Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bentuk dan dongeng keramik modern

Pameran keramik kreatif, di taman ismail marzuki. menampilkan 90 karya dari 13 keramikus yang berlatar belakang pendidikan seni rupa modern. (sr)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERAMIK modern Indonesia tidak tumbuh dari Kasongan, Klampok, atau Dinoyo. Bentuk poci, jambangan, atau bentuk celengan keramik dari ketiga desa keramik tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu sulit ditemukan dalam karya keramik modern. Seperti bisa dilihat dalam Pameran Keramik Kreatif, di Taman Ismail Marzuki, 1-11 November ini. Sekitar 90 karya dari 13 keramikus berlatar belakang pendidikan seni rupa modern ditampilkan. Bagaimanapun bentuk yang tampil, karakter keramik tetap bisa dilihat. Bentuk-bentuk piring karya Agus Mulyadi Utomo dari ITB: bekas atau sisa tanah liat dalam proses pembuatan tidak dibuang, tapi dimanfaatkan untuk semacam ornamen pada piring itu. Lalu karya keramik Indros, warga Sanggarbambu, yang lebih berupa topeng keramik daripada karya tiga dimensional. Dengan hanya memanfaatkan pembakaran rendah, Indros menata bentuk dan warna pada permukaan topeng keramiknya, mirip ia menata mosaik. Jadinya, ia seperti mengukir genting. Pun patung-patung keramik karya Bambang Prasetyo, lulusan Seni Rupa ITB, yang sudah sulit sekali dihubungkan dengan bentuk keramik tradisional, tak bisa dibayangkan seandainya karya itu tak dibuat dari keramik. Sebab, bentuk dalam keramik memberi kesan ringan. Maka, bentuk bidang lengkung patung Bambang memberikan maji gerak. Ini tak mungkin dicapai, misalnya, dengan media semen, yang akan memberikan kesan berat. Dan pada patung Figur karya Rinie Oetari dari IKIP Malang, lekuk-liku bentuk di situ tampaknya akan susah dibikin bila tidak dari tanah liat. Itu adalah contoh mereka yang menggarap bentuk. Adapun Suhaeni Barmawi, karyawan Balai Besar Industri Keramik, lulusan ITB, mencoba yang lain. Ia menghadirkan bentuk-bentuk alami. Ada bentuk semacam bunga karang, putih kotor. Pada karya semacam ini masalah "keindahan" bentuk tak lagi menjadi soal. Kuncinya adalah bentuk alami itu ternyata dibikin dari tanah liat yang dibakar. Mungkin memberikan kesan sebagai upaya mengabadikan bentuk alam - bentuk itu tak mungkin tumbuh dan layu, meski bisa pecah. Beni Sukarsa, sejawat Suhaeni, pun mencoba menghadirkan bentuk alam. Bidang-bidang yang membentuk karya keramiknya memberi asosiasi dibuat dari kulit kayu. Cuma Beni masih mencoba memberi kesan fungsi pada karyanya. Misalnya, karya itu berbentuk seperti pot bunga. Adalah Girindra Soegijo, yang pernah belajar seni keramik di Swiss. Di tangannya tanah liat lain lagi bentuknya. Dari ke-13 keramikus yang menampilkan karyanya ini orang Yogya satu ini lebih terasa berupaya menggali keramik rakyat. Ia tak mencoba membentuk demi bentuk. Ada Naga, seperti datang dari dongeng tentang raja ular yang menculik putri raja. Ada keramik merah bata menggambarkan seekor kuda lari menerjang, membawa seorang tua di punggungnya. Girindra mengubah bentuk-bentuk pada bagian tertentu. Kira-kira itulah yang kemudian mengesampingkan kesan realistis, menciptakan sebuah dongeng. Satu contoh adalah Dewi Kesuburan. Sebuah bentuk perempuan gemuk, telanjang. Tapi seluruh permukaan bentuk keramik ini digores-gores teratur, mirip arsiran pada ambar. Yang kemudian dicapai, identifikasi figur itu menjadi tidak penting. Yang muncul ialah suatu lambang yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk bulat. Juga Naga, yang kadang-kadang terasa menyeramkan, tapi kadang-kadang terasa bak sebuah mainan. Girindra memang pintar mendongeng. Cerita yang lain dihadirkan oleh Hildawati Siddharta, dosen Institut Kesenian Jakarta. Dua bentuk cawan cembung disusun bertumpuk. Yang di bawah telungkup, yang di atas telentang. Lalu seikat padi - padi betulan, bukan keramik - ditaruh pada cawan yang atas. Sebuah cerita menyangkut pangan, kira-kira. Judul memang mengarah ke sana: Neraca Pangan Dunia. Tak seperti karya-karya Hilda pada pameran tunggalnya, 1978, Neraca sepertinya agak menyerempet masalah sosial. Ini hal baru dari Hilda. Ia sesungguhnya orang yang terampil berkisah tentang bentuk-bentuk bulat yang retak, pecah, hancur, kemudian musnah. Atau, ia begitu intens menyusun lempeng-lempeng tanah liat terbakar, menyerupai sebuah mosaik yang mengingatkan pada tembok-tembok tua, dinding-dinding gua, atau batu-batu entah di mana karena sudah diinjak-injak zaman. Neraca kehilangan suasana itu. Susah rasanya mendapatkan satu imaji dari cawan yang keramik dan padi betulan. Tapi apa sebenarnya makna keramik-keramik modern yang sudah menolak menjadi benda pakai ini? Bila saja sumber penciptaan karya-karya ini memang bukan dari keramik tradisional, ya, inilah karya seni rupa modern Indonesia dengan media keramik. Dalam hal itu, keramik semata sebagai media, seperti halnya cat, semen, batu, kayu. Keberhasilan karya cenderung dilihat dari seberapa jauh unsur bahan menjadi napas karya. Tentu, ini tak berarti buruk. Hanya saja putusnya hubungan kreatif dengan keramik tradisional, dengan sejarah keramik, sedikitnya menutup satu sumber penciptaan. Padahal, ada tantangan dalam keramik tradisional. Dulu karya keramik bukan sekadar menjadi benda pakai. Dalam beberapa hal, keramik menjadi sarana penting dalam kehidupan. Memandikan bayi dipengaron (jambangan) dianggap akan menjadikan bayi itu sehat dan kuat, tidak sakit-sakitan. Teh atau kopi yang diminum dari cangkir terakota dirasakan lebih enak. Mungkin itu semua sekadar kebanggaan yang dilebih-lebihkan. Tapi, bagaimanapun, hal itu memberi makna pada kehadiran keramik. Dan itulah yang hilang, dari keramik modern, yang terasa belum ada gantinya. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus