Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Industri makanan minuman skala menengah dan besar menyatakan masih kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku gula.
Izin impor belum menjawab tuntutan pasokan gula rafinasi berkualitas tinggi.
Sejumlah pengusaha dikabarkan mengurungkan rencana ekspansi usaha.
NIAT mengaktifkan kembali Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi mencuat di kalangan pelaku usaha pada awal Februari 2021. Tiga wadah industri, yakni Asosiasi Industri Minuman Ringan, Asosiasi Industri Pengolahan Susu, serta Asosiasi Pengusaha Industri Kakao dan Cokelat Indonesia, bersepakat menghidupkan forum yang sempat dorman ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagasan itu menguat karena sejumlah perusahaan anggota tiga asosiasi tersebut sedang menghadapi masalah yang sama: kekurangan pasokan gula rafinasi, bahan baku produk mereka. “Pasokan bahan baku gula mampet karena perusahaan terdekat yang biasa memasok tak kunjung mendapat izin impor gula mentah untuk diolah menjadi gula rafinasi,” kata Koordinator Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi Dwiatmoko Setiono, Sabtu, 6 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dwi, beberapa perusahaan makanan dan minuman, terutama di Jawa Timur, kekurangan bahan baku gula. Bos pabrik pengolahan cokelat PT Sekawan Karsa Mulia itu mengatakan persoalan lebih pelik dihadapi industri yang menggunakan gula rafinasi berkualitas premium, dengan tingkat kejernihan dan kemurnian hingga 99,9 persen, untuk menghasilkan produk berkualitas. Industri penghasil produk makanan bayi, biskuit, dan susu sereal adalah contoh yang membutuhkan pasokan gula rafinasi berkualitas tinggi seperti itu. Industri rafinasi pada umumnya menggunakan standar 99,75 persen.
Pada akhir Januari lalu, Kementerian Perdagangan mengeluarkan izin impor gula mentah sebanyak 1,9 juta ton untuk diolah menjadi gula rafinasi yang dibutuhkan industri. Izin diberikan kepada sebelas perusahaan anggota Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia. Mereka adalah PT Angels Products, PT Dharmapala Usaha Sukses, PT Berkah Manis Makmur, PT Makassar Tene, dan PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Duta Sugar International, PT Jawa Manis Rafinasi, PT Medan Sugar Industry, PT Andalan Furnindo, PT Sentra Usahatama Jaya, dan PT Sugar Labinta.
Truk pengangkut berisi gula curah milik PT Kebun Tebu Mas yang akan dikirim ke PT Indolakto, pada Maret 2019. Foto: kemenperin.go.id
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan penerbitan izin impor itu sesuai dengan rekomendasi Kementerian Perindustrian. “Apa kata rekomendasi yang dikasih Kementerian Perindustrian saya teken. Enggak saya potong, enggak saya tambah, meskipun bisa saya potong dan tambah,” ujar Lutfi kepada Tempo.
Dwiatmoko enggan menyebut nama perusahaan gula rafinasi pemasok beberapa pabrik makanan dan minuman di Jawa Timur yang tak kebagian jatah impor gula mentah. Tapi sejumlah sumber yang mengetahui bisnis importasi gula ini mengungkapkan bahwa PT Kebun Tebu Mas salah satunya. Beroperasi sejak 2015, pabrik gula di Lamongan, Jawa Timur, ini memang tak hanya memproduksi gula kristal putih untuk konsumsi rumah tangga, tapi juga gula kristal rafinasi buat industri.
Kementerian Perindustrian pernah merilis Kebun Tebu Mas sebagai pemasok gula rafinasi untuk pabrik kental manis PT Indolakto di Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur. Pengiriman perdana ke anak perusahaan PT Indofood itu diresmikan Airlangga Hartarto pada 16 Maret 2019. Saat itu Airlangga masih menjabat Menteri Perindustrian. Perusahaan juga memasok gula rafinasi ke PT Coca-Cola Indonesia dan PT Nestle Indonesia.
Pasokan gula rafinasi untuk ketiga perusahaan makanan dan minuman itu berupa gula cair (sugar syrup) atau gula dalam tangki (sugar tanker) kemasan 30 ton. Produksi gula dalam bentuk cair atau pengiriman melalui tanker itu, pada 2017, menjadi solusi yang disepakati pemerintah dan industri antara lain untuk mencegah penjualan gula industri ke konsumen rumah tangga. Gula rafinasi yang umumnya berbentuk kristal dalam kemasan karung 50 kilogram dianggap kelewat mudah merembes ke pasar tradisional.
•••
INDOLAKTO, Nestle, dan Coca-Cola membangun lini produksi baru di pabrik mereka yang berada di Jawa Timur. Fasilitas berteknologi canggih itu disiapkan untuk menyambut masa industri 4.0 yang digalakkan Kementerian Perindustrian era kepemimpinan Airlangga Hartarto—kini Menteri Koordinator Perekonomian. Perusahaan-perusahaan itu menggelontorkan dana investasi hingga ratusan miliar rupiah untuk meng-upgrade pabrik mereka dengan infrastruktur berteknologi tinggi.
Untuk menyesuaikan diri dengan perubahan pasokan bahan baku dari gula kristal rafinasi dalam karung ke gula tanker, misalnya, seorang pebisnis bercerita, pemasok dan penerima sama-sama kudu memperbarui teknologi. Armada tanker khusus gula disiapkan agar gula, yang bersifat higroskopis, tak lembap, lalu memadat.
Karena gula cair yang dikirim menggunakan tangki 30 ton, industri penerima harus memiliki infrastruktur penampung berukuran jumbo (silo). Di fasilitas ini, terdapat mesin yang akan mengisi secara otomatis jika bahan baku gula cair habis terpakai setiap empat jam. “Perlu teknologi khusus juga untuk mengeluarkan gula dari tangki, lantas memasukkanya ke silo, tanpa orang. Semua proses higienis,” kata pengusaha tersebut. “Mahal ini.”
Pelaku industri meyakini pola pengiriman bahan baku seperti itu paling efisien kendati memerlukan modal awal cukup tinggi. Dari sisi pemasok, memasok gula cair berarti tidak perlu mengkristalkan gula. Raw sugar cukup diolah sampai menjadi gula cair dengan kekentalan tertentu.
Demikian pula dari sisi pabrik pengguna, mereka bisa langsung menggunakan gula cair. Umumnya, pabrik makanan dan minuman harus memanaskan dulu bahan baku gula kristal rafinasi agar bisa menggunakannya dalam bentuk gula cair. Proses ini menghabiskan listrik yang tidak sedikit.
Pengiriman produk dalam karung kemasan 50 kilogram selama ini juga tak murah. Industri pemasok dan pengguna, misalnya, perlu mengemasnya dalam karung-karung berukuran kecil. Mereka juga harus mempekerjakan kuli untuk mengangkat gula ke palet atau menuangkan gula. “Pengiriman gula cair tidak ada losses. Gula enggak kontak dengan orang, jadi lebih higienis,” tutur pengusaha tersebut.
Semua inovasi dan pembaruan teknologi itu memang dibuat demi efisiensi. Hanya dengan efisiensi industri pengguna gula rafinasi bisa menghasilkan produk yang harganya kompetitif, terutama jika berhadapan dengan produk sejenis dari luar negeri. “Tantangannya berat di saat industri pun sedang berjuang memulihkan keadaan,” ucap Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan Triyono Prijosoesilo.
Masalahnya sekarang adalah ketidakpastian pasokan bahan baku gula rafinasi. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia Danang Girindrawardana mengaku telah mendengar keluhan dari sejumlah pelaku usaha perihal pampatnya pasokan gula rafinasi. Beberapa pengusaha, kata dia, bahkan menyatakan rencana menunda ekspansi usaha akibat persoalan ini. “Kalau pemerintah tak memperbaiki kebijakan, bukan hanya investasi baru, investasi yang telah ada (existing) pun bisa melayang,” tutur Danang, Kamis, 4 Februari lalu. Dia menolak mengungkapkan pengusaha-pengusaha tersebut.
Kondisi itu dianggap mengkhawatirkan lantaran sektor industri makanan dan minuman selama ini menjadi andalan untuk menopang pertumbuhan ekonomi 2021. Kementerian Perindustrian mencatat, sepanjang triwulan III 2020, industri makanan dan minuman menjadi penyumbang terbesar produk domestik bruto nasional, yakni sebesar 7,02 persen. Sektor ini juga memberikan nilai ekspor tertinggi dalam kelompok manufaktur, yakni US$ 27,59 miliar pada Januari-November 2020. Adapun dari sisi investasi, industri ini mendatangkan Rp 40,53 triliun pada Januari-September 2020.
•••
PONTANG-PANTING industri makanan dan minuman akibat kekurangan pasokan bahan baku gula telah terjadi sejak awal November 2020. Kala itu, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono mengaku menerima surat dari sejumlah perusahaan. “Ada dari Wings Food, Indofood, dan lain-lain,” ujar Susiwijono ketika itu.
Kepada pemerintah, para pelaku industri makanan dan minuman itu menyampaikan kekhawatiran mereka mengenai menipisnya pasokan bahan baku gula kristal rafinasi menjelang akhir tahun. Mereka meminta pemerintah segera mengabulkan permintaan izin impor gula mentah bagi pabrik gula rekanan pemasok gula rafinasi.
Pada saat hampir bersamaan, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) meminta pemerintah segera membahas stok gula rafinasi yang menipis. Mereka khawatir seretnya pasokan akan menurunkan produktivitas sektor industri makanan dan minuman nasional. Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman menyatakan juga menerima informasi dari para pemasok gula rafinasi yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia bahwa stok minim, hanya cukup hingga Januari 2021.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian Supriadi memastikan jaminan bahan baku bagi industri pangan menjadi salah satu perhatian pemerintah. Ketersediaan bahan baku, baik dari dalam negeri maupun impor, akan dibahas berdasarkan neraca komoditas. Neraca ini akan dibuat dengan melibatkan semua kementerian dan lembaga, dari hulu hingga hilir, di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian.
Pada akhir pekan lalu, suara Gappmi berubah. Di tengah kabar pontang-pantingnya sejumlah industri menanti kepastian pasokan bahan baku, Adhi Lukman justru mengatakan, “Sudah selesai.” Ia mengungkapkan, pemerintah telah mencarikan solusi sehingga stok kebutuhan produksi bisa dipenuhi.
Rekomendasi Kementerian Perindustrian, bahkan izin impor gula mentah dari Kementerian Perdagangan, telah terbit. Tapi Indolakto, Nestle, Coca-Cola, dan sejumlah industri skala besar dan menengah lain dikabarkan masih puyeng mencari pasokan sugar syrup dan sugar tanker. “Belum ada,” kata Dwiatmoko Setiono.
RETNO SULISTYOWATI, AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo