WAKTU itu pukul 8.30 pagi, saat Mohammad Hakim membuka
perlahan-lahan kamar hotelku. Aku tinggal di Hotel Dean di
Peshawar, Pakistan, sebuah penginapan bertingkat satu. Kipas
angin berpusing berderik-derik di atas kepala. Dan dinding yang
tinggi dilabur putih mentah. Mohammad menelitiku dari atas ke
bawah: pakaian Afghanku yang kedodoran, selimut yang juga asal
Afghanistan, serban yang kulilitkan di kepala dengan mengerahkan
seluruh kemampuan. Dengan wajah dingin ia mengisyaratkanku
mengikutinya. "Kita harus berangkat sekarang juga," katanya,
memandang tak acuh pelayan hotel. "Cecunguk semua orang di
sini."
Itulah awal laporan perjalanan panjang wartawan lepas
(freelance) Jere Van Dyk. Ia menghabiskan enam minggu di
Afghanistan pada musim gugur 1981, mengumpulkan bahan-bahan
untuk serangkaian laporan yang muncul kemudian di majalah New
York Times. Bukunya In Afghanistan: An American Odyssey akan
diterbitkan oleh Coward, McCann & Geoghegan.
Sementara itu sebuah Toyota hitam telah menunggu di pintu
gerbang. Sopirnya menyeringai dan mengangkat tabik: "Assalam
'alaikum! " Lalu mereka bertiga berkendaraan menuju pusat pasar
tua. Di sini Mohammad memegang tangan Van Dyk, menerobos di
antara kuda-kuda kereta, keledai-keledai, becak mesin, truk dan
orang banyak. Tiga lelaki naik ke mobil, satu di depan dan satu
di samping sang wartawan. "Aku sedang dalam perjalanan ke
Afghanistan, kini".
Setengah jam melintasi sawah-sawah dan kawanan kerbau, membawa
sang wartawan ke Darra. Itu sebuah kota kecil, yang setiap
penduduknya di atas usia 16 kelihatan membawa bedil. Tumpukan
daun ganja nampak di mana-mana -- dijual US$ 50 per kilo. Tiap
dua bangunan ada toko senjata api dan amunisi. Di sebuah toko,
salah seorang pengiring Van Dyk menukarkan segepok rupee
Pakistan dengan dua karung laras senjata dan peluru kaliber 303.
Dalam delapan jam berikutnya, mereka melewati setengah lusin pos
penjagaan militer Pakistan. "Saya mencoba bersikap biasa dan
seperti orang Afghan," tulis Van Dyk. Kendaraan berhenti. Para
serdadu menggeledah isi truk. "Mereka tentu telah melihat
amunisi, tapi tak berkata apa-apa. Cuma menatap kami tajam dan
memberi isyarat boleh jalan."
Menjelang malam mereka tiba di kota perbatasan Miram Shah, dan
menginap di sebuah gudang amunisi rahasia yang halamannya penuh
tumpukan peti yang dicoba disamarkan. Tiga anak muda sedang
menanak nasi dan merebus daging di tungku Bunsen. Kemudian
mereka mendengarkan siaran radio BBC dalam bahasa Inggris dan
bahasa Pushtu, salah satu dialek Afghanistan. Penyiarnya
melaporkan desas-desus pertcmpuran di Kandahar, kota terbesar
kedua di Afghanistan.
Saat itu pertengahan Oktober 1981. Van Dyk terbang dari New York
dengan Air France menuju Karachi, Pakisan. Ia membawa beberapa
potong pakaian, tiga kamera, dan sepucuk surat tugas dari New
York Times -- yang menetapkannya sebagai pembantu lepas di Asia
Tenggara. "Surat tugas tidak secara jelas menyebut Afghanistan,"
tulis Van Dyk. "Tapi di Peshawar, aku beranjangsana dengan Yunus
Khalis, seorang penyair, pemimpin gerilya dan politik berumur
70-an yang berjanggut panjang." Khalis adalah salah seorang
pemimpin fraksi Partai Hezbi Islami, satu dari sekitar delapan
partai yang mengadakan perlawanan di Afghanistan.
Beberapa hari kemudian, tiga orang datang menemui Van Dyk di
Hotel Dean, ketika ia sedang membaca di halaman gedung itu.
"Mereka duduk dan menatapku nanap, kayaknya untuk menyelami
perwatakan di balik mataku," tulis sang jurnalis. Setelah puas,
orang bertiga itu menetapkan pakaian apa yang sebaiknya
dikenakan dalam perjalanan itu. "Aku harus siap pukul 8.30
esoknya. Seseorang akan datang menemui. Aku tak boleh
menceritakan kepada seorang pun."
Kini, wartawan itu berbaring di gudang peluru, di lantai yang
kotor, "mendengar tiupan angin." Para pemandunya telah pulas
lelap. Dan itulah pertama kalinya, katanya, ia tak pernah
melihat mukanya di cermin selama satu minggu. Dan selebihnya:
impian, percakapan, dan persiapan-persiapan keberangkatan. "Kini
aku harus menghadapi kenyataan," katanya pada diri sendiri.
"Mengapa, apa sesungguhnya, yang mendorongku datang ke mari? Apa
yang menungguku di seberang perbatasan itu? Tentu saja aku
masih dapat berbalik pulang". Tidak.
Ia pernah tinggal di Atghanistan, sebulan, pada 1973. Saat itu
ia sedang mengendarai Volkswagen dari Jerman Barat ke Pakistan,
dan sampai kini masih tersisa padanya beberapa potong kata
Pushtu dari kunjungan itu. Kini, katanya, dengan invasi Soviet
di Pakistan yang memasuki bulan ke-21, ia memang ingin kembali
ke negeri itu. "Tinggal bersama mujahidin, para pejuang yang
bangkit berlawan. Ingin kusaksikan apa yang mendorong mereka
berjuang dengan senjata-senjata loakan melawan kekuatan Soviet
yang dipersenjatai modern."
"Dan memang ada sesuatu yang lain. Aku kini 35 tahun, dan belum
pernah melihat perang. Apalagi terlibat dalam pertempuran
betul-betulan. Kuingin tahu apa yang kuhadapi." Van Dyk juga tak
tahu betapa romantiknya ia saat itu.
Petang berikutnya, seorang laki-laki yang dipanggil Gul Shah
datang menemuinya. Tinggi di atas enam kaki, janggutnya lebat
hitam, memakai serban yang juga hitam. Si Gul memanggul sepotong
bedil dan bandoleer -- selempang kantung peluru -- yang melilit
sejak dari bahu, melintasi dada, dan bertemu kedua ujungnya di
pinggang.
Sebuah pikap Toyota merah datang. Sopirnya seorang remaja yang
kakinya hampir tak menyentuh lantai mobil, seperti juga matanya
yang hampir tak bisa melampaui dashboard. Anak itu membawa
mereka melalui padang-padang tandus tak berpohon menuju
perkampungan dengan rumah-rumah bata, bertengger di sebuah
dataran tinggi. "Tak ada rentangan kawat listrik di sana. Tanpa
lalat. Tanpa suatu bau. Hanya tiupan angin kering. Saat matahari
tenggelam, anak-anak mengelompok di sekitar pelita, menatapku
ketika aku duduk menulis di sana, mulai mengisi buku catatan.
Aku tersenyum, dan, malu-malu, mereka membalasnya."
Makan malam berlangsung di luar, di udara terbuka. Orang-orang
itu seperti mendapat hiburan memandang Van Dyk mengepalkan
nasi, mencelupkannya ke dalam kaldu dan menjejalkan ke mulutnya.
Seorang orang tua menunjuk pada telinganya, dan dengan bahasa
isyarat mencoba menjelaskan bahwa ia tuli. "Apakah aku seorang
dokter?" tulis wartawan itu. "Tidak. Tapi agar ia tak kecewa,
kuberi ia dua aspirin. Tak kutahu bahwa berita itu disampaikan
dari mulut ke mulut: orang asing itu dokter, dapat menyembuhkan
demam, mengobati luka pertempuran, polio, dan encok-encok."
Maghrib mereka sembahyang. Kemudian Gul Shah dan seorang lainnya
mengambil senjata dan menuntun Van Dyk ke arah pegunungan -- ke
barat, ke perbatasan.
Orang Amerika itu memakai pakaian yang dibelinya di pasar
Peshawar. Kakinya terbungkus dalam sepatu but serdadu AS yang
diperolehnya di sebuah toko di Canal Street, New York. Kamera
dan obat-obatan berada dalam sebuah bungkusan yang tersandang di
bahunya.
Sebuah spotlight bermain di atas pebukitan, dan tiba-tiba turun
ke atas kepala mereka -- begitu dekatnya. Gul Shah menyuruh Van
Dyk menukar sepatu dengan sandal. Sebab itu sepatu kelewat
berisik. Mereka meneruskan perjalanan. Tapi masih berisik.
Jadinya mereka semua mencopot sandal, dan dengan kaki telanjang
berjalan di dasar sungai yang kering.
Tak ada petunjuk bila mereka melintasi perbatasan. Tak ada
tanda, tak ada pos. Yang jelas waktu sudah menjelang tengah
malam. Sekitar pukul dua, mereka tiba di sebuah kemah untuk
empat orang. Gul berteriak, dan sebuah suara menjawab. "Kami
merangkak ke dalam," wartawan itu bercerita. "Ada sepuluh orang
di sana. Pemanduku membisikkan beberapa pesan, mengharapkan
semoga aku selamat, kemudian pergi. Udara dingin, namun kami
saling memanaskan dengan suhu tubuh masing-masing. Aku melupakan
kakiku yang lecet dan segera jatuh lelap."
Masih gelap ketika seorang laki-laki yang dipanggilnya Kasim
menepuk tulang rusuknya, dan berkata dalam bahasa Inggris: "Kita
pergi." Dengan susah payah Van Dyk memasukkan kakinya ke dalam
sepatu but, dan menempuh perjalanan satu jam. Matahari bangkit
dari balik pegunungan di belakang kepala mereka. Sebatang tubuh
berserban mengawasi mereka dari sisi sebuah bukit, dan
domba-domba sedang merumput di sana. Kabut gentayangan di
sekitarnya, dan daerah itu padang semak berpasir.
Tapi ketika pendakian semakin tinggi, tiba-tiba Afghanistan
tampak lebih hijau dan hidup -- diwarnai rumpun-rumpun pepohonan
dan langit biru yang terpentang. Udara amat segarnya. Dan
cemerlang, dengan ketenangan yang menyejukkan perasaan.
Tengah hari mereka tiba di sebuah rumah dari campuran batu dan
lempung. Kebiasaan orang Afghan, orang harus mencopot sepatu
jika hendak masuk ke rumah. Dan melihat kaki Van Dyk sudah
terjulur ke dalam, tuan rumah menggelarkan gulungan pembaringan,
menyuruhnya berbaring dan istirahat.
Lalu menghidangkan gelas demi gelas teh hijau yang setengahnya
berisi gula --hasil penting Afghanistan, yang dianggap dapat
menambah energi. Lalu ada "makanan campur aduk" antara gula,
telur dan roti.
Dua lelaki masuk ke dalam. Mereka bersenjata otomatik AK-47 dan
selempang peluru. Membawa sepotong kertas dengan lambang partai
Yunus Khalis, dan pesan tulisan tangan di atasnya. Salah seorang
di antaranya membuka bungkusan si wartawan di pembaringan. Kasim
melihat kamera-kamera, pisau serdadu Swiss, dan menjulurkan
tangannya. Tuan rumah menunjuk selimut Van Dyk, dan
menggeser-geserkan telunjuknya dengan jempolnya. Si wartawan
mengerti."Kuberi Kasim lembaran rupee seratusan (sekitar US$
10), dan ketegangan mengendur."
***
"Kami berada di dataran tinggi yang luas dan sejuk.
Puncak-puncak gunung diselaput salju yang setengah tersembunyi
di balik kabut tipis. Hari-hari pun berlalu. Khost, sebuah kota
tempat mangkalnya brigade helikopter Soviet, hanya tiga
kilometer ke timur, melintasi dataran.
Kami berhenti di sebuah warung teh, untuk minum dan makan roti
yang dicelupkan ke dalam kaldu domba. Rahim, pengawalku yang
baru, memaksaku makan dan buru-buru meninggalkan tempat itu.
Rahim jelas tak menyukaiku dan tugasnya ia juga benci berjalan
di padang terbuka dengan heli-heli setiap saat mengancam. Kami
menuju ke arah pegunungan.
MATAHARI kini bersinar tanpa ampun di atas ubun-ubun. Aku
berteriak menyuruh Rahim memperlambat sedikit jalannya. Ia
berhenti, berpaling, dan perlahan-lahan memindahkan senapannya
ke bahu. Ia tercagak di sana beberapa detik, menatapku, bedil di
tangannya -- yang kemudian dipindahkannya ke bahunya yang lain.
Ia meneruskan perjalanan dengan kecepatan seperti semula."
Ada semacam kode etik di pegunungan Afghanistan. Itu disebut
pushtunwali. Keras dan tanpa kompromi seperti juga
orang-orangnya. Kode itu, menurut permisalan Van Dyk,
"berkekuatan lebih dari Al Quran." Salah satu ketentuannya
adalah: lindungi tamumu, bahkan jika ia musuhmu. "Aku tak
menyenangi orang ini," kata Van Dyk tentang Rahim. Tapi karena
itu pula "aku tak perlu takut kepadanya."
Mereka sampai ke puncak dan menemukan musim semi yang segar di
sana. "Air terasa manis seperti madu," tulis wartawan itu
sedikit emosional. Menjelang malam, mereka tiba di sebuah desa
dan menginap di situ. Heli-heli Soviet datang sejam sebelumnya,
dan mengubah dua buah rumah menjadi puing. "Seorang anak
laki-laki berusia 20 tahun dibawa ke hadapanku. Peluru senapan
mesin tambus ke dalam perutnya, dan pecahan mortir menyobek
daging pahanya. Rahim berkata bahwa aku seorang dokter, dan itu
mencegahku berkata lain.
Aku membalutnya dengan kain serbannya sendiri, sementara seekor
unta disiapkan untuk membawanya ke Pakistan. Ketika kami
memunggahnya ke punggung binatang itu, anak itu menangkap
lenganku. Matanya berkaca. Aku mencoba memberinya keberanian. Ia
menawarkan sebatang sigaret. Aku tak merokok, tapi kuterima juga
sigaret itu."
Empat hari perjalanan berunta harus ditempuh anak muda itu --
sepanjang jalan yang ditandai dengan makam-makam.
"Sejak saat itu Rahim berkeras membawakan bungkusanku," ungkap
Van Dyk. "Aku kini sahabatnya."
Markas besar Molvi (Maulawi) Jalaluddin, pemimpin gerilya di
Provinsi Paktia, adalah kumpulan desa-desa yang medannya
dipersulit oleh sungai-sungai yang deras. Mereka mencapainya
dengan menuruni puncak-puncak bersalju, turun lagi ke lembah
berpepohonan dengan daun-daunnya yang menguning. Kini sang
wartawan ditemui Kayeum, pengiringnya yang kelima, sejak ia
melintasi perbatasan seminggu sebelumnya. Satu-satunya pertanda
kehidupan yang dapat dilihat dari kejauhan adalah hembusan asap
yang bangkit dari dinding-dinding lempung merah.
Desa itu ditinggalkan penduduknya sesudah disasar pengeboman
tiga tahun lewat. Semakin dekat semakin dapat dilihat meriam
antipesawat udara yang ditunggui dua mujahidin. Itu sedikit di
luar perkampungan.
Jalaluddin, dengan mata yang dalam dan letih, janggut
awut-awutan dan bagian atas kepalanya membotak, bukan
tu-satunya komandan lasykar di sana -- yang membawahkan 50
anak buah plus 100 lainnya yang siap direkrut dari sekitar
perkampungan itu. Otoritasnya lebih bertumpu pada peranannya
sebagai mullah alias kiai. Ia bergabung dengan barisan
perlawanan setelah kudeta 1978 yang didalangi kekuatan
pro-Soviet di Kabul. "Apanya dong," tanya sang mullah, "yang
menyebabkan belum datangnya bantuan dari Barat -- padahal dua
tahun sudah Afghanistan berada di bawah kekuasaan Rusia."
"Anda percaya pada satu kitab, Injil, sama seperti kami percaya
pada Al Quran," lanjutnya. "Kalian percaya pada Tuhan seperti
kami juga, dan kepada Nabi, damai atasnya. Perang kami tertuju
terhadap komunis, karena mereka mau merampas negeri kami,
kemerdekaan kami, kebebasan kami untuk menyembah Tuhan. Untuk
itu saya akan berjuang sampai mati."
Wartawan itu tinggal di sana dua minggu. Suatu hari, satu
kelompok dari sepuluh orang datang membawa sejumlah mortir,
beberapa roket antitank hasil rampasan dari Soviet, dimuat di
atas punggung-punggung keledai. Mereka sedang berarak menuju ke
arah pangkalan tentara Afghanistan, untuk menyerangnya -- dan
mengajak Van Dyk ikut. Nah.
Pangkalan itu merupakan sebuah benteng empat persegi dari bata,
yang didominasi sebuah medan yang datar. "Kami masuk sejauh 500
yar, berlindung dari pandangan di belakang dinding-dinding
perkampungan yang ditinggalkan. Orang-orang itu menyiapkan
mortir di salah sebuah perkampungan, dan menembakkannya diiringi
seruan-seruan Allahu Akbar.
Toh di antara waktu-waktu itu mereka masih sempat menjerang air,
cerita. Lalu, tank-tank dan pasukan artileri dari dalam benteng
menyongsong kami. Peluru-peluru mereka mulai berjatuhan di dekat
kami. Kami menyiapkan keledai-keledai yang ketakutan, lalu enyah
secepat mungkin. Orang-orang itu tidak pernah memperoleh
kesempatan yang baik untuk menggunakan peluru kendali antitank
mereka. Sebab tank-tank ternyata tak pernah keluar dari
bentengnya."
Mallem, penerjemah yang bekas guru sekolah, bercerita bahwa
beberapa jam sebelum kedatangan Van Dyk, para mujahidin baru
saja mencoba SAM-7 -- yang secara rahasia dibawa dari Mesir
melalui Pakistan. Peluru kendali darat-udara buatan Soviet itu,
saat di tembakkan melebar menjauhi sasaran sebuah heli -- dan
menghantam sisi pegunungan, "membunuh batuan padas.
Dua hari kemudian, giliran dua heli bersenjata meriam terbang
rendah mencari sasaran. "Kami semua bersembunyi," lapor Van Dyk.
Juga meriam antipesawat udara. Mereka takut, jika mereka
menembakkan meriam-meriam antipesawat, yang di atas akan tahu --
dan mengakibatkan perkampungan remuk redam. "Semua kami, pagi
itu, takut mati."
DALAM masa tiga minggu di Afghanistan, wartawan Amerika itu
mengaku belum pernah melihat perempuan dalam jarak dekat.
Mereka, katanya, segera menghindar atau menyembunyikan muka di
balik kerudung yang senantiasa menutupi kepala dan bahu. Di
sumur, atau di dekat perapian, ia mencoba menangkap mata mereka
--kendati ia sudah dinasihati sebelumnya agar tidak berbicara
atau bahkan bertukar pandang.
Suatu hari, menjelang senja. Tokoh kita ini sampai di sebuah
desa yang tenang. Mereka berlima dipimpin Mallem, yang dengan
sukarela bersedia menemaninya kembali ke Pakistan lewat rute
lain. Banyak lembu dan ayam berlarian di jalan yang mereka
tempuh. Anak-anak menatap dengan pipi yang penuh dan pandangan
asing yang terheran-heran. "Komandan setempat menyilakan kami ke
perkampungan yang berdinding sekelilingnya. Di dalam, seorang
wanita muda sedang menimba air. Ia membuang pandang dan menutup
wajahnya, namun aku masih sempat melihat rambutnya yang hitam
dan pandangannya yang tajam berbinar.
"Ia masih menutup sebagian besar wajahnya, ketika kemudian
menyediakan teh untuk kami di dalam. Ia melayani tiap tamu tanpa
sekalipun memandang, sementara kami duduk di atas lapik di
lantai. Sebuah ayunan tergantung, diayun-ayunkannya ke depan dan
ke belakang -- sambil bergerak dengan anggunnya di dalam ruangan
-- seperti tanpa suara. Ia menata sejenis taplak untuk makan
malam dan membawa kasur kecil untuk kesenangan tamunya. Tuan
rumah kami, seorang lelaki tua, menjelaskan bahwa anaknya --
suami wanita itu -- pergi ke Pakistan untuk mengambil konsumsi."
Mereka minum susu panas dan makan roti hangat yang baru dibuat
petang itu. "Kukatakan kepada si tua, belum pernah aku merasakan
roti yang begitu enaknya -- dan kulihat wanita itu tersenyum."
Pagi esoknya, sementara yang laki-laki shalat, wartawan kita
keluar untuk berbasuh -- dan ia menemukan wanita itu sedang
menimba air. "Aku tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Ia
menatap dan membalas senyum. Ia memiliki gigi yang bagus, dan
matanya bercahaya saat tersenyum. Ia mengambil air dengan maksud
hendak menuangkannya ke tanganku. Saat itulah mertuanya muncul
di ambang pintu. Perempuan itu buru-buru meletakkan ember, dan
menghilang ke dalam rumah. Si tua pura-pura tak melihat. Ia
datang mendekat, dan menuangkan air untukku."
Beberapa hari kemudian, setelah perjalanan mendaki yang jauh,
mereka tiba di sebuah warung teh yang masih utuh. Orang-orang
Rusia telah mengebom apa saja yang ada di lapangan terbuka di
kawasan perbatasan, dalam usaha memotong arus masuk senjata.
Warung teh, dibuat dari batu dan tanah liat, bertengger di sisi
gunung setengah tertutup oleh salju. Beberapa unta dan keledai
tertambat di dekat kawasan terbuka itu.
Para musafir duduk di tikar rumput yang terhampar di tanah yang
dingin, dan berita yang tersiar bernada buruk. Heli-heli,
dikabarkan terbang rendah di atas kawasan pegunungan terdekat,
diduga menyebarkan ranjau. Lempengan-lempengan plastik ukuran
setengah telapak tangan itu, mendekati warna daun atau sampah,
dalam jumlah ribuan mereka jatuhkan di sepanjang perbatasan yang
dilalui kafilah-kafilah pengangkut senjata dan makanan.
"Satu kemudian terbawa angin. Lalu terdengar ledakan dari arah
lembah. Dan di depan, kami melihat sekelompok orang. Seekor
untah roboh yang lain terbaring di sisinya. Yang ketiga berdiri
bengong, oleng di atas tiga kakinya."
Dua laki-laki memegang unta kedua yang lain menggorok batang
lehernya. Dan erangan binatang itu mengisi lembah. "Aku meminta
Mallem menembak saja dua unta lainnya. Tapi tidak, itu
bertentangan dengan hukum Islam. Mereka harus disembelih."
Orang-orang dengan unta-unta itu tidak dapat maju lebih jauh.
Masih banyak ranjau yang belum meledak: 20 menit sebelumnya dua
orang telah terpenggal kakinya. "Tapi kami harus maju: ada
sebuah perkemahan kecil beberapa jam perjalanan, dan di sana
kami bisa menginap. Kami menyiasat -- dan mencurigai -- apa saja
yang tergeletak di tanah di depan kaki kami: setiap bungkil
batu, daun, lembar rumput, yang tiba-tiba saja bisa berubah
menjadi ranjau yang meledak. Tiga rekanku berhenti untuk berdoa,
dan diam-diam aku menyertai mereka. Di gelap malam itu kami
kemudian malah tak dapat melihat jalan. Hingga yang dapat kami
lakukan hanya menerimanya: nasib, kehendak Tuhan, apa pun -- dan
tetap maju. Jika ia datang, datanglah. Kami kemudian berjalan
tak peduli -- bahkan dengan bernyanyi -- melintasi kegelapan
malam itu." Dan selamat.
***
Van Dyk mengucapkan selamat jalan kepada Mallem di Diram Shah,
Pakistan. Mallem meneruskan perjalanan, mengunjungi keluarganya
di kamp pengungsian. Sedang si wartawan, dengan menyamar sebagai
mujahid yang terluka, diangkut di bak truk Toyota.
Lalu setelah istirahat di Hotel Dean, Van Dyk menggaji seorang
sopir untuk membawanya ke Islamabad. Dan dari sana terbang ke
Quetta, di bagian lain perbatasan Afghanistan -- dinanti seorang
kepala suku Afghan yang telah menyediakan dua anak buahnya.
Mereka bersiap mengantarkannya kembali ke Afghanistan. Soalnya
"aku belum cukup melihat atau terlibat pertempuran," kata si
wartawan. Perjalanan itu membutuhkan tiga hari, melintasi padang
pasir untuk sampai di daerah Kandahar, 70 mil ke barat laut.
Kandahar berpenduduk 200 ribu orang sebelum invasi Soviet. Tapi
sejak saat itu banyak yang telah mengungsi ke kamp-kamp di
Pakistan. Seperti kota Afghanistan lain, Kandahar juga berada di
bawah kekuasaan pemerintah Afghanistan-Soviet. Mereka berhenti
di sebuah desa, Mahalajat, beberapa mil di luar kota. Dari
sinilah basis-basis gerilya melancarkan serangan malamnya
terhadap sasaran-sasaran di dalam Kota Kandahar. Mereka menyebut
bentuk serangan ini shubkahoon, yang secara harfiah berarti
'darah di tengah malam'.
"Kuingin melihat kota. Dan Gulhan, salah seorang pengiringku,
menemaniku ke sana bersama seorang rekannya. Para mujahidin itu
menyelipkan masing-masing sepucuk pistol di bawah selimut
mereka."
Di tepi kota mereka melihat sisa-sisa pertempuran beberapa hari
sebelumnya. Rumah-rumah beruntuhan, jejak-jejak tank di tanah,
dan selongsong peluru terserak di mana-mana. Ada perempuan dan
anak-anak di dalam kereta-kereta yang ditarik kuda, dan beberapa
laki-laki naik sepeda. Tak tampak seorang tentara pun, tapi
penunjuk jalan menolak meneruskan perjalanan.
***
Pukul sembilan pagi, 26 November, Delapan belas orang duduk di
lantai kotor yang dingin di rumah bata setinggi 20 kaki, yang
biasanya digunakan untuk pengeringan buah anggur. Orang yang
ke-19 duduk di salah satu sisi, matanya ditutup: ia dicurigai
sebagai mata-mata.
Mereka dapat mendengar raungan heli yang berputar-putar di atas
kepala sambil menyalakkan senjata Kalashnikov AB Afghanistan
dengan dukungan udara Soviet sedang bergerak masuk dari
pangkalan udara Kandahar, mencoba menyiram 700 lebih mujahidin
yang sedang memusatkan diri di kawasan itu.
Ini tampaknya sebuah perang tanding yang tak berimbang: 17 bedil
Lee-Enfield, satu senapan mesin, lima granat dan dua roket
anti-tank. Yang dilawan: helikopter-helikopter, pasukan infantri
yang sedang mendekat, dan entah apa lagi. "Aku duduk mengelonjor
bersandar ke dinding, dan mencoba memperhatikan wajah-wajah ini:
Ahmad, Sadul, Ismahial, Abdullah, Rahmin, Agha Mohammad, Gulhan
. . . masih remaja, sebagian besar. Mereka menatap ke depan,
agak menengadah, berdoa, melafalkan ayat-ayat Quran,
menghitung-hitung peluru sendiri, melilitkan kembali serbannya
untuk meyakinkan keketatan belitannya. Anak 16-an di depanku
tampak menggeletar, mengokang-ngokang bedilnya untuk ke-100
kalinya."
Seorang laki-laki yang tak diketahui Van Dyk namanya
menganjurkan sepucuk bedil kepadanya. "Ambillah" Sang wartawan
ragu. "Aku jurnalis, untuk itu aku ke mari." Dan itulah yang dia
sebutkan, dengan tangan teracung, jika mereka memaksanya.
"Jurnalist! Jurnalist! Observer!" Tapi diambilnya juga bedil
itu, dan itu membuat mereka bernapas enteng. "Aku sebagai beban
mereka, menjadi berkurang beratnya."
Suara dentuman makin mendekat, sementara itu. Ada jawaban juga
dari pihak sini. Ahmad, sang komandan, berbicara kepada Gulhan,
menyuruhnya menyingkirkan Van Dyk -- supaya aman. Wajah tanpa
senyum, perokok berantai berusia 30 ini, beberapa bulan
sebelumnya kabur dari pekerjaannya di sebuah perwakilan
Departemen P&K di Kandahar. Ia mcmbawa serta keluarganya
mengungsi ke Pakistan, lalu ia sendiri bergabung dengan sukunya
untuk mengobarkan jihad sabilillah .
Pagi itu hanya Gulhan yang memegang senjata otomatis. "Kami
menanti beberapa menit, kemudian merangkak melalui ambang pintu.
Ke-18 orang itu meninggalkan mata-mata yang dicurigai,
sendirian, di sana."
MEREKA berlari, membungkuk, dan bertiarap sambil merangkak di
antara parit-parit, sejauh 20 yar. Heli berputar-putar di atas
kepala, bungkah-bungkah tanah bertemperasan disembur senapan
mesin dari langit. Sesuatu -- tembakan meriam artileri atau tank
-- memporakporandakan atap-atap rumah dan dinding tanah. Asap,
lengkingan peluru, aba-aba, teriakan panik atau yang mengobarkan
semangat, campur jadi satu.
"Kami merangkak melalui saluran yang dibuat beberapa bulan
sebelumnya untuk penanaman anggur. Lima di antara kami terpacak
lalu tumbang, saat mencoba memanjati dinding tanah liat setinggi
delapan kaki. Kami mencoba membuat lubang dengan popor senapan,
tapi tak berhasil."
Tiga orang, bergiliran, berhasil memanjati tembok. "Seorang
bocah di depanku melemparkan sandalnya ke seberang tembok: lebih
gampang memanjat dengan kaki telanjang. Aku turut melemparkan
sandalku. Ia berteriak kepadaku agar memanjat lebih dulu: itu
memang gilirannya. Aku menyuruhnya duluan, sebab itulah yang
lebih aman. Tapi ia menembakkan bedilnya membabi buta dan
membentakku agar melompat lebih dulu. Aku menurut. Ia sampai di
puncak beberapa detik kemudian, ketika peluru senapan mesin
menyobek serata punggungnya."
Van Dyk memapah anak itu dan membaringkannya, dibantu seseorang.
Wartawan itu lalu melihat ke dalam dirinya: nalurinya yang
senantiasa mencoba mengelak dari bahaya, betapa tampak
kekanak-kanakan semua itu. Nilai apa yang dapat diberikan
terhadap kematian anak itu? renung Van Dyk yang datang dari
Barat itu.
"Aku telah mendapatkan pertempuranku sendiri, dan aku merasa
sakit," tulisnya dengan kedalaman seorang pengarang novel.
Pada pukul empat, gelegar-gelugur sudah berhenti -- sedang
mereka belum juga sampai ke desa. Mujahidin sudah mencoba
mempertahankan tanah tumpah darah mereka. Pasukan Afghanistan
mundur, dan dukungan udara pasukan Rusia mengendur. Helikopter
dalam formasi empat-empat dan enam-enam masih memperagakan
keperkasaannya: meluncurkan roket-roket dan senapan mesin,
berputar-putar di atas ketinggian 200 kaki, mengintai, kemudian
menukik dan kembali menembak. "Kuikuti Gulhan dari satu dinding
ke dinding lain, dari satu semak ke satu semak, mengambil jalan
putar -- dan keluar."
Mereka tiba di sebuah masjid. Jemaat di sana sedang shalat dan
mengucapkan puji-pujian. Gulhan meminta Van Dyk memegangi
senapan mesinnya. Ia lalu duduk di gundukan tanah yang kotor, di
remang-remang, telanjang kaki. Moncong bedil tua buatan Inggris
keluar dari selimut Afghannya dan dua kamera di leher.
Sekelompok orang, tua dan anah-anak mengawasinya diam-diam.
Kemudian seorang tua yang bertumpu pada tongkatnya mendekat, dan
menjabat tangannya. Yang lain bergabung dan melakukan hal yang
sama. "Syukur alhamdulillah. Syukur alhamdulillah," kata mereka.
Si bule menjawab: Thank you, thank you.
Gelap tiba, dan heli-heli laknat itu terbang kembali ke
sasarannya. Obor-obor disulut. Yang mati dan luka diangkut dalam
tandu-tandu dari tali, ke keluarga masing-masing. Tak seorang
berbicara. "Di dalam keheningan, dapat kudengar suara seorang
laki-laki menangis diam-diam."
Ahmad memimpin perjalanan ke Desa Zarkat di desa ini ia
kepalanya. Ia mengetuk sebuah rumah, dan seorang laki-laki muda
membuka pintu. Melihat tubuh ayahnya di dalam tandu, ia langsung
meraung-raung. Orang-orang membawa tubuh itu ke dalam -- dan
tangisan wanita mengiringi raungan si anak. Hal sama dilakukan
pada pintu-pintu rumah yang lain. Ratapan mengisi malam di desa
itu.
Di dalam perang sabil melawan komunis, seorang yang terbunuh
dalam pertempuran adalah syahid. "Ia langsung masuk surga,"
seperti kata Van Dyk, "dosanya di dunia hapus dengan
sendirinya." Tapi, "yang mati lari dari pertempuran adalah
pengecut. Ia tidak bisa masuk surga ia tidak dikuburkan menurut
aturan agama Islam. Ia menjadi hantu, keluarganya terbuang dari
pergaulan. Para mujahidin yang meninggal hari itu semua mati
syahid -- tapi tak seorang pun tampak riang gembira bahwa ada
keluarga mereka pergi langsung ke surga." Tentu saja.
Wartawan perang kita dibawa ke semacam guesthouse. Disuguhi susu
panas dan roti. Makan dengan lahap, ia lalu tidur dengan lelap.
Tapi tiga jam kemudian Gulhan membangunkannya. "Tank. Mari
cepat!"
VAN Dyk dapat mendengar gelindingan ban suara bajanya yang
melindas tanah. Dapat juga terlihat sosoknya di tepi desa, 100
yar jauhnya. Mereka mulai menembak -- dan tiap tembakan yang
ketiga adalah tracer -- untuk melihat hasil atau melacak. Cahaya
yang silau menerangi angkasa. Itu dilakukan sebagai taktik
memaksa gerilyawan keluar dari desa, kemudian menyemburnya di
medan terbuka.
Kembali Ahmad memikirkan sang wartawan, sebagai yang harus
diselamatkan yang pertama-tama. Ia lalu memutuskan menjauhkan
Van Dyk dari arena pertempuran. Seorang tua, melihat orang asing
itu telanjang kaki, memberikan sandal karetnya.
Lalu perjalanan dari satu desa ke lain desa dilakukan mereka --
Ahmad, Gulhan, Sadul dan Van Dyk. Bertiarap begitu nyala
tembakan menerangi angkasa, mencoba menghindar dari garis
sasaran atau jangkauan tembak. Mereka menemukan banyak kelompok
lasykar bersenjata dalam perjalanan mereka menyongsong medan.
Menjelang dinihari, mereka sampai ke desa yang jauh dari
jangkauan pertempuran.
Ahmad, yang buta huruf, mendiktekan sebuah surat kepada Gulhan
-- yang akan menjadi pengiring Van Dyk kembali ke Pakistan.
Surat tertuju kepada kepala suku mereka di Quetta.
Ahmad mengharapkan komandannya selamat sejahtera, tapi ia tampak
sedih. Dua hari melawan tentara dengan persenjataan modern
agaknya berharga cukup mahal. "Kirimi kami sesuatu yang lain, di
samping senjata-senjata tua Inggris ini. Bedil-bedil kaliber
303. Kami membutuhkan senjata otomatis. Tanpa senjata jenis lain
saya tak tahu apa yang akan kami terima sebagai akibatnya."
Demikian surat itu.
Van Dyk lalu bercerita tentang apa yang didengarnya di Peshawar.
Sekelompok gerilyawan telah menyeberangi Sungai Amu Darya ke
wilayah Soviet. Mereka menyerang pos perbatasan dan membunuh dua
orang. Seminggu kemudian, heli-heli datang dan membumi-hanguskan
daerah seluas 50 mil persegi.
Gulhan menerjemahkannya, dan kamar itu menjadi senyap. "Ya,"
kata Ahmad. "Jika kita memiliki persenjataan yang lebih baik,
orang-orang Rusia mungkin akan datang dengan lebih banyak
serdadu dan lebih banyak heli. Lebih banyak di antara kita akan
mati. Tapi kita harus membayar mereka dengan harga yang tinggi.
Kita tak dapat mengharap kemenangan secara militer terhadap
orang-orang Rusia. Kita harus meraih kemenangan moral. Itu
satu-satunya harapan kita. Untuk itu kita harus membunuh, dan
terbunuh."
Mereka berangkat malam harinya -- Gulhan, seorang pemandu, dan
Van Dyk sendiri -- memakai dua unta. Rangkul-merangkul terjadi,
diiringi salam perpisahan. Tapi dua jam kemudian langit kembali
semarak dengan cahaya -- dan terasa derap pasukan artileri.
"Pemandu menolak meneruskan perjalanan, dan kami pulang
kembali."
Hari berikutnya mereka mencoba kembali. Sambil menunggu
unta-unta disiapkan, "aku mendengarkan suara seruling yang
ditiup seorang anak usia tujuh tahun. Suala kesepian, suara
kesedihan, suara keterpencilan -- seperti juga kawasan ini."
Ketika mereka hendak berangkat, seorang perempuan tua, yang
sudah dua hari memperhatikan lelaki asing itu, datang
menghampiri dan berkata kepada Van Dyk: "Semoga malaikat
membantu menyelamatkanmu." Nenek itu menggenggamkan dua butir
telur rebus ke tangannya.
***
Malam lebih gelap dari biasanya. Awan menutupi bulan. Dari jarak
200 yar mereka sudah dapat melihat sosok desa itu. Anjing-anjing
mengumandangkan kedatangan mereka. Gulhan menyuruh Van Dyk tak
bersuara, sampai ia yakin benar di pihak mana penduduk desa itu
berdiri. Katanya, kaum komunis telah menyogok penduduk --
seperti pernah dilakukan penjajah Inggris dulu.
Van Dyk mengunci mulut saat mereka memasuki pagar desa. Tapi
unta yang ditungganginya mengkhianatinya -- ia sudah duduk saat
wartawan AS itu belum siap. Dan, "ketika aku bangun dari mandi
debu, jelas bagi siapa pun bahwa aku bukan salah seorang dari
mereka," tulisnya.
"Mengapa tak kau bunuh saja orang ini, yang jelas-jelas orang
Rusia?" kata seorang penduduk setempat. Saat itu mereka sudah
duduk di sebuah rumah dan dilayani minum teh dan roti hangat.
"Mengapa dibawa ke Pakistan?"
Gulhan menceritakan, si bule itu orang Amerika. "Setelah itu
mereka tak membiarkan kami pergi," cerita Van Dyk. Malah
memaksanya menerima sepasang sandal, mengobati lecet di kakinya,
dan memberikan lebih banyak bawang yang dimasak di dalam minyak
-- entah apa namanya makanan itu -- ketimbang yang lain.
PERJALANAN diteruskan esok harinya: melintasi bermil-mil pasir
merah yang seolah tanpa akhir. Di sana-sini helikopter
berterbangan di atas kepala, untuk menyiasat. Jet-jet Soviet
mengguruh di ketinggian. Lalu pesawat berbaling-baling berputar
melebar dalam kecepatan lambat. Rombongan musafir itu bertambah
dengan sejumlah orang lain -- termasuk pelarian dari AB
Afghanistan.
Malamnya, pasir mendingin. Melingkari perapian, mereka mendengar
dentang-denting lonceng kecil. Dan dari kegelapan muncul kafilah
unta yang panjang, membawa anak-anak dan perempuan. Ada pula
muatan berupa selimut, poci, dan tandu-tandu berbingkai kayu.
Suara lembut seorang laki-laki terdengar: "Assalamualaikum."
Segera berjawab. Kemudian mereka lenyap, meneruskan perjalanan.
Mereka orang-orang Kuchi, suku pengembara di luar masyarakat
kesukuan Afghan. Esok paginya rombongan Van Dyk menemui
perkemahan mereka di suatu tempat. Para wanita pada mengangkat
muka. Di sini tak takut menatap.
Dua malam kemudian, dengan penerangan sinar bulan, mereka
melintasi rentangan akhir padang pasir itu. Ada patroli pasukan
lapis baja, menurut penggembala, tapi di luar perbatasan. Pada
pukul dua dinihari mereka melintasi pos perbatasan Pakistan, dan
memasuki jalan utama Chaman yang benderang.
Dua anggota polisi bertanya: dari mana? Seseorang menjawab
tenang: "Dari Kandahar." Para hamba wet itu meneruskan patroli.
"Kulihat anggota rombongan satu per satu: hitam, berjanggut
panjang, kotor, kelaparan. Dan aku tergelak. Ah, semua telah
berakhir neraka sudah lewat. Aku membungkuk untuk mencium leher
untaku."
Seorang penjaga toko menyediakan sebuah loteng untuk tempat
tidur mereka. Paginya, Gulhan keluar dan kembali dengan sebuah
taksi, yang akan membawa mereka ke Quetta. Hari telah terang
benar. "Kami minum teh bersama, kemudian saling jabat tangan dan
berangkulan. Yang lain melambai, ketika mereka berdua dibawa
taksi pergi. Aku melambai kembali sampai mereka benar-benar tak
tampak lagi."
Van Dyk kemudian menulis alinea akhir tulisannya begini: "Hampir
setahun berlalu. Perjuangan berlanjut. Koran-koran memberitakan,
seorang jenderal Soviet tewas ketika helinya terpaksa mendarat
di dekat Khost. Mungkin Jalaluddin dan orang-orangnya menemukan
bekasnya." Dan berseru: Allahu Akbar!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini