KALI ini Pak Dawud terbata-bata. Kata-katanya mendadak datar.
Kendur spontanitasnya. Kerut-merut di keningnya seperti saringan
kawat menapis setiap kata yang keluar dari mulutnya. Sesekali ia
memandangi istrinya yang berdiri termangu di depan jendela.
Seolah mengharap agar punggung istrinya turut menyeleksi
kata-katanya.
Pak Dawud: Saya ini orang kampung. Saya mengerti kata 'rukun',
tapi terus terang saya tak mengerti arti kata 'kerukunan agama'.
Bahwa agama dan para penganut agama harus hidup rukun saya
mengerti pula. Tapi saya tak tahu bagaimana hal itu semestinya
diatur. Ini soal pelik! (Ruangan pun sunyi. Pak Dawud belum siap
melanjutkan kalimat. Lalu menjangkau kopi dan menyeruputnya).
Setiap agama lahir dari kancah kesulitan. Ia lahir dari
kandungan persoalan yang nyaris tak teratasi. Dari pergumulan
yang sengit dengan keadaan jahiliah lahirlah kebenaran. Dan
ketika kebenaran itu telah menjadi agama, maka umat telah diberi
kekuatan serta semangat untuk memecahkan persoalan. Kemudian
kemenangan ini disiarkan jauh melewati batas-batas negeri. Nah,
akan tetapi agama yang disiarkan ke seluruh penjuru dunia
bukanlah kebenaran biasa. (Pak Dawud berhenti lagi. Menghela
napas).
Tanya: Lho, Pak Dawud ada berapa macam kebenaran di muka bumi
ini, bagaimana pula urutan tingkatnya.
Pak Dawud. (Makin sibuk dengan diri sendiri. Kali ini ia sama
sekali tak menyukai pertanyaan). Agama bukan kebenaran biasa
karena ia tak didasarkan atas sumber kebenaran yang biasa.
Biasanya kebenaran lahir dari manusia, lahir dari ketinggian
budi-daya manusia. Kebenaran biasa satu kali bisa disanggah
orang, bisa dibuktikan kesalahannya, bisa aus dan bisa diganti
dengan kebenaran baru. Tapi kebenaran agama tidak. Kebenaran
agama bukan kebenaran sementara. Kebenaran agama adalah
kebenaran akhir. Dan setiap pemeluk agama yang teguh bertolak
dari kebenaran akhir ini. Semua agama berbicara tentang
kesempurnaan dan keabadian. Semua agama bersaksi tentang Zat
yang mutlak. Di mana di dalamnya tak ada pangkal tak ada pula
ujung. Di mana pangkal telah menjadi ujung, dan ujung telah
menjadi pangkal. Itulah keabadian. Alif dan Ya, Alfa dan Omega
dirangkum menjadi satu. (Pak Dawud seperti sedang mengucapkan
tera).
Tanya: Lalu bagaimana hubungan antara agama dan kenyataan hidup
sehari-hari?
Pak Dawud: Dengan hakekatnya yang seperti itu, agama kemudian
muncul dengan wataknya yang tegar. Agama tak pernah puas dengan
kenyataan. Karena ia meninjau kenyataan selalu dengan ukuran
kesempurnaan dan keabadian. Kenyataan sehari-hari adalah hal-hal
yang tak ideal yang harus -- ya, harus -- diubah. Kenyataan
sehari-hari harus ditobatkan kepada kenyataan akhir yang abadi.
Bertolak dari sini orang sering menjadi bingung dengan soal-soal
agama, mana ujung mana pula pangkal. Nah, soalnya adalah bahwa
prinsip-prinsip keabadian ini saling bertemu dalam kenyataan
hidup sehari-hari. Agama bertemu dengan agama lain tidak di
akhirat akan tetapi di tengah kehidupan sehari-hari. Di sini
masing-masing agama mengukur agama lain sebagai peristiwa
manusiawi yang sehari-hari dengan ukuran keabadian. Di sinilah
awal dari soal hubungan antaragama. Soalnya menjadi
berliku-liku. (Pak Dawud menghela napas). Soal kerukunan
antarwarga masyarakat jelas adalah soal kehidupan sehari-hari.
Tapi soal kerukunan hidup beragama lebih dari itu. Kerukunan
agama tak bisa tidak akan melibatkan soal keabadian.
Tanya: Lalu apa kita harus menunggu sampai hari kiamat baru
agama-agama bisa dirukunkan?
Pak Dawud: (Tiba-tiba Pak Dawud menjadi sabar. Bukan karena
putus asa, tapi semata karena ia merasa harus membatasi diri
pada apa yang bisa dijangkaunya. Spontanitasnya berangsur-angsur
mulai pulih kembali). Ya tergantung pada kita sendiri, boleh
saja kalau mau menunggu sampai hari kiamat. Mudah-mudahan di
sana kita tidak dipermalukan! Jangan-jangan kita malah disuruh
kembali ke dunia untuk merampungkan bagian tugas kita yang belum
selesai (Pak Dawud ketawa nyinyir). Nah, saya rasa setelah
berjalan beberapa abad, sekarang ini tak ada lagi orang yang
dengan terusterang mengatakan agama orang lain sebagai agama
orang kafir. Zaman dulu orang-orang berbicara tentang kekafiran
bertolak dari pilinan sederhana. Yaitu pilihan 'lubang singa'
atau 'agama' anutannya. Komunikasi pun amat primitif saat itu.
Sehingga kepercayaan keagamaan saling berhadapan sebagai
kekuatan yang hendak saling menumpas dan menindas. Sekarang saya
rasa keadaan semacarn itu sudah lewat. Meskipun soalnya tetap
mengenai keabadian akan tetapi tingkat hubungan antaragama saya
kira tak lagi setegang zaman dulu. Saya pikir tingkat peradaban
kita sekarang tak akan mengizinkan kita untuk terus terang
saling mengkafirkan tanpa rasa malu.
Tanya: Percayakah Pak Dawud bahwa seabad atau dua abad nanti
agama-agama akan menjadi satu?
Pak Dawud: Mana saya tahu! Saya tak punya teropong bahkan untuk
melihat apa yang bakal terjadi besok hari. Saya cuma punya dua
mata telanjang! (Kata Pak Dawud sambil membeliakkan kedua
matanya. Malah ketika terlampau terbeliak Pak Dawud seperti
tidak melihat apa-apa).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini