TAK ada lagi bau tahi sapi di Jurangrejo. Padahal, dukuh itu,
yang terletak di lereng Gunung Arjuna, Malang, terkenal sebagai
penghasil susu perah di Jawa Timur. Hampir seluruh penduduk, 90%
dari 372 kepala keluara, beternak sapi yang jumlahnya 853 ekor
dan mengeluarkan kotoran 13.000 kg sehari-semalam.
Jurangrejo yang rapi dan bersih itu tidak begitu jauh dari
jalan raya yang menghubungkan Malang dan Kediri. Terletak pada
ketinggian 900 meter dari permukaan laut. Dan jalannya, yang
hanya satu arah dan setengah aspal, cuma bisa ditempuh dengan
ojek saja.
Rahasia kebersihan lingkungan Dukuh Jurangrejo semata-mata
karena penduduk memanfaatkan tahi sapi. Kotoran hewan itu mereka
bakar dalam sebuah instalasi dan menghasilkan biogas. Lalu
biogas itu disarurkan ke kompor sebagai bahan bakar untuk
memasak, atau dialirkan untuk penerangan rumah.
Biogas Jurangrejo makin dikenal sejak tahun lalu ketika Ny. L.
Sutanto (Menteri Negara Urusan Peranan Wanita) meresmikan 20
unit instalasi biogas Bantuan Presiden. Sebelum ada instalasi
biogas, kotoran sapi bertebaran di mana-mana, dan baunya
menyengat hidung.
"Apalagi di musim hujan, nyamuk dan cacing ikut merajalela,"
kata Mad Darum, 51, pamong Jurangrejo. "Hingga banyak penduduk
sakit-sakitan." Karena 20 instalasi biogas (masing-masing
berkapasitas dua meter kubik) itu tidak mampu menampung semua
tahi sapi di dukuh itu, sisanya terpaksa dijadikan pupuk mentah.
Ini agak merugikan karena pupuk dari endapan atau ampas biogas
lebih bagus dan menguntungkan. Berbeda dari kotoran sapi yang
masih basah, ampas biogas yang sudah kering tidak mengandung
cacing atau ulat, juga tidak berbau, hingga tidak membahayakan
kesehatan bila lama disimpan. Pupuk ini sangat baik untuk
tanaman jeruk atau kubis yang banyak ditanam penduduk.
Untuk menampung tahi sapi lebih banyak, kini sedang diusahakan
pembuatan 200 unit instalasi biogas. "Permohonan kreditnya sudah
diajukan mungkin tahun depan sudah turun," ujar H. Abdul Wahid,
bendahara koperasi susu SAE (Sinau Andandani Ekonomi, belajar
membenahi ekonomi) Kecamatan Pujon.
Biaya pembuatan sebuah instalasi biogas berkapasitas dua meter
kubik sebesar Rp 250.000 (untuk upah tiga tukang dan pembelian
bahan bangunan) semula dirasakan cukup berat oleh peternak.
Apalagi waktu pembuatannya pun cukup lama sekitar dua minggu.
Namun, setelah melihat manfaatnya besar, penduduk mulai
"gandrung" memiliki instalasi biogas sendiri.
Empat peternak, yaitu H. Abdul Wahid (dari Desa Ngroto) Rahmat
Sumantri (Pandesari), Soedarno (Pujon), dan Marsam (Pujon Lor)
yang membuat instalasi biogas sendiri, masing-masing bahkan
menghabiskan Rp 800.000. "Dulu setiap hari saya menghabiskan
minyak tanah 5-7 liter dan kayu bakar satu pikul. Sekarang
tinggal memasukkan kotoran sapi saja ke instalasi biogas," kata
Wahid.
Sebelum listrik masuk ke Jurangrejo, biogas itu juga membantu
menerangi desa. "Satu instalasi dapat menerangi tujuh kepala
keluarga," ujar Mad Darum. Tapi sejak listrik masuk Jurangrejo,
lima bulan lalu, biogas kini hanya dimanfaatkan sebagai bahan
bakar untuk memasak saja.
Lebih-lebih karena api hasil pembakaran biogas itu biru - tidak
seperti api kompor minyak tanah yang menghasilkan jelaga.
Sukses biogas di Puon mendorong kepala Dinas Pertanian Malang,
Sutariadi, menggalakkan pembuatan instalasi biogas di
wilayahnya. "Caranya, setiap desa di Kecamatan Pujon diminta
mengirimkan dua pemuda untuk dilatih di Dinas Pertanian,"
katanya. Tempat pendidikan di Desa Lobo.
Dari 30 pemuda yang dilatih membuat instalasi biogas, 10 lulus
sebagai tenaga pelatih. "Kami memang bermaksud agar masyarakat
bisa membuat sendiri instalasi itu," kata Sutariadi lagi. Minggu
lalu hasil latihan tahap kedua dipraktekkan di Desa Ampel
Gading.
Usaha Dinas Pertanian itu merupakan tindak lanjut proyek biogas
Pujon yang diselenggarakan Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan
Departemen Pertanian. Setelah peresmian 20 unit instalasi biogas
Bantuan Presiden tahun lalu, tahap berikutnya sampai 1985 -
direncanakan pembuatan lebih dari 3.000 unit.
Sekarang baru 27 unit instalasi yang sudah dibuat, 22 di
Jurangrejo, lima unit lagi di berbagai desa lainnya di Kecamatan
Pujon. Beberapa desa lain baru dalam taraf belajar. Soewito,
dari Balai Informasi Pertanian Jawa Timur, menyayangkan "biogas
Pujon yang berbau komersial". Katanya, "Tukang yang sudah bisa
membuat instalasi tidak mau menularkan pengetahuannya kepada
yang lain."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini