Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bukan IPA, bukan IPS, tapi bingkainya

Perubahan kurikulum '75 untuk SMA dan tanggapan dari beberapa tokoh pendidikan. dalam kurikilum baru nanti, tidak akan ada pembagian jurusan. (pdk)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU jadi, untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, sekolah menengah atas (SMA) tidak akan dikotak-kotakkan. Diharapkan tak akan ada lagi siswa yang bingung karena harus duduk di kelas yang pelajarannya tidak diminatinya, misalnya. Menurut Keputusan Menteri P&K 22 Oktober lalu, Kurikulum 1975 yang mengenal Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa itu akan diubah. Kelak hanya akan ada kurikulum inti dan sejumlah mata pelajaran pilihan. Bagi SMA, itu berarti hilangnya pembagian jurusan yang diwarisi dari zaman kolonial. Menurut Teuku Jacob rektor UGM, pembagian jurusan di SMA "mencontoh kurikulum sekolah Eropa zaman dulu, yang kini sudah tak dipakai lagi." Dan, sebenarnya, dengan terus terang Setijadi, pembantu dekan II Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta, mengakui, perubahan-perubahan kurikulum selama ini tak mengubah esensinya "Mata pelajarannya ity-itu saja, tak banyak berubah," kata orang yang terlibat dengan penyusunan Kurikulum 1975 ini. Kalau toh lulusan SMA gaya lama, cerita Setijadi pula, mengesankan lebih berkualitas daripada lulusan SMA sekarang, penyebabnya tidak pada kurikulum. "Dulu, jumlah siswa terbatas, proses belajar-mengajar lebih intensif," katanya. Untuk sekadar perbandingan, pada 1970, ketika Kurikulum 1968 baru berjalan setahun, SMA punya 165 ribu siswa. Menjelang penyusunan Kurikulum 1975, pada 1974, jumlah itu sudah berlipat sekitar dua kali menjadi 320 ribu. Empat tahun kemudian, 1978, siswa SMA melonjak menjadi 600 ribu, sebelum menjadi sekitar dua juta pada tahun 1983 ini. "Membengkaknya siswa itu yang merepotkan," tutur Setijadi. Tapi itu tak berarti kurikulum selama ini, yang menjadikan siswa SMA terkotak-kotak, tak mengandung hal-hal yang perlu diluruskan. Sebab, menurut Munandir, dosen IKIP Malang yang dulu juga terlibat penyusunan Kurikulum 1975, "perubahan kurikulum tidak selalu mengingat soal pendidikan, tapi juga soal di luar pendidikan, misalnya politik." Sependapat dengan Setijadi, ia melihat pembagian jurusan di SMA yang berubah-ubah itu manfaatnya kurang jelas. Bahkan bisa mengaburkan posisi mata pelajaran tertentu (lihat: Mengambang diAntara Mayor dan Minor). Lebih tegas adalah Teuku Jacob. Bagi ahli antropologi ini, pembagian jurusan di SMA tidak manusiawi. "Membagi bakat manusia ke dalam kotak-kotak adalah pekerjaan sukar," katanya. "Sebab, hanya sedikit orang yang bakatnya tampak menonjol hingga gampang dikenali." Lebih lagi, ternyata pembagian Jurusan itu tidak mengetistensikan jumlah mata pelajaran. Baik SMA model gaya lama yang mengenal jurusan A, B, C, maupun kurikulum yang disebut Gaya Baru Tahun 1964, yang merupakan hasil perubahan kurikulum sebelumnya, dengan jurusan-jurusan Pasti, Pengetahuan Alam, Sosial, dan Budaya. Atau Kurikulum 1968, hasil perubahan berikutnya yang cuma mengenal jurusan Paspal dan Sosbud, dan akhirnya Kurikulum 1975. Menurut Teuku Jacob, dalam empat macam kurikulum itu tetap saja siswa harus menekuni 15 sampai 21 mata pelajaran. "Padahal, tidak semua mata pelajaran itu diperlukan di perguruan tinggi," kata rektor yang pada tahun 1950-an jadi asisten ahli antropologi di UGM ini. Jacob memang tak menyebutkan apa saja pelajaran SMA yang mubazir itu. Tapi yang dipikirkannya ialah, "SMA cukup dengan pelajaran pokok yang mantap, hingga siswa mudah mengembangkan diri di perguruan tinggi di Jurusan mana pun." Sewaktu masih menjadi dekan Fakultas Kedokteran UGM, 1970-an, ia melontarkan gagasan untuk menerima mahasiswa kedokteran dari lulusan SMA jurusan IPS. "Yang penting 'kan bingkainya. Mengisi lubang-lubang bingkai itu gampang," katanya. Maka, ia sangat mendukung rencana mengubah kurikulum menjadi kurikulum inti dan pilihan. Cuma, yang tidak gampang, memilih mana yang inti, mana yang pilihan. Harsja, untuk sementara menyebut Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Kimia, Fisika, Biologi, Sejarah, dan Agama sebagai kurikulum inti. Teuku Jacob baru berani memastikan bahasa Inggris-lah yang pokok dibutuhkan di perguruan tinggi, di samping bisa menjadi modal lulusan SMA mengembangkan ilmu secara mandiri. Dan, bagi rektor UGM ini, yang tak kurang pentingnya ialah kebijaksanaan pelaksanaan kurikulum baru nantinya. Agar tiap SMA bisa mengonsentrasikan pada kurikulum inti, hingga kualitas lulusan terjamin, Teuku Jacob berpendapat, "sebaiknya kurikulum baru tidak dipaksakan berlaku bagi semua SMA." Jelasnya, SMA yang besar, yang punya banyak guru, boleh memberikan kurikulum pilihan yang beraneka. Bagi SMA yang, pas-pasan, cukup pilihan terbatas. "SMA di jakarta 'kan tidak harus sama dengan yang di Irian Jaya," ujarnya. "Yang penting, kurikulum intinya, bingkainya itu." Biar konsentrasi tidak buyar, waktu tak terbuang. Leburnya kotak-kotak jurusan, justru lebih memungkinkan siswa memilih dan menentukan apa mau mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus