Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perang Atau Damai Dengan Ternak

Masalah peternakan di daerah pemukiman penduduk & pengaruh terhadap lingkungannya. Di Depok penduduk ramai-ramai mengadakan aksi pengrusakan terhadap peternak ayam, karena berbau busuk.

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETERNAKAN ayam itu diserbu penduduk secara beramai-ramai. Sekitar 100 dari 13.000 ekor ayam mati terinjak, retusan telur pecah, pagar batako hancur dan 13 kandang ayam rusak berat. Ayam yang selamat, kini hidup gelisah di peternakan seluas 2« hektar itu. Kerugian seluruhnya ditaksir Rp 50 juta. Itu terjadi awal bulan lalu di Desa Kekupu Rangkapan Jaya Lama, Depok, Bogor. "Baunya bukan main, sampai mau muntah," kata Ma'ie, pedagang pepaya penduduk Desa Kekupu. "Bahkan sampai salat pun harus menutup hidung," tambah penduduk yang lain. H. Abdul Bari, pengurus masjid yang terletak 70 meter dari peternakan itu, membenarkan ucapan beberapa penduduk tadi. Dikatakannya bau kotoran ayam sudah menghebat sejak setahun lalu, tapi baru awal Januari silam penduduk mengajukan protes ke kantor Kecamatan Depok. Pimpinan peternakan pun dipanggil. Kepadanya diberi kesempatan 5 bulan untuk memindahkan lokasi peternakan. "Ternyata sampai batas waktu itu, mereka tidak pindah juga, " tutu Bari. Aksi pengrusakan yang dilakukan penduduk akhirnya tak terbendung lagi. Akibatnya keluar SK Bupati Bogor yang menetapkan bahwa peternakan itu. "Kekupu Rangkapan Jaya" namanya, ditutup sejak 7 Juli 1981 dan paling lambat dalam tempo 2 bulan sudah harus pindah ke tempat lain sesuai dengan pengembangan daerah Kabupaten Bogor. Mochamad Rachman, Mananger PT Kiran Agung yang mengelola menernakan itu, sampai sekarang tampaknya masih bingung. "Kami harus pindah ke mana, lokasi baru tidak disediakan," kata Rachman yang membawahkan 24 orang, pekerja itu. Perusahaannya yang dalam seminggu memproduksi telur 3000 kg untuk dipasarkan di Jakarta, Bogor dan Depok, sudah beroperasi sejak 3 tahun lalu, namun baru awal tahun ini mengajukan permohonan izin usaha kepada Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. "Perusahaan tanpa izin, jelas-jelas sudah melanggar," cetus Camat Depok Drs Abdul Wachjan. "Apalagi mereka tidak punya pernyataan setuju dari masyarakat sekitar," tambahnya. Wachjan menilai jika peternakan itu membuang kotoran ayam sebagaimana mestinya, tentulah pengrusakan tidak akan terjadi. Menyalahkan Pemda Keberatan penduduk yang utama memang pada kotoran itu. Di Cilincing, Jakarta Utara, pernah terjadi konflik yang sama, namun segera dapat diselesaikan oleh pamong setempat. Peternak mengalah, bersedia mengurangi jumlah ayamnya dari 3000 menjadi 1500. "Kami berpegang pada masyarakat, bukan kepada ayam," kata Drh. Oni Saaroni, Kepala Urusan Bina Produksi/Usaha Dinas Peternakan DKI. Meskipun usaha peternakan sudah lebih dulu ada dan baru kemudian menyusul pemukiman manusia di kawasan yang sama, tambah Saaroni, kepentingan penduduk tetap dinomorsatukan. Padahal di Jakarta terdapat 282 usaha peternakan ayam dengan hasil sekitar 2 juta ayam potong setahun. Di Jakarta, menurut Saaroni izin baru peternakan tidak akan diberikan jika kondisi dan situasi peternakan sudah tidak sesuai lagi dengan syarat-syarat yang sebelumnya ditentukan. Selain itu penyuluhan kepada para peternak selalu diberikan, misalnya bagaimana supaya tidak berbau, mengelola kotoran, melancarkan sirkulasi udara, dan sebagainya. Kata Saaroni pagar tembok yang tinggi, sama sekali tidak cocok untuk sebuah lokasi peternakan, karena pagar semacam itu bisa menghalangi kelancaran sirkulasi udara. Hal-hal kecil seperti itu rupanya juga tidak dipertimbangkan oleh pengusaha peternakan babi, Tan Gien Yoe, di Purwokerto Jawa Tengah. Pengusaha ini menernakkan babi sejak 1952 di Dukuh Kejawar, Purwokerto Wetan. Karena pemekaran Kota Purwokerto, peternakan yang sekarang memelihara 1000 ekor babi itu, dipindahkan ke Dukuh Sokawera, Desa Berkoh, agak jauh dari wilayah pemukiman. "Ketika itu peternakan masih dikelilingi sawah," ucap Tan Gien Yoe, salah seorang pemiliknya. "Malah Pemda juga membuatkan saluran untuk pembuangan kotoran," lanjutnya. Nah, saluran itulah antara lain yang kini jadi biang keresahan penduduk di sana. Sebab pada 1970 saluran pembuangan kotoran macet dan tidak pernah diperbaiki, baik oleh pengusaha maupun oleh Pemda. Tapi sampai dua kali penduduk melancarkan protes, sebegitu jauh belum diambil tindakan apa pun. Tampaknya hanya Dinas Kesehatan setempat yang menampung keluhan pnduduk. Bersama dengan sebuah tim dari Universitas Jenderal Sudirman, instansi itu melakukan penelitian. Kesimpulannya: sanitasi di Sokawera tidak beres, kandang babi yang kotor terlalu dekat dengan pemukiman, kotoran babi dibuang di sembarang tempat hingga serangga seperti lalat dan nyamuk, bahkan tikus, berkembang-biak dengan cepat. Pada gilirannya, lalat memindahkan bibit penyakit perut dari kotoran babi ke tubuh penduduk. Sementara itu penyakit sesak napas diduga bersumber dari unsur amoniak yang terkandung dalam kotoran babi. Kedua penyakit itulah yang banyak diderita penduduk pedukuhan yang berjumlah 500 jiwa lebih. Bulan Juni berselang hasil penelitian tim tadi disampaikan kepada Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam. Namun sampai kini belum juga diambil tindakan kongkrit, padahal "angka kematian di sini meningkat dari tahun ke tahun," kata Ahmad Sadali, Kepala Desa Berkoh. Peternakan dalam kota, apalagi hewan berkaki empat seperti babi, memang bisa saja merusak kehidupan penduduk. Mungkin karena itu pula Dinas Penertiban Peraturan Pemda Medan melancarkan operasi penertiban Mei silam. Operasi ini berhasil menggiring 153 ekor binatang peliharaan berkaki empat ke sidang pengadilan. Seekor babi divonis bebas, karena pemiliknya mempunyai bukti kuat yang disahkan lurah bahwa binatang itu bukan untuk dipelihara, tapi disiapkan untuk santapan pesta. Mengganggu Toleransi Dalam pada itu, enam ekor lembu milik seorang dokter naik kasasi ke Mahkamah Agung. Sementara menunggu, sang dokter diharuskan memindahkan lembu-lembunya ke luar kota. Tapi pemilik menolak, karena, katanya, "lembu itu bahan riset saya." Apa yang mendorong Pemda Medan melancarkan operasi itu? "Lebih 20 surat anggota masyarakat datang kepada kami," ujar Baharuddin Nur, Kepala Dinas Penertiban Perda kepada TEMPO. "Mereka mengeluh tentang merosotnya nilai kehersihan kelurahan, kesehatan yang terganggu karena bau yang ditimbulkan kotoran ternak, juga mengganggu toleransi agama dan bertetangga," ungkap Burhanuddin. Namun kini ia masih menghimbau penduduk agar melapor jika ada yang membandel. Mengapa? "Banyak ternak yang kami tangkap dari dalam kamar penduduk. Disembunyikan di sana," jawab Burhanuddin serius. Setiap peternak ayam atau hewan berkaki empat, wajib memohon izin usaha kepada Menteri Pertanian atau Gubernur sesuai dengan peraturan yang ditetapkan dalam SK Menteri Pertanian tahun 1980. Izin usaha terpendek selama 5 tahun diberikan untuk pengusaha ayam & babi, izin terlama 15 tahun untuk pengusaha sapi potong. Dalam SK itu juga disebutkan, bahwa permohonan izin bisa ditolak kalau tidak memenuhi syarat teknis dan bertentangan dengan ketertiban/kepentingan umum atau tak memiliki izin HO (Undang-undang Gangguan). Pasal 6 dari UU Gangguan memang mencatumkan: izin usaha bisa ditolak jika dikhawatirkan menimbulkan bahaya, mengganggu kediaman orang, menghamburkan kotoran atau bau yang cengis. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dianggap sebagai tindak pidana dan pelakunya bisa dikenakan hukuman penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus