Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konglomerat Sukanto Tanoto diam-diam membeli gedung bersejarah di Muenchen, Jerman, seharga Rp 6 triliun lewa perusahaan cangkang di Luksemburg.
Pembelian pada Juli 2019 ini terjadi hanya beberapa bulan setelah Uni Eropa menyetujui pengurangan bertahap penggunaan minyak sawit dalam skema biodiesel di Eropa pada 2030, karena khawatir memicu deforestasi.
Putra Tanoto, Andre, juga membeli bangunan ikonik di Düsseldorf senilai Rp 800 miliar, menggunakan struktur perusahaan cangkang serupa di Luksemburg.
BANGUNAN berkelir krem itu berdiri persis di pertigaan Jalan Ludwigstrasse dan Theresientrasse, pusat Kota Muenchen, Jerman. Terdiri atas empat lantai, Ludwigstrasse 21—nama gedung itu—berdiri sejak abad ke-19, ketika Raja Ludwig I dari Kerajaan Bavaria masih berkuasa. Kini gedung bersejarah itu menjadi salah satu pusat perkantoran perusahaan multinasional yang amat prestisius.
Luas kompleks gedung mencapai 27 ribu meter persegi. Terdapat kafe rooftop dan aula di tengah bangunan yang kerap digunakan untuk berbagai acara. Selama bertahun-tahun, Boston Consulting Group berkantor dan menghuni hampir dua pertiga gedung. Pemilik gedung itu sebelumnya, Allianz Versicherungs AB, juga tercatat sebagai penyewa di sana. “Sudah seratus persen terisi penyewa,” demikian penjelasan perusahaan pengelola gedung, KanAm Grund Real Estate Asset Management Gmbh, di situsnya.
Pada 3 September 2019, KanAm mengumumkan Ludwigstrasse 21 dan empat bangunan lain di kompleks yang sama telah dijual ke Pacific Eagle. Rilis mereka hanya menyebut Pacific Eagle adalah “sebuah perusahaan milik keluarga di Singapura”. KanAm berperan sebagai konsultan manajemen aset dan investasi untuk transaksi tersebut.
Lokasi bangunan berarsitektur neoklasik dan renaisans itu disebut sangat strategis karena berdekatan dengan semua fasilitas bisnis utama di Muenchen. “KanAm menjadi penasihat bagi Pacific Eagle untuk menemukan properti yang cocok bagi mereka,” ujar Head of Communications and Sales KanAm Grund Group Michael Birnbaum kepada wartawan Süddeutsche Zeitung, Senin, 1 Februari lalu. Gedung Ludwigstrasse 21 adalah pilihan kedua Pacific Eagle. Properti pertama yang ditawarkan KanAm ditolak karena dinilai “terlalu kecil”.
Pada akhir tahun lalu, kolaborasi liputan investigasi antara majalah Tempo, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), dan koran Süddeutsche Zeitung menemukan jejak taipan kelapa sawit dan bubur kertas asal Indonesia, Sukanto Tanoto, di balik pembelian aset bernilai jumbo tersebut. Nilai transaksi ini mencapai 350 juta euro atau setara dengan Rp 6 triliun. Penandatanganan akta jual-beli berlangsung pada 26 Juli 2019.
Harga pembelian itu terhitung fantastis. Sebagai gambaran, sebuah hotel bintang empat yang terdiri atas 201 kamar dan luas bangunan 11 ribu meter persegi di pusat bisnis Muenchen dijual seharga 70 juta euro, atau hampir mencapai Rp 1,2 triliun. Nilainya sekitar 6.300 euro tiap meter persegi. Sementara itu, Sukanto Tanoto membeli Ludwigstrasse 21 dengan harga hampir 13 ribu euro per meter persegi. Sejumlah data menunjukkan bahwa transaksi ini merupakan pembelian properti dengan nilai terbesar di Jerman pada 2019.
“Besar kemungkinan, otoritas di Jerman tidak mengetahui identitas pemilik baru gedung itu. Sebab, pembelian melalui perusahaan cangkang biasanya tidak mewajibkan nama pemilik diungkapkan. Ketaatan terhadap aturan antipencucian uang di sektor nonfinansial di Eropa sangat rendah, terutama di Jerman,” ujar Maira Martini, pakar Transparency International di bidang kebijakan dan riset soal korupsi.
Penelusuran atas data dan sejumlah sumber mengungkap transaksi pembelian gedung Ludwigstrasse 21 dilakukan secara berlapis, melalui setidaknya tiga yurisdiksi: negeri suaka pajak seperti Luksemburg dan Kepulauan Cayman, serta Singapura.
Nama Sukanto Tanoto sendiri muncul setelah OCCRP mengindeks dan menganalisis data dari sistem registrasi pemilik utama (ultimate beneficial owners/UBOs) di Luksemburg. Sejumlah dokumen di sana menunjukkan bahwa KanAm Grund Group mendirikan dua perusahaan di Luksemburg: KanAm Grund REAM Lux 4 Sarl dan KanAm Grund REAM Lux 5 Sarl pada Juni 2019.
Kedua perusahaan ini berubah nama dan kepemilikan saham pada 23 Juli 2019, tiga hari sebelum proses jual-beli Ludwigstrasse 21. Nama keduanya menjadi Adler Pacific Holding Sarl dan Adler Pacific Investments Sarl. Adler Pacific Holding merupakan pemilik saham di Adler Pacific Investments.
Dalam situs registrasi perusahaannya, otoritas keuangan Luksemburg menyebutkan dengan gamblang bahwa pemilik utama Adler Pacific Holding dan Adler Pacific Investments adalah Sukanto Tanoto. Ini sebenarnya tersirat dari pemilihan nama perusahaan itu. Dalam bahasa Jerman, “adler” berarti burung rajawali, nama yang kerap digunakan di berbagai perusahaan milik Sukanto.
Untuk membeli gedung Ludwigstrasse 21, Sukanto Tanoto menggunakan bendera Adler Pacific Investments. Kedua perusahaan diduga sengaja dibentuk untuk membeli gedung Ludwigstrasse. KanAm tak membantah hal ini. “Kesepakatan semacam ini sudah sesuai dengan hukum yang berlaku di Luksemburg,” ujar Birnbaum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kayu yang baru dicacah untuk dijadikan Dissolving Wood di dalam Kompleks PT Toba Pulp Lestari, 28 November 2019./Indonesialeaks
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data yang sama menunjukkan kepemilikan Adler Pacific Holding dikuasai Pacific Resources SG Pte Ltd yang berbasis di Singapura. Adapun pemilik saham mayoritas Pacific Resources adalah Pacific Resources Real Estate Fund Limited yang didirikan di Kepulauan Cayman, juga sebuah negeri suaka pajak. Di atasnya, pemilik saham perusahaan itu adalah Boardwalk PTC, yang sama-sama dibentuk di Kepulauan Cayman. Tak ada data yang menunjukkan keterkaitan Sukanto Tanoto dalam perusahaan-perusahaan itu karena otoritas di Singapura dan Kepulauan Cayman tak menyediakan informasi tersebut untuk publik.
Namun ada sejumlah petunjuk yang bisa mengaitkan struktur perusahaan-perusahaan cangkang itu dengan kerajaan bisnis Royal Golden Eagle (RGE) yang bergerak dalam industri kelapa sawit dan bubur kertas milik Sukanto Tanoto.
Pertama, Pacific Resources berkantor di 80 Raffles Place #50-01 UOB Plaza, Singapura, yang juga merupakan kantor pusat RGE Group. Tak hanya itu, dua Direktur Pacific Resources juga menduduki posisi strategis di RGE. Ang Hui Tiong, Direktur Pacific Resources pada 2019, pernah menjabat sejumlah posisi direktur di RGE dan 13 perusahaan lain yang berkaitan dengan Sukanto. Adapun Yong Ho Hsiang, pengganti Hui Tiong di Pacific Resources sejak 2020, juga menjabat posisi direktur di enam anak perusahaan RGE Group.
Jejak Sukanto Tanoto juga terendus di Pacific Resources Real Estate Fund Limited, pemilik Pacific Resources di Kepulauan Cayman. Sejumlah dokumen menunjukkan direktur perusahaan itu, Ng Yat Lung, juga menjabat direktur sebuah anak perusahaan milik RGE di Hong Kong.
Anggota direksi perusahaan yang terlibat dalam transaksi pembelian gedung Ludwigstrasse 21 juga menjabat sejumlah jabatan strategis di kerajaan bisnis Sukanto Tanoto. Direktur Adler Pacific Holding dan Adler Pacific Investments, Kian Lee Soon, misalnya, juga menjabat direktur utama di Pacific Eagle Asset Management.
Soon mencantumkan jabatannya itu di profil akun Linkedin pribadinya. Pacific Eagle Asset Management merupakan sayap bisnis RGE yang turut dikelola putri Sukanto Tanoto, Imelda Tanoto.
• • •
TEMPO berupaya meminta konfirmasi mengenai transaksi pembelian Ludwigstrasse 21 dan mengirimkan sejumlah pertanyaan lain melalui surat ke kantor Royal Golden Eagle di Jalan Teluk Betung, Jakarta Pusat. Surat yang sama dikirimkan ke nomor akun WhatsApp putra bungsu Sukanto, Anderson Tanoto, yang juga menjabat Managing Director RGE Group. Surat permintaan konfirmasi juga dikirimkan ke alamat e-mail RGE dan kantor perusahaan tersebut di Singapura. Namun hingga Sabtu, 6 Februari lalu, semua permintaan wawancara itu belum mendapatkan respons.
Asal-usul uang Rp 6 triliun yang digunakan Sukanto Tanoto untuk membeli kompleks gedung Ludwigstrasse 21 memang belum jelas hingga saat ini. Menurut majalah Forbes, Sukanto Tanoto, 71 tahun, merupakan salah satu orang terkaya Indonesia yang ditaksir memiliki harta pribadi senilai Rp 19 triliun pada 2020. Nilai RGE Group sendiri saat ini ditaksir sudah mencapai US$ 20 miliar.
Sukanto Tanoto dalam World Economic Forum di Davos, Swiss, Januari 2016./twitter.com/@sukantotanototf
Kekayaan Sukanto Tanoto bukan tanpa cela. Nama perusahaannya kerap menghiasi media massa akibat isu kerusakan lingkungan, sengketa pajak, dan konflik dengan masyarakat adat.
Dihubungi sejak akhir tahun lalu, sejumlah petugas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memastikan pemerintah tidak mengetahui aksi Sukanto Tanoto membeli gedung bersejarah di Muenchen tersebut. Tapi Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti informasi ini. “Mohon disampaikan kepada kami secara lengkap dan jelas disertai bukti atau dokumen pendukung agar dapat ditindaklanjuti,” ujarnya.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae juga mengatakan pihaknya tak mengendus pembelian gedung Ludwigstrasse 21. “Bila pembelian properti itu dilakukan secara normal, dan lewat rekening para pihak di dalam negeri, transaksi tersebut akan terekam PPATK,” katanya.
• • •
PEMBELIAN Ludwigstrasse 21 oleh perusahaan yang diduga milik Sukanto Tanoto terjadi hanya beberapa bulan setelah Uni Eropa menyetujui pengurangan bertahap penggunaan minyak sawit dalam skema biodiesel di Eropa pada 2030. Kebijakan ini dipicu kekhawatiran soal makin parahnya deforestasi akibat ekspansi perkebunan sawit, salah satunya di Indonesia.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat ekspor produksi crude palm oil (CPO) sawit menurun dari 3,72 juta ton pada Desember 2019 menjadi 2,39 juta ton pada Januari 2020. Namun ekspor salah satu turunan kelapa sawit, oleokimia, naik hingga 22,9 persen pada 2020. Oleokimia bisanya digunakan sebagai bahan dasar sabun, kosmetik, dan lain-lain.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono yakin ekspor turunan sawit dari Indonesia tetap akan menjadi primadona di pasar Eropa. Joko mengatakan negara-negara di Uni Eropa mengimpor minyak sawit sebesar 8,6 juta ton tiap tahun. Sebagian berasal dari Indonesia.
Hal itu dibenarkan Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia Edi Sutrisno. Menurut dia, kabar soal pengalihan aset perusahaan sawit Indonesia ke Eropa sangat kencang dalam beberapa tahun ini. “Mereka melakukan shifting di industri hilir ke Eropa, khususnya bisnis biodiesel,” ucap Edi.
Dokumen perjanjian jual-beli Gedung Ludwigstrasse 21 oleh Adler Pacific Investments S.a.r.l./OCCRP
Peralihan itu, Edi menjelaskan, juga dilakukan Royal Golden Eagle (RGE) Group. Lewat anak perusahaannya, Apical, RGE disebut akan berekspansi ke bisnis biodiesel secara besar-besaran di Eropa. “Kami sudah mendengar RGE akan meluaskan bisnisnya ke Jerman sejak beberapa waktu lalu,” kata Edi. Namun dia tak bisa memastikan kabar itu terkait dengan pembelian properti Ludwigstrasse 21.
Aktivis Transparency International Indonesia, Ferdian Yazid, menilai Sukanto Tanoto dan RGE seharusnya melaporkan pembelian gedung Ludwigstrasse 21 ke lembaga berwenang di Indonesia. “Para pengusaha cenderung tak melapor ke Kantor Pajak jika transaksinya dilakukan melalui perusahaan cangkang,” tuturnya.
Selama ini, sejumlah perusahaan Sukanto Tanoto dikenal kerap kucing-kucingan dalam urusan pajak. Pada akhir tahun lalu, Forum Pajak Berkeadilan, koalisi lembaga swadaya masyarakat tentang tata kelola keuangan sektor sumber daya alam, melaporkan adanya dugaan praktik pengalihan keuntungan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)—anak usaha Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL Group).
Dalam laporan berjudul “Mesin Uang Makau” itu, mereka menduga kedua perusahaan mengubah kode ekspor produk pulp larut (dissolving wood pulp) demi mengurangi nilai pajak. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,9 triliun. Laporan itu sudah dikirim ke Kementerian Keuangan pada November 2020. “Kami mengharapkan pemerintah mengevaluasi perusahaan-perusahaan seperti ini,” ucap Mouna Wasef, peneliti Auriga Nusantara yang tergabung dalam koalisi.
Asian Agri Group (AAG), perusahaan lain milik Sukanto Tanoto, juga pernah diterpa megaskandal rekayasa faktur pajak. Sebanyak 14 perusahaan di bawah AAG dituding melaporkan harga jual sawit di bawah harga pasar ke Kantor Pajak selama bertahun-tahun. Pengadilan Pajak akhirnya memutuskan Suwir Laut, Manajer Pajak AAG, bersalah. AAG membayar denda Rp 2,5 triliun ke kas negara pada 17 September 2014.
Seorang pengacara ternama di Jerman mengatakan rekam jejak Sukanto Tanoto dan perusahaan-perusahaannya seharusnya menjadi catatan penting bagi otoritas keuangan dan investasi di Muenchen. “Seharusnya, perusahaan pembeli gedung Ludwigstrasse 21 tidak lolos audit untuk membeli properti di Muenchen,” ujarnya.
Yang menarik, pembelian gedung itu ternyata bukanlah yang pertama. Sebulan sebelum jejaring RGE membeli gedung Ludwigstrasse 21, putra sulung Sukanto, Andre Tanoto, membeli bangunan berarsitektur modern di Kota Dusseldorf, Jerman. Nilai pembelian mencapai 47,6 juta euro atau setara dengan Rp 809 miliar. Proses pembeliannya pun sama, yakni menggunakan berbagai perusahaan cangkang di Luksemburg.
Transparency International memperkirakan setidaknya ada 30 triliun euro “uang haram” dari berbagai bisnis dunia masuk ke sektor properti Jerman pada 2017. Financial Intelligence Unit di Jerman bahkan mensinyalir pertumbuhan investasi dari dana ilegal meningkat hampir 50 persen setiap tahun.
Sejak November 2019 lalu, pemerintah Jerman akhirnya menetapkan aturan baru yang mewajibkan tiap notaris dan agen properti melaporkan transaksi yang dinilai janggal. Kementerian Keuangan Jerman juga sudah menyiapkan hukuman denda bila transaksi tersebut terbukti bagian dari praktik pencucian uang.
Direktur Netzwerk Steuergerechtigkeit, lembaga sipil yang meneliti kejahatan pajak, Chris Trautvetter meragukan para agen properti akan melaporkan transaksi yang dicurigai karena kepentingan bisnis yang besar. “Transaksi pembelian gedung Ludwigstrasse 21 sudah bisa dipastikan sebagai transaksi yang mencurigakan,” ucapnya. “Namun otoritas di Indonesia yang harus memastikan legalitasnya.”
Mustafa Silalahi, Riky Ferdianto, Linda Trianita, Martin Young (OCCRP), Hannes Stepputat (Süddeutsche Zeitung)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo