TAIPEI, 21 Agustus 1983. Pagi yang lembab dan gerah. Begitu
lembab dan gerahnya sehingga lelaki itu tidak mengenakan
rompinya yang tahan peluru. Hanya setelan safari berwarna krem,
pakaian yang juga dikenakannya waktu berangkat dari Manila dalam
perjalanan pengasingan, tiga tahun silam. Pada baju itu terdapat
tanda 'BSA' - singkatan Benigno Servillano Aquino.
Kini, hampir tiga bulan lewat sejak pemimpin oposisi Filipina
itu terbunuh di pintu gerbang tanah airnya sendiri. Kematian
yang mengguncangkan dan penuh selingkuh. Tetapi baru belakangan
ini catatan perjalanan maut itu dinukilkan kembali, kebetulan
oleh orang yang sangat terlibat, Ken Kashiwahara. Ken adalah
koresponden kantor berita ABC, Australia, yang berpangkalan di
San Francisco, Amerika Serikat. Dan dia adalah suami Lupita,
adik perempuan Ninoy. Penuturan berikut ini terjemahan asli dari
catatan Kashiwahara itu, yang dituliskannya dalam majalah The
New York Times 16 Oktober.
* * *
Kami meninggalkan Grand Hotel, Taiwan, menuju lapangan terbang
pada pukul 9.30 pagi waktu setempat. Pesawat China Airlines itu
akan berangkat pukul 11.00. Di luar dugaan, perjalanan sangat
lancar. Pukul 10.10 kami sudah tiba di bandar udara
internasional Chiang Kai-shek.
Tapi kenyataan ini tidak menyenangkan Ninoy. Ia ingin melewati
boardinggate pada menit-menit terakhir, dengan harapan orang
tidak punya banyak waktu untuk mengenalinya. Karena itu, mobil
kami perintahkan berputar-putar di sekitar airport.
Sebelum itu, pagi-pagi, seorang sahabat sudah mengurus tiket dan
paspor kami. Ninoy memperhitungkan, di lapangan udara Manila ia
akan dijemput para petugas yang akan menggiringnya langsung ke
penjara. Karena itu, barang-barangnya memakai label dengan nama
saya.
Saya menemui sahabat itu di tengah keriuhan bandar Taipei. Ada
kenyataan yang tidak menyenangkan: sebuah pesawat Philippine
Airlines juga akan meninggalkan lapangan Chiang Kaishek tepat
pada jam yang sama. Dengan hati berdebar saya mengamati keadaan
sekitar, mencoba menyidik kalau-kalau ada wajah yang
mencurigakan.
Sekitar pukul 10.30 Ninoy menghampiri terminal. Dan kami
bergerak menuju pos imigrasi. Ketika itulah saya melihat dua
lelaki dengan perlengkapan walkie-talkie. Petugas keamanan !
Mereka memperhatikan Ninoy - bahkan menudingnya.
Tapi kami tak mengalami kesulitan melewati pos imigrasi. Ninoy
memakai paspor dengan nama Marcial Bonifacio. Tetapi, segera
setelah melewati pos, dua "petugas keamanan" tadi menggiring
Ninoy ke sebuah sudut. Saya panik. "Inilah saatnya," pikirku .
"la telah dikenali."
Saya bergegas ke sana, dan mendapati Ninoy tenang-tenang saja.
Bahkan tersenyum. "Itu tadi komandan garnisun Taiwan," katanya.
"Mereka ingin meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja. Coba
bayangkan: seorang jenderal. Tapi ada yang sangat aneh. Mereka
mengatakan menerima pesan PhilippineAirlines pagi ini. Mereka
diminta memperhatikan keselamatanku ."
"Kalau begitu, pemerintahan Marcos sudah tahu," kata saya.
"Boleh jadi." Ninoy tidak kelihatan gusar.
Ia memang mencoba merahasiakan rute perjalanan pulang ini -
kecuali untuk beberapa sahabat, sanak saudara, dan belasan
wartawan. Saya sendiri menyertainya bukan sebagai orang pers,
melainkan ipar meskipun, ya, mungkinkah fungsi wartawan
dikesampingkan?
Ketika kami tiba di dalam pesawat, para wartawan yang sudah
masuk lebih dulu memperlihatkan isyarat lega. Ninoy menempati
kursi nomor 14 C, saya kursi 14 B. Saya tidak bisa tenang
sebelum pesawat tinggal landas. Sebuah pengumuman yang
menyebutkan penundaan keberangkatan selama sepuluh menit, tanpa
keterangan lebih lanjut, membuat saya berdebar. Seorang
koresponden televisi yang duduk di kelas satu mendatangi kami.
Ia menerangkan, pesawat ditunda karena seorang awak terlambat
masuk. Toh akhirnya China Airlines dengan nomor penerbangan 811
itu tinggal landas - sekitar pukul 11.15. Begitu roda-roda
Boeing 767 lepas dari runway, Ninoy tersenyum. "Well, we made if
! " katanya.
* * *
Saya mengenal penantang Presiden Ferdinand E. Marcos yang paling
terkenal itu, pertama kalinya, enam tahun lalu. Saya duduk di
kamar yang hingardi Fort Bonifacio, menyaksikan mahkamah militer
yang mengadilinya. la didakwa memiliki senjata gelap, membunuh,
dan melakukan tindak subversi .
Meski tampak kurus dan lemah - ia kehilangan berat badan 40
pound selama disel seorang diri sejak 1972, dan hampir mati
melakukan puasa 40 hari memprotes pengadilan militer yang
dikenakan pada perkaranya Ninoy ketika itu tidak kehilangan
kelancaran bicara dan daya tariknya yang terkenal. Saya meliput
pcrkara itu untuk cerita hak-hak asasi manusia di jaringan
kantor berita ABC.
Kami bertemu kedua kalinya pada 1980. Aquino dilepaskan dari
penjara untuk menjalani pembedahan jantung di Dallas, dan saya
sedang merencanakan perkawinan dengan adiknya, Lupita. Kemudian,
selama tiga tahun pengasingannya di Amerika Senkat, saya
menemukan kenyataan bahwa Ninoy dalam kehidupan pribadi tidak
berbeda dengan Ninoy yang dikenal umum.
la terbuka. Ia menikmati kehadiran para sahabat, pendukung,
wartawan, dan tiap kesempatan untuk mendiskusikan berbagai
peristiwa terakhir. Setelah para tamu pulang, dan dia sendirian
lagi bersama sanak saudaranya, percakapan selalu berkisar pada
masalah internasional, khususnya problem-problem yang sedang
dihadapi Filipina.
Ingatannya fotografis! la mampu mengutip kejadian politik dan
ekonomi berbagai negeri yang luput dari perhatian orang lain. Ia
pembaca buku yang rakus. Dan, karena selama di penjara kelaparan
ini bisa dipuasi, pengetahuannya semakin luas.
Ia pembicara yang tabah, baik secara bermuka-muka maupun melalui
telepon. Karena itulah, setiap ia bermalam di rumah kami, Lupita
dan saya sepakat memindahkan telepon ke kamarnya.
Sejak tahun-tahun awal kariernya, tak ada kesangsian pada
seorang pun anggota clan Aquino bahwa Ninoy mewarisi darah
politik yang diturunkan ayah dan kakeknya. Sang kakek, Jenderal
Servillano Aquino, adalah seorang insurrecto termasyhur yang
berjuang melawan Spanyol, dan kemudian Amerika pada pergantian
abad. Ayah Ninoy, Benigno S. Aquino Sr., adalah senator, ketua
parlemen, dan anggota kabinet.
Ninoy sendiri seorang underkind - anak ajaib - di panggung
politik Filipina. Sebagai seorang wartawan muda dan utusan
Presiden Ramon Magsaysay, ia masuk ke hutan pedalaman Luzon dan
membujuk Luis Taruc, pemimpin gerilyawan komunis Hukbalahap,
untuk menyerah. Pada usia 22, ia wali kota termuda Concepcion,
kampung halamannya. Dan pada usia 28, ia gubernur termuda
Provinsi Tarlac.
Di masa jabatan gubernur itulah keturunan salah satu keluarga
tertua Filipina ini menikah dengan Corazon Cojuangco, putri
pemilik Hacienda Luisita, ladang tebu seluas 18 ribu acre,
sejumlah bank, dan beberapa real estate. Di masa itulah, seraya
mengumumkan dirinya sebagai "orang kaya radikal", Ninoy membagi
-bagi tanah pertanian keluarga Aquino, juga tanah yang dibelinya
sendiri, dan memberikannya kepada para petani dan kaum buruh.
Pada usia 34 Ninoy senator termuda di Filipina. Ketika Marcos
menangkapnya, tak ada yang sangsi bahwa Ninoy-lah sebenarnya
calon presiden negeri itu. Beberapa jam setelah penangkapan,
Ferdinand Marcos memberlakukan undang-undang darurat.
Ninoy telah berhasil mengatasi masa pemenjaraan yang tidak bisa
dibilang singkat. Ia selamat dari ancaman hukuman mati yang
dijatuhkan mahkamah militer pada 1977, tak lain berkat imbauan
internasional yang membuat pemerintahan Marcos menunda keputusan
itu. Ninoy pun telah melewati pembedahan jantung dengan sehat
walafiat.
Ia kemudian masuk Univesitas Harvard dan Institut Teknologi
Massachusetts. Di sana ia memberikan ceramah, belajar, dan
menulis tentang peralihan damai dari kediktatoran ke demokrasi,
sembari menyerang rezim Marcos. Ia berkeliling dunia untuk
mencari jalan keluar politik bagi negerinya. Berjumpa dengan
para pembangkang Filipina, para pemimpin pemberontakan
bersenjata Islam dari Filipina Selatan yang sedang mengasingkan
diri, dan pihak-pihak yang menang dan kalah dari beberapa
revolusi yang silam.
Keyakinannya tercermin dalam buku yang belum rampung ditulisnya:
Filipina Demokrasi atau Kediktatoran. Di situ ia menyimpulkan,
perjuangan di Filipina adalah "antara mereka yang dikuasai
'efisiensi' otoriterisme dan mereka yang percaya bahwa
demokrasi, dengan segala cacat dan inefisiensinya, merupakan
harapan terbaik manusia untuk kebaikan dan kemajuan." la
mengatakan, "Rasa keadilan manusia membuat demokrasi menjadi
mungkin, tetapi ketidak adilan manusia membuat demokrasi menjadi
penting."
Kendati Aquino terkurung dan terbuang selama sebelas tahun,
sebagian besar orang - di dalam dan di luar Filipina - yakin,
orang ini merupakan harapan terbesar bagi kelahiran kembali
demokrasi di tanah airnya. Ia sendiri menilai, tindakan pulang
kampung sebagai langkah penting dan mendesak. Ekonomi Filipina
sedang ambruk. Begitu pula, konon, keadaan kesehatan Marcos.
Sementara itu, kaum oposisi terpecah-belah. Sejumlah tokoh
moderat sedang berpaling ke kelompok kiri bersenjata. Filipina
sekarang menjadi medan gerilyawan aktif terluas di seantero Asia
Tenggara Pada 1972, kekuatan para gerilyawan ditaksir sekitar
500, beroperasi di beberapa front, dengan sekitar 100 ribu
pendukung. Tahun lalu, jumlah gerilyawan itu diperkirakan sudah
ribuan, beroperasi di 45 front, dan mempunyai pendukung paling
tidak satu juta.
Ninoy menilai Marcos, dengan wewenangnya yang penuh terhadap
militer, merupakan kunci peralihan damai ke demokrasi dan
sebelum semuanya terlambat, ia ingin meyakinkan sang presiden
untuk melepaskan kekuasaannya yang otoriter dan melakukan
pembaruan nasional yang sangat penting.
Ia yakin, bila Marcos melihat risiko yang diambil Ninoy dengan
kembali ke tanah air - risiko dipenjarakan, bahkan dihukum mati
- presiden itu akan percaya betapa sungguh sungguhnya ia dalam
hal rujuk nasional itu. Ninoy khawatir, bila sewaktu-waktu
Marcos meninggal atau tak lagi mampu berkuasa, pertarungan
kekuatan akan terjadi dan itu akan menuju kepada kepemimpinan
militer atau konflik bersenjata.
Sekitar Mei 1983, Ninoy memutuskan untuk pulang. Keperluannya di
Institut Teknologi Massachusetts sudah berakhir, dan ia menilai
semua yang harus dikerjakannya di Amerika Serikat sudah
terlaksana. Banyak sahabat, rekan politik, dan sanak saudara
yang mengkhawatirkan keamanannya - menyarankan kepadanya agar
membatalkan rencana itu. Tetapi begitu ia mengambil keputusan
yang pasti, mereka berdiri di belakangnya.
Tujuan jangka pendek Ninoy ialah mengorganisasikan kaum oposisi
Filipina untuk menghadapi pemilihan anggota parlemen, Mei 1984.
Ini memerlukan paling tidak empat bulan untuk persiapan dan
empat bulan lagi untuk kampanye. Rencana itu hanya mungkin
terlaksana bila ia pulang Agustus 1983. Ia sendiri tidak
berharap naik ke posisi puncak. Dengan kaki tangan Marcos yang
berhak menghitung hasil pemilu, iayakin sang presiden tidak akan
mungkin digulingkan secara politik. Tapi ia percaya dapat
memotong dukungan keuangan yang selama ini diterima Marcos .
Ia sendiri suka berpemeo, "Rumput sedang kering yang dibutuhkan
hanya sepercik api." la percaya bisa membuat Marcos mengeluarkan
biaya sangat besar untuk memenangkan pemilihan itu - demi
melawan kampanye oposisi yang juga akan dilakukan besar-besaran.
Menurut perkiraan Ninoy, dari sumber luar negeri saja ia akan
berhasil mengumpulkan Rp 1 milyar.
Pada awal Juli, Ninoy merencanakan pulang 7 Agustus. Bertepatan
dengan hari Minggu, hari libur, sehingga bisa diharapkan para
mahasiswa dan kaum buruh menyambutnya di pelabuhan udara Manila
- semacam unjuk kekuatan. Ia ingin membuat peristiwa itu
mengesankan, untuk mempertontonkan kepada dunia bahwa kelompok
oposisi Filipina siap memasuki perjuangan politik. Dan bahwa
rakyat tidak lagi tertarik kepada Marcos .
Pengumumannya pada bulan Juli itu segera mengawali ketegangan di
antara pihak-pihak yang bermusuhan di dunia politik Filipina.
Mulanya, beberapa pejabat pemerintah tampak senang mendengar
berita itu. Pada 3 Juli, misalnya, Menteri Pertahanan Juan Ponce
Enrille menyatakan kepada seorang pemimpin oposisi: tidak ada
dasar hukum untuk memenjarakan Ninoy bila ia pulang. Marcos,
demikian konon kata Enrille, sudah mengeluarkan perintah
membebaskan Aquino dari penjara untuk menjalani pembedahan
jantung di Amerika Serikat. Dan perintah itu belum diubah.
Seorang pejabat kementerian kehakiman menyatakan pula, hukuman
mati untuk Aquino sudah dibekukan begitu ia berangkat ke
Amerika. Bahkan seorang pemimpin oposisi bilang, Marcos tidak
akan memenjarakan Ninoy begitu tokoh ini menjejakkan kaki di
tanah air. Langkah terhadapnya baru akan ditentukan setelah
kunjungan Presiden Ronald Reagan yang dijadwalkan November 1983.
Tetapi pada 19 Juli, pemerintah Filipina tampak mengambil
strategi lain. Dalam sebuah kunjungan ke Amerika Serikat, Imelda
Marcos menemui Ninoy. Ia menjanjikan perpanjangan paspor lawan
politik suaminya itu, dan karenanya mendesak Ninoy untuk
mengajukan permohonan dokumen perjalanan ke konsulat Filipina di
New York. Tetapi, ternyata, permohonan itu ditolak. Mereka
berdalih, dinas rahasia militer berhasil membongkar rencana
pembuhunan atas diri Aquino. Rencana itu, kata mereka, disusun
oleh sanak saudara korban pembunuhan politik yang pernah
didalangi Ninoy. Ia diminta menunda rencana pulang barang
sebulan, sementara agen-agen pemerintah "menetralisasikan" para
calon pembunuh.
Ninoy merasa tidak pernah memerintahkan membunuh siapa pun.
Karena itu, ia menganggap keterangan pemerintah Filipina itu
"tidak masuk akal". Ia berspekulasi: Marcos mulai tidak
rasional.
Optimisme Ninoysurut. Ia mulai mempertimbangkan untuk mengajak
rombongan wartawan dalam perjalanan pulang. Ia melihat tindakan
ini sebagai semacam langkah keamanan . "Hanya para wartawan yang
bisa melindungi aku bila terjadi sesuatu," katanya.
Ia mulai memperhitungkan berbagai kemungkinan. "Bila aku pulang
secara diam-diam, mungkin Marcos akan lunak," katanya sekali
waktu . Ia sendiri memang tidak terlalu mengharapkan kelunakan
itu. Tetapi ia membayangkan semacam penahanan rumah, yang
membuatnya masih mampu mengorganisasikan kekuatan oposisi,
bahkan mungkin berbicara dengan Marcos. Bila ia ditahan di
penjara, dan sendirian, kemungkinan itu sama sekali tertutup. la
berspekulasi, mungkin saja pemerintah Filipina akan
memperkarakannya lagi untuk urusan "pembunuhan" yang dulu itu.
Ia menyimpulkan, alasan "pembunuhan" itu memang dikarang Marcos
untuk mencegah kepulangannya. Dalam pertemuan bulan Mei 1983 itu
sendiri, Imelda Marcos berusaha membatalkan niat Ninoy tersebut.
"Marcos," demikian ujar kupu-kupu besi itu, "bakal tak mampu
lagi menguasai tindakan kelompok tertentu dalam
pemerintahannya." Imelda menjanjikan bisnis untuk Ninoy, bila ia
sudi tinggal terus di Amerika Serikat. Ninoy, dengan cara yang
sopan, menolak.
* * *
Tanpa dokumen perjalanan yang sah, orang buangan itu mulai
memperhitungkan beberapa kemungkinan. Pemerintahan Marcos sudah
mengancam semua perusahaan penerbangan dengan pencabutan izin
mendarat bila mereka mengangkut "penumpang tanpa surat-surat
sah" ke Filipina. Dengan demikian, Ninoy terpaksa menggunakan
paspor palsu. Dan ia sudah memilikinya, dua buah. Sebuah dibeli
di Timur Tengah, dengan nama Marcial Bonifacio. Sebuah lagi
berupa paspor blangko, yang sudah ditulisinya dengan namanya
yang asli .
Pada 31 Juli 1983, Marcos melempar isyarat berikutnya. Ia
mencairkan berlakunya hukuman mati bagi Aquino. Mendengar ini,
Ninoy 'murung kembali. Tetapi rencana pulang pada 7 Agustus
tidak dibatalkan, dan Ninoy mulai memperhitungkan penerbangan
dengan Korean AirLines (KAL) dari New York ke Seoul, dengan
sambungan ke Manila.
Semua penerbangan yang dimasukkannya ke dalam perhitungannya itu
akan mendarat di Manila antara pukul 11.00 dan pukul 100 tengah
hari, Minggu. Lima pesawat akan mendarat kemudian, dan kesibukan
di bandar udara akan membantunya menghindari orang yang mungkin
mengenalinya. Atau, paling tidak, akan mengacaukan para petugas
keamanan mengenai pesawat yang sesungguhnya ditumpanginya.
Namun, pada 2 Agustus, rencana itu berantakan. Ninoy menerima
kawat dari Menteri Pertahanan Enrille, " ... kami yakin ada
usaha yang mengancam keselamatan Anda ... kami harap Anda
mengundurkan rencana pulang ke Filipina, paling tidak untuk
sebulan ...."
Enrille adaJah seorang ahli hukum, dan Ninoy terpengaruh oleh
kata-katanya. "Apa salahnya diundurkan?" katanya pada petang 2
Agustus itu. "Toh tidak ada hal ajaib pada 7 Agustus. Mengapa
aku harus mendesak mereka? Kalau aku memaksakan keinginanku,
mungkin mereka malahan berusaha membuktikan ancaman itu."
Ninoy menimbang untung ruginya penundaan. Di satu pihak, ia
barangkali kehilangan momentum yang baik, yang telah
dipersiapkan para pendukungnya. Di lain pihak, kalau penundaan
itu memang berhasil mencapai tujuan - meyakinkan Marcos akan
pentingnya perubahan politik - apa salahnya?
Beberapa pemimpin oposisi langsung kecewa akan pengunduran itu.
Toh akhirnya mereka setuju. Dan sang tokoh menentukan saat
terakhir. Minggu, 21 Agustus. Tanggal ini bertepatan dengan
sebulan dua hari setelah tibanya berita tentang sebuah percobaan
pembunuhan yang konon akan dilancarkan atas dirinya. Komite
penyambutan yang dibentuk kaum oposisi langsung mencatat tanggal
itu sebagai kepastian.
Ninoy mulai menebak-nebak alasan di belakang permintaan
pemerintah untuk menunda kepulangan itu 'satu bulan'. Mungkin
hanya sebuah dalih untuk menolak. Setelah masa satu bulan
berakhir, bisa saja Marcos meminta penundaan sebulan lagi, lalu
sebulan lagi, hingga akhirnya Presiden Reagan menyelesaikan
kunjungan ke Filipina. Sementara itu, kesehatan Marcos sendiri
bakal terus menurun sampai pada tingkat yang memerlukan
pembedahan.
Pada 5 Agustus, pemerintah menambahkan bumbu baru pada berita
burung yang sedang beredar. Koran The New York Times melaporkan,
seorang pejabat pemerintah Filipina mengatakan bahwa Presiden
Marcos sedang "memencilkan diri tiga minggu" untuk menulis dua
buku. Ninoy agak terkejut mendengar ini. "Demi Tuhan, apa
sebetulnya yang sedang terjadi?" katanya. "Mengapa ia harus
memencilkan diri tiga minggu untuk menulis buku?"
Kegelisahan itu ditambah oleh berita yang diterimanya melalui
orang-orangnya di Manila. Mereka melaporkan, di ibu kota sedang
beredar cerita yang mengatakan bahwa Marcos segera akan
menjalani pencangkokan ginjal. Beberapa tokoh oposisi
memperingatkan, mungkin saja "pemencilan" itu merupakan taktik
pemerintah Filipina untuk mengalihkan perhatian rakyat dari
kepulangan Ninoy. Dari sumber-sumber pemerintah Amerika Serikat,
Ninoy mendapat keterangan bahwa "pemencilan" itu akan digunakan
Marcos untuk mereorganisasikan pemerintahannya.
Kemudian menyusul desas-desus yang makin santer mengenai
kemunduran kesehatan presiden itu. Toh tidak ada yang berubah.
Ninoy tetap memutuskan pulang pada 21 Agustus .
* * *
Pada 12 Agustus, tokoh ini menghubungi saya melalui telepon. Ia
bertanya, di mana saya akan berada sejam setelah itu. Saya
menyebutkan suatu tempat. Dan ia mengatakan akan menghubungi
saya di tempat itu melalui teleponnya "yang bersih" yang bisa
dipastikan tidak disadap.
Maklum, para pembangkang Filipina di Amerika Serikat hidup dalam
kewaspadaan. Mereka tidak mengabaikan kemungkinan kerja sama
dinas rahasia Filipina dan AS, yang meneruskan pelbagai
informasi ke Manila. Suatu ketika, seorang tokoh penantang
Marcos di AS berbicara dari telepon umum kepada seseorang di
sebuah hotel di Manila. Orang itu kemudian ditangkap, dan
dikonfrontasikan dengan keterangan yang direkam dari percakapan
telepon tadi.
* * *
Maka, pada 16 Agustus, Ninoy terbang ke Singapura. Ia
menggunakan paspor palsu - dengan nama asli. Di Singapura Ninoy
ditemui putra Sultan Johor. Mereka menyeberang ke Malaysia.
Ninoy kemudian berjumpa dengan pejabat-pejabat tinggi Indonesia,
Muangthai, dan Malaysia. Ia menjelaskan kepada mereka mengapa ia
pulang - dan apa yang ingin dicapainya.
Balik ke Singapura, ia meminta visa Taiwan untuk paspor dengan
nama Marcial Bonifacio. Maka, pada 19 Agustus, Ninoy berangkat
ke Hong Kong, dan merencanakan dari sana pergi ke Taipei. Di
pintu masuk, pemeriksa tiket memperhatikan paspor Ninoy, dan
secara tidak diduga memanggil atasannya. "Nah," pikir Ninoy,
"mereka akhirnya mengenali aku." Tetapi dia diizinkan memasuki
pesawat. Sampai saat terakhir ia tidak mengerti tindakan para
pemeriksa tiket itu.
Dalam penerbangan Hong Kong - Taipei, Ninoy menggunakan paspor
dengan nama Bonifacio. Kecuali visa Taiwan dan stempel palsu
pemberangkatan dari Manila - yang dibuat seseorang di Amerika
Serikat halaman selebihnya dari paspor itu bersih sama sekali.
Dan ini ternyata menimbulkan kecurigaan pejabat imigrasi Taiwan.
"Anda datang dari mana?" tanya petugas imigrasi itu.
"Dari Manila," jawab Ninoy.
"Tapi pesawat ini datang dari Hong Kong."
"Yeah," tukas Ninoy, "saya harus melalui Hong Kong karena tidak
ada penerbangan langsung." la diizinkan lewat.
Di Taipei, Ninoy menginap di Grand Hotel. Ia segera menerima
informasi bahwa China Airlines mengetahui kehadirannya. Ninoy
terperanjat dan memutuskan untuk bertindak sesuai dengan
rencananya: menghubungi pemerintah Taiwan, melalui seorang
perantara, untuk mengetahui dengan pasti apakah mereka akan
menghalanginya menumpang China Airlines.
Tak lama kemudian, melalui perantara lain, pemerintah Taiwan
memberi jawaban. Pesan itu berbunyi, "Kami tidak pernah
mendengar sesuatu tentang Aquino, dan kami tidak tahu ia berada
di Taiwan." Ninoy lega. Menurut penilaiannya, pemerintah Taiwan
tidak bermusuhan dengan Marcos, kendati Filipina memulangkan
duta besar Taiwan di Manila ketika Marcos menjalin hubungan
diplomatik dengan RRC.
Sabtu, 20 Agustus 1983.
Para wartawan yang akan menyertai perjalanan kami ke Manila tiba
di Taipei. Ninoy menghabiskan banyak waktu, siang dan malam,
untuk mereka.
Para reporter itu bertanya tentang rencana pembunuhan yang
pernah disebut-sebut. Ninoy menjawab dengan cerdik, kendati ia
tetap percaya bahwa cerita itu merupakan bagian dari muslihat
Marcos.
"Pembunuhan merupakan bagian dari pelayanan umum," ujar Ninoy
kepada salah seorang wartawan. "Lihatlah apa yang terjadi atas
diri Presiden Reagan. Jika memang nasib saya harus mati di
tangan pembunuh, ya, apa boleh buat."
Kepada seorang wartawan televisi Jepang ia berkata, "Anda harus
senantiasa bersiap dengan kamera. Kejadian-kejadian mungkin akan
berlangsung sangat cepat. Dalam waktu tiga atau empat menit,
semuanya bisa selesai - dan kita tidak punya kesempatan lagi
untuk bicara."
Dengan sanak saudara dan para pendukungnya di Filipina, Ninoy
secara tetap melakukan hubungan telepon . Kepada seorang
wartawan lain ia menceritakan, ada informasi bahwa ia akan
disikat di lapangan terbang, dan bahwa pembunuh itu sendiri akan
langsung ditembak di empat. "Itulah sebabnya, saya akan memakai
ini," kata Ninoy, seraya mengacungkan rompinya yang tahan
peluru. "Tapi bila mereka menembak saya di kepala, yah, lewatlah
saya." Kata-kata inilah kemudian yang bergema sampai jauh, bagai
nubuat yang meramalkan cara kematian seorang tokoh, yang sama
dinantikan oleh para pendukung maupun musuh-musuhnya.
Di saat-saat terakhir itu, Ninoy sebetulnya lebih
sungguh-sungguh memikirkan kemungkinan pembunuhan atas dirinya,
lebih dari sebelumnya. Max Vanzi, koresponden UPI yang baru saja
tiba dari San Francisco, menyampaikan berita kawat terakhir yang
datang dari Manila. Menurut berita itu, Jenderal Fabian C. Ver,
panglima angkatan bersenjata dan tangan kanan Marcos yang sangat
berkuasa, mengatakan bahwa Aquino akan segera diberangkatkan
kembali ke negeri tempat dia bertolak begitu sampai di bandar
udara Manila.
Ninoy mengabaikan berita itu. Tapi ia sempat bergurau, memandang
dirinya bakal menjadi semacam bola pingpong diplomatik: Marcos
memulangkannya ke Taiwan, Taiwan tak mau menerima dan
mengirimkannya kembali ke Manila, dan seterusnya.
Tapi, dalam berita kawat yang sama, Ver juga memperingatkan
Ninoy akan kemungkinan pembunuhan di lapangan terbang. Dan
mendengar ini Ninoy agak terkejut. "Ya, Tuhan ! " gumamnya. Ver
adalah pejabat pemerintah Filipina yang paling tidak
dipercayainya. Ia menilai tokoh itu "setia membabi buta" kepada
Marcos.
Ia pernah berkelakar. Ver, kata Ninoy, demikian setianya kepada
sang majikan, sehingga bila presiden itu menyuruhnya meloncat
dari sebuah bangunan bertingkat, Ver akan langsung memberi tabik
dan bertanya, "Dari lantai berapa, Paduka?"
Beberapa waktu kemudian para wartawan meninggalkan kamar. Dan
tinggalah kami berdua. Ninoy mengungkapkan, inilah pertama
kalinya Ver berbicara secara terbuka mengenai pembunuhan. Ninoy
juga baru menerima berita, para pemimpin oposisi tidak akan
diizinkan menemuinya di lapangan udara. Padahal, untuk Ninoy,
itu penting. Semacam unjuk rasa kepada Marcos bahwa kaum oposisi
telah bersatu. Ninoy menganggap berita-berita terakhir ini
sebagai "isyarat buruk".
Namun, ia tetap menganggap percobaan pembunuhan di lapangan
terbang sebagai kemungkinan yang terlalu jauh. Kalau toh ada
rencana pembunuhan, tentu bukan di bandar udara. Ia yakin,
'kebijaksanaan' semacam itu tidak akan di lakukan di depan mata
para wartawan .
Kemungkinan paling besar, menurut perhitungannya, pemerintah
Filipina akan meminta pesawat berhenti di ujung landasan.
Kemudian dia akan dijemput, lalu digiring ke penjara. Dengan
begitu ia tidak punya kesempatan berhubungan dengan para
pendukung.
Saya menceritakan kepadanya, di Manila sedang berlangsung
persiapan untuk acara penyambutan. Selebaran sudah disebarkan ke
berbagai perguruan tinggi. Pita-pita kuning sudah dibebatkan di
pepohonan. (Untuk mengenang lagu Tiea Yellow Rihbon 'Round the
Old Oak Tree, tentang pulangnya seorang terhukum dari penjara).
Di bandar udara Manila, sejumlah massa akan mengelu-elukan
kedatangannya.
"Direk yang merencanakan semua itu, bukan?" katanya dengan wajah
berseri-seri. Direk adalah logat Filipina untuk 'direktur',
alias director, sutradara - julukan kesayangan yang diberikannya
kepada adiknya Lupita, istri saya, yang memang sutradara film.
Lupita, mendahului kami, memang telah berangkat dari San
Francisco ke Manila dengan membawa delapan belas perintah dalam
sebuah daftar.
Adik Ninoy yang lain, Teresa Aquino Oreta, juga sudah berangkat
ke Manila dari Amerika Serikat. Dan Aurora Aquino, sang ibu yang
berusia 74 tahun, beserta banyak sanak saudara lain ikut ambil
bagian dalam merencanakan penyambutan.
Di Manila sendiri, sepanjang hari itu, para wartawan berusaha
mendapat keterangan persis tentang pesawat yang akan ditumpangi
Ninoy. Sebagai tindakan cadangan, Ninoy menghubungi seorang
sahabatnya di Indonesia, dan sahabat itu mencatatkan nama Ninoy
di Caruda Indonesian Airways sebagai 'B. Aquino'. Ninoy juga
didaftarkan di penerbangan Air France. Bahkan di sana-sini ia
digunjingkan akan pulang dengan pesawat pribadi.
Akhirnya, Ninoy memasuki kamar tidurnya, pukul 00.30. Ia tampak
lelah. Berbaring tertelungkup di tempat tidur, tangannya
terentang, memegangi rosario, dan berdoa.
"Kau tahu," katanya kemudian. "Aku sangat lelah. Mungkin lebih
baik bila mereka langsung menggiringku ke penjara, sehingga aku
bisa beristirahat sementara waktu . " Meski banyak cerita
tentang rencana pembunuhan atas dirinya, Ninoy tetap berharap
sekadar dikenai penahanan.
Malam itu, ia hanya tidur sekitar empat jam. Ahad, pukul 05.00
subuh, ia bangun dan meraih rosarionya berdoa. Kemudian
menelepon istrinya, Cory, di Boston. Itulah hubungan telepon
terakhir antara mereka berdua. Cory membacakan kutipan-kutipan
Injil kepada sang suami. Setelah itu, Ninoy berbicara singkat
dengan anak-anaknya. Kemudian, aneh, ia menangis. Ia duduk, lalu
menulis surat, masing-masing sepucuk untuk setiap anak. Lalu
tampak segar kembali.
Hari itu, saya mengenakan setelan safari kuning keabu-abuan.
Sama dengan warna pakaian yang saya kenakan selama meliput
Perang Vietnam. Ninoy memandangi saya dan tersenyum lebar.
"Astaga, Bung, baju apa yang kaupakai ?" tanyanya. "Kau seolah
akan berangkat meliput perang ! "
"Anda sendiri: coba lihat Anda seperti apa. Pahlawan kulit putih
dengan perisai berkilat-kilat? Atau pramuka Amerika?" Ninoy
mengenakan pakaian dengan gaya yang agak "muda".
Tapi setelah itu saya segera bersungguh-sungguh. "Dengarkan,"
kata saya. "Bila mereka betul-betul menjemput Anda ke dalam
pesawat, katakan pada mereka bahwa Anda disertai adik ipar, dan
Anda ingin adik ipar itu ikut bersama Anda." Dia setuju .
Suasana makan pagi berlangsung cerah. Kami memesan sarapan ke
dalam kamar: telur, daging asap, dan roti panggang. Ia meminta
kecap, yang dibubuhkannya pada telur. la selalu memakan telur
dengan cara itu.
Ia bercerita tentang hubungan telepon dengan istrinya.
"Satu-satunya penyesalanku ialah, Cory harus menderita begitu
banyak," katanya. Kehidupan politik Ninoy memang acap memisahkan
mereka. Bahkan Cory tahu risiko yang dihadapi suaminya dengan
pulang ke tanah air. Toh putri milyuner itu tak pernah
membantah.
"Kau tahu," kata Ninoy lagi, agak murung. "Kris sebenarnya ingin
ikut pulang bersamaku ." Kris adalah anak perempuannya yang baru
12 tahun. "Tapi aku mencegahnya."
Pesawat Boeing 767 itu akhirnya mencapai ketinggian yang mantap.
Para wartawan segera beraksi, berkumpul di sekitar lorong,
mengerumuni Aquino. Tapi mereka kemudian diminta pindah ke
bagian belakang yang hampir kosong. Sebagian besar perjalanan
itu dihabiskan Ninoy untuk berpose memenuhi permintaan para juru
kamera dan menjawab berbagai pertanyaan .
Akhirnya, wawancara selesai juga. Ninoy kembali ke tempat duduk.
Toh ia belum dapat beristirahat, ternyata. Sejumlah penumpang
Filipina kini mendapat giliran mengerumuninya. Seorang wanita
menghadiahkan ciuman, di bawah jepretan lusinan kamera. Ninoy
tersipu-sipu. "Istriku saja tidak begini," gumamnya, berkelakar.
Penumpang Filipina yang lain meminta tanda tangan Ninoy. Seorang
di antara mereka menyodorkan paspornya, meminatnya membubuhkan
tanda tangannya langsung di situ. Saya berteriak, "Ninoy, Anda
tidak boleh menandatangani paspor orang lain ! " Ninoy terkejut.
Ia akhirnya hanya membuhuhkan tanda langan pada boarding card
orang itu .
Beberapa saat sebelum pesawat merendah, Ninoy mengambil rompinya
yang tahan peluru, pergi ke kamar kecil, dan mengenakannya. Ia
lalu duduk kembali, memandang saya, seolah-olah takjub bahwa
akhirnya kami bakal mendarat di Manila. Ada desas-desus, menara
pengawas di bandar udara Manila akan menolak pendaratan pesawat
itu dan memaksanya kembali ke Taipei. "Kupikir," kata Ninoy,
"mendarat saja sudah merupakan kemenangan. Sisanya adalah
anugerah."
Pesawat semakin menurun. Kini kami terbang di atas sawah dan
perkampungan Filipina. Ninoy mengambil tasnya, kemudian
menyerahkan sebuah kotak pada saya. "Ini," katanya. "Aku ingin
kau menerima jam tanganku ini." Saya terkejut.
"Mengapa Anda melakukan ini?" tanya saya.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin begitu saja," katanya.
Saya mengambil jam tangan itu sebagai lambang pengalaman kami
bersama.
Ninoy kemudian mengulangi perintah yang pernah diberikannya
kepada saya. "Jangan lupa pergi ke rumahku begitu kita mendarat
di Manila," katanya. "Minta seseorang mengantarkan
barang-barangku ke penjara. Barang-barang itu sama saja dengan
kebutuhanku di penjara dulu. Mereka pasti sudah tahu."
Saya bangkit dan berjalan sedikit. Ketika saya memperhatikannya,
ia sedang memegangi rosario, dan berdoa diam-diam.
China Air lines akhirnya menyentuh landasan. "Noy," kata saya,
"akhirnya kitatiba di rumah."
Menit-menit selanjutnya adalah menit-menit ketegangan yang
merambat. Kiyoshi Wakamiya, wartawan Jepang dan kawal dekat
Ninoy, yang duduk di samping saya, rupanya agak terpengaruh. Ia
melihat ke luar jendela. Lalu menyatakan, tarmac telah
dikosongkan.
Saya bergerak ke jendela - ikut mengintip. Suasana lengang
memang mengisyaratkan sesuatu yang menakutkan. Tapi kemudian
saya melihat dua petugas lapangan di bawah salah satu di antara
dua pesawat yang berada di landasan . Saya agak lega.
Pesawat bergerak menuju Gate 8. Wakamiya dapat melihat sebagian
kecil massa yang datang untuk mengelu-elukan. Ninoy tampak
senang. Tetapi, ketika pesawat hampir berhenti, saya melihat
beberapa serdadu berseragam khaki. Ada juga sebuah kendaraan
diparkir di landasan. Kemudian sebuah van berwarna biru. Pintu
belakangnya terbuka, dan sejumlah petugas berseragam biru
berlompatan ke luar. Mereka bersenjata, senapan dan pistol, dan
berpencaran mengelilingi pesawat kami.
Di dalam pesawat, para penumpang tampak gugup mengetahui
kegiatan di lapangan. Orang berebutan mengintip dari jendela.
Para wartawan kembali sibuk dengan kamera.
Pesawat akhirnya berhenti. Mesin mati. Tiga serdadu berseragam
khaki masuk dengan sigap. Ketegangan perlahan-lahan menuju
puncaknya.
"Noy, mereka datang men jemput Anda," kata saya. Saya sendiri,
terus terang, tak dapat mengatasi kegugupan. Tapi saya tetap
percaya bahwa mereka akan membawanya ke penjara. Prajurit
berseragam biru di luar sana? Saya pikir ketika itu, mereka
semacam pajangan bayangan, untuk mengelakkan kemungkinan
percobaan pembunuhan yang direncanakan .
Para penumpang berdiri, bersiap-siap turun dari pesawat. Para
wartawan tetap berada di dekat jendela. Kemudian terdengar
pengumuman, "Para penumpang diminta tetap di pesawat." Beberapa
saat suasana hening, kemudian orang mulai ramai bercakap-cakap.
Ketiga serdadu tadi berjalan di lorong, melewati para wartawan
yang berdiri atau berlutut di kursi dengan kamera siap. Serdadu
pertama lewat begitu saja di sebelah kanan Ninoy. Tapi yang
kedua, yang mengenakan kaca mata hitam, segera mengenali tokoh
itu. Serdadu ketiga langsung berhenti di depan Ninoy. Ninoy
tersenyum dan menyalami orang ketiga ini. Mereka, Ninoy dan
ketiga serdadu, berbicara singkat dalam bahasa Tagalog. Kemudian
Ninoy berdiri, dan mereka mengawalnya ke luar.
Berbagai percakapan di dalam pesawat menjadi tak begitu jelas.
Para wartawan sibuk dengan kamera dan berteriak ke sana kemari
untuk memperoleh sudut pengambilan yang jitu. Saya menanti-nanti
ucapan Ninoy yang menyatakan kehadiran saya kepada para petugas
itu, sesuai dengan rencana kami. Tapi ia diam saja, dan terus
berjalan melewati saya.
Di tengah keributan itu saya berteriak, "Noy, dapatkah saya ikut
bersama Anda?"
Ninoy berpaling dan memandangi saya - tanpa senyum. Ia
meneruskan langkahnya seraya berkata," Yeah, come on." Serdadu
terakhir yang mengawal Ninoy tepat berada di depan saya. Saya
maju dan berkata, "Saya iparnya. Dapatkah saya ikut bersamanya?"
Dia berpaling, dan memerintahkan, "Tetap duduk di tempatmu."
Saya memutuskan untuk terus ikut, tapi suasana di kabin pesawat
itu sudah kacau-balau. Beberapa awak televisi dan juru potret
bertemperasan di depan saya, juga dengan maksud mengikuti Ninoy,
berebutan menuju pintu .
Tentara-tentara itu mendorong Ninoy ke luar pintu. Kami melihat
sejumlah petugas keamanan berpakaian preman sudah menunggu.
Mereka dengan tangkas menutupkan pintu, memutuskan hubungan kami
dengan luar. Para wartawan berusaha mendorong pintu itu. Saya
juga - tapi sia-sia.
Kemudian, sembilan detik setelah Ninoy melewati pintu, terdengar
tembakan pertama. Kekacauan segera bangkit. Setiap orang
mendorong pintu lebih keras. Empat detik kemudian kami mendengar
tiga tembakan lagi. Orang-orang mulai berteriak. Kemudian,
terdengar rangkaian tembakan senapan otomatis .
"Terkutuk ! " aku berteriak. "Haram jadah ! Haram jadah ! Haram
jadah ! " Tidak mungkin hal seperti ini akan terjadi ! Tidak
mungkin !
Aku melihat apa yang bakal terjadi, tapi tidak kuasa melakukan
sesuatu. Aku berlari ke jendela, tapi tidak bisa melihat
apa-apa. Para wartawan berlarian ke dalam pesawat, mengharapkan
pemandangan yang lebih jelas melalui jendela.
Aku berlari di belakang mereka. Di dalam pesawat itu sendiri
para penumpang sama berteriak. Para wartawan merenggutkan setiap
orang yang berada di jendela untuk melihat keadaan di luar.
Beberapa di antara mereka bahkan memanjati para penumpang yang
kebetulan berada di dekat jendela.
"Apa yang terjadi ? Apa yang terjadi?" pekikku dengan penasaran.
Vanzl, koresponden UPI, mendekat. "Maaf," katanya dengan air
muka membatu . "Saya melihat dia tergeletak di landasan. Dia
ditembak di kepala. Banyak darah. Saya yakin dia meninggal. "
"Kau yakin yang tergeletak itu dia? Kau yakin?" tanya saya
dengan perasaan kacau-balau.
"Yeah, saya yakin. I'm sorry, man."
Saya belum puas. Saya bertanya kepada Wakamiya. "Mereka membunuh
dia! Mereka membunuh dia," katanya memekik.
Saya berusaha mendekati jendela. Tubuh Ninoy sudah tak tampak.
Para petugas itu memasukkannya ke dalam van biru tadi, dan
membawanya pergi. Di atas tarmac hanya tampak sesosok tubuh
berpakaian biru, bermandi darah.
"Haram jadah itu ! Haram jadah itu ! " aku mencarut
berulang-ulang. Para wartawan mulai mengumpulkan kesaksian mata
para penumpang. Beberapa penumpang masih menangis, beberapa
wartawan masih terbingung-bingung. Para juru potret tetap
mengarahkan kamera mereka ke luar jendela. Dengan tubuh Ninoy
entah di mana, satu-satunya yang kupikirkan ialah secepatnya ke
terminal, dan bercerita kepada Lupita, dan ibu Ninoy, tentang
apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Aku meninggalkan pesawat. Di pos imigrasi penumpang berbaris
panjang. Aku langsung berlari ke depan, dan berkata kepada
lelaki yang berdiri di baris pertama, "Iparku dibunuh. Aku harus
secepatnya keluar." la segera mundur.
Melewati imigrasi, aku berjumpa dengan beberapa wartawan yang
datang untuk meliput upacara penyambutan itu. "Mana Lupita?"
Lupita selama ini bertugas menjadi penghubung keluarga kami
dengan pers. Mereka menunjuk ruang VlP di sudut terminal yang
paling jauh. Dalam perjalananku menuju ruang itu beberapa sanak
saudara memanggil namaku dan berusaha menghentikan. Aku terus
bergegas.
Ruangan VIP itu penuh para wartawan dan juru kamera. Aku
memanggil Lupita. Kamera-kamera kini mulai diarahkan padaku,
mikrofon diacungkan ke depan mulutku. "Apa yang terjadi?" tanya
mereka. Aku tidak menjawab. Aku menemukan Lupita. Tapi aku masih
terguncang: aku menceritakan apa yang terjadi. Seseorang
menyorongkan mikrofon di antara kami. Aku kehilangan kontrol.
"Singkirkan barang jahanam itu dari depanku ! " Aku memekik.
"Dia adalah iparku . "
Tiba-tiba, ya, tiba-tiba, aku melihat bunda Ninoy duduk di
kursi, memandang kepadaku, dengan kesedihan yang dalam pada
matanya. Aku tidak sanggup menceritakan kejadian itu kepadanya.
Aku datang menghampiri, mencium dan memeluknya, "Mommy," hanya
kata itu yang keluar dari mulutku.
Aku tetap tidak percaya bahwa Ninoy sudah mati. Secara naluriah,
aku mulai berpikir tentang sumber-sumber bila aku meliput sebuah
berita: dua sumber tentu belum cukup, pikirku. Aku masih
memerlukan sumber lain. Aku kembali ke jalan masuk para
penumpang, dan menunggu para wartawan lain yang menyertai
perjalanan. Massa yang ingin menyambut Ninoy berkerumun di luar
terminal. Kudengar mereka bersorak," Ninoy! Ninoy!" Jantungku
seakan berhenti berdenyut. "Kalau begitu, Ninoy di luar,"
pikirku. Aku meminta Lupita kembali ke ruangan VIP, dan
mengatakan kepada Ibu bahwa Ninoy mungkin masih hidup. Aku
berusaha melihat kerumunan massa itu, berpikir apakah Ninoy ada
di sana. Tak lama kemudian seseorang berkata, massa
mengelu-elukan tokoh oposisi Salvador H. Laurel. Ia sedang
berusaha memberitahukan kepada massa bahwa Ninoy ditembak.
Kemudian aku melihat Jim Laurie, wartawan ABC News. Dia juga,
ternyata, melihat Ninoy tergeletak di landasan, ditembak di
kepala. "Aku yakin dia mati," katanya.
Segalanya terasa hancur. Lupita meraih lenganku. "Mari
meninggalkan tempat ini," katanya.
Kendaraan kami bergerak lamban di tengah kemacetan lalu lintas
Manila. Aku makin tak sabar. Aku ingin secepatnya menelepon
Cory. Aku sudah berjanji akan meneleponnya, segera setelah
mendarat di Manila.
Akhirnya, dari rumah salah seorang saudara perempuan Lupita, aku
menghubungi Boston. Aku masih terguncang. Aku sesungguhnya ngeri
melakukan hubungan telepon ini. Tapi di seberang sana suara Cory
sudah mulai terdengar. Dan dia sangat tenang.
Ternyata, dia sudah menerima telepon Shintaro Ishihara, anggota
parlemen Jepang dan sahabat dekat keluarga Aquino. Shintaro
menerima kabar itu dari Wakamiya. Aku malah diceritai detail
peristiwa itu.
Cory ternyata tabah - lebih tabah dari aku sendiri. Dia
baik-baik saja, katanya. Para sanak saudara sedang dalam
perjalanan menuju Manila. Dia berterima kasih atas segala yang
kulakukan untuk Ninoy.
Aku menekankan kepada Cory, belum ada pernyataan resmi yang
menyatakan Ninoy sudah meninggal. Dia lalu memintaku melaporkan
setiap perkembangan keadaan.
Beberapa menit kemudian, telepon berdering. Ternyata seorang
prajurit angkatan darat dari rumah sakit Fort Bonifacio
Katanya, Ninoy ada di sana.
Dia hidup atau meninggal?" pekik Lupita, berulang-ulang, di
mulut telepon. Tidak ada jawaban.
Harapan kami bangkit lagi. Lupita bergerak ke pintu - bermaksud
ke rumah sakit. Aku mengatakan akan tetap tinggal di rumah.
Kuminta Lupita segera menelepon bila terjadi sesuatu.
Sekitar satu jam berlalu. Akhirnya, Lupita menelepon, dan
menyampaikan sesuatu. Aku pun segera menghubungi Cory.
Seluruh dunia tahu, apa isi telepon itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini