Di Tunis, 12 Januari malam, tangan kanan Yasser Arafat, Abu Iyad, dibunuh. Si pembunuh tertangkap, dialah Hamza Abu Zeid, pongawal salah seorang pemimpin PLO. Tapi siapa di belakang Hamza? Mossad? Abu Nidal alias Sabri Khalil Banna? Presiden Irak Saddam Hussein? Wartawan T.D. Allman melakukan investigasi, dan yang ia temukan- sebagaimana yang ia laporkan di majalah Vanity Fair nomor April, sungguh ruwet: suatu campuran balas dendam pribadi, perjuangan melawan Israel, keterlibatan Saddam Hussein, dan salah kaprah anggapan siapa kawan siapa lawan di kubu Palestina. TIGA jam hampir berlalu. Tiga petinggi PLO tenggelam dalam percakapan di sebuah vila di daerah pantai Carthage, di pinggiran Tunis. Yang seorang, dengan cerutu Havana di jarinya, adalah Abu Iyad, orang nomor dua di Organisasi Pembebasan Palestina. Ia ditemani pembantu dekatnya, Mohammed Fakr Omar. Seorang lagi, tuan rumah Abu Hol, yang aslinya bernama Hayel Abdel-Hamid. Perut mereka masih kenyang diisi makan malam ala Palestina suguhan tuan rumah. Di atas meja, dekat jendela ruang keluarga, hidangan masih tersisa. Roti, daun anggur isi, kambing, dan yoghurt. Vila Abu Hol, pejabat senior PLO itu, tak jauh berbeda dengan kediaman pemimpin-pemimpin PLO di sekitar Tunisia. Sekadar tempat berlindung dan bukan rumah. Dekor yang paling mencolok bukan mebel dan televisi- yang biasanya hanya sekadarnya- melainkan reproduksi Deklarasi Kemerdekaan Palestina, potret Yasser Arafat dengan senyum lebarnya, dan foto Kota Yerusalem di Bukit Batu. Rumah peristirahatan ini mungkin disewa dengan beberapa ribu dolar per bulan. Namun, di balik permukiman yang hanya sewaan itu, seperti juga di mana pun bangsa Palestina tinggal, rumah mewah atau kamp pengungsi, ada milik abadi di sana. Impian kekal: untuk suatu hari hidup dan akhirnya wafat di tanah milik sendiri, Tanah Air Palestina. Pembicaraan Abu Hol, Abu Iyad, dan Fakr Omari seakan tak ada putusnya. Waktu mendekati pukul 7 malam. Suara yang terdengar di ruangan itu berselang-seling. Sekali terdengar percakapan dalam bahasa Arab, kemudian suara beraksen Inggris Amerika dari penyiar di saluran TV CNN di hadapan mereka. Obrolan jadi berbelok-belok menyambut tayangan CNN, sebab hari itu hanya dua hari menjelang batas waktu dimulainya Perang Teluk 15 Januari. Mereka, seperti kebanyakan orang di bagian dunia yang lain, didesak pertanyaan: Dapatkah perang dicegah? Di luar rumah Abu Hol, polisi Tunisia berjaga-jaga di pos penjagaan. Dan di dalam, sejumlah bodygard bergantian melakukan pengawasan ketat. Tiga benda yang tak pernah lepas dari mereka: senapan mesin, kopi kental dan Mars, rokok Marlboro versi Tunisia. Salah satu di antara pengawal itu adalah Hamza Abu Zeid, 28 tahun. Pengungsi dari Tulkram- kota tua bangsa Palestina di utara Tel Aviv- yang direkrut Abu Hol enam bulan sebelumnya. Rencananya, malam itu, beberapa pemimpin PLO akan menyusul Abu Iyad ke rumah Abu Hol. Mereka akan terus merundingkan kemungkinan apakah akhirnya PLO bisa membawa perubahan dalam krisis Teluk. Waktu begitu sempit untuk sebuah diskusi panjang. Maka, mereka tidak begitu peduli ketika seorang pengawal, tiba-tiba, masuk ke ruangan. "Semuanya beres?" tanya Hamza Abu Zeid, pengawal itu. Tuan rumah mengira penjaga itu lapar. Abu Hol bergerak untuk mengambil makanan yang masih tersisa dekat jendela. Pengawal ikut mendekati meja makan. Tiba-tiba ia berbalik, mengangkat senjata kalashkov-nya dan menyemburkan peluru ke tubuh Abu Iyad yang tepat berada di depannya. Empat peluru merobek dada Iyad, sedangkan di kepalanya bersarang peluru kelima. Sobat Yasser Arafat selama 40 tahun itu tewas seketika. Tanpa ampun, Hamza memuntahkan kembali senapan mesinnya ke arah Fakr Omari yang mencoba bersembunyi di bawah sofa. Tapi, ketika tiba giliran Abu Hol, Hamza menurunkan bidikan senapannya ke arah kaki. Toh akhirnya Abu Hol tewas juga kehabisan darah sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit. Hamza melangkahi ketiga tubuh korbannya, lalu menutup pintu ruangan. Kemudian Hamza bergegas naik ke ruang atas, mendekati istri Abu Hol dan putri remajanya. "Kita diserang Israel," kata Hamza meyakinkan, "Ikuti saya." Ia mendorong keluarga Abu Hol itu ke kamar tidur di atas rumah dan menguncikannya di sana. Begitu cepat, hingga yang bersangkutan tak sadar telah dijadikan sandera. Di lantai bawah, terjadi keributan. Ada teriakan, ada tembakan dilepaskan tanpa arah- mengira rumah tersebut dimasuki musuh, disambung raungan ambulans. Padahal, musuh sebenarnya menunggu dengan tenang bersama dua sanderanya. Hamza mengajukan pilihan. Sebuah pesawat terbang, uang, jaminan keselamatan keluar Tunisia, dan sepiring makan malam. Atau kedua sanderanya akan dibunuh. Malam itu, orang-orang Palestina yang tersisa di lantai bawah mengambil putusan untuk tidak menyerang ke kamar atas. Toh si perusuh akan meninggalkan Tunisia. Mereka lebih suka diam-diam, dan tak mau memancing persoalan dengan pemerintah Tunisia. "Kami sudah ditendang dari Yordania. Kami sudah disepak dari Beirut," kata pejabat PLO, kemudian. "Jadi, kami tak mau ada gara-gara untuk diusir dari Tunisia pula. Setelah ambulans pergi, pejabat Tunisia datang. Perunding Tunisia melakukan kerjanya dengan cerdik. Katanya, uang dan pesawat sudah tersedia. Lihat ke luar jendela. Iring-iringan menunggu untuk mengantarmu ke bandara." Pukul 5 pagi, Hamza membebaskan sandera dan menyerahkan senjatanya. Kemudian, dikawal tentara Tunisia, Hamza dibawa ke luar rumah. Dengan mobil petugas Tunisia, ia diangkut ke Boulevard 9 Avril. Sebuah penjara, bukan bandara. *** Hidup bagi Abu Iyad- aslinya bernama Saleh Khalaf- adalah pertaruhan. Kadang ia menang, tapi tak jarang kalah. Lelaki tanpa rambut itu seperti menjauhi hidup sehat dalam usia 57 tahun. Badannya menimbun banyak lemak, merokok tak henti dan jarang berolah raga. Pada masa mudanya, ia merancang sejumlah teror untuk menghancurkan Israel. Tapi bertambahnya umur, cara-cara kerasnya meluntur, lalu habis sama sekali pada akhir hidupnya. Ia justru menjadi tokoh moderat dalam tubuh PLO, yang dikenal sebagai manusia cinta damai. Abu Iyad pernah berhasil membujuk Dewan Nasional Palestina untuk mengakui secara formal hak hidup Israel. Yang kami inginkan hanyalah sebuah negara kecil. Kami tak ingin menghancurkan Israel," kata Abu Iyad di akhir 1983. Ia bukan hanya menjadi pembantu dekat Arafat, tapi juga kepala intelijen PLO. Membunuhnya sama dengan merusak kekuatan PLO untuk berperang atau berdamai. Sedangkan Abu Hol adalah kepala keamanan dalam tubuh Al Fatah, organisasi milik Arafat. Abu Hol juga pemimpin PLO yang paling terlibat langsung dalam mendukung gerakan intifadah, pemberontakan warga Palestina di Daerah Pendudukan. Dengan orang inilah Hamza begitu dekat enam bulan belakangan. Abu Hol, yang pertama berkawan dengan anak muda Palestina di pengasingan ini, kemudian menjadikannya anggota pasukan pengawal. Sehari sebelum drama hitam untuk PLO itu, Abu Hol berada di Baghdad- mendampingi Arafat untuk berunding dengan Saddam Hussein. Menurut Abu Hol, Saddam memberi berita baik. "Saya siap membawa masalah ini ke meja perundingan," kata Saddam pada petinggi PLO ini. Lebih dari lima bulan, sejak Irak mencaplok Kuwait, Arafat memainkan peran berbahaya. Kalau ia berhasil menggiring Saddam untuk menyelesaikan masalah, dan artinya mencegah perang, PLO akan memetik hasilnya. Dunia internasional akan berbondong-bondong mengangkat topi untuk Arafat dan sekaligus mendukung penyelesaian konflik besar wilayah lainnya, antara Israel dan Palestina. *** Tak seorang pun heran bila tuduhan pembunuh Abu Iyad jatuh ke tangan Israel. Pada Oktober 1985, angkatan udara Israel menjatuhkan bom di markas Arafat dekat Tunis, menghabisi lusinan warga Tunisia dan Palestina. April 1988, bekerja sama dengan angkatan laut Israel, badan intelijen Mossad menghabisi Khalil Wazir, komandan militer dan wakil ketua PLO ketika itu. Tapi, kini, apa kepentingan Israel membunuh Abu Iyad, pentolan PLO yang sangat menginginkan perdamaian dengan Israel? Orang-orang Palestina mempercayai itu. Tapi sejumlah pejabat intelijen di Amerika dan Eropa juga yakin bahwa Israel punya skenario rahasia untuk menghabisi apa yang mereka sebut sebagai "pemimpin historis" PLO. Dan Abu Iyad adalah kawan seperjuangan yang, pada masa mudanya, mendirikan gerakan nasionalis kemerdekaan Palestina pada akhir tahun 1950-an. Sepanjang tahun 1960 sampai 1970-an, Abu Iyad mendukung perjuangan bersenjata melawan Israel, termasuk upaya terorisme. Tapi pemimpin bersejarah ini pula yang, sebelum krisis Teluk meletus, menggerakkan PLO ke arah perdamaian dengan Israel, berdialog dengan Amerika, dan mengharamkan terorisme. Dengan menghabisi pemimpin paling moderat di PLO, menurut teori ini, Israel berharap membawa kembali organisasi itu pada radikalisme. Dengan demikian, kekerasan yang akan menghancurkan tubuh PLO sendiri. Memang, kalau itu terjadi dalam jangka pendek, Israel yang akan menjadi korban. Tapi, dalam jangka panjang, ini akan menghapuskan dukungan AS dan negara lain pada kemandirian PLO dengan mendirikan negara Palestina di Wilayah Pendudukan. Kemungkinan lain, Mossad membunuh Abu Iyad, kepala intelijen PLO itu, karena siap bahu-membahu dengan Saddam Hussein bila pecah Perang Teluk. Dan kematian Abu Iyad akan melumpuhkan kekuatan operasional PLO untuk membantu Irak. Sekaligus pembunuhan itu menjadi peringatan untuk para pemimpin PLO yang masih hidup, termasuk Arafat: Inilah upah bersahabat dengan si Jagal dari Baghad. Para pejabat PLO di semua tingkatan menuduh Israel di balik pembunuhan Abu Iyad. Mereka yakin agen Mossad "membayar dan memerintahkan" Hamza membunuh Abu Iyad beberapa bulan sebelumnya, selama Hamza berada di Siprus. Tapi bagaimana orang-orang Palestina ini tahu? Sebelumnya, tak seorang pun anggota PLO yang paham bahwa Hamza adalah agen Israel. Kini, bukti apa yang didapatkan PLO? Lagi pula, menurut salah seorang pakar mata-mata, "Israel tidak pernah menyewa pembunuh Arab." Hamza sudah masuk dalam genggaman pemerintah Tunisia, dan para penyidiknya tak ada menyebut-nyebut keterlibatan Israel. Menurut sumber pihak keamanan Tunisia pada saya, Hamza memang tutup mulut. "Dia tidak mengungkapkan apa-apa," ujar sumber itu. "Ia hanya duduk dalam tahanannya, makan, dan berolahraga, lalu diam. Hanya sekali-sekali berkata 'Saya diperintahkan' dan 'Dia pengkhianat'." Kalau benar Israel yang merancang pembunuhan di vila itu, sama saja artinya Israel nekat "bermain api". Rasa marah akan tersebar di antara warga Palestina di Daerah Pendudukan, dan buntutnya pastilah huru-hara. Lebih jauh lagi, kekejaman itu akan membakar rasa anti-Israel di dunia Arab. Termasuk di antara negara-negara Arab yang bersekutu dengan AS menyerang Saddam Hussein- satu-satunya pemimpin Arab yang dianggap berbahaya bagi Israel. Padahal, dengan menjadi anak manis, Israel dapat "menyerahkan" tugas menumpas musuh berat itu pada AS dan negara Arab sekutunya. *** Seperti Palestina, Israel juga punya dugaan tentang pembunuhan di vila Carthage. Beberapa pakar bangsa Yahudi menunjuk justru Irak yang ada di balik peristiwa itu. Motifnya "Abu Iyad benar-benar tidak gembira melihat dukungan penuh Arafat pada Saddam Hussein," ujar salah seorang pejabat Israel. "Jadi, tidak mengherankan kalau pembunuhan itu dilakukan, walau tidak secara langsung, oleh orang-orang Irak." Menurut sumber di Mesir, Abu Iyad dan beberapa pejabat PLO lainnya merasa sangat terganggu melihat hubungan bosnya dengan Saddam. Dan Abu Iyad bukan hanya menentang. Pada kunjungan terakhirnya ke Baghdad, Abu Iyad berani "berteriak" di muka diktator Irak itu agar Saddam keluar dari Kuwait. Abu Iyad berkeras karena ia, seperti kebanyakan orang Palestina, punya alasan pribadi untuk membenci pemimpin Irak itu. Sebelum invasi Irak, tercatat 400 ribu warga Palestina hidup dan sejahtera di Kuwait. Serangan Irak menghancurkan kehidupan dan harta mereka. Cerita bagaimana Abu Iyad melabrak Saddam ini keluar dari mulut petinggi PLO itu sendiri. "Terakhir saya melihat dia pada awal Desember, enam minggu sebelum ia dibunuh," ujar Pierre Salinger, koresponden jaringan TV Amerika, ketika saya temui di Tunis. "Menurut Abu Iyad, ia mengatakan langsung di depan muka Saddam bahwa apa yang dilakukannya adalah bencana bagi rakyat Palestina. Bahwa Saddam mengorbankan kehidupan dan pekerjaan mereka. Ia juga mengatakan bahwa Saddam menghancurkan kesempatan rakyat Palestina untuk mendapatkan tanah airnya sendiri." Apakah Abu Iyad ngeri Saddam akan membunuhnya? "Ia mengatakan pada saya bahwa ia tak akan pernah kembali ke Baghdad," ujar Salinger, yang akrab dengan Abu Iyad selama beberapa tahun dan menganggapnya sebagai teman. Tentu saja, ucapan-ucapan ini semula tidak untuk disebarkan ke umum. Tapi sekarang ia telah tiada. Tidak ada alasan untuk merahasiakannya." Setelah menyemprot Saddam, menurut sumber di kalangan pejabat Mesir, pada akhir kunjungannya ke Baghdad, Abu Iyad dijadikan tahanan rumah. Dan ketika meninggalkan Baghdad, Abu Iyad mengatakan bahwa ia menjadi orang incaran Irak, ujar sumber itu. Saddam Hussein adalah tipe orang yang lebih suka mencabut nyawa orang-orang yang menentang kebijaksanaannya daripada membicarakan persoalan itu lagi. Tapi apakah itu berarti dia yang memerintahkan pembunuhan itu? Konfrontasi Saddam-Abu Iyad ini terjadi pada 16 November 1990. Sedangkan banyak pakar yang menilai pembunuhan itu pastilah dirancang enam bulan sebelum peristiwanya berlangsung, sebelum Hamza masuk ke lingkaran pejabat PLO, sekitar Juni tahun lampau. Atau dua bulan sebelum pangkal percekcokan Saddam-Abu Iyad, invasi ke Kuwait itu terjadi, 2 Agustus. Namun, Saddam masih punya motif lain untuk membunuh Abu Iyad. Seperti Israel, Irak punya kepentingan untuk membuat PLO menganut garis radikal- menggunakan aksi-aksi teror. Pasalnya, Saddam mengancam untuk melepaskan suatu gelombang teror dunia jika pasukan koalisi menyerang. Dan jaringan dunia PLO dapat dimanfaatkan untuk skenario serangannya. Abu Iyad, tokoh yang menghapus aksi-aksi teror dari tubuh PLO, jelas menentang itu. Tapi ia tak sendiri. Beberapa pejabat senior PLO juga sependapat dengan Abu Iyad. Setelah Perang Teluk meletus, PLO memang melancarkan serangan artileri ke wilayah keamanan Israel di selatan Libanon. Tapi, tak ada satu operasi teroris yang dilancarkan oleh pasukan di bawah pengawasan Arafat itu. *** Pada hari Abu Iyad terbunuh, Arafat sedang repot-repotnya membujuk Irak pada detik-detik terakhir menjelang perang. Belum satu jam kakinya menginjak Baghdad, telepon dari Tunis berdering. Namun, menyampaikan berita kematian tangan kanannya bukan sesuatu yang mudah. Jadi, pemimpin PLO di Tunis memutuskan untuk mengabarkannya secara bertahap. "Abu Hol luka-luka," begitu isi telepon pertama. Menyusul kemudian kabar Abu Hol wafat, dan Abu Iyad kena tembak, tapi tidak serius.... Arafat merencanakan membawa mayat-mayat itu ke Yordania, dan dimakamkan di sana. Semasa hidup, Abu Iyad sering mengatakan keinginannya dikuburkan: kalau tidak di Palestina, di Yordania- di atas bukit, agar ia bisa memandangi Tanah Air Palestina dari ketinggian kuburnya. Orang nomor satu PLO itu yakin, setelah mengubur sahabat-sahabatnya, ia dapat kembali ke Baghdad dan memulai lagi upaya perdamaian. Nyatanya, perang pecah. Saddam sudah sulit ditemui. Baghdad ditutup. Bandara di Amman, Yordania, juga tak bisa dimasuki. Arafat terpaksa memakamkan teman seperjuangannya di Tunisia, lebih dari 500 kilometer dari kampung halamannya. Dan perang itu ikut "menguburkan" upaya diplomatik Arafat dan Arafatnya sendiri. Apakah Abu Iyad dibunuh untuk mencegah perdamaian? Bukankah ia yang mendesak Saddam agar keluar dari Kuwait. Kalau begitu, dalang pembunuhan itu adalah orang yang paling menginginkan perang. Siapa yang kebelet perang? Bukan Saddam. Karena dengan tidak adanya perang, artinya Saddam dapat tetap menguasai Kuwait. Pembunuhan itu memang berpengaruh pada gagalnya misi perdamaian Arafat di malam terakhir sebelum perang. Maka, Presiden Bush dapat meyakinkan rakyatnya bahwa tak ada satu pun kemungkinan diplomatik yang bisa menyelesaikan Krisis Teluk. Pada malam Abu Iyad dibunuh, ada seseorang, lebih dari siapa pun di muka bumi ini, yang paling yakin bahwa perang adalah satu-satunya pilihan untuk mengakhiri perang. Orang itu tak lain ialah Presiden AS George Bush. Jadi, Bushkah orangnya? Dalam teori konspirasi, pembuktian pelakunya lebih sulit. Orang harus mencari siapa yang paling tidak mungkin melakukannyan". Tentu saja, saya tidak bisa membuktikan bahwa AS tidak berada di belakang pembunuhan ini. Tapi saya punya sepotong bukti yang tampaknya berhubungan. Tak seorang pun yang saya temui di Timur Tengah menyebut AS melakukan itu. Dan sejauh yang saya ingat, pembunuhan Abu Iyad adalah satu-satunya insiden yang pernah saya selidiki yang di dalamnya saya tidak menemukan seorang pun-bahkan sopir taksi atau orang di bar- yang mengaku "tahu" bawa CIA-lah yang melakukan itu. Beberapa orang mengatakan pada saya bahwa pembunuhan ini didalangi pemimpin Libya Muammar Qadhafi. Rekaan teori ini karena konon, menurut laporan intelijen, Qadhafi inilah yang berada di balik tiap peristiwa yang tergolong keji dan misterius. Teraneh adalah teori yang dikemukakan oleh seorang diplomat yang mengamati dari dekat politik dalam tubuh PLO, yaitu "teori Arafat". Arafat telah melakukan kebijaksanaan yang pada akhirnya menjatuhkan kredibilitasnya. Yaitu putusan untuk bersatu ranjang dengan Saddam. "Arafat kehilangan wibawa, baik sebagai pendamai maupun pejuang," katanya. Mulanya, PLO mengibarkan janji perdamaian. Ternyata, pengakuan pada hak-hak keberadaan Israel dan rundingannya dengan superkuat Amerika tak menghasilkan apa-apa. Belakangan, ia menyekutukan dirinya sedalam-dalamnya dengan Saddam. Orang-orang Palestina merasa, sekali lagi Palestina mempertaruhkan "hidupnya" dengan pecundang. Bagaimanapun, pihak Palestina yakin, Saddam pasti kalah. Padahal, PLO bukan lagi organisasi kecil, bukan hanya sekelompok gerilya yang memperjuangkan nasib. PLO telah menjadi sebuah birokrasi besar yang butuh "bensin". Ya, uang. Maka, putusan Arafat untuk memihak Saddam berakibat seretnya penggerak organisasi itu. Negara-negara kaya Arab di Teluk, yang menjadi musuh Saddam, memotong dana bantuan yang selama ini ditujukan sebagai simpati bagi para pejuang yang mencari tanah airnya itu. Rakyat Palestina menerima akibatnya secara finansial maupun politis. Sementara itu, citra Abu Iyad lebih menonjol. Ia dianggap lebih cerdik merangkul penderma Abu Iyad memang dikenal sebagai duta PLO, penghubung negara-negara Arab. Jadi, pada saat Arafat sibuk dengan "tugas" di Baghdad, Abu Iyad memutar roda organisasi di Tunis. Rakyat Palestina mulai berpikir bagaimana mengatasi kerugian-kerugian itu. Barangkali PLO memerlukan gaya kepemimpinan yang lain, gaya Abu Iyad. Apakah itu berarti Arafat sendiri yang menjagal pesaingnya, komandan kedua di PLO? "Tentu saja tidak," kata diplomat tadi pada saya, melumpuhkan teorinya sendiri. "Arafat bukan Saddam Hussein. Anggota-anggota pemimpin pejuang historis sangat setia satu sama lain. Kematian Abu Iyad menghancurkan perasaan Arafat secara pribadi, selain memberinya kerugian secara politis. Diplomat ini kemudian menyangkal teori-teori lain. "Tak mungkin Saddam pelakunya," katanya. Bayangkan, kalau pada detik-detik menjelang perang, Saddam masih sempat-sempatnya merencanakan pembunuhan, maka sasarannya pasti bukan tokoh kelas tiga, seperti Abu Iyad, melainkan Raja Fahd atau George Bush. Begitu juga Israel atau ClA. "Tidak mungkin kan kita pergi untuk memancing ikan kecil di tengah badai," katanya. Jadi, salah kalau membayangkan pembunuhan Abu Iyad sebagai peristiwa penting dalam ukuran jagat ini. Abu Iyad hanyalah komandan dalam organisasi yang dianggap papan bawah dalam pentas dunia. Abu Iyad dibunuh oleh seorang yang ingin membunuhnya. Pertanyaannya: Keuntungan terbesar apa yang didapat dari membunuh orang lain? Banyak yang setuju bahwa alasan terkuat untuk membunuh seseorang adalah menyelamatkan hidupnya sendiri. BSU . Sang Korban dan Pembunuhnya SIAPA pun diri Hamza Abu Zeid, satu hal tentang Abu Iyad sudah sangat jelas. Korban pembunuhan itu dulunya se "profesi" dengan pembunuhnya: seorang teroris yang paling ditakuti di dunia. Bahkan secara fisik, dulu Abu Iyad muda pun kurus dan pemarah seperti juga Hamza. Peristiwa itu sudah hampir dua puluh tahun berlalu. Tapi, siapakah bisa melupakan pembantaian para atlet di Olimpiade Munich 1972? Selama ini tak pernah disebut-sebut nama Abu Iyad terlibat. Kini, setelah tak ada lagi Abu Iyad, seorang temannya di Eropa merasa tak lagi perlu menyembunyikan hal yang sebenarnya. Ia mempunyai informasi dari sejumlah tangan pertama, bukan hanya dari pihak Israel, bahwa Abu Iyadlah pendiri kelompok September Hitam, dan dialah yang mendalangi pembantaian di Olimpiade Munich. Teman itu menceritakan pada saya tentang satu hal yang sejauh ini rasanya belum pernah dipublikasikan: "Abu Iyad waktu itu berada di Munich. Kami memerlukan alat-alat khusus. Ia membawakannya di dalam kaus kakinya." Si teman tampak merenung ketika berbicara tentang hidup dan matinya salah seorang tangan kanan Arafat itu. "Ketika ia masih seorang ekstremis, tak seorang pun, termasuk Mossad, berani mengganggunya. Ketika ia berhenti jadi teroris itulah penyebab kematiannya". Benar. Kemarahan Abu Iyad karena bangsa Palestina kehilangan tanah airnya lebih dari kemarahan siapa pun. Tapi waktu mengubah sikapnya, sebagaimana waktu mengubah tubuhnya. Mula-mula, perubahan itu bersifat sementara, tapi kemudian menjadi hal yang tak terelakkan. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mencari penyelesaian damai adalah satu-satunya cara memecahkan masalah Palestina-lsrael. Namun, bagaimana sang teroris bisa berubah? Dalam setiap langkahnya motivasinya sangat gamblang, dan tindakannya bisa dipahami. Lebih dari 40 tahun ia hanya punya satu tujuan: merebut kembali tanah airnya, sedikitnya sebagian dari wilayah itu. Maka, apa pun yang ia lakukan- dari peristiwa Munich sampai berpihaknya pada Saddam Hussein- sesungguhnya merupakan percobaan-percobaan, mencari cara perjuangan yang paling tepat. Pembantaian di Munich sebenarnya merupakan satu cara orang Palestina mempertahankan diri. Ketika itu mereka tak punya teman, menjadi korban bangsa Israel. Berdirinya Republik Israel menjadikan orang Palestina kehilangan tanah air. Tapi sejauh itu tak banyak simpati atau dukungan kuat mereka terima, baik dari Eropa maupun Amerika Serikat. Mereka seperti orang-orang yang hanya punya dua pilihan: dibantai atau jadi orang usiran. Peristiwa Munich merupakan upaya mereka mengirim pesan pada dunia, agar nasib mereka berubah: kalian tak akan menikmati damai sebelum kami diperlakukan secara adil. Tapi, malang, dunia menafsirkan pesan itu dari sudut yang sama sekali berbeda. Makhluk seperti apakah yang telah tega menyerang pesta damai bangsa-bangsa ini? Manusia dari jenis apakah mereka yang sampai hati membunuh atlet-atlet muda tak berdosa yang lagi berkembang itu? Maka, benar, sesudah itu Palestina tak lagi dianggap dunia sebagai korban berdirinya negara Israel. Mereka dianggap pembunuh, dianggap biadab. Semua orang Palestina dianggap teroris, sampai 15 tahun kemudian, ketika lahir perlawanan dengan batu yang disebut intifadah pada Desember 1987. Sekali lagi dunia pun jatuh hati pada bangsa Palestina dan penderitaannya sebagaimana sebelum terjadi pembantaian Munich. Dalam tahun pembantaian Munich, sesuatu terjadi dalam "sejarah kepemimpinan" Palestina, diprakarsai oleh Yasser Arafat dan didukung oleh Abu Iyad. Secara rahasia, dengan alasan politik yang mendesak, mereka meninggalkan cara teror dalam perjuangan- sesuatu yang baru 16 tahun kemudian dinyatakan secara terbuka kepada dunia. Tapi itu tak sukses. Itu hanya menyebabkan perpecahan dalam tubuh Al Fatah. Memang, sebagian besar yang berpihak pada Arafat adalah para kelas menengah yang moderat, yang menerima terorisme dengan luka yang dalam- baik secara moral maupun alasan pragmatis. Namun, sisanya, teror telah jadi tujuan itu sendiri. Salah seorang yang berpendirian begini adalah Sabri Khalil Banna. Sabri adalah contoh bahwa yang terjadi dalam Revolusi Prancis adalah hal yang universal: orang yang paling radikal biasanya datang dari latar belakang kehidupan keluarga konservatif yang memiliki hak-hak istimewa. Ia lahir di Jaffa, kota pantai yang indah dan makmur di zaman Ottoman, yang salah satu hotel mewahnya dimiliki oleh Baron Plato von Ustinov, kakek Peter Ustinov, aktor dan sutradara Inggris ternama. Ia dibesarkan di sebuah mansion yang kini jadi gedung pengadilan Israel. Hidup Sabri berubah di suatu malam pada 1948, ketika Israel, yang telah memproklamasikan kemerdekaannya, mengalahkan Arab. Pada usia xxx Tahun, Sabri menemukan dirinya dalam kamp pengungsi di Jalur Gaza, kemudian di tanah pengucilan di Arab Saudi. Sabri tak akan pernah melupakan Jaffa, yang kini jadi bagian dari metropolitan Tel Aviv. Ia kemudian mengabdikan sepenuh hidupnya untuk melawan si "penjarah Zionis"- dan menghancurkan semua mereka yang dianggapnya menjadi antek Israel. Pada awal perjuangannya, Arafat sangat membutuhkan orang-orang seperti Sabri ini: berpenampilan tampan, berpendidikan, berani, dan bisa setia di bawah komando Arafat. Pada 1970, Sabri Khalil Banna adalah wakil Palestina di Baghdad. Tapi, itu hanya formalitas. Sebagaimana dengan Abu Iyad, tugas utama Sabri adalah untuk melawan dan membunuh "antek-antek Zionis". Sebagaimana sejarah kemudian mencatat yang dianggap "antek Zionis" kemudian termasuk orang Palestina yang moderat, dan ini termasuk Arafat dan Abu Iyad sendiri. Pada 1974, pengadilan PLO menjatuhkan hukuman pada Sabri yang dituduh tak disiplin, membunuh, dan menghasut. Tapi itu tak ada artinya karena waktu itu Saddam Hussein sudah berkuasa, dan ia tak mau mengekstradisikan orang yang diadili itu. Hukuman PLO itu mengubah posisi Sabri: ia membentuk kelompoknya sendiri dan menamakannya Dewan Revolusioner Fatah. Sejak itu, dengan tujuan mencegah adanya kompromi antara PLO dan Israel, Sabri banyak melakukan serangan terhadap Israel. Tapi, ternyata, ia lebih banyak membunuh orang Arab sendiri daripada Israel. Abu Iyad sendiri melakukan hal yang dengan tujuan dan sasaran sebaliknya. Sebagai orang yang kini melawan terorisme, ia pun membunuh dan melawan siapa saja, termasuk orang Palestina, yang mengobarkan terorisme- termasuk terhadap kelompok Sabri. Sekitar 20 tahun perang rahasia antara Palestina ini berlangsung. Juni 1990 Abu Iyad memperoleh kemenangan besar menghancurkan kelompok Sabri. Di Amerika, hanya sedikit orang yang mengetahui ini, tak sebagaimana di Eropa. Sabri, yang kalah, tak lagi punya tempat selain di Baghdad, tempat ia mengembangkan kariernya sebagai teroris. Abu Iyad merasa puas. Di Baghdad, pikirnya, tak sesuatu pun yang bisa membahayakan PLO. Tapi ternyata ini pikiran salah. Memojokkan seorang yang berbahaya hanyalah membuat ia nekat. Coba, siapa tahu nama Sabri Khalil Banna di dunia ini? Hanya segelintir orang? Tapi siapa tahu nama Abu Nidal? Banyak. Celakanya, mereka tak tahu, antara Abu Nidal dan Sabri Khalil Banna tak ada perbedaan- orangnya sama. Dan tampaknya, bagi Abu Nidal, mendahului membunuh Abu Iyad adalah program utamanya. Tak jadi soal siapa pelaksananya. Apakah itu Hamza, yang selama ini diduga menjadi agen ganda- pertama ia dikirim oleh PLO untuk menghancurkan Abu Nidal, dan kemudian oleh Abu Nidal dikirim balik untuk membunuh Abu Iyad. Mengetahui bagaimana Hamza membunuh Abu Iyad, tak lantas mengungkap mengapa pembunuhan itu dilakukannya. Juga tidak mengungkap fakta bahwa Abu Nidal "menyuruhnya" melakukan pembunuhan itu. Setelah sampai di Tunis, Hamza berada di luar jangkauan Abu Nidal. Tak ada kekuatan luar memaksanya membunuh Abu Iyad. Saat saya bertanya pada orang-orang tentang Hamza Abu Zeid, secara bertahap saya berhasil mengumpulkan pendapat seragam: bahwa, bahkan di Timur Tengah, semua informan saya terlalu sering melihat sang "Kandidat Manchuria". Jadi, siapa pembunuh Abu Iyad? Setelah menyaring berbagai teori dan fakta paling penting, menurut saya, Hamzalah pelakunya. Dialah- bukan Abu Iyad, Abu Nidal, atau pemain akbar lainnya- protagonis dalam peristiwa kecil yang rumit ini. Dan memang, setelah pembunuhan, Hamza nyaris tak pernah ditonjolkan sama sekali, kecuali sebagai sumber informasi tentang siapa pembunuh sebenarnya. Sejauh itu, sebagaimana senjata yang ditembakkannya, ia diketahui tak punya motif apa pun. Tak seorang pun menanyakan, "Bagaimana Anda 'memprogram' seseorang untuk membunuh. Bagaimana Anda menjadikan seseorang sebagai 'bom hidup'?" Sebenarnya di dunia Arab, kebanyakan orang membunuh karena alasan yang sama dengan pembunuhan yang dilakukan orang Amerika. Kecuali mereka mabuk atau gila, mereka membunuh karena mereka pikir itulah tindakan yang paling benar untuk dilakukan. Dan jelas, Hamza tidak termasuk yang "kebanyakan" itu. Ingat, Abu Hol adalah kepala keamanan intern untuk Fatah. Tugasnya menemukan risiko keamanan. Sejauh itu, Abu Hol, stafnya, dan para pengawalnya yang lain tak pernah menemukan sesuatu yang mencurigakan pada Hamza. Penjelasan paling jelas adalah bahwa Hamza seorang manusia normal. Dan mengapa orang normal membunuh? Hamza sudah menanti untuk beraksi pada saat tentara AS menunggu di padang pasir. Kesimpulan saya, Hamza Abu Zein membunuh Abu Iyad dengan alasan yang sama dengan alasan tentara AS, dua hari kemudian, membantai orang-orang. Benar, seseorang memerintah Hamza untuk melakukannya. Namun, yang lebih penting Hamza percaya, membunuh Abu Iyad merupakan hal yang benar secara moral. Lebih jauh lagi, sang pembunuh merasa bahwa tindakan itu adil. Tujuh tahun silam, Abu Iyad menjelaskan mengapa seorang Palestina yang normal ingin membunuhnya. "Para ekstremis menuduh kami mau menjual separuh Palestina," katanya. Kenyataannya, tujuan PLO "menjual" lebih banyak lagi. Tepi Barat dan Jalur Gaza hanya lebih kecil dari 15% keseluruhan wilayah Palestina pada 1948. Bahkan, seandainya perang rahasia Abu Iyad melawan para teroris membuahkan perjanjian sebenarnya dengan lsrael, dan negara Palestina berdiri di wilayah pendudukan, mayoritas bangsa Palestina tak bakal bisa pulang kandang lagi- wilayah itu terlalu sempit. Sebagaimana diakui Abu Iyad sendiri, karena berbagai alasan, banyak orang Palestina mungkin menganggapnya seorang pengkhianat. Tapi masih banyak alasan lain, misalnya orang-orang melihat PLO- termasuk Arafat- sebagai "kaki tangan Zionis". Dua tahun lalu, saya bertemu dengan Kolonel Qadhafi. Saya bertanya mengapa ia begitu kritis pada Arafat dan PLO. "Kata orang, Arafat melakukan yang terbaik. Tapi, apa pun yang diserahkannya pada Israel, Yahudi tak bakal pernah mau berdamai. Mereka tak akan membiarkan bangsa Palestina memiliki apa pun," jawab pemimpin Libya itu. Kebenaran tak selamanya harus diutarakan oleh seseorang yang Anda sukai dan hormati. Saya berkeliling di Israel dan wilayah pendudukan, sambil memikirkan apa yang dikatakan Qadhafi itu. Dan ke mana pun saya pergi, satu hal sangat tampak jelas: tak satu pun- tak juga intifadah, atau "jualan" PLO, atau kesengsaraan 40 tahun bangsa Palestina- berhasil mengetuk hati, atau mengubah pikiran, baik pemerintah maupun kebanyakan rakyat Israel. Ada beberapa hal dapat disimpulkan dari karier Hamza sebagai pengawal dan pembunuh. Satu hal penting, ia cerdas- cukup pandai untuk mengaitkan aksi kekerasan kecil yang akan dilakukannya itu dengan isu lain yang jauh lebih besar. Kenyataannya, Hamza waktu itu sudah menyadari hal-hal yang baru lama kemudian disadari oleh para politikus, para pengamat, dan para wartawan. Masalahnya bukan hanya karena "pengkhianat" macam Abu Iyad sudah memutuskan untuk menjual 85% wilayah Palestina. Bahkan wilayah 15% itu pun diyakini tak bakal didapat. Dan jika ini benar, dan seandainya Anda orang Palestina yang percaya akan hal itu, menghadapi kenyataan itu satu-satunya tindakan adalah memperjuangkan negara Anda. Yang lainnya bisa menyusul. Kesabaran menyusul. Penantian enam bulan menyusul. Dan akhirnya berkembang menjadi: orang seperti Abu Iyad layak mati. Bukan hanya karena mereka telah menyerang para patriot seperti Abu Nidal, atau karena mereka "pengkhianat" dan "kaki tangan Zionis", melainkan karena mereka orang dungu. Mobil melaju di jalan becek oleh hujan, di malam dingin di Tunis. Perang baru saja dimulai, tapi Operasi Perisai Gurun sudah mengajarkan kepada orang Amerika, sesuatu yang tak pernah mereka duga: misalnya, ada hujan di gurun pasir. Bahwa malam bisa dingin menggigit di gurun pasir. "Abu Iyad merupakan korban pertama perang," ujar Arafat kepada saya, setelah mobil sampai ke tujuan. Sebuah rumah yang aman, di lingkungan perumahan yang berbeda dengan perumahan tempat Abu Iyad dibantai. Baru seminggu berlalu sejak kematian Abu Iyad, tapi dunia Arab sudah jauh berbeda. Dunia kini dimiliki oleh para kesatria, para pembunuh. Dalam perubahan itu, Saddam Hussein sudah menjadi pemenang- dan mungkin bakal tetap begitu sekalipun ia kalah. Ia sudah memenangkan hati dunia Arab. Rakyat biasa pecinta damai sekalipun bersorak saat Scud menghantam Tel Aviv. Baru sekali ini seseorang bisa balik menyerang Amerika, Israel, dan agresor lainnya. Saya tak pernah bertemu dengan rakyat Arab biasa yang tak yakin Saddam bakal menang. Inilah gelombang dukungan untuk Saddam, menelan semuanya, bukan hanya Arafat dan PLO. Bahkan, Raja Hussein dari Yordania sehaluan dengan Arafat. Padahal, secara pribadi, baik Raja Hussein maupun Arafat membenci Saddam. Tapi mereka ngeri pada Presiden Irak, yang mampu menggugah semangat bangsa Arab, yang tak pernah bisa dilakukan keduanya dan para pemimpin Arab lainnya. Jutaan orang di dunia Arab tak lagi melihat sesuatu seperti Abu Iyad melihatnya. Mereka melihatnya dari posisi sang pembunuh. Karena Saddam Hussein, pahlawan baru dunia Arab yang namanya diabadikan pada bayi-bayi Arab yang baru lahir, juga seorang pembunuh. Saddam Hussein, menurut saya, tidak membunuh Abu Iyad dalam pengertian ia memerintahkan penembakan. Tapi ia membunuh kemungkinan kehidupan yang akan ditampilkan oleh Abu Iyad: bahwa jika Anda bisa mengelola sesuatu dengan cara biasa, bakal didapat suatu penyelesaian damai. Penampilan Raja Hussein, sebagaimana retoriknya, mencerminkan perubahan. Ketika krisis makin mendalam, sang raja menumbuhkan jenggot ala Arafat dan mendandani kepala ala Arafat. Arafat sendiri tampak berbeda dengan saat saya lihat sebelumnya: bukan hanya lelah, tapi capek batiniahnya. Kami hanya bertiga dalam ruangan. Saya tanya Arafat soal upaya damainya, mengapa gagal. Jawabannya dimulai jauh sebelum invasi Kuwait. Sejak awal tahun 1970-an, Arafat sudah menambah pertengkaran antara Kuwait dan Irak. Ia mengenal kedua pihak dengan baik, jadi pada Juli 1990, sebulan sebelum invasi Irak, ia sudah tahu apa yang tak diketahui orang lain: Timur Tengah di ambang krisis gawat. Beberapa lama sebelum invasi, Arafat sudah memperingatkan pihak Kuwait Ia mendesak mereka untuk bertindak cepat. Ia menawarkan bantuan. "Apa yang bisa kaulakukan pada para Yahudi Soviet?" kata Amir Kuwait. Arafat lebih terluka oleh jawaban menyengat itu ketimbang kenyataan tawarannya ditampik. Arafat praktis menyalahkan setiap orang- kecuali Saddam- karena tak bisa mencegah perang. Tapi yang utama disalahkan adalah Amerika. "Kalian tak mengerti apa pun," kata Arafat. "Kalian selalu mendesak, mendorong perang. Kalian menggilas setiap kesempatan damai." Adakah kemungkinan Saddam mau keluar dari Kuwait sebelum deadline PBB? "Ya, ya," kata Arafat, "itu bisa terjadi." "Kapan?" Arafat berpikir sebentar, lalu katanya, "Pertengahan September." Itu, hanya enam pekan setelah invasi, dan empat bulan sebelum perang pecah. "Maksud Anda, tak ada kemungkinan meninggalkan Kuwait secara damai sesudah waktu itu?" "Tidak, tanpa menyelesaikan masalah Arab-Israel," jawab Arafat. "Dan Libanon, dan Siprus," lanjutnya. "Kami berusaha dan berusaha. Kami tak pernah berhenti berupaya, sampai saat paling akhir." Inilah konfirmasi yang cukup mengagetkan, tentang apa yang selalu dituduhkan oleh musuh-musuh Saddam: selama berlangsung pembicaraan damai, Saddam sudah bertekad untuk tetap bercokol di Kuwait selamanya- setidaknya sepanjang Israel juga tinggal di wilayah pendudukan, Suriah tinggal di Libanon, dan Turki di Siprus. Arafat tidak mengenakan kafiyeh. Kepalanya yang botak ditutupi topi bulu. Ia duduk di kursinya. Arafat tak pernah tampil di muka publik, atau di foto tanpa penutup kepala. Jadi, hanya sedikit yang bisa melihat Arafat apa adanya: pria berkepala licin, dengan tanda putih di lengannya, yang tak lagi muda. Malam ini, Arafat mengingatkan saya pada seseorang yang duduk di reruntuhan, reruntuhan seluruh upayanya menghentikan perang di Timur Tengah. "Kalian orang Amerika tak bakal memenangkan perang ini," katanya. Ia melihat pertanyaan di wajah saya. "Saya tak bisa memenangkannya," kata Arafat. "Orang Israel tak juga bisa memenangkannya, tak seorang pun bakal menang. Tak mengertikah Anda? Kita semua bakal kalah. Ini suatu bencana. Karena itu, kita harus menghentikan bencana ini, atau kita akan kehilangan semuanya." Ada sebuah pesawat televisi di ruangan itu. Tapi inilah satu-satunya televisi orang Palestina, yang saya lihat di Tunis, yang tidak menyetel program berita. Pesawat televisi ini hanya disetel untuk siaran film cerita. Mata Arafat kerap meninggalkan saya dan beralih ke layar televisi. Mata itu ingin menghindar. Setelah kami mengucapkan salam perpisahan, Arafat tak kembali bekerja. Ia menonton televisi. Filmnya, Mobby Dick, yang dialognya sudah dalam bahasa Italia. Ketika saya sampai di hotel sekitar pukul 09.00, siaran berita televisi memperlihatkan hujan bom di Kota Baghdad. Semua orang di Timur Tengah, bukan hanya Arafat, telah terperangkap antara si pembunuh dan seluruh bencana yang membuat pembunuhan marak. Dan seandainya pembunuh Abu Iyad membuktikan sesuatu, yakni bahwa bencana tidak muncul dari rencana akbar seseorang, Saddam pun tidak bermaksud mencemplungkan dunia ke dalam perang. Yang ia inginkan hanya merenggut tetangga mungilnya- yang sangat kaya dan tak punya pertahanan kuat. Perang Timur Tengah, seperti pembunuhan Abu Iyad, merupakan produk kebodohan, yang digandakan oleh sejumlah salah perhitungan yang masuk akal. Tapi benarkah saya tentang pembunuhan itu? Ada "satu fakta" dalam keseluruhan cerita yang tak dibantah oleh siapa pun, termasuk detail yang paling kecil. "Tak ada televisi di ruangan tempat Abu Iyad dibunuh," ujar seorang pejabat PLO pada saya suatu hari, saat kami makan siang di La Gaullet, pelabuhan nelayan kecil di Tunis. "Televisinya di lantai atas." "Tapi tiga orang mengatakan pada saya ada televisi," kata saya. "Lagi pula, Anda selalu mengatakan Israellah pelakunya. Mengapa tidak Anda buktikannya?" Apa yang dikatakannya selanjutnya membuat saya terpana. Restoran sudah sepi, dan pelayan baru menghilang ke dapur membawa daftar pesanan makanan kami. "Tentu saja Abu Nidal yang melakukannya. Semua orang tahu itu." "Lalu, mengapa Anda tak mengatakannya?" tanya saya. "Karena segalanya di Timur Tengah selalu rumit. Anda pikir kami akan mendapatkan sesuatu dari orang Israel atau Amerika, walaupun kami- ya, kami- tak jadi korban dijadikan alasan terorisme Saddam?" "Dan bangsa Arab! Bangsa Arab ...." Ia mendadak berhenti. Pelayan sudah kembali. Sebelum makan siang usai, saya sempat mengajukan pertanyaan lain. "Anda Tahu, Abu Nidal yang melakukannya, apa yang Anda lakukan untuk mengadilinya?" "Kami sudah meminta untuk mengekstradisi dia dari Libya," jawabnya. (Tapi menurut sumber-sumber saya, Abu Nidal tak kembali ke Libya- ia masih di Irak.) Beberapa hari kemudian, ia (sang pejabat PLO) secara pribadi mengundang saya makan siang. Ada tamu lain. Ia selama tiga jam mengulang versi resmi kematian Abu Iyad. Sudah pasti ada alat penyadap. Jadi, saat cerita tulisan ini terbit, ia punya bukti rekaman bahwa konfirmasi soal Abu Nidal bukan dari dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini