Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Film biru, haram tak haram

Perdebatan antara tokoh persis di bangil, A. Qadir Hasan dengan ulama Husen Alhabsyi tentang hukum menonton "film biru". (ag)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pembaca bertanya ke majalah Al-Muslimun mengenai hukum menonton 'film biru'. Dan pengasuh ruang Kata Berjawab di 'majalah hukum dan pengetahuan agama Islam' itu, Ustad Abdul Qadir Hassan, memberi jawaban yang intinya begini: Video adalah "pita rekaman untuk televisi". Rekaman, dari kata Arab raqm, adalah sesuatu yang timbul kemudian, "bukan asal". Melihat film video, baik cabul atau tidak, "secara hukum tidaklah berdosa". Karena yang dilihat hanya gambaran. "Sedang yang dilarang adalah melihat aurat orang yang sebenarnya. " Seperti bisa diduga, banyak orang menjadi gundah - setidak-tidaknya bingung - membaca jawaban di majalah edisi Juli itu. Bukannya marah, memang. Ustad A. Qadir, putra A. Hassan yang menjadi sesepuh Persis (Persatuan Islam) dan teman korespondensi Bung Karno itu, terhitung ulama yang sangat kompeten di bidang hukum Islam dan bersama-sama Al-Muslimun memang mewakili lingkungan Persis, organisasi yang biasanya dibariskan bersama Muhammadiyah dan Al-lrsyad. AlMuslimun sendiri majalah bulanan berwibawa. Oplahnya tidak kecil: 20.000, dengan daerah penyebaran terbesar Jawa Barat - 20%. Lebih menarik karena media ini terbit di sebuah kota kecamatan - Bangil, Ja-Tim - dan berumur 29 tahun, salah sebuah majalah tertua di Indonesia. Dan dari Bangil pula, kota terakhir kediaman A. Hassan dulu (yang karena itu disebut 'Hassan Bangil', setelah 'Hasan Bandung'), tak heran bila terdengar reaksi. Ustad Husen Al Habsyi, pimpinan Yayaan Pesantren Islam di kota yang sama, menanggapinya dalam pengajian umum di masjid besar kota. Masih diulangi dalam khotbah Idul Adha. Al Habsyi, yang kebetulan bukan dari kalangana Persis, berbicara di rumahnya "Kita harus mencegah fatwa itu. Apa lagi kita mendapat amanat mengasuh para santri putri jangan nanti kita dituduh yang bukan-bukan". Dari segi hukum, ustad ini menemukakan kaidah fiqih: "Segala yang menarik untuk berbuat haram adalah haram," katanya kepada TEMPO minggu lalu. Kemudian melansir ayat Quran yang melarang 'mendekati' (belum lagi 'melakukan') zina. Apalagi "gambar itu keluar (di layar) karena dilakukan (adegan-adegannya) oleh manusia. Bukan oleh gambar." Terdengar masuk akal. Tapi A. Qadir jelas lebih 'berjiwa hukum' ketika menjawab reaksi dengan penjelasan di majalah yang sama dua bulan berikutnya. Setelah berterima kasih ia megingatkan bahwa yang dimaksudkannya adalah semata hukum 'menonton' film cabul itu. Bukan tentunya, film cabul itu sendiri. Bukan membuatnya, bukan pula memperdagangkannya. Malah yang jelas, bukan pengaruhnya. Sebab seperti yang dikatakan Gazi A. Qadir, putra sang ustad, yang menyetujui pendapat ayahnya yang waktu ini kebetulan sedangsakit, membicarakan hukum sesuatu dengan melihat manfaat dan mudarat - alias pengaruh - akan menghasilkan kesimpulan yang sama dengan kesimpulan orang yang, misalnya, membolehkan salat jama'ah (bersama-sama) lewat televisi. Salat jama'ah harus dilakukan dengan melihat langsung tubuh imam atau tubuh makmum (peserta) di belakangnya. Tapi demi manfaat, bolehkah jama'ah lewat televisi? Tidak. Memang repot juga, sih, bila menonton film biru diharamkan. Bagaimana bila orang kebetulan mendapati gambar cabul di satu majalah, dan melihatnya? Berdosakah ia? Tetapi pengaruh nonton film biru, sebagaimana nonton gambar cabul, konon bisa macam-macam - tergantung orangnya. Dan justru di sini A. Qadir, dalam penjelasannya terasa keluar dari semangat legalistisnya setidaknya lebih memunculkan persamaannya dengan sikap masyarakat yang menolak dunia film biru. Katanya, pengaruh menonton film biru "jelas termasuk 'fahisyah', perbuatan keji yang harus kita hindari bersama." Padahal, kalau memang fahisyah, orang agaknya lebih cenderung pada pendapat Al-Habsyi. Tapi masalahnya ialah, nilai fahisyah tentunya baru akan muncul bila pengaruh itu benar-benar mewujud dalam perbuatan 'zina atau yang mendekati itu'. Dengan demikian, bukan bagi suami istri yang menonton bersama, barangkali saja. Atau orang yang "sudah jenuh" - si penjual film, misalnya. Atau bagi ustad. Tidakkah hukum, dengan begitu, sebagiannya bisa berbeda, menurut tempat jatuhnya? Orang memang bisa menganggap bahwa dasar pijak paling relevan dalam pembicaraan hukum menonton film biru, yang adalah satu bentuk media massa justru 'pengaruhnya yang belum tentu' itu. Dan hukan perbandingannya dengan menonton aurat asli. Film biru toh bukan sekadar gambar aurat. Tapi gambar 'aurat-aurat (bukan cuma satu) yang pada beraksi' atau yang sedemikian rupa jumpalitannya. Tapi, seperti dikatakan , Ghazi A. Qadir sehubungan dengan reaksi, "cara pengambilan hukum kita mungkin berbeda." Ustad A. Qadir sediri sudah menyatakan membicarakan hukum menonton itu tanpa membicarakan, antara lain, subyeknya. Barangkali pendapat sang ulama benar - walaupun, tanpa subyek hukum alias si penonton, tak mudah dibayangkan bagaimana 'menonton' bisa terjadi. Betapapun, itulah contoh pandangan yang kelewat analistis, hampir semata teoritis, atau intelektualistis. Cerminan semangat yang sebenarnya justru tak asing dalam dunia hukum Islam dan yang tidak selalu berakibat "menyulitkan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus