Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rahasia tahi jurangrejo

Desa jurangrejo, malang, bebas dari kotoran sapi, penduduk memanfaatkan tahi sapi sebagai bahan bakar dan penerangan (biogas). (ling)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada lagi bau tahi sapi di Jurangrejo. Padahal, dukuh itu, yang terletak di lereng Gunung Arjuna, Malang, terkenal sebagai penghasil susu perah di Jawa Timur. Hampir seluruh penduduk, 90% dari 372 kepala keluara, beternak sapi yang jumlahnya 853 ekor dan mengeluarkan kotoran 13.000 kg sehari-semalam. Jurangrejo yang rapi dan bersih itu tidak begitu jauh dari jalan raya yang menghubungkan Malang dan Kediri. Terletak pada ketinggian 900 meter dari permukaan laut. Dan jalannya, yang hanya satu arah dan setengah aspal, cuma bisa ditempuh dengan ojek saja. Rahasia kebersihan lingkungan Dukuh Jurangrejo semata-mata karena penduduk memanfaatkan tahi sapi. Kotoran hewan itu mereka bakar dalam sebuah instalasi dan menghasilkan biogas. Lalu biogas itu disarurkan ke kompor sebagai bahan bakar untuk memasak, atau dialirkan untuk penerangan rumah. Biogas Jurangrejo makin dikenal sejak tahun lalu ketika Ny. L. Sutanto (Menteri Negara Urusan Peranan Wanita) meresmikan 20 unit instalasi biogas Bantuan Presiden. Sebelum ada instalasi biogas, kotoran sapi bertebaran di mana-mana, dan baunya menyengat hidung. "Apalagi di musim hujan, nyamuk dan cacing ikut merajalela," kata Mad Darum, 51, pamong Jurangrejo. "Hingga banyak penduduk sakit-sakitan." Karena 20 instalasi biogas (masing-masing berkapasitas dua meter kubik) itu tidak mampu menampung semua tahi sapi di dukuh itu, sisanya terpaksa dijadikan pupuk mentah. Ini agak merugikan karena pupuk dari endapan atau ampas biogas lebih bagus dan menguntungkan. Berbeda dari kotoran sapi yang masih basah, ampas biogas yang sudah kering tidak mengandung cacing atau ulat, juga tidak berbau, hingga tidak membahayakan kesehatan bila lama disimpan. Pupuk ini sangat baik untuk tanaman jeruk atau kubis yang banyak ditanam penduduk. Untuk menampung tahi sapi lebih banyak, kini sedang diusahakan pembuatan 200 unit instalasi biogas. "Permohonan kreditnya sudah diajukan mungkin tahun depan sudah turun," ujar H. Abdul Wahid, bendahara koperasi susu SAE (Sinau Andandani Ekonomi, belajar membenahi ekonomi) Kecamatan Pujon. Biaya pembuatan sebuah instalasi biogas berkapasitas dua meter kubik sebesar Rp 250.000 (untuk upah tiga tukang dan pembelian bahan bangunan) semula dirasakan cukup berat oleh peternak. Apalagi waktu pembuatannya pun cukup lama sekitar dua minggu. Namun, setelah melihat manfaatnya besar, penduduk mulai "gandrung" memiliki instalasi biogas sendiri. Empat peternak, yaitu H. Abdul Wahid (dari Desa Ngroto) Rahmat Sumantri (Pandesari), Soedarno (Pujon), dan Marsam (Pujon Lor) yang membuat instalasi biogas sendiri, masing-masing bahkan menghabiskan Rp 800.000. "Dulu setiap hari saya menghabiskan minyak tanah 5-7 liter dan kayu bakar satu pikul. Sekarang tinggal memasukkan kotoran sapi saja ke instalasi biogas," kata Wahid. Sebelum listrik masuk ke Jurangrejo, biogas itu juga membantu menerangi desa. "Satu instalasi dapat menerangi tujuh kepala keluarga," ujar Mad Darum. Tapi sejak listrik masuk Jurangrejo, lima bulan lalu, biogas kini hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak saja. Lebih-lebih karena api hasil pembakaran biogas itu biru - tidak seperti api kompor minyak tanah yang menghasilkan jelaga. Sukses biogas di Puon mendorong kepala Dinas Pertanian Malang, Sutariadi, menggalakkan pembuatan instalasi biogas di wilayahnya. "Caranya, setiap desa di Kecamatan Pujon diminta mengirimkan dua pemuda untuk dilatih di Dinas Pertanian," katanya. Tempat pendidikan di Desa Lobo. Dari 30 pemuda yang dilatih membuat instalasi biogas, 10 lulus sebagai tenaga pelatih. "Kami memang bermaksud agar masyarakat bisa membuat sendiri instalasi itu," kata Sutariadi lagi. Minggu lalu hasil latihan tahap kedua dipraktekkan di Desa Ampel Gading. Usaha Dinas Pertanian itu merupakan tindak lanjut proyek biogas Pujon yang diselenggarakan Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan Departemen Pertanian. Setelah peresmian 20 unit instalasi biogas Bantuan Presiden tahun lalu, tahap berikutnya sampai 1985 - direncanakan pembuatan lebih dari 3.000 unit. Sekarang baru 27 unit instalasi yang sudah dibuat, 22 di Jurangrejo, lima unit lagi di berbagai desa lainnya di Kecamatan Pujon. Beberapa desa lain baru dalam taraf belajar. Soewito, dari Balai Informasi Pertanian Jawa Timur, menyayangkan "biogas Pujon yang berbau komersial". Katanya, "Tukang yang sudah bisa membuat instalasi tidak mau menularkan pengetahuannya kepada yang lain."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus