Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK mudah bagi difabel bepergian secara mandiri dengan kendaraan umum di Jakarta. Tempo mengiringi mereka, dari penyandang difabel netra hingga pengguna kursi roda, yang menggunakan fasilitas umum tersebut untuk melihat seberapa jauh transportasi itu ramah difabel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maharetta Maha, penyandang disabilitas netra, bisa menjangkau halte bus terdekat dari rumahnya di Jalan Raya Pos Pengumben, Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat. Namun dia harus dua kali menyeberangi jalan raya. Retta—begitu perempuan 47 tahun tersebut biasa dipanggil—harus pula menyusuri trotoar yang bergelombang dan banyak lubang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang perjalanan tangannya tak henti menggerakkan tongkatnya ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa dia tak tersandung. "Kalau berjalan sendiri, sulit," katanya kepada Tempo di trotoar menuju halte bus tersebut pada Rabu, 18 September 2024.
Sepanjang mata memandang, tak ada ubin taktil di trotoar. Juga dikenal dengan guiding block, ubin taktil merupakan penanda jalan berupa deretan gundukan kecil di jalur pedestrian sebagai panduan penyandang difabel netra. Tanpa prasarana tersebut, Retta hanya bisa menerka-nerka posisi pemberhentian bus yang dia tuju. "Semestinya ada tanda yang membuat kami bisa tahu di sini tempatnya," ujarnya.
Halte bus itu disinggahi dua bus, Transjakarta 8D dengan rute Blok M-Joglo dan Mikrotrans Jak 53 dengan rute Grogol-Pos Pengumben. Bus yang dinanti Retta pun tiba. Pelan-pelan, dia menapaki anak tangga bus kecil Transjakarta 8D. Bus berukuran tiga perempat tersebut tidak padat, tapi semua kursi telah terisi. Seorang penumpang berdiri, merelakan kursinya untuk digunakan Retta.
Transjakarta 8D memiliki 27 pemberhentian dari Joglo hingga Blok M. Retta naik di pemberhentian kesembilan dan akan turun di setopan ke-16 untuk berganti bus menuju Kebon Jeruk. Namun, karena tidak ada pengumuman titik pemberhentian, dia kebingungan. "Ini sudah sampai mana?" katanya.
Saat berhenti di halte yang dia tuju, posisi bus terlalu mepet dengan akses menuju halte ITC Permata Hijau. Retta harus ekstra hati-hati saat melangkah menaiki anjungan tersebut. Di halte seorang petugas Transjakarta langsung menghampirinya dan menuntunnya melewati gerbang sampai naik bus Transjakarta berikutnya.
Perjalanan Retta di bus Transjakarta koridor 8, rute Lebak Bulus-Pasar Baru, lebih bersahabat. Setiap mendekati halte, ada pengumuman lokasi. Di halte Kebon Jeruk, petugas kembali mendampinginya hingga lepas dari pemberhentian bus tersebut.
Tak lama setelah Retta meninggalkan lokasi itu, tiba Risma Ulyna, juga penyandang difabel netra. Perempuan 50 tahun itu datang dari jauh, Tanjung Priok, Jakarta Utara, lebih dari 20 kilometer di utara dengan dua jam perjalanan. Dia hendak menuju Rumah Singgah Tunanetra Yayasan Anak Terang Ministri di sebuah kompleks rumah toko di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Penyandang difabel netra Maharetta Maha (47) menaiki bus di halte pengumpan Transjakarta Masjid Nurul Iman Joglo, Jakarta Barat, 18 September 2024. TEMPO/Ilham Balindra
Risma mengaku tak khawatir bepergian sendirian. Alasannya, dia telah hafal jalur perjalanannya. "Saya dua kali seminggu datang untuk acara komunitas di sana," katanya.
Untuk mencapai titik tujuannya, Risma harus menyambung Mikrotrans Jak 30 rute Grogol-Meruya. Pagi itu, sekitar pukul 09.00, dia tak perlu menunggu lama. Dia duduk tenang di antara penumpang lain. Sepuluh menit di minibus tersebut, Risma menginformasikan titik pemberhentiannya kepada sopir angkutan kota yang lebih dikenal dengan JakLingko tersebut.
Saat angkot gratis itu berhenti di lokasi, sopir menginformasikan kepada Risma. Namun, posisi kendaraan terlalu mepet dengan trotoar sehingga akses keluar terhalangi. Risma berhenti sejenak, mengeluarkan tongkat yang terlipat di tasnya, lalu meraba kondisi jalan. Dia berjalan pelan menyusuri jalur pedestrian yang banyak lubang tersebut sebelum tiba di lokasi tujuannya, Rumah Singgah Tunanetra, dan disambut banyak rekannya.
Trotoar rusak menjadi keluhan yang paling sering disampaikan para penyandang difabel netra yang kami temui sepanjang rangkaian liputan ini. Aldo Naldi Ramli, 65 tahun, menuturkan banyak jalur pedestrian yang tidak rata, berlubang, dan tak memiliki ubin taktil. Kalaupun ada yang rata, trotoar itu habis diokupansi pedagang kaki lima dan parkir liar. "Transportasi sudah oke, kesulitan ada di trotoar," katanya saat ditemui di Rumah Singgah Tunanetra Yayasan Anak Terang Ministri.
Tinggal di Ciputat, Aldo, yang kehilangan penglihatannya karena kecelakaan 40 tahun lalu, biasa bepergian sendiri. Selain berkumpul bersama komunitas tunanetra, dia menjual jasa pijat sekaligus menjadi pelatih pijat. "Murid saya bukan hanya yang tidak bisa melihat," ujarnya.
Aldo menuturkan pengalamannya mengakses transportasi publik di Jakarta dan sekitarnya. Dari Transjakarta, KRL Commuter Line, hingga MRT Jakarta. Menurut dia, angkutan umum milik pemerintah makin bagus. Apalagi ada banyak keringanan bagi penyandang difabel, seperti akses gratis di seluruh layanan Transjakarta. Dia pertama kali membuat kartu bebas biaya itu di kantor Transjakarta di Cawang, Jakarta Timur, pada 2017 dan diperpanjang setiap tahun di Balai Kota Jakarta.
Dari pengalamannya mengakses transportasi publik di Jakarta, Aldo memberi nilai bagus untuk Transjakarta koridor 8 (Lebak Bulus-Pasar Baru) dan Transjakarta koridor 13 (Puri Beta Ciledug- Tendean). Saking seringnya bepergian dengan jalur itu, dia mengenal sejumlah petugas di beberapa halte yang dia biasa naik-turun.
Halte Kebon Jeruk di Jalan Panjang, Jakarta Barat, menjadi salah satu halte favoritnya. Aldo merasa para petugas halte Transjakarta sigap dan ramah. Namun petugas di halte Kebon Jeruk itu setingkat lebih ramah dan sigap. "Mereka sudah familier dengan kami dari Rumah Singgah Tunanetra karena sering naik-turun bus di sana," kata Aldo. Alasan lain adalah akses dari dan menuju halte itu rata, tidak perlu naik-turun jembatan penyeberangan.
Halte lain yang menjadi favoritnya adalah halte integrasi CSW di Jakarta Selatan dan halte Juanda di Jakarta Pusat. Alasannya, petugasnya banyak dan semua ramah.
Hari itu, halte Kebon Jeruk juga disinggahi Aldo. Dia turun dari Transjakarta koridor 8 yang berangkat dari Lebak Bulus, lalu menyambung menggunakan Mikrotrans Jak 30 menuju Rumah Singgah Tunanetra.
Menurut Aldo, cara kerja petugas halte Kebon Jeruk perlu dijadikan standar pelayanan. Sebab, di lokasi lain, kadang ada petugas yang memperlakukan difabel secara tidak hormat. Aldo menyebutnya sebagai oknum. "Oknum itu menuntun dengan main tarik baju, bukan menggandeng tangan," katanya.
Aldo punya pengalaman pahit soal petugas yang tak ramah difabel netra. Dia dituntun, tapi posisi petugas salah sehingga Aldo tak bisa meraba dengan tongkatnya. "Jadinya malah kejeblos," ucapnya. Menurut dia, banyak rekannya yang punya pengalaman terjatuh serupa karena petugas tidak memahami posisi menuntun difabel netra.
Karena punya halte favorit, Aldo juga punya halte yang masuk daftar hitamnya, yaitu halte Tomang. Alasannya, pemberhentian bus itu sempit, banyak tangga, dan tidak dijaga petugas. Lokasi lain adalah halte Sunter Utara—dulu disebut halte SMP 140. Sebab, selain tidak dijaga petugas, aksesnya melengkung-lengkung. "Berbahaya bagi tunanetra yang berjalan sendirian dan baru pertama kali ke sana," kata Aldo.
Ketidaknyamanan lain yang kerap dia temui dalam perjalanan di busway adalah posisi bus yang tidak tepat dengan pintu. Akibatnya, difabel tidak menyadari ada halangan di depannya. Aldo pernah nyaris menumbur tiang saat turun bus. "Untung ada penumpang yang menarik saya. Saat itu tidak ada petugas yang membantu," ujarnya.
Penyandang difabel netra Maharetta Maha (47) menaiki bus Transjakarta, 18 September 2024. TEMPO/Ilham Balindra
Untuk KRL Commuter Line, Aldo mengacungkan jempol. Dia biasa mengakses kereta komuter ini dari Stasiun Juanda di Jakarta Pusat menuju Depok atau Citayam. Menurut dia, semua petugas anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia itu ramah dfiabel.
Begitu masuk pintu stasiun, petugas di gerbang langsung menanyakan titik tujuan dan petugas lain mendampingi mereka hingga naik kereta. Dia belum bisa berkomentar soal layanan MRT Jakarta karena baru dua kali naik sewaktu uji coba pada 2019.
Dalam kesempatan terpisah, Tempo mengiringi perjalanan Fitrina, yang menggunakan kursi roda, naik MRT dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia hingga Lebak Bulus. Dia didampingi seorang kerabatnya.
Pada Selasa, 24 September 2024, itu, di Stasiun Bundaran HI, tak ada petugas yang membantu menyiapkan papan penghubung peron dan kereta. Walhasil, pendamping Fitrina harus memutar kursi roda lebih dulu, baru masuk gerbong. "Papannya kadang disiapkan, kadang enggak," kata Fitrina.
Di Stasiun Lebak Bulus, dia bisa turun dengan lancar karena petugas membantunya dengan papan. Tapi ketidaknyamanan dirasakan Fitrina saat hendak menggunakan lift untuk turun. Dia harus menunggu lama karena berada di antrean paling belakang. Sebab, banyak penumpang lain langsung berlari menuju lift begitu turun dari kereta.
Keluhan soal lift juga dirasakan Yurlina. Perempuan 50 tahun itu juga pengguna kursi roda. Tinggal di Cililitan, Jakarta Timur, dia bersama pendamping biasa naik Transjakarta dari halte Cawang. Menurut dia, ada banyak halte yang tak dilengkapi dengan lift. "Misalnya, di sisi sana ada lift, di sisi sini enggak ada," ujarnya saat dihubungi Tempo.
Padahal lift merupakan fasilitas yang esensial bagi pengguna kursi roda. Di Halte Transjakarta Cawang UKI, Yurlina melanjutkan, ada lift, tapi telah lama rusak dan tak kunjung diperbaiki. Beberapa halte lain, kata dia, anjungan miringnya curam dan panjang sehingga membahayakan pengguna kursi roda.
Terlepas dari sejumlah kekurangan sarana dan prasarana Transjakarta, Supono menilai moda transportasi ini sangat membantu mobilitasnya dan orang lansia lain. Pria 60 tahun ini bekerja sebagai tukang parkir di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Dia setiap hari bolak-balik dari rumahnya di Klender, Jakarta Timur, naik bus Transjakarta. "Pergi-pulang bisa delapan kali berganti angkutan," ujarnya.
Tempo mengikutinya dari halte Blok M, Jakarta Selatan, pada suatu siang, September 2024. Dengan langkahnya yang berat, dia melambaikan tangan, memberi tanda agar Transjakarta M1 rute Blok M-Kota yang hendak tancap gas menunggunya sebentar. Pengemudi melihat orang lansia itu tergopoh-gopoh sehingga membuka kembali pintu busnya. Supono naik bus dengan AC dingin itu hingga Monas, lalu melanjutkan perjalanan dengan Transjakarta 5C yang menuju Pusat Grosir Cililitan, PGC, di Jakarta Timur.
"Semua fasilitas Transjakarta cukup bagus," kata Supono. Dia makin kesengsem naik angkutan publik itu karena punya kartu khusus lansia sehingga tak perlu lagi membayar.
Istiqomatul Hayati dan Randy Fauzi Ferdiansyah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Serial liputan ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung oleh International Media Support