KERAMIK modern Indonesia tidak tumbuh dari Kasongan, Klampok,
atau Dinoyo. Bentuk poci, jambangan, atau bentuk celengan
keramik dari ketiga desa keramik tradisional di Jawa Tengah dan
Jawa Timur itu sulit ditemukan dalam karya keramik modern.
Seperti bisa dilihat dalam Pameran Keramik Kreatif, di Taman
Ismail Marzuki, 1-11 November ini. Sekitar 90 karya dari 13
keramikus berlatar belakang pendidikan seni rupa modern
ditampilkan.
Bagaimanapun bentuk yang tampil, karakter keramik tetap bisa
dilihat. Bentuk-bentuk piring karya Agus Mulyadi Utomo dari ITB:
bekas atau sisa tanah liat dalam proses pembuatan tidak dibuang,
tapi dimanfaatkan untuk semacam ornamen pada piring itu. Lalu
karya keramik Indros, warga Sanggarbambu, yang lebih berupa
topeng keramik daripada karya tiga dimensional. Dengan hanya
memanfaatkan pembakaran rendah, Indros menata bentuk dan warna
pada permukaan topeng keramiknya, mirip ia menata mosaik.
Jadinya, ia seperti mengukir genting.
Pun patung-patung keramik karya Bambang Prasetyo, lulusan Seni
Rupa ITB, yang sudah sulit sekali dihubungkan dengan bentuk
keramik tradisional, tak bisa dibayangkan seandainya karya itu
tak dibuat dari keramik. Sebab, bentuk dalam keramik memberi
kesan ringan. Maka, bentuk bidang lengkung patung Bambang
memberikan maji gerak. Ini tak mungkin dicapai, misalnya,
dengan media semen, yang akan memberikan kesan berat. Dan pada
patung Figur karya Rinie Oetari dari IKIP Malang, lekuk-liku
bentuk di situ tampaknya akan susah dibikin bila tidak dari
tanah liat.
Itu adalah contoh mereka yang menggarap bentuk. Adapun Suhaeni
Barmawi, karyawan Balai Besar Industri Keramik, lulusan ITB,
mencoba yang lain. Ia menghadirkan bentuk-bentuk alami. Ada
bentuk semacam bunga karang, putih kotor. Pada karya semacam ini
masalah "keindahan" bentuk tak lagi menjadi soal. Kuncinya
adalah bentuk alami itu ternyata dibikin dari tanah liat yang
dibakar. Mungkin memberikan kesan sebagai upaya mengabadikan
bentuk alam - bentuk itu tak mungkin tumbuh dan layu, meski bisa
pecah.
Beni Sukarsa, sejawat Suhaeni, pun mencoba menghadirkan bentuk
alam. Bidang-bidang yang membentuk karya keramiknya memberi
asosiasi dibuat dari kulit kayu. Cuma Beni masih mencoba memberi
kesan fungsi pada karyanya. Misalnya, karya itu berbentuk
seperti pot bunga.
Adalah Girindra Soegijo, yang pernah belajar seni keramik di
Swiss. Di tangannya tanah liat lain lagi bentuknya. Dari ke-13
keramikus yang menampilkan karyanya ini orang Yogya satu ini
lebih terasa berupaya menggali keramik rakyat. Ia tak mencoba
membentuk demi bentuk. Ada Naga, seperti datang dari dongeng
tentang raja ular yang menculik putri raja. Ada keramik merah
bata menggambarkan seekor kuda lari menerjang, membawa seorang
tua di punggungnya. Girindra mengubah bentuk-bentuk pada bagian
tertentu. Kira-kira itulah yang kemudian mengesampingkan kesan
realistis, menciptakan sebuah dongeng.
Satu contoh adalah Dewi Kesuburan. Sebuah bentuk perempuan
gemuk, telanjang. Tapi seluruh permukaan bentuk keramik ini
digores-gores teratur, mirip arsiran pada ambar. Yang kemudian
dicapai, identifikasi figur itu menjadi tidak penting. Yang
muncul ialah suatu lambang yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk
bulat. Juga Naga, yang kadang-kadang terasa menyeramkan, tapi
kadang-kadang terasa bak sebuah mainan. Girindra memang pintar
mendongeng.
Cerita yang lain dihadirkan oleh Hildawati Siddharta, dosen
Institut Kesenian Jakarta.
Dua bentuk cawan cembung disusun bertumpuk. Yang di bawah
telungkup, yang di atas telentang. Lalu seikat padi - padi
betulan, bukan keramik - ditaruh pada cawan yang atas. Sebuah
cerita menyangkut pangan, kira-kira. Judul memang mengarah ke
sana: Neraca Pangan Dunia.
Tak seperti karya-karya Hilda pada pameran tunggalnya, 1978,
Neraca sepertinya agak menyerempet masalah sosial. Ini hal baru
dari Hilda. Ia sesungguhnya orang yang terampil berkisah tentang
bentuk-bentuk bulat yang retak, pecah, hancur, kemudian musnah.
Atau, ia begitu intens menyusun lempeng-lempeng tanah liat
terbakar, menyerupai sebuah mosaik yang mengingatkan pada
tembok-tembok tua, dinding-dinding gua, atau batu-batu entah di
mana karena sudah diinjak-injak zaman. Neraca kehilangan suasana
itu. Susah rasanya mendapatkan satu imaji dari cawan yang
keramik dan padi betulan.
Tapi apa sebenarnya makna keramik-keramik modern yang sudah
menolak menjadi benda pakai ini? Bila saja sumber penciptaan
karya-karya ini memang bukan dari keramik tradisional, ya,
inilah karya seni rupa modern Indonesia dengan media keramik.
Dalam hal itu, keramik semata sebagai media, seperti halnya cat,
semen, batu, kayu. Keberhasilan karya cenderung dilihat dari
seberapa jauh unsur bahan menjadi napas karya. Tentu, ini tak
berarti buruk. Hanya saja putusnya hubungan kreatif dengan
keramik tradisional, dengan sejarah keramik, sedikitnya menutup
satu sumber penciptaan.
Padahal, ada tantangan dalam keramik tradisional. Dulu karya
keramik bukan sekadar menjadi benda pakai. Dalam beberapa hal,
keramik menjadi sarana penting dalam kehidupan. Memandikan bayi
dipengaron (jambangan) dianggap akan menjadikan bayi itu sehat
dan kuat, tidak sakit-sakitan. Teh atau kopi yang diminum dari
cangkir terakota dirasakan lebih enak. Mungkin itu semua sekadar
kebanggaan yang dilebih-lebihkan. Tapi, bagaimanapun, hal itu
memberi makna pada kehadiran keramik. Dan itulah yang hilang,
dari keramik modern, yang terasa belum ada gantinya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini