SEORANG pembaca bertanya ke majalah Al-Muslimun mengenai hukum
menonton 'film biru'. Dan pengasuh ruang Kata Berjawab di
'majalah hukum dan pengetahuan agama Islam' itu, Ustad Abdul
Qadir Hassan, memberi jawaban yang intinya begini:
Video adalah "pita rekaman untuk televisi". Rekaman, dari kata
Arab raqm, adalah sesuatu yang timbul kemudian, "bukan asal".
Melihat film video, baik cabul atau tidak, "secara hukum
tidaklah berdosa". Karena yang dilihat hanya gambaran. "Sedang
yang dilarang adalah melihat aurat orang yang sebenarnya. "
Seperti bisa diduga, banyak orang menjadi gundah -
setidak-tidaknya bingung - membaca jawaban di majalah edisi Juli
itu. Bukannya marah, memang. Ustad A. Qadir, putra A. Hassan
yang menjadi sesepuh Persis (Persatuan Islam) dan teman
korespondensi Bung Karno itu, terhitung ulama yang sangat
kompeten di bidang hukum Islam dan bersama-sama Al-Muslimun
memang mewakili lingkungan Persis, organisasi yang biasanya
dibariskan bersama Muhammadiyah dan Al-lrsyad. AlMuslimun
sendiri majalah bulanan berwibawa. Oplahnya tidak kecil: 20.000,
dengan daerah penyebaran terbesar Jawa Barat - 20%. Lebih
menarik karena media ini terbit di sebuah kota kecamatan -
Bangil, Ja-Tim - dan berumur 29 tahun, salah sebuah majalah
tertua di Indonesia.
Dan dari Bangil pula, kota terakhir kediaman A. Hassan dulu
(yang karena itu disebut 'Hassan Bangil', setelah 'Hasan
Bandung'), tak heran bila terdengar reaksi. Ustad Husen
Al Habsyi, pimpinan Yayaan Pesantren Islam di kota yang
sama, menanggapinya dalam pengajian umum di masjid besar
kota. Masih diulangi dalam khotbah Idul Adha.
Al Habsyi, yang kebetulan bukan dari kalangana Persis,
berbicara di rumahnya "Kita harus mencegah fatwa itu. Apa lagi
kita mendapat amanat mengasuh para santri putri jangan nanti
kita dituduh yang bukan-bukan".
Dari segi hukum, ustad ini menemukakan kaidah fiqih: "Segala
yang menarik untuk berbuat haram adalah haram," katanya kepada
TEMPO minggu lalu. Kemudian melansir ayat Quran yang melarang
'mendekati' (belum lagi 'melakukan') zina. Apalagi "gambar itu
keluar (di layar) karena dilakukan (adegan-adegannya) oleh
manusia. Bukan oleh gambar."
Terdengar masuk akal. Tapi A. Qadir jelas lebih 'berjiwa hukum'
ketika menjawab reaksi dengan penjelasan di majalah yang sama
dua bulan berikutnya. Setelah berterima kasih ia megingatkan
bahwa yang dimaksudkannya adalah semata hukum 'menonton'
film cabul itu. Bukan tentunya, film cabul itu sendiri. Bukan
membuatnya, bukan pula memperdagangkannya. Malah yang
jelas, bukan pengaruhnya.
Sebab seperti yang dikatakan Gazi A. Qadir, putra sang ustad,
yang menyetujui pendapat ayahnya yang waktu ini kebetulan
sedangsakit, membicarakan hukum sesuatu dengan melihat manfaat
dan mudarat - alias pengaruh - akan menghasilkan kesimpulan yang
sama dengan kesimpulan orang yang, misalnya, membolehkan salat
jama'ah (bersama-sama) lewat televisi. Salat jama'ah harus
dilakukan dengan melihat langsung tubuh imam atau tubuh makmum
(peserta) di belakangnya. Tapi demi manfaat, bolehkah jama'ah
lewat televisi? Tidak.
Memang repot juga, sih, bila menonton film biru diharamkan.
Bagaimana bila orang kebetulan mendapati gambar cabul di satu
majalah, dan melihatnya? Berdosakah ia?
Tetapi pengaruh nonton film biru, sebagaimana nonton gambar
cabul, konon bisa macam-macam - tergantung orangnya. Dan justru
di sini A. Qadir, dalam penjelasannya terasa keluar dari
semangat legalistisnya setidaknya lebih memunculkan persamaannya
dengan sikap masyarakat yang menolak dunia film biru. Katanya,
pengaruh menonton film biru "jelas termasuk 'fahisyah',
perbuatan keji yang harus kita hindari bersama." Padahal, kalau
memang fahisyah, orang agaknya lebih cenderung pada pendapat
Al-Habsyi.
Tapi masalahnya ialah, nilai fahisyah tentunya baru akan muncul
bila pengaruh itu benar-benar mewujud dalam perbuatan 'zina atau
yang mendekati itu'. Dengan demikian, bukan bagi suami istri
yang menonton bersama, barangkali saja. Atau orang yang "sudah
jenuh" - si penjual film, misalnya. Atau bagi ustad.
Tidakkah hukum, dengan begitu, sebagiannya bisa berbeda, menurut
tempat jatuhnya? Orang memang bisa menganggap bahwa dasar pijak
paling relevan dalam pembicaraan hukum menonton film biru, yang
adalah satu bentuk media massa justru 'pengaruhnya yang belum
tentu' itu. Dan hukan perbandingannya dengan menonton aurat
asli. Film biru toh bukan sekadar gambar aurat. Tapi gambar
'aurat-aurat (bukan cuma satu) yang pada beraksi' atau yang
sedemikian rupa jumpalitannya.
Tapi, seperti dikatakan , Ghazi A. Qadir sehubungan dengan
reaksi, "cara pengambilan hukum kita mungkin berbeda." Ustad A.
Qadir sediri sudah menyatakan membicarakan hukum menonton itu
tanpa membicarakan, antara lain, subyeknya. Barangkali pendapat
sang ulama benar - walaupun, tanpa subyek hukum alias si
penonton, tak mudah dibayangkan bagaimana 'menonton' bisa
terjadi.
Betapapun, itulah contoh pandangan yang kelewat analistis,
hampir semata teoritis, atau intelektualistis. Cerminan semangat
yang sebenarnya justru tak asing dalam dunia hukum Islam dan
yang tidak selalu berakibat "menyulitkan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini