PETERNAKAN ayam itu diserbu penduduk secara beramai-ramai.
Sekitar 100 dari 13.000 ekor ayam mati terinjak, retusan telur
pecah, pagar batako hancur dan 13 kandang ayam rusak berat. Ayam
yang selamat, kini hidup gelisah di peternakan seluas 2« hektar
itu. Kerugian seluruhnya ditaksir Rp 50 juta.
Itu terjadi awal bulan lalu di Desa Kekupu Rangkapan Jaya Lama,
Depok, Bogor. "Baunya bukan main, sampai mau muntah," kata
Ma'ie, pedagang pepaya penduduk Desa Kekupu. "Bahkan sampai
salat pun harus menutup hidung," tambah penduduk yang lain.
H. Abdul Bari, pengurus masjid yang terletak 70 meter dari
peternakan itu, membenarkan ucapan beberapa penduduk tadi.
Dikatakannya bau kotoran ayam sudah menghebat sejak setahun
lalu, tapi baru awal Januari silam penduduk mengajukan protes ke
kantor Kecamatan Depok. Pimpinan peternakan pun dipanggil.
Kepadanya diberi kesempatan 5 bulan untuk memindahkan lokasi
peternakan. "Ternyata sampai batas waktu itu, mereka tidak
pindah juga, " tutu Bari.
Aksi pengrusakan yang dilakukan penduduk akhirnya tak
terbendung lagi. Akibatnya keluar SK Bupati Bogor yang
menetapkan bahwa peternakan itu. "Kekupu Rangkapan Jaya"
namanya, ditutup sejak 7 Juli 1981 dan paling lambat dalam tempo
2 bulan sudah harus pindah ke tempat lain sesuai dengan
pengembangan daerah Kabupaten Bogor.
Mochamad Rachman, Mananger PT Kiran Agung yang mengelola
menernakan itu, sampai sekarang tampaknya masih bingung. "Kami
harus pindah ke mana, lokasi baru tidak disediakan," kata
Rachman yang membawahkan 24 orang, pekerja itu. Perusahaannya
yang dalam seminggu memproduksi telur 3000 kg untuk dipasarkan
di Jakarta, Bogor dan Depok, sudah beroperasi sejak 3 tahun
lalu, namun baru awal tahun ini mengajukan permohonan izin usaha
kepada Dinas Peternakan Kabupaten Bogor.
"Perusahaan tanpa izin, jelas-jelas sudah melanggar," cetus
Camat Depok Drs Abdul Wachjan. "Apalagi mereka tidak punya
pernyataan setuju dari masyarakat sekitar," tambahnya. Wachjan
menilai jika peternakan itu membuang kotoran ayam sebagaimana
mestinya, tentulah pengrusakan tidak akan terjadi.
Menyalahkan Pemda
Keberatan penduduk yang utama memang pada kotoran itu. Di
Cilincing, Jakarta Utara, pernah terjadi konflik yang sama,
namun segera dapat diselesaikan oleh pamong setempat. Peternak
mengalah, bersedia mengurangi jumlah ayamnya dari 3000 menjadi
1500. "Kami berpegang pada masyarakat, bukan kepada ayam," kata
Drh. Oni Saaroni, Kepala Urusan Bina Produksi/Usaha Dinas
Peternakan DKI. Meskipun usaha peternakan sudah lebih dulu ada
dan baru kemudian menyusul pemukiman manusia di kawasan yang
sama, tambah Saaroni, kepentingan penduduk tetap dinomorsatukan.
Padahal di Jakarta terdapat 282 usaha peternakan ayam dengan
hasil sekitar 2 juta ayam potong setahun.
Di Jakarta, menurut Saaroni izin baru peternakan tidak akan
diberikan jika kondisi dan situasi peternakan sudah tidak sesuai
lagi dengan syarat-syarat yang sebelumnya ditentukan. Selain itu
penyuluhan kepada para peternak selalu diberikan, misalnya
bagaimana supaya tidak berbau, mengelola kotoran, melancarkan
sirkulasi udara, dan sebagainya. Kata Saaroni pagar tembok yang
tinggi, sama sekali tidak cocok untuk sebuah lokasi peternakan,
karena pagar semacam itu bisa menghalangi kelancaran sirkulasi
udara.
Hal-hal kecil seperti itu rupanya juga tidak dipertimbangkan
oleh pengusaha peternakan babi, Tan Gien Yoe, di Purwokerto Jawa
Tengah. Pengusaha ini menernakkan babi sejak 1952 di Dukuh
Kejawar, Purwokerto Wetan. Karena pemekaran Kota Purwokerto,
peternakan yang sekarang memelihara 1000 ekor babi itu,
dipindahkan ke Dukuh Sokawera, Desa Berkoh, agak jauh dari
wilayah pemukiman. "Ketika itu peternakan masih dikelilingi
sawah," ucap Tan Gien Yoe, salah seorang pemiliknya. "Malah
Pemda juga membuatkan saluran untuk pembuangan kotoran,"
lanjutnya.
Nah, saluran itulah antara lain yang kini jadi biang keresahan
penduduk di sana. Sebab pada 1970 saluran pembuangan kotoran
macet dan tidak pernah diperbaiki, baik oleh pengusaha maupun
oleh Pemda. Tapi sampai dua kali penduduk melancarkan protes,
sebegitu jauh belum diambil tindakan apa pun.
Tampaknya hanya Dinas Kesehatan setempat yang menampung keluhan
pnduduk. Bersama dengan sebuah tim dari Universitas Jenderal
Sudirman, instansi itu melakukan penelitian. Kesimpulannya:
sanitasi di Sokawera tidak beres, kandang babi yang kotor
terlalu dekat dengan pemukiman, kotoran babi dibuang di
sembarang tempat hingga serangga seperti lalat dan nyamuk,
bahkan tikus, berkembang-biak dengan cepat.
Pada gilirannya, lalat memindahkan bibit penyakit perut dari
kotoran babi ke tubuh penduduk. Sementara itu penyakit sesak
napas diduga bersumber dari unsur amoniak yang terkandung dalam
kotoran babi. Kedua penyakit itulah yang banyak diderita
penduduk pedukuhan yang berjumlah 500 jiwa lebih.
Bulan Juni berselang hasil penelitian tim tadi disampaikan
kepada Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam. Namun sampai kini
belum juga diambil tindakan kongkrit, padahal "angka kematian di
sini meningkat dari tahun ke tahun," kata Ahmad Sadali, Kepala
Desa Berkoh.
Peternakan dalam kota, apalagi hewan berkaki empat seperti babi,
memang bisa saja merusak kehidupan penduduk. Mungkin karena itu
pula Dinas Penertiban Peraturan Pemda Medan melancarkan operasi
penertiban Mei silam. Operasi ini berhasil menggiring 153 ekor
binatang peliharaan berkaki empat ke sidang pengadilan. Seekor
babi divonis bebas, karena pemiliknya mempunyai bukti kuat yang
disahkan lurah bahwa binatang itu bukan untuk dipelihara, tapi
disiapkan untuk santapan pesta.
Mengganggu Toleransi
Dalam pada itu, enam ekor lembu milik seorang dokter naik kasasi
ke Mahkamah Agung. Sementara menunggu, sang dokter diharuskan
memindahkan lembu-lembunya ke luar kota. Tapi pemilik menolak,
karena, katanya, "lembu itu bahan riset saya." Apa yang
mendorong Pemda Medan melancarkan operasi itu? "Lebih 20 surat
anggota masyarakat datang kepada kami," ujar Baharuddin Nur,
Kepala Dinas Penertiban Perda kepada TEMPO. "Mereka mengeluh
tentang merosotnya nilai kehersihan kelurahan, kesehatan yang
terganggu karena bau yang ditimbulkan kotoran ternak, juga
mengganggu toleransi agama dan bertetangga," ungkap Burhanuddin.
Namun kini ia masih menghimbau penduduk agar melapor jika ada
yang membandel. Mengapa? "Banyak ternak yang kami tangkap dari
dalam kamar penduduk. Disembunyikan di sana," jawab Burhanuddin
serius.
Setiap peternak ayam atau hewan berkaki empat, wajib memohon
izin usaha kepada Menteri Pertanian atau Gubernur sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan dalam SK Menteri Pertanian tahun 1980.
Izin usaha terpendek selama 5 tahun diberikan untuk pengusaha
ayam & babi, izin terlama 15 tahun untuk pengusaha sapi potong.
Dalam SK itu juga disebutkan, bahwa permohonan izin bisa ditolak
kalau tidak memenuhi syarat teknis dan bertentangan dengan
ketertiban/kepentingan umum atau tak memiliki izin HO
(Undang-undang Gangguan). Pasal 6 dari UU Gangguan memang
mencatumkan: izin usaha bisa ditolak jika dikhawatirkan
menimbulkan bahaya, mengganggu kediaman orang, menghamburkan
kotoran atau bau yang cengis. Pelanggaran terhadap ketentuan ini
dianggap sebagai tindak pidana dan pelakunya bisa dikenakan
hukuman penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini