Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perjalanan untuk mati

Catatan akhir dari perjalanan tokoh oposisi filipina, benigno s. aquino dari pengasingannya di as, yang mati tertembak sesaat tiba di manila. (sel)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAIPEI, 21 Agustus 1983. Pagi yang lembab dan gerah. Begitu lembab dan gerahnya sehingga lelaki itu tidak mengenakan rompinya yang tahan peluru. Hanya setelan safari berwarna krem, pakaian yang juga dikenakannya waktu berangkat dari Manila dalam perjalanan pengasingan, tiga tahun silam. Pada baju itu terdapat tanda 'BSA' - singkatan Benigno Servillano Aquino. Kini, hampir tiga bulan lewat sejak pemimpin oposisi Filipina itu terbunuh di pintu gerbang tanah airnya sendiri. Kematian yang mengguncangkan dan penuh selingkuh. Tetapi baru belakangan ini catatan perjalanan maut itu dinukilkan kembali, kebetulan oleh orang yang sangat terlibat, Ken Kashiwahara. Ken adalah koresponden kantor berita ABC, Australia, yang berpangkalan di San Francisco, Amerika Serikat. Dan dia adalah suami Lupita, adik perempuan Ninoy. Penuturan berikut ini terjemahan asli dari catatan Kashiwahara itu, yang dituliskannya dalam majalah The New York Times 16 Oktober. * * * Kami meninggalkan Grand Hotel, Taiwan, menuju lapangan terbang pada pukul 9.30 pagi waktu setempat. Pesawat China Airlines itu akan berangkat pukul 11.00. Di luar dugaan, perjalanan sangat lancar. Pukul 10.10 kami sudah tiba di bandar udara internasional Chiang Kai-shek. Tapi kenyataan ini tidak menyenangkan Ninoy. Ia ingin melewati boardinggate pada menit-menit terakhir, dengan harapan orang tidak punya banyak waktu untuk mengenalinya. Karena itu, mobil kami perintahkan berputar-putar di sekitar airport. Sebelum itu, pagi-pagi, seorang sahabat sudah mengurus tiket dan paspor kami. Ninoy memperhitungkan, di lapangan udara Manila ia akan dijemput para petugas yang akan menggiringnya langsung ke penjara. Karena itu, barang-barangnya memakai label dengan nama saya. Saya menemui sahabat itu di tengah keriuhan bandar Taipei. Ada kenyataan yang tidak menyenangkan: sebuah pesawat Philippine Airlines juga akan meninggalkan lapangan Chiang Kaishek tepat pada jam yang sama. Dengan hati berdebar saya mengamati keadaan sekitar, mencoba menyidik kalau-kalau ada wajah yang mencurigakan. Sekitar pukul 10.30 Ninoy menghampiri terminal. Dan kami bergerak menuju pos imigrasi. Ketika itulah saya melihat dua lelaki dengan perlengkapan walkie-talkie. Petugas keamanan ! Mereka memperhatikan Ninoy - bahkan menudingnya. Tapi kami tak mengalami kesulitan melewati pos imigrasi. Ninoy memakai paspor dengan nama Marcial Bonifacio. Tetapi, segera setelah melewati pos, dua "petugas keamanan" tadi menggiring Ninoy ke sebuah sudut. Saya panik. "Inilah saatnya," pikirku . "la telah dikenali." Saya bergegas ke sana, dan mendapati Ninoy tenang-tenang saja. Bahkan tersenyum. "Itu tadi komandan garnisun Taiwan," katanya. "Mereka ingin meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja. Coba bayangkan: seorang jenderal. Tapi ada yang sangat aneh. Mereka mengatakan menerima pesan PhilippineAirlines pagi ini. Mereka diminta memperhatikan keselamatanku ." "Kalau begitu, pemerintahan Marcos sudah tahu," kata saya. "Boleh jadi." Ninoy tidak kelihatan gusar. Ia memang mencoba merahasiakan rute perjalanan pulang ini - kecuali untuk beberapa sahabat, sanak saudara, dan belasan wartawan. Saya sendiri menyertainya bukan sebagai orang pers, melainkan ipar meskipun, ya, mungkinkah fungsi wartawan dikesampingkan? Ketika kami tiba di dalam pesawat, para wartawan yang sudah masuk lebih dulu memperlihatkan isyarat lega. Ninoy menempati kursi nomor 14 C, saya kursi 14 B. Saya tidak bisa tenang sebelum pesawat tinggal landas. Sebuah pengumuman yang menyebutkan penundaan keberangkatan selama sepuluh menit, tanpa keterangan lebih lanjut, membuat saya berdebar. Seorang koresponden televisi yang duduk di kelas satu mendatangi kami. Ia menerangkan, pesawat ditunda karena seorang awak terlambat masuk. Toh akhirnya China Airlines dengan nomor penerbangan 811 itu tinggal landas - sekitar pukul 11.15. Begitu roda-roda Boeing 767 lepas dari runway, Ninoy tersenyum. "Well, we made if ! " katanya. * * * Saya mengenal penantang Presiden Ferdinand E. Marcos yang paling terkenal itu, pertama kalinya, enam tahun lalu. Saya duduk di kamar yang hingardi Fort Bonifacio, menyaksikan mahkamah militer yang mengadilinya. la didakwa memiliki senjata gelap, membunuh, dan melakukan tindak subversi . Meski tampak kurus dan lemah - ia kehilangan berat badan 40 pound selama disel seorang diri sejak 1972, dan hampir mati melakukan puasa 40 hari memprotes pengadilan militer yang dikenakan pada perkaranya Ninoy ketika itu tidak kehilangan kelancaran bicara dan daya tariknya yang terkenal. Saya meliput pcrkara itu untuk cerita hak-hak asasi manusia di jaringan kantor berita ABC. Kami bertemu kedua kalinya pada 1980. Aquino dilepaskan dari penjara untuk menjalani pembedahan jantung di Dallas, dan saya sedang merencanakan perkawinan dengan adiknya, Lupita. Kemudian, selama tiga tahun pengasingannya di Amerika Senkat, saya menemukan kenyataan bahwa Ninoy dalam kehidupan pribadi tidak berbeda dengan Ninoy yang dikenal umum. la terbuka. Ia menikmati kehadiran para sahabat, pendukung, wartawan, dan tiap kesempatan untuk mendiskusikan berbagai peristiwa terakhir. Setelah para tamu pulang, dan dia sendirian lagi bersama sanak saudaranya, percakapan selalu berkisar pada masalah internasional, khususnya problem-problem yang sedang dihadapi Filipina. Ingatannya fotografis! la mampu mengutip kejadian politik dan ekonomi berbagai negeri yang luput dari perhatian orang lain. Ia pembaca buku yang rakus. Dan, karena selama di penjara kelaparan ini bisa dipuasi, pengetahuannya semakin luas. Ia pembicara yang tabah, baik secara bermuka-muka maupun melalui telepon. Karena itulah, setiap ia bermalam di rumah kami, Lupita dan saya sepakat memindahkan telepon ke kamarnya. Sejak tahun-tahun awal kariernya, tak ada kesangsian pada seorang pun anggota clan Aquino bahwa Ninoy mewarisi darah politik yang diturunkan ayah dan kakeknya. Sang kakek, Jenderal Servillano Aquino, adalah seorang insurrecto termasyhur yang berjuang melawan Spanyol, dan kemudian Amerika pada pergantian abad. Ayah Ninoy, Benigno S. Aquino Sr., adalah senator, ketua parlemen, dan anggota kabinet. Ninoy sendiri seorang underkind - anak ajaib - di panggung politik Filipina. Sebagai seorang wartawan muda dan utusan Presiden Ramon Magsaysay, ia masuk ke hutan pedalaman Luzon dan membujuk Luis Taruc, pemimpin gerilyawan komunis Hukbalahap, untuk menyerah. Pada usia 22, ia wali kota termuda Concepcion, kampung halamannya. Dan pada usia 28, ia gubernur termuda Provinsi Tarlac. Di masa jabatan gubernur itulah keturunan salah satu keluarga tertua Filipina ini menikah dengan Corazon Cojuangco, putri pemilik Hacienda Luisita, ladang tebu seluas 18 ribu acre, sejumlah bank, dan beberapa real estate. Di masa itulah, seraya mengumumkan dirinya sebagai "orang kaya radikal", Ninoy membagi -bagi tanah pertanian keluarga Aquino, juga tanah yang dibelinya sendiri, dan memberikannya kepada para petani dan kaum buruh. Pada usia 34 Ninoy senator termuda di Filipina. Ketika Marcos menangkapnya, tak ada yang sangsi bahwa Ninoy-lah sebenarnya calon presiden negeri itu. Beberapa jam setelah penangkapan, Ferdinand Marcos memberlakukan undang-undang darurat. Ninoy telah berhasil mengatasi masa pemenjaraan yang tidak bisa dibilang singkat. Ia selamat dari ancaman hukuman mati yang dijatuhkan mahkamah militer pada 1977, tak lain berkat imbauan internasional yang membuat pemerintahan Marcos menunda keputusan itu. Ninoy pun telah melewati pembedahan jantung dengan sehat walafiat. Ia kemudian masuk Univesitas Harvard dan Institut Teknologi Massachusetts. Di sana ia memberikan ceramah, belajar, dan menulis tentang peralihan damai dari kediktatoran ke demokrasi, sembari menyerang rezim Marcos. Ia berkeliling dunia untuk mencari jalan keluar politik bagi negerinya. Berjumpa dengan para pembangkang Filipina, para pemimpin pemberontakan bersenjata Islam dari Filipina Selatan yang sedang mengasingkan diri, dan pihak-pihak yang menang dan kalah dari beberapa revolusi yang silam. Keyakinannya tercermin dalam buku yang belum rampung ditulisnya: Filipina Demokrasi atau Kediktatoran. Di situ ia menyimpulkan, perjuangan di Filipina adalah "antara mereka yang dikuasai 'efisiensi' otoriterisme dan mereka yang percaya bahwa demokrasi, dengan segala cacat dan inefisiensinya, merupakan harapan terbaik manusia untuk kebaikan dan kemajuan." la mengatakan, "Rasa keadilan manusia membuat demokrasi menjadi mungkin, tetapi ketidak adilan manusia membuat demokrasi menjadi penting." Kendati Aquino terkurung dan terbuang selama sebelas tahun, sebagian besar orang - di dalam dan di luar Filipina - yakin, orang ini merupakan harapan terbesar bagi kelahiran kembali demokrasi di tanah airnya. Ia sendiri menilai, tindakan pulang kampung sebagai langkah penting dan mendesak. Ekonomi Filipina sedang ambruk. Begitu pula, konon, keadaan kesehatan Marcos. Sementara itu, kaum oposisi terpecah-belah. Sejumlah tokoh moderat sedang berpaling ke kelompok kiri bersenjata. Filipina sekarang menjadi medan gerilyawan aktif terluas di seantero Asia Tenggara Pada 1972, kekuatan para gerilyawan ditaksir sekitar 500, beroperasi di beberapa front, dengan sekitar 100 ribu pendukung. Tahun lalu, jumlah gerilyawan itu diperkirakan sudah ribuan, beroperasi di 45 front, dan mempunyai pendukung paling tidak satu juta. Ninoy menilai Marcos, dengan wewenangnya yang penuh terhadap militer, merupakan kunci peralihan damai ke demokrasi dan sebelum semuanya terlambat, ia ingin meyakinkan sang presiden untuk melepaskan kekuasaannya yang otoriter dan melakukan pembaruan nasional yang sangat penting. Ia yakin, bila Marcos melihat risiko yang diambil Ninoy dengan kembali ke tanah air - risiko dipenjarakan, bahkan dihukum mati - presiden itu akan percaya betapa sungguh sungguhnya ia dalam hal rujuk nasional itu. Ninoy khawatir, bila sewaktu-waktu Marcos meninggal atau tak lagi mampu berkuasa, pertarungan kekuatan akan terjadi dan itu akan menuju kepada kepemimpinan militer atau konflik bersenjata. Sekitar Mei 1983, Ninoy memutuskan untuk pulang. Keperluannya di Institut Teknologi Massachusetts sudah berakhir, dan ia menilai semua yang harus dikerjakannya di Amerika Serikat sudah terlaksana. Banyak sahabat, rekan politik, dan sanak saudara yang mengkhawatirkan keamanannya - menyarankan kepadanya agar membatalkan rencana itu. Tetapi begitu ia mengambil keputusan yang pasti, mereka berdiri di belakangnya. Tujuan jangka pendek Ninoy ialah mengorganisasikan kaum oposisi Filipina untuk menghadapi pemilihan anggota parlemen, Mei 1984. Ini memerlukan paling tidak empat bulan untuk persiapan dan empat bulan lagi untuk kampanye. Rencana itu hanya mungkin terlaksana bila ia pulang Agustus 1983. Ia sendiri tidak berharap naik ke posisi puncak. Dengan kaki tangan Marcos yang berhak menghitung hasil pemilu, iayakin sang presiden tidak akan mungkin digulingkan secara politik. Tapi ia percaya dapat memotong dukungan keuangan yang selama ini diterima Marcos . Ia sendiri suka berpemeo, "Rumput sedang kering yang dibutuhkan hanya sepercik api." la percaya bisa membuat Marcos mengeluarkan biaya sangat besar untuk memenangkan pemilihan itu - demi melawan kampanye oposisi yang juga akan dilakukan besar-besaran. Menurut perkiraan Ninoy, dari sumber luar negeri saja ia akan berhasil mengumpulkan Rp 1 milyar. Pada awal Juli, Ninoy merencanakan pulang 7 Agustus. Bertepatan dengan hari Minggu, hari libur, sehingga bisa diharapkan para mahasiswa dan kaum buruh menyambutnya di pelabuhan udara Manila - semacam unjuk kekuatan. Ia ingin membuat peristiwa itu mengesankan, untuk mempertontonkan kepada dunia bahwa kelompok oposisi Filipina siap memasuki perjuangan politik. Dan bahwa rakyat tidak lagi tertarik kepada Marcos . Pengumumannya pada bulan Juli itu segera mengawali ketegangan di antara pihak-pihak yang bermusuhan di dunia politik Filipina. Mulanya, beberapa pejabat pemerintah tampak senang mendengar berita itu. Pada 3 Juli, misalnya, Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrille menyatakan kepada seorang pemimpin oposisi: tidak ada dasar hukum untuk memenjarakan Ninoy bila ia pulang. Marcos, demikian konon kata Enrille, sudah mengeluarkan perintah membebaskan Aquino dari penjara untuk menjalani pembedahan jantung di Amerika Serikat. Dan perintah itu belum diubah. Seorang pejabat kementerian kehakiman menyatakan pula, hukuman mati untuk Aquino sudah dibekukan begitu ia berangkat ke Amerika. Bahkan seorang pemimpin oposisi bilang, Marcos tidak akan memenjarakan Ninoy begitu tokoh ini menjejakkan kaki di tanah air. Langkah terhadapnya baru akan ditentukan setelah kunjungan Presiden Ronald Reagan yang dijadwalkan November 1983. Tetapi pada 19 Juli, pemerintah Filipina tampak mengambil strategi lain. Dalam sebuah kunjungan ke Amerika Serikat, Imelda Marcos menemui Ninoy. Ia menjanjikan perpanjangan paspor lawan politik suaminya itu, dan karenanya mendesak Ninoy untuk mengajukan permohonan dokumen perjalanan ke konsulat Filipina di New York. Tetapi, ternyata, permohonan itu ditolak. Mereka berdalih, dinas rahasia militer berhasil membongkar rencana pembuhunan atas diri Aquino. Rencana itu, kata mereka, disusun oleh sanak saudara korban pembunuhan politik yang pernah didalangi Ninoy. Ia diminta menunda rencana pulang barang sebulan, sementara agen-agen pemerintah "menetralisasikan" para calon pembunuh. Ninoy merasa tidak pernah memerintahkan membunuh siapa pun. Karena itu, ia menganggap keterangan pemerintah Filipina itu "tidak masuk akal". Ia berspekulasi: Marcos mulai tidak rasional. Optimisme Ninoysurut. Ia mulai mempertimbangkan untuk mengajak rombongan wartawan dalam perjalanan pulang. Ia melihat tindakan ini sebagai semacam langkah keamanan . "Hanya para wartawan yang bisa melindungi aku bila terjadi sesuatu," katanya. Ia mulai memperhitungkan berbagai kemungkinan. "Bila aku pulang secara diam-diam, mungkin Marcos akan lunak," katanya sekali waktu . Ia sendiri memang tidak terlalu mengharapkan kelunakan itu. Tetapi ia membayangkan semacam penahanan rumah, yang membuatnya masih mampu mengorganisasikan kekuatan oposisi, bahkan mungkin berbicara dengan Marcos. Bila ia ditahan di penjara, dan sendirian, kemungkinan itu sama sekali tertutup. la berspekulasi, mungkin saja pemerintah Filipina akan memperkarakannya lagi untuk urusan "pembunuhan" yang dulu itu. Ia menyimpulkan, alasan "pembunuhan" itu memang dikarang Marcos untuk mencegah kepulangannya. Dalam pertemuan bulan Mei 1983 itu sendiri, Imelda Marcos berusaha membatalkan niat Ninoy tersebut. "Marcos," demikian ujar kupu-kupu besi itu, "bakal tak mampu lagi menguasai tindakan kelompok tertentu dalam pemerintahannya." Imelda menjanjikan bisnis untuk Ninoy, bila ia sudi tinggal terus di Amerika Serikat. Ninoy, dengan cara yang sopan, menolak. * * * Tanpa dokumen perjalanan yang sah, orang buangan itu mulai memperhitungkan beberapa kemungkinan. Pemerintahan Marcos sudah mengancam semua perusahaan penerbangan dengan pencabutan izin mendarat bila mereka mengangkut "penumpang tanpa surat-surat sah" ke Filipina. Dengan demikian, Ninoy terpaksa menggunakan paspor palsu. Dan ia sudah memilikinya, dua buah. Sebuah dibeli di Timur Tengah, dengan nama Marcial Bonifacio. Sebuah lagi berupa paspor blangko, yang sudah ditulisinya dengan namanya yang asli . Pada 31 Juli 1983, Marcos melempar isyarat berikutnya. Ia mencairkan berlakunya hukuman mati bagi Aquino. Mendengar ini, Ninoy 'murung kembali. Tetapi rencana pulang pada 7 Agustus tidak dibatalkan, dan Ninoy mulai memperhitungkan penerbangan dengan Korean AirLines (KAL) dari New York ke Seoul, dengan sambungan ke Manila. Semua penerbangan yang dimasukkannya ke dalam perhitungannya itu akan mendarat di Manila antara pukul 11.00 dan pukul 100 tengah hari, Minggu. Lima pesawat akan mendarat kemudian, dan kesibukan di bandar udara akan membantunya menghindari orang yang mungkin mengenalinya. Atau, paling tidak, akan mengacaukan para petugas keamanan mengenai pesawat yang sesungguhnya ditumpanginya. Namun, pada 2 Agustus, rencana itu berantakan. Ninoy menerima kawat dari Menteri Pertahanan Enrille, " ... kami yakin ada usaha yang mengancam keselamatan Anda ... kami harap Anda mengundurkan rencana pulang ke Filipina, paling tidak untuk sebulan ...." Enrille adaJah seorang ahli hukum, dan Ninoy terpengaruh oleh kata-katanya. "Apa salahnya diundurkan?" katanya pada petang 2 Agustus itu. "Toh tidak ada hal ajaib pada 7 Agustus. Mengapa aku harus mendesak mereka? Kalau aku memaksakan keinginanku, mungkin mereka malahan berusaha membuktikan ancaman itu." Ninoy menimbang untung ruginya penundaan. Di satu pihak, ia barangkali kehilangan momentum yang baik, yang telah dipersiapkan para pendukungnya. Di lain pihak, kalau penundaan itu memang berhasil mencapai tujuan - meyakinkan Marcos akan pentingnya perubahan politik - apa salahnya? Beberapa pemimpin oposisi langsung kecewa akan pengunduran itu. Toh akhirnya mereka setuju. Dan sang tokoh menentukan saat terakhir. Minggu, 21 Agustus. Tanggal ini bertepatan dengan sebulan dua hari setelah tibanya berita tentang sebuah percobaan pembunuhan yang konon akan dilancarkan atas dirinya. Komite penyambutan yang dibentuk kaum oposisi langsung mencatat tanggal itu sebagai kepastian. Ninoy mulai menebak-nebak alasan di belakang permintaan pemerintah untuk menunda kepulangan itu 'satu bulan'. Mungkin hanya sebuah dalih untuk menolak. Setelah masa satu bulan berakhir, bisa saja Marcos meminta penundaan sebulan lagi, lalu sebulan lagi, hingga akhirnya Presiden Reagan menyelesaikan kunjungan ke Filipina. Sementara itu, kesehatan Marcos sendiri bakal terus menurun sampai pada tingkat yang memerlukan pembedahan. Pada 5 Agustus, pemerintah menambahkan bumbu baru pada berita burung yang sedang beredar. Koran The New York Times melaporkan, seorang pejabat pemerintah Filipina mengatakan bahwa Presiden Marcos sedang "memencilkan diri tiga minggu" untuk menulis dua buku. Ninoy agak terkejut mendengar ini. "Demi Tuhan, apa sebetulnya yang sedang terjadi?" katanya. "Mengapa ia harus memencilkan diri tiga minggu untuk menulis buku?" Kegelisahan itu ditambah oleh berita yang diterimanya melalui orang-orangnya di Manila. Mereka melaporkan, di ibu kota sedang beredar cerita yang mengatakan bahwa Marcos segera akan menjalani pencangkokan ginjal. Beberapa tokoh oposisi memperingatkan, mungkin saja "pemencilan" itu merupakan taktik pemerintah Filipina untuk mengalihkan perhatian rakyat dari kepulangan Ninoy. Dari sumber-sumber pemerintah Amerika Serikat, Ninoy mendapat keterangan bahwa "pemencilan" itu akan digunakan Marcos untuk mereorganisasikan pemerintahannya. Kemudian menyusul desas-desus yang makin santer mengenai kemunduran kesehatan presiden itu. Toh tidak ada yang berubah. Ninoy tetap memutuskan pulang pada 21 Agustus . * * * Pada 12 Agustus, tokoh ini menghubungi saya melalui telepon. Ia bertanya, di mana saya akan berada sejam setelah itu. Saya menyebutkan suatu tempat. Dan ia mengatakan akan menghubungi saya di tempat itu melalui teleponnya "yang bersih" yang bisa dipastikan tidak disadap. Maklum, para pembangkang Filipina di Amerika Serikat hidup dalam kewaspadaan. Mereka tidak mengabaikan kemungkinan kerja sama dinas rahasia Filipina dan AS, yang meneruskan pelbagai informasi ke Manila. Suatu ketika, seorang tokoh penantang Marcos di AS berbicara dari telepon umum kepada seseorang di sebuah hotel di Manila. Orang itu kemudian ditangkap, dan dikonfrontasikan dengan keterangan yang direkam dari percakapan telepon tadi. * * * Maka, pada 16 Agustus, Ninoy terbang ke Singapura. Ia menggunakan paspor palsu - dengan nama asli. Di Singapura Ninoy ditemui putra Sultan Johor. Mereka menyeberang ke Malaysia. Ninoy kemudian berjumpa dengan pejabat-pejabat tinggi Indonesia, Muangthai, dan Malaysia. Ia menjelaskan kepada mereka mengapa ia pulang - dan apa yang ingin dicapainya. Balik ke Singapura, ia meminta visa Taiwan untuk paspor dengan nama Marcial Bonifacio. Maka, pada 19 Agustus, Ninoy berangkat ke Hong Kong, dan merencanakan dari sana pergi ke Taipei. Di pintu masuk, pemeriksa tiket memperhatikan paspor Ninoy, dan secara tidak diduga memanggil atasannya. "Nah," pikir Ninoy, "mereka akhirnya mengenali aku." Tetapi dia diizinkan memasuki pesawat. Sampai saat terakhir ia tidak mengerti tindakan para pemeriksa tiket itu. Dalam penerbangan Hong Kong - Taipei, Ninoy menggunakan paspor dengan nama Bonifacio. Kecuali visa Taiwan dan stempel palsu pemberangkatan dari Manila - yang dibuat seseorang di Amerika Serikat halaman selebihnya dari paspor itu bersih sama sekali. Dan ini ternyata menimbulkan kecurigaan pejabat imigrasi Taiwan. "Anda datang dari mana?" tanya petugas imigrasi itu. "Dari Manila," jawab Ninoy. "Tapi pesawat ini datang dari Hong Kong." "Yeah," tukas Ninoy, "saya harus melalui Hong Kong karena tidak ada penerbangan langsung." la diizinkan lewat. Di Taipei, Ninoy menginap di Grand Hotel. Ia segera menerima informasi bahwa China Airlines mengetahui kehadirannya. Ninoy terperanjat dan memutuskan untuk bertindak sesuai dengan rencananya: menghubungi pemerintah Taiwan, melalui seorang perantara, untuk mengetahui dengan pasti apakah mereka akan menghalanginya menumpang China Airlines. Tak lama kemudian, melalui perantara lain, pemerintah Taiwan memberi jawaban. Pesan itu berbunyi, "Kami tidak pernah mendengar sesuatu tentang Aquino, dan kami tidak tahu ia berada di Taiwan." Ninoy lega. Menurut penilaiannya, pemerintah Taiwan tidak bermusuhan dengan Marcos, kendati Filipina memulangkan duta besar Taiwan di Manila ketika Marcos menjalin hubungan diplomatik dengan RRC. Sabtu, 20 Agustus 1983. Para wartawan yang akan menyertai perjalanan kami ke Manila tiba di Taipei. Ninoy menghabiskan banyak waktu, siang dan malam, untuk mereka. Para reporter itu bertanya tentang rencana pembunuhan yang pernah disebut-sebut. Ninoy menjawab dengan cerdik, kendati ia tetap percaya bahwa cerita itu merupakan bagian dari muslihat Marcos. "Pembunuhan merupakan bagian dari pelayanan umum," ujar Ninoy kepada salah seorang wartawan. "Lihatlah apa yang terjadi atas diri Presiden Reagan. Jika memang nasib saya harus mati di tangan pembunuh, ya, apa boleh buat." Kepada seorang wartawan televisi Jepang ia berkata, "Anda harus senantiasa bersiap dengan kamera. Kejadian-kejadian mungkin akan berlangsung sangat cepat. Dalam waktu tiga atau empat menit, semuanya bisa selesai - dan kita tidak punya kesempatan lagi untuk bicara." Dengan sanak saudara dan para pendukungnya di Filipina, Ninoy secara tetap melakukan hubungan telepon . Kepada seorang wartawan lain ia menceritakan, ada informasi bahwa ia akan disikat di lapangan terbang, dan bahwa pembunuh itu sendiri akan langsung ditembak di empat. "Itulah sebabnya, saya akan memakai ini," kata Ninoy, seraya mengacungkan rompinya yang tahan peluru. "Tapi bila mereka menembak saya di kepala, yah, lewatlah saya." Kata-kata inilah kemudian yang bergema sampai jauh, bagai nubuat yang meramalkan cara kematian seorang tokoh, yang sama dinantikan oleh para pendukung maupun musuh-musuhnya. Di saat-saat terakhir itu, Ninoy sebetulnya lebih sungguh-sungguh memikirkan kemungkinan pembunuhan atas dirinya, lebih dari sebelumnya. Max Vanzi, koresponden UPI yang baru saja tiba dari San Francisco, menyampaikan berita kawat terakhir yang datang dari Manila. Menurut berita itu, Jenderal Fabian C. Ver, panglima angkatan bersenjata dan tangan kanan Marcos yang sangat berkuasa, mengatakan bahwa Aquino akan segera diberangkatkan kembali ke negeri tempat dia bertolak begitu sampai di bandar udara Manila. Ninoy mengabaikan berita itu. Tapi ia sempat bergurau, memandang dirinya bakal menjadi semacam bola pingpong diplomatik: Marcos memulangkannya ke Taiwan, Taiwan tak mau menerima dan mengirimkannya kembali ke Manila, dan seterusnya. Tapi, dalam berita kawat yang sama, Ver juga memperingatkan Ninoy akan kemungkinan pembunuhan di lapangan terbang. Dan mendengar ini Ninoy agak terkejut. "Ya, Tuhan ! " gumamnya. Ver adalah pejabat pemerintah Filipina yang paling tidak dipercayainya. Ia menilai tokoh itu "setia membabi buta" kepada Marcos. Ia pernah berkelakar. Ver, kata Ninoy, demikian setianya kepada sang majikan, sehingga bila presiden itu menyuruhnya meloncat dari sebuah bangunan bertingkat, Ver akan langsung memberi tabik dan bertanya, "Dari lantai berapa, Paduka?" Beberapa waktu kemudian para wartawan meninggalkan kamar. Dan tinggalah kami berdua. Ninoy mengungkapkan, inilah pertama kalinya Ver berbicara secara terbuka mengenai pembunuhan. Ninoy juga baru menerima berita, para pemimpin oposisi tidak akan diizinkan menemuinya di lapangan udara. Padahal, untuk Ninoy, itu penting. Semacam unjuk rasa kepada Marcos bahwa kaum oposisi telah bersatu. Ninoy menganggap berita-berita terakhir ini sebagai "isyarat buruk". Namun, ia tetap menganggap percobaan pembunuhan di lapangan terbang sebagai kemungkinan yang terlalu jauh. Kalau toh ada rencana pembunuhan, tentu bukan di bandar udara. Ia yakin, 'kebijaksanaan' semacam itu tidak akan di lakukan di depan mata para wartawan . Kemungkinan paling besar, menurut perhitungannya, pemerintah Filipina akan meminta pesawat berhenti di ujung landasan. Kemudian dia akan dijemput, lalu digiring ke penjara. Dengan begitu ia tidak punya kesempatan berhubungan dengan para pendukung. Saya menceritakan kepadanya, di Manila sedang berlangsung persiapan untuk acara penyambutan. Selebaran sudah disebarkan ke berbagai perguruan tinggi. Pita-pita kuning sudah dibebatkan di pepohonan. (Untuk mengenang lagu Tiea Yellow Rihbon 'Round the Old Oak Tree, tentang pulangnya seorang terhukum dari penjara). Di bandar udara Manila, sejumlah massa akan mengelu-elukan kedatangannya. "Direk yang merencanakan semua itu, bukan?" katanya dengan wajah berseri-seri. Direk adalah logat Filipina untuk 'direktur', alias director, sutradara - julukan kesayangan yang diberikannya kepada adiknya Lupita, istri saya, yang memang sutradara film. Lupita, mendahului kami, memang telah berangkat dari San Francisco ke Manila dengan membawa delapan belas perintah dalam sebuah daftar. Adik Ninoy yang lain, Teresa Aquino Oreta, juga sudah berangkat ke Manila dari Amerika Serikat. Dan Aurora Aquino, sang ibu yang berusia 74 tahun, beserta banyak sanak saudara lain ikut ambil bagian dalam merencanakan penyambutan. Di Manila sendiri, sepanjang hari itu, para wartawan berusaha mendapat keterangan persis tentang pesawat yang akan ditumpangi Ninoy. Sebagai tindakan cadangan, Ninoy menghubungi seorang sahabatnya di Indonesia, dan sahabat itu mencatatkan nama Ninoy di Caruda Indonesian Airways sebagai 'B. Aquino'. Ninoy juga didaftarkan di penerbangan Air France. Bahkan di sana-sini ia digunjingkan akan pulang dengan pesawat pribadi. Akhirnya, Ninoy memasuki kamar tidurnya, pukul 00.30. Ia tampak lelah. Berbaring tertelungkup di tempat tidur, tangannya terentang, memegangi rosario, dan berdoa. "Kau tahu," katanya kemudian. "Aku sangat lelah. Mungkin lebih baik bila mereka langsung menggiringku ke penjara, sehingga aku bisa beristirahat sementara waktu . " Meski banyak cerita tentang rencana pembunuhan atas dirinya, Ninoy tetap berharap sekadar dikenai penahanan. Malam itu, ia hanya tidur sekitar empat jam. Ahad, pukul 05.00 subuh, ia bangun dan meraih rosarionya berdoa. Kemudian menelepon istrinya, Cory, di Boston. Itulah hubungan telepon terakhir antara mereka berdua. Cory membacakan kutipan-kutipan Injil kepada sang suami. Setelah itu, Ninoy berbicara singkat dengan anak-anaknya. Kemudian, aneh, ia menangis. Ia duduk, lalu menulis surat, masing-masing sepucuk untuk setiap anak. Lalu tampak segar kembali. Hari itu, saya mengenakan setelan safari kuning keabu-abuan. Sama dengan warna pakaian yang saya kenakan selama meliput Perang Vietnam. Ninoy memandangi saya dan tersenyum lebar. "Astaga, Bung, baju apa yang kaupakai ?" tanyanya. "Kau seolah akan berangkat meliput perang ! " "Anda sendiri: coba lihat Anda seperti apa. Pahlawan kulit putih dengan perisai berkilat-kilat? Atau pramuka Amerika?" Ninoy mengenakan pakaian dengan gaya yang agak "muda". Tapi setelah itu saya segera bersungguh-sungguh. "Dengarkan," kata saya. "Bila mereka betul-betul menjemput Anda ke dalam pesawat, katakan pada mereka bahwa Anda disertai adik ipar, dan Anda ingin adik ipar itu ikut bersama Anda." Dia setuju . Suasana makan pagi berlangsung cerah. Kami memesan sarapan ke dalam kamar: telur, daging asap, dan roti panggang. Ia meminta kecap, yang dibubuhkannya pada telur. la selalu memakan telur dengan cara itu. Ia bercerita tentang hubungan telepon dengan istrinya. "Satu-satunya penyesalanku ialah, Cory harus menderita begitu banyak," katanya. Kehidupan politik Ninoy memang acap memisahkan mereka. Bahkan Cory tahu risiko yang dihadapi suaminya dengan pulang ke tanah air. Toh putri milyuner itu tak pernah membantah. "Kau tahu," kata Ninoy lagi, agak murung. "Kris sebenarnya ingin ikut pulang bersamaku ." Kris adalah anak perempuannya yang baru 12 tahun. "Tapi aku mencegahnya." Pesawat Boeing 767 itu akhirnya mencapai ketinggian yang mantap. Para wartawan segera beraksi, berkumpul di sekitar lorong, mengerumuni Aquino. Tapi mereka kemudian diminta pindah ke bagian belakang yang hampir kosong. Sebagian besar perjalanan itu dihabiskan Ninoy untuk berpose memenuhi permintaan para juru kamera dan menjawab berbagai pertanyaan . Akhirnya, wawancara selesai juga. Ninoy kembali ke tempat duduk. Toh ia belum dapat beristirahat, ternyata. Sejumlah penumpang Filipina kini mendapat giliran mengerumuninya. Seorang wanita menghadiahkan ciuman, di bawah jepretan lusinan kamera. Ninoy tersipu-sipu. "Istriku saja tidak begini," gumamnya, berkelakar. Penumpang Filipina yang lain meminta tanda tangan Ninoy. Seorang di antara mereka menyodorkan paspornya, meminatnya membubuhkan tanda tangannya langsung di situ. Saya berteriak, "Ninoy, Anda tidak boleh menandatangani paspor orang lain ! " Ninoy terkejut. Ia akhirnya hanya membuhuhkan tanda langan pada boarding card orang itu . Beberapa saat sebelum pesawat merendah, Ninoy mengambil rompinya yang tahan peluru, pergi ke kamar kecil, dan mengenakannya. Ia lalu duduk kembali, memandang saya, seolah-olah takjub bahwa akhirnya kami bakal mendarat di Manila. Ada desas-desus, menara pengawas di bandar udara Manila akan menolak pendaratan pesawat itu dan memaksanya kembali ke Taipei. "Kupikir," kata Ninoy, "mendarat saja sudah merupakan kemenangan. Sisanya adalah anugerah." Pesawat semakin menurun. Kini kami terbang di atas sawah dan perkampungan Filipina. Ninoy mengambil tasnya, kemudian menyerahkan sebuah kotak pada saya. "Ini," katanya. "Aku ingin kau menerima jam tanganku ini." Saya terkejut. "Mengapa Anda melakukan ini?" tanya saya. "Tidak apa-apa. Hanya ingin begitu saja," katanya. Saya mengambil jam tangan itu sebagai lambang pengalaman kami bersama. Ninoy kemudian mengulangi perintah yang pernah diberikannya kepada saya. "Jangan lupa pergi ke rumahku begitu kita mendarat di Manila," katanya. "Minta seseorang mengantarkan barang-barangku ke penjara. Barang-barang itu sama saja dengan kebutuhanku di penjara dulu. Mereka pasti sudah tahu." Saya bangkit dan berjalan sedikit. Ketika saya memperhatikannya, ia sedang memegangi rosario, dan berdoa diam-diam. China Air lines akhirnya menyentuh landasan. "Noy," kata saya, "akhirnya kitatiba di rumah." Menit-menit selanjutnya adalah menit-menit ketegangan yang merambat. Kiyoshi Wakamiya, wartawan Jepang dan kawal dekat Ninoy, yang duduk di samping saya, rupanya agak terpengaruh. Ia melihat ke luar jendela. Lalu menyatakan, tarmac telah dikosongkan. Saya bergerak ke jendela - ikut mengintip. Suasana lengang memang mengisyaratkan sesuatu yang menakutkan. Tapi kemudian saya melihat dua petugas lapangan di bawah salah satu di antara dua pesawat yang berada di landasan . Saya agak lega. Pesawat bergerak menuju Gate 8. Wakamiya dapat melihat sebagian kecil massa yang datang untuk mengelu-elukan. Ninoy tampak senang. Tetapi, ketika pesawat hampir berhenti, saya melihat beberapa serdadu berseragam khaki. Ada juga sebuah kendaraan diparkir di landasan. Kemudian sebuah van berwarna biru. Pintu belakangnya terbuka, dan sejumlah petugas berseragam biru berlompatan ke luar. Mereka bersenjata, senapan dan pistol, dan berpencaran mengelilingi pesawat kami. Di dalam pesawat, para penumpang tampak gugup mengetahui kegiatan di lapangan. Orang berebutan mengintip dari jendela. Para wartawan kembali sibuk dengan kamera. Pesawat akhirnya berhenti. Mesin mati. Tiga serdadu berseragam khaki masuk dengan sigap. Ketegangan perlahan-lahan menuju puncaknya. "Noy, mereka datang men jemput Anda," kata saya. Saya sendiri, terus terang, tak dapat mengatasi kegugupan. Tapi saya tetap percaya bahwa mereka akan membawanya ke penjara. Prajurit berseragam biru di luar sana? Saya pikir ketika itu, mereka semacam pajangan bayangan, untuk mengelakkan kemungkinan percobaan pembunuhan yang direncanakan . Para penumpang berdiri, bersiap-siap turun dari pesawat. Para wartawan tetap berada di dekat jendela. Kemudian terdengar pengumuman, "Para penumpang diminta tetap di pesawat." Beberapa saat suasana hening, kemudian orang mulai ramai bercakap-cakap. Ketiga serdadu tadi berjalan di lorong, melewati para wartawan yang berdiri atau berlutut di kursi dengan kamera siap. Serdadu pertama lewat begitu saja di sebelah kanan Ninoy. Tapi yang kedua, yang mengenakan kaca mata hitam, segera mengenali tokoh itu. Serdadu ketiga langsung berhenti di depan Ninoy. Ninoy tersenyum dan menyalami orang ketiga ini. Mereka, Ninoy dan ketiga serdadu, berbicara singkat dalam bahasa Tagalog. Kemudian Ninoy berdiri, dan mereka mengawalnya ke luar. Berbagai percakapan di dalam pesawat menjadi tak begitu jelas. Para wartawan sibuk dengan kamera dan berteriak ke sana kemari untuk memperoleh sudut pengambilan yang jitu. Saya menanti-nanti ucapan Ninoy yang menyatakan kehadiran saya kepada para petugas itu, sesuai dengan rencana kami. Tapi ia diam saja, dan terus berjalan melewati saya. Di tengah keributan itu saya berteriak, "Noy, dapatkah saya ikut bersama Anda?" Ninoy berpaling dan memandangi saya - tanpa senyum. Ia meneruskan langkahnya seraya berkata," Yeah, come on." Serdadu terakhir yang mengawal Ninoy tepat berada di depan saya. Saya maju dan berkata, "Saya iparnya. Dapatkah saya ikut bersamanya?" Dia berpaling, dan memerintahkan, "Tetap duduk di tempatmu." Saya memutuskan untuk terus ikut, tapi suasana di kabin pesawat itu sudah kacau-balau. Beberapa awak televisi dan juru potret bertemperasan di depan saya, juga dengan maksud mengikuti Ninoy, berebutan menuju pintu . Tentara-tentara itu mendorong Ninoy ke luar pintu. Kami melihat sejumlah petugas keamanan berpakaian preman sudah menunggu. Mereka dengan tangkas menutupkan pintu, memutuskan hubungan kami dengan luar. Para wartawan berusaha mendorong pintu itu. Saya juga - tapi sia-sia. Kemudian, sembilan detik setelah Ninoy melewati pintu, terdengar tembakan pertama. Kekacauan segera bangkit. Setiap orang mendorong pintu lebih keras. Empat detik kemudian kami mendengar tiga tembakan lagi. Orang-orang mulai berteriak. Kemudian, terdengar rangkaian tembakan senapan otomatis . "Terkutuk ! " aku berteriak. "Haram jadah ! Haram jadah ! Haram jadah ! " Tidak mungkin hal seperti ini akan terjadi ! Tidak mungkin ! Aku melihat apa yang bakal terjadi, tapi tidak kuasa melakukan sesuatu. Aku berlari ke jendela, tapi tidak bisa melihat apa-apa. Para wartawan berlarian ke dalam pesawat, mengharapkan pemandangan yang lebih jelas melalui jendela. Aku berlari di belakang mereka. Di dalam pesawat itu sendiri para penumpang sama berteriak. Para wartawan merenggutkan setiap orang yang berada di jendela untuk melihat keadaan di luar. Beberapa di antara mereka bahkan memanjati para penumpang yang kebetulan berada di dekat jendela. "Apa yang terjadi ? Apa yang terjadi?" pekikku dengan penasaran. Vanzl, koresponden UPI, mendekat. "Maaf," katanya dengan air muka membatu . "Saya melihat dia tergeletak di landasan. Dia ditembak di kepala. Banyak darah. Saya yakin dia meninggal. " "Kau yakin yang tergeletak itu dia? Kau yakin?" tanya saya dengan perasaan kacau-balau. "Yeah, saya yakin. I'm sorry, man." Saya belum puas. Saya bertanya kepada Wakamiya. "Mereka membunuh dia! Mereka membunuh dia," katanya memekik. Saya berusaha mendekati jendela. Tubuh Ninoy sudah tak tampak. Para petugas itu memasukkannya ke dalam van biru tadi, dan membawanya pergi. Di atas tarmac hanya tampak sesosok tubuh berpakaian biru, bermandi darah. "Haram jadah itu ! Haram jadah itu ! " aku mencarut berulang-ulang. Para wartawan mulai mengumpulkan kesaksian mata para penumpang. Beberapa penumpang masih menangis, beberapa wartawan masih terbingung-bingung. Para juru potret tetap mengarahkan kamera mereka ke luar jendela. Dengan tubuh Ninoy entah di mana, satu-satunya yang kupikirkan ialah secepatnya ke terminal, dan bercerita kepada Lupita, dan ibu Ninoy, tentang apa yang sesungguhnya telah terjadi. Aku meninggalkan pesawat. Di pos imigrasi penumpang berbaris panjang. Aku langsung berlari ke depan, dan berkata kepada lelaki yang berdiri di baris pertama, "Iparku dibunuh. Aku harus secepatnya keluar." la segera mundur. Melewati imigrasi, aku berjumpa dengan beberapa wartawan yang datang untuk meliput upacara penyambutan itu. "Mana Lupita?" Lupita selama ini bertugas menjadi penghubung keluarga kami dengan pers. Mereka menunjuk ruang VlP di sudut terminal yang paling jauh. Dalam perjalananku menuju ruang itu beberapa sanak saudara memanggil namaku dan berusaha menghentikan. Aku terus bergegas. Ruangan VIP itu penuh para wartawan dan juru kamera. Aku memanggil Lupita. Kamera-kamera kini mulai diarahkan padaku, mikrofon diacungkan ke depan mulutku. "Apa yang terjadi?" tanya mereka. Aku tidak menjawab. Aku menemukan Lupita. Tapi aku masih terguncang: aku menceritakan apa yang terjadi. Seseorang menyorongkan mikrofon di antara kami. Aku kehilangan kontrol. "Singkirkan barang jahanam itu dari depanku ! " Aku memekik. "Dia adalah iparku . " Tiba-tiba, ya, tiba-tiba, aku melihat bunda Ninoy duduk di kursi, memandang kepadaku, dengan kesedihan yang dalam pada matanya. Aku tidak sanggup menceritakan kejadian itu kepadanya. Aku datang menghampiri, mencium dan memeluknya, "Mommy," hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Aku tetap tidak percaya bahwa Ninoy sudah mati. Secara naluriah, aku mulai berpikir tentang sumber-sumber bila aku meliput sebuah berita: dua sumber tentu belum cukup, pikirku. Aku masih memerlukan sumber lain. Aku kembali ke jalan masuk para penumpang, dan menunggu para wartawan lain yang menyertai perjalanan. Massa yang ingin menyambut Ninoy berkerumun di luar terminal. Kudengar mereka bersorak," Ninoy! Ninoy!" Jantungku seakan berhenti berdenyut. "Kalau begitu, Ninoy di luar," pikirku. Aku meminta Lupita kembali ke ruangan VIP, dan mengatakan kepada Ibu bahwa Ninoy mungkin masih hidup. Aku berusaha melihat kerumunan massa itu, berpikir apakah Ninoy ada di sana. Tak lama kemudian seseorang berkata, massa mengelu-elukan tokoh oposisi Salvador H. Laurel. Ia sedang berusaha memberitahukan kepada massa bahwa Ninoy ditembak. Kemudian aku melihat Jim Laurie, wartawan ABC News. Dia juga, ternyata, melihat Ninoy tergeletak di landasan, ditembak di kepala. "Aku yakin dia mati," katanya. Segalanya terasa hancur. Lupita meraih lenganku. "Mari meninggalkan tempat ini," katanya. Kendaraan kami bergerak lamban di tengah kemacetan lalu lintas Manila. Aku makin tak sabar. Aku ingin secepatnya menelepon Cory. Aku sudah berjanji akan meneleponnya, segera setelah mendarat di Manila. Akhirnya, dari rumah salah seorang saudara perempuan Lupita, aku menghubungi Boston. Aku masih terguncang. Aku sesungguhnya ngeri melakukan hubungan telepon ini. Tapi di seberang sana suara Cory sudah mulai terdengar. Dan dia sangat tenang. Ternyata, dia sudah menerima telepon Shintaro Ishihara, anggota parlemen Jepang dan sahabat dekat keluarga Aquino. Shintaro menerima kabar itu dari Wakamiya. Aku malah diceritai detail peristiwa itu. Cory ternyata tabah - lebih tabah dari aku sendiri. Dia baik-baik saja, katanya. Para sanak saudara sedang dalam perjalanan menuju Manila. Dia berterima kasih atas segala yang kulakukan untuk Ninoy. Aku menekankan kepada Cory, belum ada pernyataan resmi yang menyatakan Ninoy sudah meninggal. Dia lalu memintaku melaporkan setiap perkembangan keadaan. Beberapa menit kemudian, telepon berdering. Ternyata seorang prajurit angkatan darat dari rumah sakit Fort Bonifacio Katanya, Ninoy ada di sana. Dia hidup atau meninggal?" pekik Lupita, berulang-ulang, di mulut telepon. Tidak ada jawaban. Harapan kami bangkit lagi. Lupita bergerak ke pintu - bermaksud ke rumah sakit. Aku mengatakan akan tetap tinggal di rumah. Kuminta Lupita segera menelepon bila terjadi sesuatu. Sekitar satu jam berlalu. Akhirnya, Lupita menelepon, dan menyampaikan sesuatu. Aku pun segera menghubungi Cory. Seluruh dunia tahu, apa isi telepon itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus