Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perjalanan Menembus Afghanistan

Laporan perjalanan wartawan free lance, jere van dyk, di Afghanistan. (sel)

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU itu pukul 8.30 pagi, saat Mohammad Hakim membuka perlahan-lahan kamar hotelku. Aku tinggal di Hotel Dean di Peshawar, Pakistan, sebuah penginapan bertingkat satu. Kipas angin berpusing berderik-derik di atas kepala. Dan dinding yang tinggi dilabur putih mentah. Mohammad menelitiku dari atas ke bawah: pakaian Afghanku yang kedodoran, selimut yang juga asal Afghanistan, serban yang kulilitkan di kepala dengan mengerahkan seluruh kemampuan. Dengan wajah dingin ia mengisyaratkanku mengikutinya. "Kita harus berangkat sekarang juga," katanya, memandang tak acuh pelayan hotel. "Cecunguk semua orang di sini." Itulah awal laporan perjalanan panjang wartawan lepas (freelance) Jere Van Dyk. Ia menghabiskan enam minggu di Afghanistan pada musim gugur 1981, mengumpulkan bahan-bahan untuk serangkaian laporan yang muncul kemudian di majalah New York Times. Bukunya In Afghanistan: An American Odyssey akan diterbitkan oleh Coward, McCann & Geoghegan. Sementara itu sebuah Toyota hitam telah menunggu di pintu gerbang. Sopirnya menyeringai dan mengangkat tabik: "Assalam 'alaikum! " Lalu mereka bertiga berkendaraan menuju pusat pasar tua. Di sini Mohammad memegang tangan Van Dyk, menerobos di antara kuda-kuda kereta, keledai-keledai, becak mesin, truk dan orang banyak. Tiga lelaki naik ke mobil, satu di depan dan satu di samping sang wartawan. "Aku sedang dalam perjalanan ke Afghanistan, kini". Setengah jam melintasi sawah-sawah dan kawanan kerbau, membawa sang wartawan ke Darra. Itu sebuah kota kecil, yang setiap penduduknya di atas usia 16 kelihatan membawa bedil. Tumpukan daun ganja nampak di mana-mana -- dijual US$ 50 per kilo. Tiap dua bangunan ada toko senjata api dan amunisi. Di sebuah toko, salah seorang pengiring Van Dyk menukarkan segepok rupee Pakistan dengan dua karung laras senjata dan peluru kaliber 303. Dalam delapan jam berikutnya, mereka melewati setengah lusin pos penjagaan militer Pakistan. "Saya mencoba bersikap biasa dan seperti orang Afghan," tulis Van Dyk. Kendaraan berhenti. Para serdadu menggeledah isi truk. "Mereka tentu telah melihat amunisi, tapi tak berkata apa-apa. Cuma menatap kami tajam dan memberi isyarat boleh jalan." Menjelang malam mereka tiba di kota perbatasan Miram Shah, dan menginap di sebuah gudang amunisi rahasia yang halamannya penuh tumpukan peti yang dicoba disamarkan. Tiga anak muda sedang menanak nasi dan merebus daging di tungku Bunsen. Kemudian mereka mendengarkan siaran radio BBC dalam bahasa Inggris dan bahasa Pushtu, salah satu dialek Afghanistan. Penyiarnya melaporkan desas-desus pertcmpuran di Kandahar, kota terbesar kedua di Afghanistan. Saat itu pertengahan Oktober 1981. Van Dyk terbang dari New York dengan Air France menuju Karachi, Pakisan. Ia membawa beberapa potong pakaian, tiga kamera, dan sepucuk surat tugas dari New York Times -- yang menetapkannya sebagai pembantu lepas di Asia Tenggara. "Surat tugas tidak secara jelas menyebut Afghanistan," tulis Van Dyk. "Tapi di Peshawar, aku beranjangsana dengan Yunus Khalis, seorang penyair, pemimpin gerilya dan politik berumur 70-an yang berjanggut panjang." Khalis adalah salah seorang pemimpin fraksi Partai Hezbi Islami, satu dari sekitar delapan partai yang mengadakan perlawanan di Afghanistan. Beberapa hari kemudian, tiga orang datang menemui Van Dyk di Hotel Dean, ketika ia sedang membaca di halaman gedung itu. "Mereka duduk dan menatapku nanap, kayaknya untuk menyelami perwatakan di balik mataku," tulis sang jurnalis. Setelah puas, orang bertiga itu menetapkan pakaian apa yang sebaiknya dikenakan dalam perjalanan itu. "Aku harus siap pukul 8.30 esoknya. Seseorang akan datang menemui. Aku tak boleh menceritakan kepada seorang pun." Kini, wartawan itu berbaring di gudang peluru, di lantai yang kotor, "mendengar tiupan angin." Para pemandunya telah pulas lelap. Dan itulah pertama kalinya, katanya, ia tak pernah melihat mukanya di cermin selama satu minggu. Dan selebihnya: impian, percakapan, dan persiapan-persiapan keberangkatan. "Kini aku harus menghadapi kenyataan," katanya pada diri sendiri. "Mengapa, apa sesungguhnya, yang mendorongku datang ke mari? Apa yang menungguku di seberang perbatasan itu? Tentu saja aku masih dapat berbalik pulang". Tidak. Ia pernah tinggal di Atghanistan, sebulan, pada 1973. Saat itu ia sedang mengendarai Volkswagen dari Jerman Barat ke Pakistan, dan sampai kini masih tersisa padanya beberapa potong kata Pushtu dari kunjungan itu. Kini, katanya, dengan invasi Soviet di Pakistan yang memasuki bulan ke-21, ia memang ingin kembali ke negeri itu. "Tinggal bersama mujahidin, para pejuang yang bangkit berlawan. Ingin kusaksikan apa yang mendorong mereka berjuang dengan senjata-senjata loakan melawan kekuatan Soviet yang dipersenjatai modern." "Dan memang ada sesuatu yang lain. Aku kini 35 tahun, dan belum pernah melihat perang. Apalagi terlibat dalam pertempuran betul-betulan. Kuingin tahu apa yang kuhadapi." Van Dyk juga tak tahu betapa romantiknya ia saat itu. Petang berikutnya, seorang laki-laki yang dipanggil Gul Shah datang menemuinya. Tinggi di atas enam kaki, janggutnya lebat hitam, memakai serban yang juga hitam. Si Gul memanggul sepotong bedil dan bandoleer -- selempang kantung peluru -- yang melilit sejak dari bahu, melintasi dada, dan bertemu kedua ujungnya di pinggang. Sebuah pikap Toyota merah datang. Sopirnya seorang remaja yang kakinya hampir tak menyentuh lantai mobil, seperti juga matanya yang hampir tak bisa melampaui dashboard. Anak itu membawa mereka melalui padang-padang tandus tak berpohon menuju perkampungan dengan rumah-rumah bata, bertengger di sebuah dataran tinggi. "Tak ada rentangan kawat listrik di sana. Tanpa lalat. Tanpa suatu bau. Hanya tiupan angin kering. Saat matahari tenggelam, anak-anak mengelompok di sekitar pelita, menatapku ketika aku duduk menulis di sana, mulai mengisi buku catatan. Aku tersenyum, dan, malu-malu, mereka membalasnya." Makan malam berlangsung di luar, di udara terbuka. Orang-orang itu seperti mendapat hiburan memandang Van Dyk mengepalkan nasi, mencelupkannya ke dalam kaldu dan menjejalkan ke mulutnya. Seorang orang tua menunjuk pada telinganya, dan dengan bahasa isyarat mencoba menjelaskan bahwa ia tuli. "Apakah aku seorang dokter?" tulis wartawan itu. "Tidak. Tapi agar ia tak kecewa, kuberi ia dua aspirin. Tak kutahu bahwa berita itu disampaikan dari mulut ke mulut: orang asing itu dokter, dapat menyembuhkan demam, mengobati luka pertempuran, polio, dan encok-encok." Maghrib mereka sembahyang. Kemudian Gul Shah dan seorang lainnya mengambil senjata dan menuntun Van Dyk ke arah pegunungan -- ke barat, ke perbatasan. Orang Amerika itu memakai pakaian yang dibelinya di pasar Peshawar. Kakinya terbungkus dalam sepatu but serdadu AS yang diperolehnya di sebuah toko di Canal Street, New York. Kamera dan obat-obatan berada dalam sebuah bungkusan yang tersandang di bahunya. Sebuah spotlight bermain di atas pebukitan, dan tiba-tiba turun ke atas kepala mereka -- begitu dekatnya. Gul Shah menyuruh Van Dyk menukar sepatu dengan sandal. Sebab itu sepatu kelewat berisik. Mereka meneruskan perjalanan. Tapi masih berisik. Jadinya mereka semua mencopot sandal, dan dengan kaki telanjang berjalan di dasar sungai yang kering. Tak ada petunjuk bila mereka melintasi perbatasan. Tak ada tanda, tak ada pos. Yang jelas waktu sudah menjelang tengah malam. Sekitar pukul dua, mereka tiba di sebuah kemah untuk empat orang. Gul berteriak, dan sebuah suara menjawab. "Kami merangkak ke dalam," wartawan itu bercerita. "Ada sepuluh orang di sana. Pemanduku membisikkan beberapa pesan, mengharapkan semoga aku selamat, kemudian pergi. Udara dingin, namun kami saling memanaskan dengan suhu tubuh masing-masing. Aku melupakan kakiku yang lecet dan segera jatuh lelap." Masih gelap ketika seorang laki-laki yang dipanggilnya Kasim menepuk tulang rusuknya, dan berkata dalam bahasa Inggris: "Kita pergi." Dengan susah payah Van Dyk memasukkan kakinya ke dalam sepatu but, dan menempuh perjalanan satu jam. Matahari bangkit dari balik pegunungan di belakang kepala mereka. Sebatang tubuh berserban mengawasi mereka dari sisi sebuah bukit, dan domba-domba sedang merumput di sana. Kabut gentayangan di sekitarnya, dan daerah itu padang semak berpasir. Tapi ketika pendakian semakin tinggi, tiba-tiba Afghanistan tampak lebih hijau dan hidup -- diwarnai rumpun-rumpun pepohonan dan langit biru yang terpentang. Udara amat segarnya. Dan cemerlang, dengan ketenangan yang menyejukkan perasaan. Tengah hari mereka tiba di sebuah rumah dari campuran batu dan lempung. Kebiasaan orang Afghan, orang harus mencopot sepatu jika hendak masuk ke rumah. Dan melihat kaki Van Dyk sudah terjulur ke dalam, tuan rumah menggelarkan gulungan pembaringan, menyuruhnya berbaring dan istirahat. Lalu menghidangkan gelas demi gelas teh hijau yang setengahnya berisi gula --hasil penting Afghanistan, yang dianggap dapat menambah energi. Lalu ada "makanan campur aduk" antara gula, telur dan roti. Dua lelaki masuk ke dalam. Mereka bersenjata otomatik AK-47 dan selempang peluru. Membawa sepotong kertas dengan lambang partai Yunus Khalis, dan pesan tulisan tangan di atasnya. Salah seorang di antaranya membuka bungkusan si wartawan di pembaringan. Kasim melihat kamera-kamera, pisau serdadu Swiss, dan menjulurkan tangannya. Tuan rumah menunjuk selimut Van Dyk, dan menggeser-geserkan telunjuknya dengan jempolnya. Si wartawan mengerti."Kuberi Kasim lembaran rupee seratusan (sekitar US$ 10), dan ketegangan mengendur." *** "Kami berada di dataran tinggi yang luas dan sejuk. Puncak-puncak gunung diselaput salju yang setengah tersembunyi di balik kabut tipis. Hari-hari pun berlalu. Khost, sebuah kota tempat mangkalnya brigade helikopter Soviet, hanya tiga kilometer ke timur, melintasi dataran. Kami berhenti di sebuah warung teh, untuk minum dan makan roti yang dicelupkan ke dalam kaldu domba. Rahim, pengawalku yang baru, memaksaku makan dan buru-buru meninggalkan tempat itu. Rahim jelas tak menyukaiku dan tugasnya ia juga benci berjalan di padang terbuka dengan heli-heli setiap saat mengancam. Kami menuju ke arah pegunungan. MATAHARI kini bersinar tanpa ampun di atas ubun-ubun. Aku berteriak menyuruh Rahim memperlambat sedikit jalannya. Ia berhenti, berpaling, dan perlahan-lahan memindahkan senapannya ke bahu. Ia tercagak di sana beberapa detik, menatapku, bedil di tangannya -- yang kemudian dipindahkannya ke bahunya yang lain. Ia meneruskan perjalanan dengan kecepatan seperti semula." Ada semacam kode etik di pegunungan Afghanistan. Itu disebut pushtunwali. Keras dan tanpa kompromi seperti juga orang-orangnya. Kode itu, menurut permisalan Van Dyk, "berkekuatan lebih dari Al Quran." Salah satu ketentuannya adalah: lindungi tamumu, bahkan jika ia musuhmu. "Aku tak menyenangi orang ini," kata Van Dyk tentang Rahim. Tapi karena itu pula "aku tak perlu takut kepadanya." Mereka sampai ke puncak dan menemukan musim semi yang segar di sana. "Air terasa manis seperti madu," tulis wartawan itu sedikit emosional. Menjelang malam, mereka tiba di sebuah desa dan menginap di situ. Heli-heli Soviet datang sejam sebelumnya, dan mengubah dua buah rumah menjadi puing. "Seorang anak laki-laki berusia 20 tahun dibawa ke hadapanku. Peluru senapan mesin tambus ke dalam perutnya, dan pecahan mortir menyobek daging pahanya. Rahim berkata bahwa aku seorang dokter, dan itu mencegahku berkata lain. Aku membalutnya dengan kain serbannya sendiri, sementara seekor unta disiapkan untuk membawanya ke Pakistan. Ketika kami memunggahnya ke punggung binatang itu, anak itu menangkap lenganku. Matanya berkaca. Aku mencoba memberinya keberanian. Ia menawarkan sebatang sigaret. Aku tak merokok, tapi kuterima juga sigaret itu." Empat hari perjalanan berunta harus ditempuh anak muda itu -- sepanjang jalan yang ditandai dengan makam-makam. "Sejak saat itu Rahim berkeras membawakan bungkusanku," ungkap Van Dyk. "Aku kini sahabatnya." Markas besar Molvi (Maulawi) Jalaluddin, pemimpin gerilya di Provinsi Paktia, adalah kumpulan desa-desa yang medannya dipersulit oleh sungai-sungai yang deras. Mereka mencapainya dengan menuruni puncak-puncak bersalju, turun lagi ke lembah berpepohonan dengan daun-daunnya yang menguning. Kini sang wartawan ditemui Kayeum, pengiringnya yang kelima, sejak ia melintasi perbatasan seminggu sebelumnya. Satu-satunya pertanda kehidupan yang dapat dilihat dari kejauhan adalah hembusan asap yang bangkit dari dinding-dinding lempung merah. Desa itu ditinggalkan penduduknya sesudah disasar pengeboman tiga tahun lewat. Semakin dekat semakin dapat dilihat meriam antipesawat udara yang ditunggui dua mujahidin. Itu sedikit di luar perkampungan. Jalaluddin, dengan mata yang dalam dan letih, janggut awut-awutan dan bagian atas kepalanya membotak, bukan tu-satunya komandan lasykar di sana -- yang membawahkan 50 anak buah plus 100 lainnya yang siap direkrut dari sekitar perkampungan itu. Otoritasnya lebih bertumpu pada peranannya sebagai mullah alias kiai. Ia bergabung dengan barisan perlawanan setelah kudeta 1978 yang didalangi kekuatan pro-Soviet di Kabul. "Apanya dong," tanya sang mullah, "yang menyebabkan belum datangnya bantuan dari Barat -- padahal dua tahun sudah Afghanistan berada di bawah kekuasaan Rusia." "Anda percaya pada satu kitab, Injil, sama seperti kami percaya pada Al Quran," lanjutnya. "Kalian percaya pada Tuhan seperti kami juga, dan kepada Nabi, damai atasnya. Perang kami tertuju terhadap komunis, karena mereka mau merampas negeri kami, kemerdekaan kami, kebebasan kami untuk menyembah Tuhan. Untuk itu saya akan berjuang sampai mati." Wartawan itu tinggal di sana dua minggu. Suatu hari, satu kelompok dari sepuluh orang datang membawa sejumlah mortir, beberapa roket antitank hasil rampasan dari Soviet, dimuat di atas punggung-punggung keledai. Mereka sedang berarak menuju ke arah pangkalan tentara Afghanistan, untuk menyerangnya -- dan mengajak Van Dyk ikut. Nah. Pangkalan itu merupakan sebuah benteng empat persegi dari bata, yang didominasi sebuah medan yang datar. "Kami masuk sejauh 500 yar, berlindung dari pandangan di belakang dinding-dinding perkampungan yang ditinggalkan. Orang-orang itu menyiapkan mortir di salah sebuah perkampungan, dan menembakkannya diiringi seruan-seruan Allahu Akbar. Toh di antara waktu-waktu itu mereka masih sempat menjerang air, cerita. Lalu, tank-tank dan pasukan artileri dari dalam benteng menyongsong kami. Peluru-peluru mereka mulai berjatuhan di dekat kami. Kami menyiapkan keledai-keledai yang ketakutan, lalu enyah secepat mungkin. Orang-orang itu tidak pernah memperoleh kesempatan yang baik untuk menggunakan peluru kendali antitank mereka. Sebab tank-tank ternyata tak pernah keluar dari bentengnya." Mallem, penerjemah yang bekas guru sekolah, bercerita bahwa beberapa jam sebelum kedatangan Van Dyk, para mujahidin baru saja mencoba SAM-7 -- yang secara rahasia dibawa dari Mesir melalui Pakistan. Peluru kendali darat-udara buatan Soviet itu, saat di tembakkan melebar menjauhi sasaran sebuah heli -- dan menghantam sisi pegunungan, "membunuh batuan padas. Dua hari kemudian, giliran dua heli bersenjata meriam terbang rendah mencari sasaran. "Kami semua bersembunyi," lapor Van Dyk. Juga meriam antipesawat udara. Mereka takut, jika mereka menembakkan meriam-meriam antipesawat, yang di atas akan tahu -- dan mengakibatkan perkampungan remuk redam. "Semua kami, pagi itu, takut mati." DALAM masa tiga minggu di Afghanistan, wartawan Amerika itu mengaku belum pernah melihat perempuan dalam jarak dekat. Mereka, katanya, segera menghindar atau menyembunyikan muka di balik kerudung yang senantiasa menutupi kepala dan bahu. Di sumur, atau di dekat perapian, ia mencoba menangkap mata mereka --kendati ia sudah dinasihati sebelumnya agar tidak berbicara atau bahkan bertukar pandang. Suatu hari, menjelang senja. Tokoh kita ini sampai di sebuah desa yang tenang. Mereka berlima dipimpin Mallem, yang dengan sukarela bersedia menemaninya kembali ke Pakistan lewat rute lain. Banyak lembu dan ayam berlarian di jalan yang mereka tempuh. Anak-anak menatap dengan pipi yang penuh dan pandangan asing yang terheran-heran. "Komandan setempat menyilakan kami ke perkampungan yang berdinding sekelilingnya. Di dalam, seorang wanita muda sedang menimba air. Ia membuang pandang dan menutup wajahnya, namun aku masih sempat melihat rambutnya yang hitam dan pandangannya yang tajam berbinar. "Ia masih menutup sebagian besar wajahnya, ketika kemudian menyediakan teh untuk kami di dalam. Ia melayani tiap tamu tanpa sekalipun memandang, sementara kami duduk di atas lapik di lantai. Sebuah ayunan tergantung, diayun-ayunkannya ke depan dan ke belakang -- sambil bergerak dengan anggunnya di dalam ruangan -- seperti tanpa suara. Ia menata sejenis taplak untuk makan malam dan membawa kasur kecil untuk kesenangan tamunya. Tuan rumah kami, seorang lelaki tua, menjelaskan bahwa anaknya -- suami wanita itu -- pergi ke Pakistan untuk mengambil konsumsi." Mereka minum susu panas dan makan roti hangat yang baru dibuat petang itu. "Kukatakan kepada si tua, belum pernah aku merasakan roti yang begitu enaknya -- dan kulihat wanita itu tersenyum." Pagi esoknya, sementara yang laki-laki shalat, wartawan kita keluar untuk berbasuh -- dan ia menemukan wanita itu sedang menimba air. "Aku tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Ia menatap dan membalas senyum. Ia memiliki gigi yang bagus, dan matanya bercahaya saat tersenyum. Ia mengambil air dengan maksud hendak menuangkannya ke tanganku. Saat itulah mertuanya muncul di ambang pintu. Perempuan itu buru-buru meletakkan ember, dan menghilang ke dalam rumah. Si tua pura-pura tak melihat. Ia datang mendekat, dan menuangkan air untukku." Beberapa hari kemudian, setelah perjalanan mendaki yang jauh, mereka tiba di sebuah warung teh yang masih utuh. Orang-orang Rusia telah mengebom apa saja yang ada di lapangan terbuka di kawasan perbatasan, dalam usaha memotong arus masuk senjata. Warung teh, dibuat dari batu dan tanah liat, bertengger di sisi gunung setengah tertutup oleh salju. Beberapa unta dan keledai tertambat di dekat kawasan terbuka itu. Para musafir duduk di tikar rumput yang terhampar di tanah yang dingin, dan berita yang tersiar bernada buruk. Heli-heli, dikabarkan terbang rendah di atas kawasan pegunungan terdekat, diduga menyebarkan ranjau. Lempengan-lempengan plastik ukuran setengah telapak tangan itu, mendekati warna daun atau sampah, dalam jumlah ribuan mereka jatuhkan di sepanjang perbatasan yang dilalui kafilah-kafilah pengangkut senjata dan makanan. "Satu kemudian terbawa angin. Lalu terdengar ledakan dari arah lembah. Dan di depan, kami melihat sekelompok orang. Seekor untah roboh yang lain terbaring di sisinya. Yang ketiga berdiri bengong, oleng di atas tiga kakinya." Dua laki-laki memegang unta kedua yang lain menggorok batang lehernya. Dan erangan binatang itu mengisi lembah. "Aku meminta Mallem menembak saja dua unta lainnya. Tapi tidak, itu bertentangan dengan hukum Islam. Mereka harus disembelih." Orang-orang dengan unta-unta itu tidak dapat maju lebih jauh. Masih banyak ranjau yang belum meledak: 20 menit sebelumnya dua orang telah terpenggal kakinya. "Tapi kami harus maju: ada sebuah perkemahan kecil beberapa jam perjalanan, dan di sana kami bisa menginap. Kami menyiasat -- dan mencurigai -- apa saja yang tergeletak di tanah di depan kaki kami: setiap bungkil batu, daun, lembar rumput, yang tiba-tiba saja bisa berubah menjadi ranjau yang meledak. Tiga rekanku berhenti untuk berdoa, dan diam-diam aku menyertai mereka. Di gelap malam itu kami kemudian malah tak dapat melihat jalan. Hingga yang dapat kami lakukan hanya menerimanya: nasib, kehendak Tuhan, apa pun -- dan tetap maju. Jika ia datang, datanglah. Kami kemudian berjalan tak peduli -- bahkan dengan bernyanyi -- melintasi kegelapan malam itu." Dan selamat. *** Van Dyk mengucapkan selamat jalan kepada Mallem di Diram Shah, Pakistan. Mallem meneruskan perjalanan, mengunjungi keluarganya di kamp pengungsian. Sedang si wartawan, dengan menyamar sebagai mujahid yang terluka, diangkut di bak truk Toyota. Lalu setelah istirahat di Hotel Dean, Van Dyk menggaji seorang sopir untuk membawanya ke Islamabad. Dan dari sana terbang ke Quetta, di bagian lain perbatasan Afghanistan -- dinanti seorang kepala suku Afghan yang telah menyediakan dua anak buahnya. Mereka bersiap mengantarkannya kembali ke Afghanistan. Soalnya "aku belum cukup melihat atau terlibat pertempuran," kata si wartawan. Perjalanan itu membutuhkan tiga hari, melintasi padang pasir untuk sampai di daerah Kandahar, 70 mil ke barat laut. Kandahar berpenduduk 200 ribu orang sebelum invasi Soviet. Tapi sejak saat itu banyak yang telah mengungsi ke kamp-kamp di Pakistan. Seperti kota Afghanistan lain, Kandahar juga berada di bawah kekuasaan pemerintah Afghanistan-Soviet. Mereka berhenti di sebuah desa, Mahalajat, beberapa mil di luar kota. Dari sinilah basis-basis gerilya melancarkan serangan malamnya terhadap sasaran-sasaran di dalam Kota Kandahar. Mereka menyebut bentuk serangan ini shubkahoon, yang secara harfiah berarti 'darah di tengah malam'. "Kuingin melihat kota. Dan Gulhan, salah seorang pengiringku, menemaniku ke sana bersama seorang rekannya. Para mujahidin itu menyelipkan masing-masing sepucuk pistol di bawah selimut mereka." Di tepi kota mereka melihat sisa-sisa pertempuran beberapa hari sebelumnya. Rumah-rumah beruntuhan, jejak-jejak tank di tanah, dan selongsong peluru terserak di mana-mana. Ada perempuan dan anak-anak di dalam kereta-kereta yang ditarik kuda, dan beberapa laki-laki naik sepeda. Tak tampak seorang tentara pun, tapi penunjuk jalan menolak meneruskan perjalanan. *** Pukul sembilan pagi, 26 November, Delapan belas orang duduk di lantai kotor yang dingin di rumah bata setinggi 20 kaki, yang biasanya digunakan untuk pengeringan buah anggur. Orang yang ke-19 duduk di salah satu sisi, matanya ditutup: ia dicurigai sebagai mata-mata. Mereka dapat mendengar raungan heli yang berputar-putar di atas kepala sambil menyalakkan senjata Kalashnikov AB Afghanistan dengan dukungan udara Soviet sedang bergerak masuk dari pangkalan udara Kandahar, mencoba menyiram 700 lebih mujahidin yang sedang memusatkan diri di kawasan itu. Ini tampaknya sebuah perang tanding yang tak berimbang: 17 bedil Lee-Enfield, satu senapan mesin, lima granat dan dua roket anti-tank. Yang dilawan: helikopter-helikopter, pasukan infantri yang sedang mendekat, dan entah apa lagi. "Aku duduk mengelonjor bersandar ke dinding, dan mencoba memperhatikan wajah-wajah ini: Ahmad, Sadul, Ismahial, Abdullah, Rahmin, Agha Mohammad, Gulhan . . . masih remaja, sebagian besar. Mereka menatap ke depan, agak menengadah, berdoa, melafalkan ayat-ayat Quran, menghitung-hitung peluru sendiri, melilitkan kembali serbannya untuk meyakinkan keketatan belitannya. Anak 16-an di depanku tampak menggeletar, mengokang-ngokang bedilnya untuk ke-100 kalinya." Seorang laki-laki yang tak diketahui Van Dyk namanya menganjurkan sepucuk bedil kepadanya. "Ambillah" Sang wartawan ragu. "Aku jurnalis, untuk itu aku ke mari." Dan itulah yang dia sebutkan, dengan tangan teracung, jika mereka memaksanya. "Jurnalist! Jurnalist! Observer!" Tapi diambilnya juga bedil itu, dan itu membuat mereka bernapas enteng. "Aku sebagai beban mereka, menjadi berkurang beratnya." Suara dentuman makin mendekat, sementara itu. Ada jawaban juga dari pihak sini. Ahmad, sang komandan, berbicara kepada Gulhan, menyuruhnya menyingkirkan Van Dyk -- supaya aman. Wajah tanpa senyum, perokok berantai berusia 30 ini, beberapa bulan sebelumnya kabur dari pekerjaannya di sebuah perwakilan Departemen P&K di Kandahar. Ia mcmbawa serta keluarganya mengungsi ke Pakistan, lalu ia sendiri bergabung dengan sukunya untuk mengobarkan jihad sabilillah . Pagi itu hanya Gulhan yang memegang senjata otomatis. "Kami menanti beberapa menit, kemudian merangkak melalui ambang pintu. Ke-18 orang itu meninggalkan mata-mata yang dicurigai, sendirian, di sana." MEREKA berlari, membungkuk, dan bertiarap sambil merangkak di antara parit-parit, sejauh 20 yar. Heli berputar-putar di atas kepala, bungkah-bungkah tanah bertemperasan disembur senapan mesin dari langit. Sesuatu -- tembakan meriam artileri atau tank -- memporakporandakan atap-atap rumah dan dinding tanah. Asap, lengkingan peluru, aba-aba, teriakan panik atau yang mengobarkan semangat, campur jadi satu. "Kami merangkak melalui saluran yang dibuat beberapa bulan sebelumnya untuk penanaman anggur. Lima di antara kami terpacak lalu tumbang, saat mencoba memanjati dinding tanah liat setinggi delapan kaki. Kami mencoba membuat lubang dengan popor senapan, tapi tak berhasil." Tiga orang, bergiliran, berhasil memanjati tembok. "Seorang bocah di depanku melemparkan sandalnya ke seberang tembok: lebih gampang memanjat dengan kaki telanjang. Aku turut melemparkan sandalku. Ia berteriak kepadaku agar memanjat lebih dulu: itu memang gilirannya. Aku menyuruhnya duluan, sebab itulah yang lebih aman. Tapi ia menembakkan bedilnya membabi buta dan membentakku agar melompat lebih dulu. Aku menurut. Ia sampai di puncak beberapa detik kemudian, ketika peluru senapan mesin menyobek serata punggungnya." Van Dyk memapah anak itu dan membaringkannya, dibantu seseorang. Wartawan itu lalu melihat ke dalam dirinya: nalurinya yang senantiasa mencoba mengelak dari bahaya, betapa tampak kekanak-kanakan semua itu. Nilai apa yang dapat diberikan terhadap kematian anak itu? renung Van Dyk yang datang dari Barat itu. "Aku telah mendapatkan pertempuranku sendiri, dan aku merasa sakit," tulisnya dengan kedalaman seorang pengarang novel. Pada pukul empat, gelegar-gelugur sudah berhenti -- sedang mereka belum juga sampai ke desa. Mujahidin sudah mencoba mempertahankan tanah tumpah darah mereka. Pasukan Afghanistan mundur, dan dukungan udara pasukan Rusia mengendur. Helikopter dalam formasi empat-empat dan enam-enam masih memperagakan keperkasaannya: meluncurkan roket-roket dan senapan mesin, berputar-putar di atas ketinggian 200 kaki, mengintai, kemudian menukik dan kembali menembak. "Kuikuti Gulhan dari satu dinding ke dinding lain, dari satu semak ke satu semak, mengambil jalan putar -- dan keluar." Mereka tiba di sebuah masjid. Jemaat di sana sedang shalat dan mengucapkan puji-pujian. Gulhan meminta Van Dyk memegangi senapan mesinnya. Ia lalu duduk di gundukan tanah yang kotor, di remang-remang, telanjang kaki. Moncong bedil tua buatan Inggris keluar dari selimut Afghannya dan dua kamera di leher. Sekelompok orang, tua dan anah-anak mengawasinya diam-diam. Kemudian seorang tua yang bertumpu pada tongkatnya mendekat, dan menjabat tangannya. Yang lain bergabung dan melakukan hal yang sama. "Syukur alhamdulillah. Syukur alhamdulillah," kata mereka. Si bule menjawab: Thank you, thank you. Gelap tiba, dan heli-heli laknat itu terbang kembali ke sasarannya. Obor-obor disulut. Yang mati dan luka diangkut dalam tandu-tandu dari tali, ke keluarga masing-masing. Tak seorang berbicara. "Di dalam keheningan, dapat kudengar suara seorang laki-laki menangis diam-diam." Ahmad memimpin perjalanan ke Desa Zarkat di desa ini ia kepalanya. Ia mengetuk sebuah rumah, dan seorang laki-laki muda membuka pintu. Melihat tubuh ayahnya di dalam tandu, ia langsung meraung-raung. Orang-orang membawa tubuh itu ke dalam -- dan tangisan wanita mengiringi raungan si anak. Hal sama dilakukan pada pintu-pintu rumah yang lain. Ratapan mengisi malam di desa itu. Di dalam perang sabil melawan komunis, seorang yang terbunuh dalam pertempuran adalah syahid. "Ia langsung masuk surga," seperti kata Van Dyk, "dosanya di dunia hapus dengan sendirinya." Tapi, "yang mati lari dari pertempuran adalah pengecut. Ia tidak bisa masuk surga ia tidak dikuburkan menurut aturan agama Islam. Ia menjadi hantu, keluarganya terbuang dari pergaulan. Para mujahidin yang meninggal hari itu semua mati syahid -- tapi tak seorang pun tampak riang gembira bahwa ada keluarga mereka pergi langsung ke surga." Tentu saja. Wartawan perang kita dibawa ke semacam guesthouse. Disuguhi susu panas dan roti. Makan dengan lahap, ia lalu tidur dengan lelap. Tapi tiga jam kemudian Gulhan membangunkannya. "Tank. Mari cepat!" VAN Dyk dapat mendengar gelindingan ban suara bajanya yang melindas tanah. Dapat juga terlihat sosoknya di tepi desa, 100 yar jauhnya. Mereka mulai menembak -- dan tiap tembakan yang ketiga adalah tracer -- untuk melihat hasil atau melacak. Cahaya yang silau menerangi angkasa. Itu dilakukan sebagai taktik memaksa gerilyawan keluar dari desa, kemudian menyemburnya di medan terbuka. Kembali Ahmad memikirkan sang wartawan, sebagai yang harus diselamatkan yang pertama-tama. Ia lalu memutuskan menjauhkan Van Dyk dari arena pertempuran. Seorang tua, melihat orang asing itu telanjang kaki, memberikan sandal karetnya. Lalu perjalanan dari satu desa ke lain desa dilakukan mereka -- Ahmad, Gulhan, Sadul dan Van Dyk. Bertiarap begitu nyala tembakan menerangi angkasa, mencoba menghindar dari garis sasaran atau jangkauan tembak. Mereka menemukan banyak kelompok lasykar bersenjata dalam perjalanan mereka menyongsong medan. Menjelang dinihari, mereka sampai ke desa yang jauh dari jangkauan pertempuran. Ahmad, yang buta huruf, mendiktekan sebuah surat kepada Gulhan -- yang akan menjadi pengiring Van Dyk kembali ke Pakistan. Surat tertuju kepada kepala suku mereka di Quetta. Ahmad mengharapkan komandannya selamat sejahtera, tapi ia tampak sedih. Dua hari melawan tentara dengan persenjataan modern agaknya berharga cukup mahal. "Kirimi kami sesuatu yang lain, di samping senjata-senjata tua Inggris ini. Bedil-bedil kaliber 303. Kami membutuhkan senjata otomatis. Tanpa senjata jenis lain saya tak tahu apa yang akan kami terima sebagai akibatnya." Demikian surat itu. Van Dyk lalu bercerita tentang apa yang didengarnya di Peshawar. Sekelompok gerilyawan telah menyeberangi Sungai Amu Darya ke wilayah Soviet. Mereka menyerang pos perbatasan dan membunuh dua orang. Seminggu kemudian, heli-heli datang dan membumi-hanguskan daerah seluas 50 mil persegi. Gulhan menerjemahkannya, dan kamar itu menjadi senyap. "Ya," kata Ahmad. "Jika kita memiliki persenjataan yang lebih baik, orang-orang Rusia mungkin akan datang dengan lebih banyak serdadu dan lebih banyak heli. Lebih banyak di antara kita akan mati. Tapi kita harus membayar mereka dengan harga yang tinggi. Kita tak dapat mengharap kemenangan secara militer terhadap orang-orang Rusia. Kita harus meraih kemenangan moral. Itu satu-satunya harapan kita. Untuk itu kita harus membunuh, dan terbunuh." Mereka berangkat malam harinya -- Gulhan, seorang pemandu, dan Van Dyk sendiri -- memakai dua unta. Rangkul-merangkul terjadi, diiringi salam perpisahan. Tapi dua jam kemudian langit kembali semarak dengan cahaya -- dan terasa derap pasukan artileri. "Pemandu menolak meneruskan perjalanan, dan kami pulang kembali." Hari berikutnya mereka mencoba kembali. Sambil menunggu unta-unta disiapkan, "aku mendengarkan suara seruling yang ditiup seorang anak usia tujuh tahun. Suala kesepian, suara kesedihan, suara keterpencilan -- seperti juga kawasan ini." Ketika mereka hendak berangkat, seorang perempuan tua, yang sudah dua hari memperhatikan lelaki asing itu, datang menghampiri dan berkata kepada Van Dyk: "Semoga malaikat membantu menyelamatkanmu." Nenek itu menggenggamkan dua butir telur rebus ke tangannya. *** Malam lebih gelap dari biasanya. Awan menutupi bulan. Dari jarak 200 yar mereka sudah dapat melihat sosok desa itu. Anjing-anjing mengumandangkan kedatangan mereka. Gulhan menyuruh Van Dyk tak bersuara, sampai ia yakin benar di pihak mana penduduk desa itu berdiri. Katanya, kaum komunis telah menyogok penduduk -- seperti pernah dilakukan penjajah Inggris dulu. Van Dyk mengunci mulut saat mereka memasuki pagar desa. Tapi unta yang ditungganginya mengkhianatinya -- ia sudah duduk saat wartawan AS itu belum siap. Dan, "ketika aku bangun dari mandi debu, jelas bagi siapa pun bahwa aku bukan salah seorang dari mereka," tulisnya. "Mengapa tak kau bunuh saja orang ini, yang jelas-jelas orang Rusia?" kata seorang penduduk setempat. Saat itu mereka sudah duduk di sebuah rumah dan dilayani minum teh dan roti hangat. "Mengapa dibawa ke Pakistan?" Gulhan menceritakan, si bule itu orang Amerika. "Setelah itu mereka tak membiarkan kami pergi," cerita Van Dyk. Malah memaksanya menerima sepasang sandal, mengobati lecet di kakinya, dan memberikan lebih banyak bawang yang dimasak di dalam minyak -- entah apa namanya makanan itu -- ketimbang yang lain. PERJALANAN diteruskan esok harinya: melintasi bermil-mil pasir merah yang seolah tanpa akhir. Di sana-sini helikopter berterbangan di atas kepala, untuk menyiasat. Jet-jet Soviet mengguruh di ketinggian. Lalu pesawat berbaling-baling berputar melebar dalam kecepatan lambat. Rombongan musafir itu bertambah dengan sejumlah orang lain -- termasuk pelarian dari AB Afghanistan. Malamnya, pasir mendingin. Melingkari perapian, mereka mendengar dentang-denting lonceng kecil. Dan dari kegelapan muncul kafilah unta yang panjang, membawa anak-anak dan perempuan. Ada pula muatan berupa selimut, poci, dan tandu-tandu berbingkai kayu. Suara lembut seorang laki-laki terdengar: "Assalamualaikum." Segera berjawab. Kemudian mereka lenyap, meneruskan perjalanan. Mereka orang-orang Kuchi, suku pengembara di luar masyarakat kesukuan Afghan. Esok paginya rombongan Van Dyk menemui perkemahan mereka di suatu tempat. Para wanita pada mengangkat muka. Di sini tak takut menatap. Dua malam kemudian, dengan penerangan sinar bulan, mereka melintasi rentangan akhir padang pasir itu. Ada patroli pasukan lapis baja, menurut penggembala, tapi di luar perbatasan. Pada pukul dua dinihari mereka melintasi pos perbatasan Pakistan, dan memasuki jalan utama Chaman yang benderang. Dua anggota polisi bertanya: dari mana? Seseorang menjawab tenang: "Dari Kandahar." Para hamba wet itu meneruskan patroli. "Kulihat anggota rombongan satu per satu: hitam, berjanggut panjang, kotor, kelaparan. Dan aku tergelak. Ah, semua telah berakhir neraka sudah lewat. Aku membungkuk untuk mencium leher untaku." Seorang penjaga toko menyediakan sebuah loteng untuk tempat tidur mereka. Paginya, Gulhan keluar dan kembali dengan sebuah taksi, yang akan membawa mereka ke Quetta. Hari telah terang benar. "Kami minum teh bersama, kemudian saling jabat tangan dan berangkulan. Yang lain melambai, ketika mereka berdua dibawa taksi pergi. Aku melambai kembali sampai mereka benar-benar tak tampak lagi." Van Dyk kemudian menulis alinea akhir tulisannya begini: "Hampir setahun berlalu. Perjuangan berlanjut. Koran-koran memberitakan, seorang jenderal Soviet tewas ketika helinya terpaksa mendarat di dekat Khost. Mungkin Jalaluddin dan orang-orangnya menemukan bekasnya." Dan berseru: Allahu Akbar!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus