitas McGill Montreal (Kanada), patut disambut
gembira. Diberi kata pengantar oleh Saifuddin Zuhri, Hamka dan
Mohamad Roem, buku ini berisi tinjauan historis-analitis
mengenai Piagam Jakarta, mulai dari perumusannya (1945) sampai
pada pembahasan piagam tersebut dalam Konstituante (1959), yang
bermuara pada Dekrit Presiden.
Kompromitis
Pengarang memulai uraiannya dengan tinjauan selintas pergerakan
kemerdekaan. Indonesia sejak awal abad ke-20, yang menunjukkan
bipolarisasi pergerakan nasionalis 'sekular' berdasarkan
Kebangsaan, dan pergerakan nasionalis 'islami' berdasarkan
Islam. Kedua paham ini mewarnai Sidang I Dokuritsu Junbi Cosakai
(Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan), 29 Mei - 1 Juni 1945.
Sidang tersebut beracara tunggal. menentukan dasar negara
Indonesia. Anggota Badan Penyelidik terbagi menjadi dua
kelompok: yang menghendaki 'negara Islam' dan yang menghendaki
'bukan negara Islam'.
Pada hari terakhir Sidang (1 Juni), Sukarno sebagai anggota
Badan Penyelidik mengajukan usul lima dasar negara yang
dinamainya Pancasila: Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat
(Demokrasi), Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan. Sukarno
menegaskan, dengan sila Demokrasi, hukum-hukum Islam dapat
diundangkan melalui badan perwakilan rakyat.
Ternyata pidato Sukarno yang kompromistis itu dapat meneduhkan
pertentangan yang mulai menajam. Terbentuklah Panitia Sembilan
untuk menyusun Pembukaan UUD--terdiri dari lima nasionalis
sekular (Sukarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Subardjo
dan Muhammad Yamin), serta empat nasionalis 'islami' (Abikusno
Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim dan Wahid Hasjim).
Dalam Pembukaan UUD yang mereka susun pada 22 Juni 1945, yang
dikenal sebagai Piagam Jakarta, Pancasila dirumuskan sebagai
berikut: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya Kemanusiaan yang adil dan beradabi
Persatuan Indonesiai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembukaan UUD (Piagam Jakarta) ini diterima bulat oleh Badan
Penyelidik dalam Sidang 11 (10 - 16 Juli 1945), setelah melalui
perdebatan sengit. Sidang 11 itu pun berhasil menyusun
batangtubuh UUD.
Pada 7 Agustus 1945 terbentuklah Dokuritsu Junbi linkai (Panitia
Persiapan Kemerdekaan). Sehari sesudah proklamasi kemerdekaan,
mereka bersidang untuk mengesahkan UUD hasil susunan Badan
Penyelidik. Berdasarkan usul seorang perwira angkatan laut
Jepang kepada Hatta (dalam buku Sekitar Proklamasi, Hatta
mengatakan perwira itu mengaku membawa suara umat Kristen di
Indonesia Timur), ternyata sidang Panitia Persiapan 18 Agustus
1945 itu mencoret kalimat-kalimat dalam UUD yang berisi
kata-kata 'Islam'. Sila pertama Pancasila diubah menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila kedua sampai sila kelima tidak
mengalami perubahan. Hari itu juga UUD disahkan, dan dikenal
sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Tapi UUD 1945 hanya bertahan empat tahun. Pada 1949 kita memakai
UUD RIS (Republik Indonesia Serikat). Setahun kemudian berlaku
UUD Sementara 1950. Maka pada 1955 diadakan pemilihan umum untuk
memilih anggota DPR (29 September) dan anggota Konstituante (15
Desember). Konstituante bertugas menyusun UUD permanen.
Pemungutan Suara
Dalam sidang-sidang Konstituante yang berlangsung sejak
pelantikan anggotanya pada 10 November 1956, fraksi-fraksi Islam
(Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI, AKUI, Gerpis dan Penyaluran)
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Menurut mereka,
Pancasila harus hidup dalam asuhan dan rawatan Islam. Sebab jika
tidak demikian, Pancasila akan ditelan komunisme. Namun
fraksi-fraksi lainnya berkeberatan. Sidang-sidang menjadi
berlarut-larut.
Pada 19 Februari 1959 Dewan Menteri (Kabinet) yang dipimpin
Perdana Menteri H. Djuanda memutuskan pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Keputusan itu
diajukan ke DPR 2 Maret. Dan pada 22 April, Presiden Sukarno di
depan Sidang Konstituante memohon agar Konstituante memutuskan
berlakunya kembali UUD 1945.
Fraksi-fraksi Islam menyetujui--dengan usul, agar pada kalimat
'Ketuhanan Yang Maha Esa' dalam Pembukaan dan Pasal 29 UUD,
ditambahkan kalimat 'dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya'. Pemungutan suara mengenai usul ini
berlangsung pada Sidang Konstituante 29 Mei dengan hasil: 201
anggota setuju, 265 menolak.
Kemudian pada 30 Mei, 1 Juni dan 2 Juni diadakan pemungutan
suara mengenai usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa
penambahan seperti yang diusulkan fraksi Islam. Hasilnya, pada
hari pertama 269 setuju, 199 menolak. Hari kedua, 264 setuju,
204 menolak. Dan hari ketiga, 263 setuju, 203 menolak.
Tapi baik usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945, maupun usul
penambahan dari fraksi Islam, tidak diterima Konstituante. Kedua
usul tidak berhasil meraih dua pertiga suara anggota yang hadir
(Pasal 137 UUDS 1950.
Akibat kemacetan Konstituante itulah pada 5 Juli 1959 Presiden
Sukarno mengeluarkan dekrit (Keputusan Presiden RI No. 150 tahun
1959) yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 yang dijiwai
oleh Piagam Jakarta. Soalnya Piagam Jakarta dan UUD 1945
merupakan suatu rangkaian kesatuan. Keputusan ini diterima
secara aklamasi oleh DPR (44% anggotanya adalah fraksi-fraksi
Islam termasuk Masyumi) pada 22 Juli 1959.
Kekuatan hukum Dekrit 5 Juli 1959 serta hubungan UUD 1945 dengan
Piagam Jakarta, dipertegas dalam Memorandum DPRR 9 Juni 1966.
Dan kemudian ditetapkan menjadi Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,
5 Juli 1966. Ketetapan MPR(S) itu pun menegaskan bahwa UUD 1945
tidak boleh diubah, sekalipun oleh MPR hasil pemilihan umum.
Membaca buku Endang Saifuddin Anshari ini, kita memperoleh kesan
bahwa pengarang hendak menekankan bahwa Piagam Jakarta merupakan
jiwa UUD 1945. Sila 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dijiwai oleh
'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya'.
Tentang umat Islam berkewajiban menjalankan syari'at Islam, hal
itu tak perludipersoalkan. Masalahnya, seberapa jauh Pemerintah
merasa terlibat untuk melaksanakan syari'at Islam itu bagi
pemeluk-pemeluknya. Itulah sebabnya pengarang menekankan bahwa
"seyogyanyalah Hukum Islam dijadikan --sekurang-kurangnya salah
satu--sumber ' perujukan (referensi) dalam pembentukan dan
pembinaan Hukum Nasional" (hal. 219).
Kita boleh berbeda pendapat dengan pengarang mengenai masalah
ini. Namun ada baiknya kita merenungkan pernyataan Bung Hatta
tentang kejadian 18 Agustus 1945: "Pada waktu itu kami dapat
menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan
menghilangkan perkataan 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya', dan menggntinya dengan
'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Dalam Negara Indonesia yang memakai
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam
kerangka Syari'at Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat
dimajukan sebagai Rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah
diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia" (Sekitar
Proklamasi, Jakarta, 1969, hal. 58. Sudah tentu yang
dimaksudkan Bung Hatta dengan "kami" adalah anggota Panitia
Persiapan yang mengesahkan UUD 1945 pada tanggal tersebut.
Bagaimanapun, Piagam Jakarta tak dapat dipisahkan dari UUD 1945.
Jika kita berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan Pancasila
adalah dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,
janganlah lupa bahwa Pembukaan UUD 1945 itu berasal dari Piagam
Jakarta. Bahkan sebenarnya yang pantas dijuluki Hari Lahir
Pancasila adalah 22 Juni 1945. Sebab, pada hari itulah Pancasila
sebagai dasar negara patama kali dirumuskan.
Tiga putih tahun kemudian, 1975, atas anjuran Presiden Suharto,
terbentuklah Panitia Pancasila terdiri dari lima orang: Mohammad
Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario dan A.G.
Pringgodigdo (Panitia Lima). Mereka dianggap dapat memberikan
pengertian sesuai dengan alam pikirari dan semangat lahir batin
para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Hasil pemikiran
Panitia Lima telah dibukukan dengan judul Uraian Pancasila
(Jakarta, 1977). Dalam kata pengantar buku itu, Panitia Lima
menegaskan "Sebetulnya Panitia itu harus terdiri dari bekas
Panitia Sembilan yang menandatangani perumusan Pembukaan UUD
1945 yang kemudian disebut Piagam Jakarta".
Nia K. Sholihat Irfan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini