DUNIA eksplorasi minyak di Indonesia rupanya masih terus berpacu
dengan harga-harga minyak itu sendiri yang sejak beberapa waktu
lalu melemah. Dan menang. Sekalipun perusahaan-perusahaan minyak
itu tahu permintaan minyak dunia kini mengendur, nafsu mereka
untuk melakukan eksplorasi di Indonesia ternyata tak berkurang.
Tahun lalu investasi perusahaan minyak di sini untuk pertama
kali melampaui angka US$ 1 milyar. Dan dari anggaran belanja
mereka terlihat, perusahaan-perusahaan minyak itu akan
meningkatkan investasinya tahun ini dengan 50%. Jumlah sumur
yang dibor tahun lalu saja sudah mencapai 200 buah. Tahun ini
Pertamina memperkirakan jumlah sumur yang akan dibor itu akan
mencapai 300 buah.
Apa yang membuat mereka bersemangat? "Situasi politik di sini
lebih stabil dan tenang," kata beberapa kontraktor minyak asing
di Jakarta. Mereka nampaknya memang makin ngeri melihat situasi
di Timur Tengah dan Amerika Latin yang sering meledak-ledak.
Bisa dipastikan meningkatnya kegiatan eksplorasi ini akan
menahan kemerosotan produksi minyak Indonesia, untuk sementara.
Tadinya produksi sudah sekitar 1,57 juta barrel sehari (1
barrel= 159 liter). IIAPCO misalnya, produsen minyak bagi hasil
nomor lima di Indonesia, kini produksinya mencapai 118.000
barrel sehari. Tadinya 82.000 barrel. Usaha patungannya dengan
perusahaan minyak Arco di Laut Jawa sebelah timur Jakarta
sekarang menghasilkan 150.000 barrel sehari, tadinya 134.000
barrel. Conoco, yang beroperasi di Laut Cina Selatan yakin akan
menghasilkan dua kali lipat dari 18.000 barrel sehari sekarang.
Dan bagaimana dengan PT Caltex Pacific Indonesia, raksasa yang
menghasilkan separuh produksi minyak Indonesia? Belum terdengar
Caltex sudah berhasil menaikkan produksinya. Malah menurut
Pertamina produksi Caltex turun belakangan ini dari 760.000
barrel menjadi sekitar 711.000 barrel sehari.
Tapi Caltex sebentar lagi akan menjadi pusat perhatian:
Kontraknya dengan pemerintah yang ditandatangani pada 1963 --
dari konsesi menjadi kontrak karya -- akan berakhir pada 1
Januari 1983. Bisa dipastikan sejak waktu itu pula Caltex akan
meneruskan eksplorasinya sebagai kontraktor bagi hasil. Hanya
saja, seperti kara seorang di Caltex, bentuk formula dari bagi
hasil itu yang belum jelas.
Barangkali sudah banyak yang lupa bahwa di bulan Agustus 10
tahun lalu telah tercapai persetujuan antara Caltex dengan
Departemen Pertambangan, yang membolehkan maskapai minyak
Amerika itu kelak beroperasi sebagai kontraktor bagi hasil.
Persetujuan yang masing-masing ditandatangani oleh Julius
Tahija, waktu itu Ketua Dewan Direksi PT CPI dan Menteri
Pertambangan almarhum Sumantri Brojonegoro, berlaku mulai 1983
sampai tahun 2001.
Bisa dipastikan selama 18 tahun itu sebagian besar dari ekspor
minyak Indonesia masih datang dari ladang-ladang Caltex di Riau.
Tapi agaknya yang juga mulai menonjol di samping minyak itu
adalah ekspor LNG dari Indonesia yang kini paling besar di dunia
(lihat: box).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini