Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyelidikan skandal pajak Asian Agri Group berhenti di peran manajer pajak, Suwir Laut.
Pengusutan keterlibatan direksi anak-anak perusahaan Asian Agri Group tak kunjung rampung.
Surat Edaran Mahkamah Agung dituding menghambat proses gugatan pajak.
BERKAS putusan itu terbit pada 18 Desember 2012. Majelis hakim kasasi yang dipimpin Djoko Sarwoko bersepakat memvonis bersalah Manajer Pajak Asian Agri Group Suwir Laut. Ia dihukum dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun dan membayar denda sebesar Rp 2,5 triliun. “Itu putusan yang aneh,” ujar kuasa hukum Suwir Laut, Mohamad Assegaf, 6 Februari 2021.
Putusan ini menganulir vonis bebas yang dibuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Suwir sebelumnya. Kasus megaskandal pajak di Tanah Air ini mendakwa Suwir merekayasa dokumen pajak Asian Agri dan anak-anak perusahaan.
Vonis terhadap Suwir merupakan bagian dari rangkaian panjang kasus pidana perpajakan yang ditelisik Kejaksaan Agung bersama Direktorat Jenderal Pajak sejak 2007. Penyelidikan kasus itu mengusut 12 anggota staf dan direksi Asian Agri. Mereka ditengarai berkomplot mengotak-atik laporan pajak perusahaan. Modus yang dilakukan berupa pembuatan transaksi fiktif, transfer pricing, dan transaksi lindung nilai (hedge).
Delapan tahun setelah putusan kasasi dikeluarkan, kelanjutan skandal pajak Asian Agri berjalan di tempat. Berkas penyidikan 11 tersangka lain tak kunjung tuntas. Kejaksaan tak kunjung menuntaskan perkara anggota staf dan direksi Asian Agri lain yang sebelumnya diduga terlibat.
Beberapa di antaranya berinisial EL, LR, BK, WT, LA, ST, dan AN. Assegaf merasa perlakuan Kejaksaan tak adil. “Klien saya itu hanya pegawai kecil. Kenapa beban itu sebesar itu harus ia tanggung sendiri? Bagaimana dengan pertanggungjawaban perusahaan?” ucap Assegaf.
Otak-atik faktur pajak anak-anak perusahaan Asian Agri Group ditaksir merugikan negara hingga Rp 1,25 triliun. Jumlah ini diperoleh berdasarkan hitungan Direktorat Jenderal Pajak yang diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Fuad Rahmany saat masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menghadiri sidang putusan sengketa pajak PT Asian Agri Group di Pengadilan Pajak, Jakarta, Rabu, 5 November 2014/TEMPO/STR/M. Iqbal Ichsan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilai kerugian itu yang digunakan majelis hakim kasasi saat menjatuhkan hukuman denda. Merujuk pada Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), denda yang dijatuhkan kepada para pelanggar pajak besarnya paling sedikit dua kali lipat dari nilai pajak yang digelapkan.
Belakangan, kelompok bisnis Asian Agri bergotong-royong mencicil denda yang diputuskan Mahkamah Agung. Pembayaran denda sebesar Rp 2,5 triliun lunas pada 17 September 2014. Pembayaran ini juga membebaskan Suwir dari dinginnya terungku. Penahanan Suwir dianggap gugur lantaran Asian Agri sudah membayar denda Rp 2,5 triliun dalam periode hukuman yang sudah ditentukan pengadilan.
Mantan kuasa hukum Asian Agri, Yusril Ihza Mahendra, membenarkan adanya pembayaran itu. Menurut dia, pembayaran denda sebesar Rp 2,5 triliun sudah disetor dengan cara dicicil.
Opsi pembayaran dengan mencicil disepakati setelah Yusril berunding dengan Jaksa Agung kala itu, Basrief Arief.
Apalagi pemerintah sempat mengancam akan menyita perkebunan dan perkantoran milik Asian Agri senilai Rp 5,3 triliun jika menolak membayar denda. Belakangan, diketahui Asian Agri ternyata menggadaikan sertifikat aset-aset bangunan dan tanahnya ke Credit Suisse Bank di London.
Tim Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung terbang ke London untuk menelusuri dan berupaya menyita sertifikat tersebut. “Peran Jaksa Agung ketika itu sangat penting,” ujar mantan Direktur Jenderal Pajak, Ahmad Fuad Rahmany.
Meski sudah melunasi denda, Ditjen Pajak kembali menggugat Asian Agri. Kali ini, pemerintah mendaftarkan gugatan perdata senilai Rp 1,9 triliun terhadap Asian Agri di Pengadilan Pajak.
Jumlah ini dihitung dari pokok pajak Asian Agri dalam perkara sebelumnya yang berjumlah Rp 1,25 triliun, plus denda sebesar 48 persen. Hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat 5 Undang-Undang KUP. Pasal ini membolehkan Ditjen Pajak menggugat pokok pajak yang terdapat di pidana pajak yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Gugatan di pengadilan pajak itu semula dimenangi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam perjalanannya, Asian Agri diminta membayarkan pokok pajak sebesar Rp 1,9 triliun sesuai dengan gugatan. Meski uang disetor ke kas negara, Asian Agri mendaftarkan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
MA mengabulkan permohonan Asian Agri dan membatalkan putusan Pengadilan Pajak pada 2015. Majelis hakim agung yang diketuai Hari Djatmiko tersebut menolak penerapan Pasal 13 ayat 5 yang menjadi landasan gugatan perdata Ditjen Pajak.
Majelis hakim berpendapat penerapan pasal tersebut memunculkan proses pemidanaan ganda (nebis in idem). Hakim menilai kewajiban pembayaran pokok pajak dianggap selesai bersamaan dengan pembayaran denda. Ketika dimintai konfirmasi soal putusan ini, juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, mengaku belum bisa memberikan penjelasan.
Alih-alih mendapat tambahan pajak, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan putusan PK Asian Agri justru menimbulkan kerugian negara. Karena memenangi gugatan, pemerintah harus mengembalikan uang Rp 1,9 triliun yang sudah disetor Asian Agri saat persidangan berjalan.
Nilai pengembalian berubah menjadi Rp 2,8 triliun. Undang-Undang mengamanatkan pengembalian uang harus disertai dengan bunga. Artinya, Asian Agri mendapat untung hampir Rp 1 triliun dalam perkara ini. Pengembalian uang masih tertahan karena Ditjen Pajak melawan PK dengan mendaftarkan lagi permohonan PK ke MA.
Menteri Keuangan Sri Mulyani tak merespons permohonan wawancara Tempo terkait dengan gugatan itu. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama pun enggan mengomentari upaya hukum PK yang tengah diajukan pihaknya. Ia mengaku terikat dengan sumpah jabatan yang melarang pemberian informasi terkait dengan wajib pajak. “Silakan ikuti proses pengadilan dan putusannya nanti,” katanya.
Yusril Ihza Mahendra./TEMPO/STR/Prima Mulia
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leornard Eben Hezer Simanjuntak tak menanggapi surat permohonan wawancara hingga Sabtu, 6 Februari lalu. Head Common Service Asian Agri Hadi Susanto juga tak merespons permintaan wawancara Tempo.
Kepala Subbidang Kehumasan Kejaksaan Agung Mohamad Isnaeni juga irit bicara. “Saya belum mendapat penjelasan dari staf Jaksa Agung Muda Pidana Umum ihwal lanjutan penyidikan perkara tersebut,” ujarnya.
Pemerintah berpotensi kalah banyak. Pada 27 November 2019, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2019 yang ditandatangani Ketua MA kala itu, Hatta Ali. Surat ini menyebutkan tak boleh ada PK terhadap PK putusan kasus pajak. Ketentuan itu merujuk pada Pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Pasal ini menyebutkan permohonan PK hanya dapat diajukan satu kali kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan pajak.
Surat edaran itu juga menganulir penerapan Pasal 13 ayat 5 Undang-Undang KUP. MA menilai penyelesaian perkara seharusnya dilakukan sebelum dilakukannya tindakan hukum perpajakan. MA berpendapat seorang wajib pajak tak boleh menjalani proses hukum setelah menjalani pidana pajak.
Seorang mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak menilai surat edaran itu melampaui kewenangan Mahkamah Agung. Menurut dia, ketentuan dalam Pasal 13 ayat 5 Undang-Undang KUP tidak bisa dianulir hanya dengan surat edaran MA.
Doktor di bidang hukum ini mengatakan pencabutan atau penafsiran pasal dalam undang-undang hanya boleh dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. “MA hanya berwenang mencabut dan memberi penafsiran untuk aturan di bawah undang-undang,” ucapnya.
RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo