Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pak dawud dan soal kerukunan ...

Dalam kehidupan sehari-hari antar agama bertemu, masing-masing agama saling mengukur dengan ukuran keabadian. kerukunan agama melibatkan soal keabadian. dulu keagamaan sebagai kekuatan yang saling menumpas & menindas

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALI ini Pak Dawud terbata-bata. Kata-katanya mendadak datar. Kendur spontanitasnya. Kerut-merut di keningnya seperti saringan kawat menapis setiap kata yang keluar dari mulutnya. Sesekali ia memandangi istrinya yang berdiri termangu di depan jendela. Seolah mengharap agar punggung istrinya turut menyeleksi kata-katanya. Pak Dawud: Saya ini orang kampung. Saya mengerti kata 'rukun', tapi terus terang saya tak mengerti arti kata 'kerukunan agama'. Bahwa agama dan para penganut agama harus hidup rukun saya mengerti pula. Tapi saya tak tahu bagaimana hal itu semestinya diatur. Ini soal pelik! (Ruangan pun sunyi. Pak Dawud belum siap melanjutkan kalimat. Lalu menjangkau kopi dan menyeruputnya). Setiap agama lahir dari kancah kesulitan. Ia lahir dari kandungan persoalan yang nyaris tak teratasi. Dari pergumulan yang sengit dengan keadaan jahiliah lahirlah kebenaran. Dan ketika kebenaran itu telah menjadi agama, maka umat telah diberi kekuatan serta semangat untuk memecahkan persoalan. Kemudian kemenangan ini disiarkan jauh melewati batas-batas negeri. Nah, akan tetapi agama yang disiarkan ke seluruh penjuru dunia bukanlah kebenaran biasa. (Pak Dawud berhenti lagi. Menghela napas). Tanya: Lho, Pak Dawud ada berapa macam kebenaran di muka bumi ini, bagaimana pula urutan tingkatnya. Pak Dawud. (Makin sibuk dengan diri sendiri. Kali ini ia sama sekali tak menyukai pertanyaan). Agama bukan kebenaran biasa karena ia tak didasarkan atas sumber kebenaran yang biasa. Biasanya kebenaran lahir dari manusia, lahir dari ketinggian budi-daya manusia. Kebenaran biasa satu kali bisa disanggah orang, bisa dibuktikan kesalahannya, bisa aus dan bisa diganti dengan kebenaran baru. Tapi kebenaran agama tidak. Kebenaran agama bukan kebenaran sementara. Kebenaran agama adalah kebenaran akhir. Dan setiap pemeluk agama yang teguh bertolak dari kebenaran akhir ini. Semua agama berbicara tentang kesempurnaan dan keabadian. Semua agama bersaksi tentang Zat yang mutlak. Di mana di dalamnya tak ada pangkal tak ada pula ujung. Di mana pangkal telah menjadi ujung, dan ujung telah menjadi pangkal. Itulah keabadian. Alif dan Ya, Alfa dan Omega dirangkum menjadi satu. (Pak Dawud seperti sedang mengucapkan tera). Tanya: Lalu bagaimana hubungan antara agama dan kenyataan hidup sehari-hari? Pak Dawud: Dengan hakekatnya yang seperti itu, agama kemudian muncul dengan wataknya yang tegar. Agama tak pernah puas dengan kenyataan. Karena ia meninjau kenyataan selalu dengan ukuran kesempurnaan dan keabadian. Kenyataan sehari-hari adalah hal-hal yang tak ideal yang harus -- ya, harus -- diubah. Kenyataan sehari-hari harus ditobatkan kepada kenyataan akhir yang abadi. Bertolak dari sini orang sering menjadi bingung dengan soal-soal agama, mana ujung mana pula pangkal. Nah, soalnya adalah bahwa prinsip-prinsip keabadian ini saling bertemu dalam kenyataan hidup sehari-hari. Agama bertemu dengan agama lain tidak di akhirat akan tetapi di tengah kehidupan sehari-hari. Di sini masing-masing agama mengukur agama lain sebagai peristiwa manusiawi yang sehari-hari dengan ukuran keabadian. Di sinilah awal dari soal hubungan antaragama. Soalnya menjadi berliku-liku. (Pak Dawud menghela napas). Soal kerukunan antarwarga masyarakat jelas adalah soal kehidupan sehari-hari. Tapi soal kerukunan hidup beragama lebih dari itu. Kerukunan agama tak bisa tidak akan melibatkan soal keabadian. Tanya: Lalu apa kita harus menunggu sampai hari kiamat baru agama-agama bisa dirukunkan? Pak Dawud: (Tiba-tiba Pak Dawud menjadi sabar. Bukan karena putus asa, tapi semata karena ia merasa harus membatasi diri pada apa yang bisa dijangkaunya. Spontanitasnya berangsur-angsur mulai pulih kembali). Ya tergantung pada kita sendiri, boleh saja kalau mau menunggu sampai hari kiamat. Mudah-mudahan di sana kita tidak dipermalukan! Jangan-jangan kita malah disuruh kembali ke dunia untuk merampungkan bagian tugas kita yang belum selesai (Pak Dawud ketawa nyinyir). Nah, saya rasa setelah berjalan beberapa abad, sekarang ini tak ada lagi orang yang dengan terusterang mengatakan agama orang lain sebagai agama orang kafir. Zaman dulu orang-orang berbicara tentang kekafiran bertolak dari pilinan sederhana. Yaitu pilihan 'lubang singa' atau 'agama' anutannya. Komunikasi pun amat primitif saat itu. Sehingga kepercayaan keagamaan saling berhadapan sebagai kekuatan yang hendak saling menumpas dan menindas. Sekarang saya rasa keadaan semacarn itu sudah lewat. Meskipun soalnya tetap mengenai keabadian akan tetapi tingkat hubungan antaragama saya kira tak lagi setegang zaman dulu. Saya pikir tingkat peradaban kita sekarang tak akan mengizinkan kita untuk terus terang saling mengkafirkan tanpa rasa malu. Tanya: Percayakah Pak Dawud bahwa seabad atau dua abad nanti agama-agama akan menjadi satu? Pak Dawud: Mana saya tahu! Saya tak punya teropong bahkan untuk melihat apa yang bakal terjadi besok hari. Saya cuma punya dua mata telanjang! (Kata Pak Dawud sambil membeliakkan kedua matanya. Malah ketika terlampau terbeliak Pak Dawud seperti tidak melihat apa-apa).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus