Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketenangan masyarakat adat Sihaporas dan dusun-dusun di sekitarnya terusik sejak kedatangan PT Toba Pulp Lestari.
Penduduk mengklaim sudah berada di lahan sengketa sebelum Indonesia merdeka.
Sejumlah warga dipenjara setelah melawan perusahaan.
APA pun yang terjadi di Muenchen, Jerman, tampaknya tak akan berpengaruh banyak bagi kehidupan warga Desa Sihaporas di Kecamatan Pamatangsidamanik, Simalungun, Sumatera Utara. Terpisah jarak nyaris 10 ribu kilometer, kabar bahwa Sukanto Tanoto membeli gedung mewah senilai Rp 6 triliun di daratan Eropa tak sampai ke telinga warga di pelosok Porsea, Kabupaten Toba.
Padahal hidup warga Desa Sihaporas terkait erat dengan sepak terjang salah satu perusahaan milik Sukanto Tanoto, PT Toba Pulp Lestari. Sejak Toba Pulp mendapat konsesi penguasaan hutan seluas lebih dari 180 ribu hektare di Tapanuli Utara pada 1992, ketenangan masyarakat adat Sihaporas dan dusun-dusun di sekitarnya terusik. Mata pencarian mereka terganggu dan ritual adat mereka tak lagi bermakna.
Buat kehidupan Jonny Ambarita, dampak keberadaan Toba Pulp Lestari bahkan jauh lebih tragis. Pria setengah baya yang juga pemuka adat Sihaporas ini harus rela menghabiskan sembilan bulan di balik terali besi gara-gara konflik komunitas adatnya dengan perusahaan Sukanto. Dia baru dibebaskan pada April tahun lalu. “Padahal kami hanya ingin hidup tenang di tanah warisan leluhur,” katanya.
Peristiwa bermula pada 16 September 2019 ketika Jonny dan belasan warga Sihaporas berencana menanam jagung di Buttu Pengaturan—sebutan untuk hutan adat yang turun-temurun mereka warisi. Lahan itu sudah dikuasai Toba Pulp dan menjadi bagian dari kebun eukaliptus yang ditanam perusahaan itu. Bentrokan tak terelakkan.
Kericuhan meletus ketika karyawan Toba Pulp dan sejumlah petugas keamanan perusahaan tersebut berusaha mencegah kegiatan warga. Mereka mendatangi kumpulan warga yang sibuk mencangkul di lahan itu. “Ketika satu warga kami dipukul, saya berteriak, berusaha melerai,” ujar Jonny saat mengenang insiden hari itu. Emosi warga adat makin meluap setelah melihat seorang anak balita terkulai di tengah cekcok itu.
Keesokan harinya, penduduk melaporkan pemukulan yang mereka alami ke Kepolisian Resor Simalungun. Didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak dan penasihat hukum dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), mereka meminta polisi memproses insiden tersebut secara hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Desa Sihaporas saat ditemui Tempo, Januari 2021./TEMPO/ Mei Leandha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa mereka ketahui, Toba Pulp melakukan hal serupa: mengadukan warga Sihaporas sebagai pelaku kekerasan. Mudah ditebak, polisi mendahulukan laporan Toba Pulp. Hari itu juga, sebelum sempat menyelesaikan proses pengaduan, Jonny Ambarita langsung ditangkap dan dijebloskan ke tahanan. Pemuka adat yang lain, Thomson Ambarita, yang menemani Jonny, juga ditahan. Karena tak mau menandatangani surat penangkapan, Jonny mengaku kepalanya sempat dipukul dengan popor senjata.
Penangkapan Jonny dan Thomson membuat aksi warga sedikit surut. Apalagi aparat keamanan kemudian rajin datang ke Desa Sihaporas, berpatroli keliling memantau situasi dengan membawa senjata. “Warga kami ketakutan, banyak yang tak berani pulang,” tutur Jonny dengan suara tersendat. “Saya juga khawatir sekali kepada nasib kawan-kawan di desa.”
Dalam persidangan, meski tak ada bukti langsung yang bisa mengaitkan Jonny dan Thomson pada aksi kekerasan yang diadukan Toba Pulp Lestari, majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun tetap menjatuhkan vonis bersalah terhadap keduanya. Pada pertengahan Februari 2020, Jonny dan Thomson dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta mereka dibui 18 bulan.
• • •
BENTROKAN pada September dua tahun lalu terjadi hanya dua bulan setelah perusahaan cangkang yang terafiliasi dengan Sukanto Tanoto membeli properti jembar di Muenchen, Jerman. Meski Toba Pulp Lestari tak terkait langsung dengan kelompok usaha Royal Golden Eagle (RGE), keduanya sama-sama dimiliki keluarga Tanoto.
Toba Pulp Lestari menolak semua tuduhan warga Sihaporas. Mereka punya versi berbeda mengenai kronologi bentrokan tersebut. “Kelompok itu yang mulai menanam secara ilegal pada lahan konsesi perusahaan tanpa ada komunikasi musyawarah,” ujar Anwar Lawden, Corporate Secretary PT Toba Pulp Lestari Tbk, dalam jawaban tertulisnya.
Dalam bagian lain jawabannya, Anwar Lawden menegaskan bahwa Toba Pulp bersedia berdialog untuk mencari solusi atas perselisihan kepemilikan tanah yang terjadi di area konsesinya. Dia juga membenarkan bahwa izin Toba Pulp berada di atas kawasan hutan negara. “Sampai saat ini perusahaan belum mengetahui adanya hak atas tanah yang dimiliki oleh pihak yang mengakui sebagai masyarakat Desa Sihaporas,” katanya.
Kepentingan warga adat Sihaporas diwakili Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras). Mereka bagian dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Klaim wilayah hutan adat mereka sudah mendapat sertifikat dari Badan Registrasi Wilayah Adat, sebuah lembaga pemetaan yang didirikan AMAN.
“Jauh sebelum Indonesia merdeka, opung kami, Mamontang Laut Ambarita, sudah merantau dari Samosir ke Sihaporas,” ucap Wakil Ketua Lamtoras Oppu Morris Ambarita. Dengan fasih dia menceritakan batas-batas kampung dan hutan adat mereka. “Ambarita di timur berbatasan dengan Negeridolok, lalu di sebelah barat dengan Sipolhak,” tuturnya. Oppu Morris kemudian menunjukkan lokasi-lokasi ritual adat yang biasa dilakukan komunitasnya dan tempat leluhurnya dimakamkan.
Sama seperti adiknya, Jonny, Oppu Moris dijebloskan ke bui akibat perjuangannya menuntut pengakuan atas wilayah adat Lamtoras. Pada 2004, dia didakwa menduduki lahan perusahaan tanpa izin. Istrinya terkena serangan stroke setelah hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara untuk Oppu Morris.
“Saya sempat ditawari keringanan asalkan saya mengakui hutan itu bukan tanah adat kami,” katanya mengenang. Oppu menolak iming-iming itu. “Saya takut dikutuk leluhur,” ujarnya pendek. Menurut kepercayaan orang Batak, Oppu Morris menjelaskan, tanah leluhur sangat berharga karena tulang-belulang nenek moyang ada di sana.
Tak hanya Lamtoras yang sampai kini masih berjuang. Sejumlah komunitas adat lain di area konsesi Toba Pulp menuntut hal serupa. Salah satunya adalah Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan Dolokparmonangan, yang bertetangga dengan Lamtoras. Dua hari setelah bentrokan yang membuat Jonny Ambarita ditangkap polisi, komunitas Dolokparmonangan melakukan aksi yang sama.
“Kami menanam jagung dan ubi di lahan yang dikuasai Toba Pulp,” ucap Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Adat Dolokparmonangan. Meski tak terjadi kericuhan seperti yang dialami kerabat mereka di desa sebelah, Sorbatua tetap dipanggil polisi. Sampai sekarang, sudah lima kali surat panggilan dilayangkan. Tapi Sorbatua memilih tidak datang ke kantor polisi. Dia takut mendadak ditahan seperti Jonny dan Thomson.
Yang membuat warga Sihaporas terus bertahan adalah keinginan untuk kembali melaksanakan ritual adat yang mereka yakini. Setiap tahun, warga juga menggelar upacara untuk memuliakan pencipta alam yang dinamakan Patarias Debata Mula Jadi Nabolon. Dalam ritual itu, warga harus mempersembahkan ikan khas di sana yang dikenal dengan nama “ihan batak”.
Semua ritual itu merupakan identitas kultural yang mereka warisi turun-temurun. Sekarang, ihan batak tak ada lagi setelah sungai-sungai surut dan hutan berganti menjadi hutan eukaliptus. Upacara besar itu hanya bisa diadakan empat tahun sekali karena tak ada biaya. “Sebelum perusahaan itu datang, kampung kami jauh lebih sejahtera,” ujar Jonny.
MEI LEANDHA (TAPANULI UTARA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo